[[Setiap saat aku menarik nafas, rasanya seperti semakin dekat dengan kematian.]]

[[Menyakitkan, menyakitkan, menyakitkan—]]

[[Setiap oksigen yang kuhirup adalah racun yang mematikan.]]

[[...Ah.]]

[[Bukan.]]

[[—Semua itu bukanlah alasannya.]]

[[Aku hanya...]]

[[...Hanya—]]

[[...Lelah untuk melanjutkan hidupku,]]

[[Kurasa.]]

.

.

.

.

Chapter 3: Strength

.

Enjoy!

.

"Ah, aku rindu sekali dengan sekolah ini!"

Udara di pagi hari dan juga aroma dari dedaunan yang terkena embun pagi membuatnya semakin siap menghadapi hari; tubuh kecilnya seakan dapat melompat setinggi apapun—bahkan hingga mencapai langit.

"Kuharap sekolah ini tetap damai selama aku tidak ada! Tapi sekarang, si dewa pelindung sekolah ini sudah kembali!"

.

.

.

"Ah... lagi-lagi."

Hinata menatap isi tasnya yang entah sejak kapan sudah terbuka—padahal hanya sebentar ia meninggalkan tasnya di dalam kelas untuk pergi ke toilet. Pelajaran kedua yang mengharuskannya berganti dengan baju olahraga terlihat seperti mimpi buruk saat ini; karena baju olahraganya menghilang, dari dalam tas, begitu saja.

—Dan Hinata tahu ini ulah siapa. ...yah, siapa lagi, kalau bukan mereka?

Hinata menarik nafas panjang—haaah. Sekarang, apa? Apa yang harus ia lakukan? Ini sudah ketiga kalinya ia kehilangan baju olahraga; jika ia lapor kepada guru, tentu saja mereka sudah tidak akan percaya. Itu hanya akan dianggap sebagai alasan karena Hinata tidak mau mengikuti kelas olahraga.

"—Ukh.."

[[Ah, aku ini cengeng sekali, sih.]]

[[Jangan menangis, jangan menangis—]]

"—Aku akan coba cari dulu. Mungkin mereka membuangnya di suatu tempat.."

Hinata bergegas keluar dari ruang kelasnya; kemana ia harus pergi? Antara tempat pembuangan sampah yang akan dibakar dan juga tempat sampah kecil yang tersedia di beberapa titik sekolahnya...

Ah. Kemungkinan besar seragam olahraganya sudah siap untuk dibakar, saat ini.

Hinata harus berkali-kali menyeka titik air yang sudah siap untuk turun di ujung matanya; berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa ia tidak boleh menangis. Ini masih pagi—hari barunya baru saja dimulai. Setidaknya ia harus bersikap tegar; kata-kata Tsukishima kemarin ada benarnya.

[[Aku harus kuat. Kuat. Kuat.]]

[[Aku tidak akan menangis hanya karena hal sekecil ini.]]

Matanya mengintip ke dalam setiap isi tong sampah yang ia temui—kotak susu yang sudah kosong dan juga kemasan makanan lainnya menjadi pemandangan yang menyambut—tak ada kaus putih dan juga celana training berwarna merah tua di dalamnya.

Ah, dugaannya benar. Ada di tempat sampah utama, sepertinya.

Kembali menghela nafas panjang—Hinata berbalik arah dan berjalan menuju tempat pembakaran sampah di belakang sekolahnya; letaknya tak jauh dari taman belakang dimana ia suka berkunjung kesana sebelumnya. Namun mengingat kemarin tempat persembunyiannya tersebut ditemukan oleh mereka yang selalu menindasnya—Hinata kini merasa takut untuk kembali kesana.

Tapi tak ada jalan lain; jika seragam olahraganya tidak ditemukan, ia tidak bisa mengikuti kelas olahraga yang diadakan 20 menit lagi.

[[Aku pasti akan ditertawakan oleh semua anak di kelas karena baju olahragaku akan sangat, sangat bau dan kotor.]]

Hinata mempercepat langkah kakinya—urusan ditertawakan atau tidak, itu bisa ia pikirkan nanti. Sekarang pokoknya, ia harus menemukan baju olahraganya du—

"Ah!"

Hinata tak sadar ia terus menunduk selama berjalan—dan hasilnya, ia kini menabrak seseorang yang lebih tinggi darinya. Sesaat pikirannya menjadi kosong; apa ia tanpa sengaja sudah menabrak salah satu dari—

"Oi, Hinata bodoh! Lihat ke depan kalau jalan!"

—Atau bukan.

"Ka... Kageyama.." Hinata bangkit dari posisinya; tubuhnya yang lebih kecil terjatuh ke lantai. Ia bersyukur sih, karena yang ia tabrak ternyata hanya Kageyama—bukan salah satu dari orang yang suka menindasnya—tetapi.. ya. Kenapa bukan Kuroo atau Kenma saja sih yang harus ia temui? Mereka tak akan mengatainya dengan kata-kata kasar, setidaknya.

"Apa yang kau lakukan disini? Kelasmu seharusnya mengikuti kelas olahraga tidak lama lagi, bukan?" Kageyama menarik satu alisnya ke atas—ia mengingat jelas bahwa kelas olahraganya berbarengan dengan kelas Hinata; dan aneh rasanya, jika melihat si pendek tersebut masih berkeliaran di luar kelas.

Hinata kembali menundukkan kepalanya. "...Baju olahragaku... hilang."

"—Haaah?!"

"Baju olahragaku hilang, Bakageyama! masa' aku bicara sekali saja kau tidak dengar?!"

"Bukan—aku mendengarmu! Maksudku, kenapa bisa hilang? Kau yakin tidak meninggalkannya di rumah?"

"Aku mengingatnya dengan jelas, aku membawanya.. ada di dalam tas. Entahlah, sekarang aku akan mencarinya dulu, mungkin.. 'terjatuh' di suatu tempat.."

Kageyama mengerutkan dahinya—seraya berteriak di dalam hati. Yang benar saja, kalau memang baju olahraganya ada di dalam tasmu—tidak mungkin terjatuh, 'kan?!

"Ini pasti ulah mereka, ya?" Kageyama menarik nafas panjang. "Para tukang tindas itu."

Hinata terdiam—tak mau menjawab.

"Sudah kubilang, bukan—kau setidaknya harus melawan!" suaranya membentak Hinata. "Jangan terus-terusan jadi orang lemah!"

"Aku mana mungkin bisa melawan kalau mereka menyerang secara diam-diam?!" balas Hinata, berbicara dengan nada yang tinggi. "Kau ini selalu bicara seolah semua hal itu mudah—kau tidak mengerti rasanya jika jadi aku, jadi kau tidak mengerti apa-apa!"

Hinata tidak mau membuang waktunya lagi—dibandingkan berdebat dengan si Raja egois, ia lebih baik kembali mencari seragam olahraganya yang hilang. Kageyama sudah membuang beberapa menitnya yang berharga, menyebalkan sekali.

Hinata mendengar samar-samar suara Kageyama memanggil namanya; namun semakin jauh ia berjalan, suara tersebut semakin tidak terdengar. Hinata melanjutkan perjalanan dengan pikiran yang kacau—walau kebanyakan, isi pikirannya hanya tentang Kageyama dan juga beberapa umpatan yang ia tujukan kepadanya.

[[Ah, sudahlah.]]

[[Bukan hal aneh kalau Kageyama menjadi orang yang menyebalkan.]]

.

.

.

"...Tidak ada.."

Ah, baiklah. Kini semua amarahnya yang ditujukan pada Kageyama beberapa menit yang lalu tergantikan dengan rasa panik yang meluap—tidak ada. Seragam olahraganya tidak ada disini!

"Tidak ada.. tidak ada, tidak ada, TIDAK ADA!" Hinata terus mengais isi tong sampah besar tersebut; meski kotor dan juga penuh bau tidak enak—Hinata tidak peduli.

Sial. Sial. Sial. Ternyata mereka tidak sebodoh yang Hinata kira; mereka pasti sudah bisa menebak bahwa Hinata akan mencari seragamnya kesini—mereka pasti memutuskan untuk menyembunyikan seragam Hinata di tempat lain.

[[Apa yang harus aku lakukan?!]]

Meminjam baju olahraga ke orang yang tak dikenalpun mustahil—ia tak mengenali orang lain di sekolah ini. Meminjam pada Kuroo atau Suga, atau Tsukishima juga sudah pasti jawaban 'tidak', karena seragam mereka akan terlalu besar dipakai oleh Hinata.

"...Ah, Kenma!"

Benar juga, tingginya dan Kenma hampir sama, ia rasa tidak masalah kalau harus meminjam baju olahraga dari—

"...Ah, sial! Kelas 2-A juga sedang ada kelas olahraga saat ini di aula, 'kan—"

Yang berarti, Kenma sedang memakai seragam olahraganya, dan akan dipakai sampai tiga puluh menit kedepan.

Hinata menjambak rambutnya frustasi—kali ini, titik air yang ada di ujung matanya sudah mengalir perlahan menuruni pipinya. Tidak, tidak—jangan menangis. Hinata kembali menyeka air matanya dengan lengan baju seragam.

Meminjam kepada Suga adalah opsi yang menurutnya paling masuk akal, jika Kenma tidak bisa menjadi pilihan. Mungkin bajunya akan sedikit kebesaran, namun Hinata bisa mengakalinya—mungkin.

"—Uh.. aku.. harus ke gedung kelas tiga—hiks—sekarang.." Hinata tak bisa mencegah satu isak tangis keluar dari bibirnya; setidaknya, tidak ada yang mengetahui bahwa dirinya menangis, disin—

"Kamu yang pendek di depan! Kau menangis?"

—sial.

Hinata buru-buru menyeka air matanya—kali ini ia berhasil membuat air matanya menghilang; syukurlah tangisannya tidak sebrutal kemarin saat ia bertemu dengan Kuroo di jalan.

"Ah—eh? Tidak, aku tidak menangis, mataku kemasukan debu—"

"Lalu kenapa kau mengacak-acak isi tempat sampah disana, tadi? Jangan membohongi kakak kelasmu, anak kelas satu!"

—Kakak kelas?

Hinata menatap seseorang yang menghampirinya—seseorang dengan rambut yang aneh; sama dengan Kuroo, melawan gravitasi. Dan ada warna pirang diantara rambut hitamnya—tepat di tengah poni.

...Dan yang membuat Hinata terkejut bukan itu, sebenarnya; tetapi tinggi badannya.

Ia lebih pendek daripada Hinata.

"...Uh, kau yakin kau kakak kelas—"

"STOP! Kalau kau mau bilang bahwa tinggiku meragukan untuk bisa menjadi kakak kelasmu, maka aku akan menendangmu. Sungguh."

Baiklah, sebaiknya tutup mulut saja.

"Jadi—kau! Siapa namamu? Kenapa kau menangis? Kau anak kelas berapa? Kenapa kau mengacak-acak tempat sampah? Apa kau—"

"—Woah, woah, tunggu! Terlalu banyak pertanyaan! Aku harus jawab yang mana dulu?"

"Baiklah, namamu, dan alasan kenapa kau ada disini dan menangis."

"Hinata Shouyou, aku tidak menangis, dan aku sedang mencari seragam olahragaku."

"...Seragam olahraga? Ada yang menjahilimu dan membuang seragam olahragamu kesini?"

—Hinata berbohong kembali. "Eh...Tidak! Aku menjatuhkan—"

"Jangan berbohong. Kumohon?"

[[...Hah.]]

[[Kenapa ia tiba-tiba berbicara dengan sedikit lebih lembut?]]

"...Seseorang sepertinya mencurinya, dan... menyembunyikannya. Tapi aku tidak tahu siapa orangnya." Sebagian dari ucapan tersebut bukanlah kebohongan; Hinata memang tidak tahu, dari para penindas tersebut—orang yang mana yang menyembunyikan seragam olahraganya.

"Oh. Lalu, kau menemukannya?"

Hinata menggelengkan kepala.

"Aaa~aah. Gawat, kalau begitu. Berapa menit lagi kelas olahragamu dimulai?"

Hinata melihat ke arah jam tangan miliknya; sudah lima belas menit waktu ia habiskan, ternyata. "...Lima menit.."

"—LIMA MENIT?! Dan kau masih belum tahu mau melakukan apa?!"

[[...Yah, karena aku sendiri tidak bisa memikirkan solusinya.]]

"...Entahlah, aku—"

"Aku akan pinjamkan baju olahragaku."

"...Maaf?"

"Tinggi kita tak berbeda jauh, jadi tidak masalah, bukan?" Lelaki tak dikenal tersebut tersenyum lebar seraya menarik lengan Hinata tanpa ia sadari; dan sang kakak kelas membawanya pergi, entah kemana. "Ah, iya. Namaku Nishinoya Yuu, anak kelas 2-C; panggil saja aku Noya. Ingat baik-baik agar kau bisa mengembalikan seragam olahragaku tanpa tersesat, oke?!"

"Ah—baik, Noya-san. Terima kasih... kurasa?"

Dan suara tawa yang menjadi balasan untuk Hinata adalah bukti bahwa Nishinoya bukanlah orang yang jahat.

[[Ah, tunggu.]]

[[Kenapa orang ini berada di luar kelas saat jam pelajaran?]]

.

.

.

Kelas olahraganya sudah dimulai untuk beberapa menit ketika ia datang—untunglah ia masih diizinkan untuk mengikuti aktivitas. Kageyama dan kelasnya yang berbaris tepat di hadapannya bertemu mata dengan Hinata; dan Hinata spontan mengalihkan pandangannya. Ia masih sebal pada si Raja egois itu, dan tidak, ia tidak mau lagi berbaik hati kepadanya; terima kasih banyak.

Ia selamat untuk kali ini, namun Hinata harus mengingat baik-baik bahwa baju olahraganya harus dicari lagi sepulang sekolah nanti. Dan seragam milik Nishinoya harus ia jaga baik-baik agar tidak dicuri lagi; mungkin ia akan terus memakainya dibalik seragam, agar tidak bisa dicuri orang.

"—Dan hari ini, kalian akan berpasangan dengan anak-anak dari kelas C. Kalian akan melakukan latihan serve dan receive, dan juga toss dan spike, tidak lupa juga blocking—"

[[...Ah.]]

[[Hari ini olahraganya bola voli, ya?]]

Hinata tak bisa menghentikan senyum lebar untuk tidak keluar di wajahnya—tentu saja. Bola Voli adalah hal yang paling ia sukai di dunia; satu-satunya hal yang bisa membuatnya melupakan sesaat penderitaan hidupnya. Dalam kelas olahraga, tak akan ada orang yang bisa melarangnya untuk bermain voli.

Masih tersenyum lebar; Hinata tak sadar bahwa sang guru olahraga sudah menyebutkan nama-nama murid beserta pasangannya—satu per satu murid beranjak dari posisinya dan berjalan menuju pasangannya. Ketika semua nama sudah hampir selesai disebutkan—datanglah giliran untuk namanya dipanggil oleh guru di hadapannya.

"Hinata Shouyou, Kageyama Tobio."

—Dan senyum lebar Hinata hancur seketika.

[[...Haha.]]

[[Aku benar-benar benci hidup ini.]]

.

.

.

"—OI, HINATA BODOH, LAKUKAN RECEIVE YANG BENAR!"

"AAAH, CUKUP! KAU BERISIK DAN MARAH-MARAH TERUS!"

"SIAPA YANG TIDAK MARAH KALAU RECEIVEMU PAYAH BEGITU, HAH?!"

"B-BAWEL!"

Sudah terlewat sekitar satu jam pelajaran, dan entah sudah keberapa kali guru olahraga membentak mereka; sampai-sampai ia lelah dan tak menegur mereka kembali. Lagipula, percuma. Setiap kali gurunya menghampiri, mereka tak pernah mendengarkan; suara mereka hanya menjadi semakin lantang dan tak ada yang bisa menghentikannya.

—Namun, guru olahraga yang sudah sabar semenjak tadi ini memiliki batas maksimal dalam kesabarannya juga.

"KAGEYAMA, HINATA! KELUAR DARI LAPANGAN—SEKARANG!"

Dan itulah alasan mengapa mereka berdua duduk terdiam di dekat sebuah mesin penual minuman otomatis; saat ini.

"Ini semua gara-gara kau, Bakageyama... kalau saja kau tidak banyak marah-marah—"

"HAAH?! Kalau saja receivemu tidak payah, ya—"

"—Aku tidak pernah melakukan latihan voli dengan benar." Hinata memotong ucapannya. "Aku tidak pernah ikut klub Voli karena di SMPku tidak ada klubnya. Dan aku tidak mengikuti klub Voli saat ini. Yang aku lakukan hanyalah belajar sendirian."

Saat SMP, ia masih ingat bagaimana ia selalu meminta temannya yang merupakan anggota klub basket dan sepak bola—untuk berlatih voli bersamanya.

Ia juga ingat betapa mereka payah dan tak mengerti apapun soal voli, namun tetap ingin membantu Hinata.

Hinata bahkan berlatih dengan klub voli wanita di daerah rumahnya; kadang Ibu atau ayahnya juga bahkan membantu.

—Namun itu semua tidak cukup, bukan?

Dan ketika Hinata bahagia karena akhirnya ia bisa mengikuti klub voli di masa SMAnya—

"...Aku tidak bisa mengikuti klub voli di sekolah ini.."

[[Aku bisa saja melanggar peraturan tak tertulis yang mereka berikan; namun aku juga harus siap menerima konsekuensinya.]]

Kageyama terdiam dan menatap Hinata yang duduk di sampingnya—tak tahu harus menjawab apa. Kageyama tak pandai mengeluarkan kata-kata simpati ataupun menghibur; dan ia juga setengah kesal karena Hinata benar-benar tidak melawan dan mau menurut begitu saja. Kageyama berusaha mengalihkan pembicaraan.

"...Baju olahragamu."

"Huh?"

"Kau menemukannya dimana?"

"Ah... tidak. Ini baju pinjaman. Aku tidak menemukan baju olahragaku."

"Hah, ada juga ternyata orang yang memiliki tubuh seukuran denganmu. Aku terkejut."

"Hey! Biarpun begitu, yang meminjamkan baju ini anak kelas dua, kau tahu?! Jangan tidak sopan kepadanya!"

"Terserah apa katamu." Kageyama beranjak dari posisinya dan berjalan meninggalkan Hinata—membuat sang lelaki yang lebih pendek menatap bingung ke arahnya.

"Kau mau kemana?"

"Bukan urusanmu."

"Ap—ya sudah, pergi sana jauh-jauh!"

Hinata menggembungkan pipinya dan Kageyama semakin menjauh dari pandangan—sebenarnya ada apa dengan lelaki itu, sih? ia seperti wanita sedang PMS. Hanya bisa marah-marah dan bentak-bentak, kata-katanya sinis dan kasar, sungguh menyeramkan.

[[...Tapi kenapa, ya—]]

[[Jika dia tidak ada, rasanya sepi sekali.]]

.

.

.

"Oooh~ lihatlah siapa yang ada disini. Halo, Chibi-chan!"

Hinata membuang muka ketika suara yang nyaring menyambutnya—haha, tentu saja, ini daerah anak kelas dua dan tiga—pasti salah satu dari duo anak bandel ada disini, bukan?

"O...Oikawa-..san."

"Hyuu~ ternyata kau masih mengingat namaku! Apa aku sebegitu populernya ya? Oh, atau karena kau diam-diam mengagumiku semenjak kita bertemu di ruang kesehatan—"

"Bukan, aku mencari kelas 2-C."

—Jawaban tegas dari Hinata sukses membuat Oikawa Tooru menutup mulut seketika.

"Oh, begitu." Oikawa kemudian tertawa hampa; gagal tebar pesona, deh. "Mau kuantar? Ada perlu apa kau ke kelas 2-C?"
"A-ah, aku mau mengantarkan baju olahraga milik seseorang yang aku pinjam..."

"Hm? Memangnya kau tidak punya baju olahraga?"

"B-bukan, aku... kehilangan baju olahragaku."

"..Hoo?" Oikawa menatap Hinata dalam-dalam—sedikit ragu dengan jawaban yang diberikan Hinata. "Baiklah, akan kutunjukkan dimana kelas 2-C."

"Oh—ah, terima kas—"

"—Tapi bayarannya satu kali kencan denganku, ya~"

..Ngga Kuroo, ngga Oikawa, dua-duanya sama-sama sampah.

"...Euh—"

"—OI, SAMPAHKAWA! APA YANG KAU LAKUKAN PADA ANAK KELAS SATU DISANA, HAH?!"

Suara lantang serta bola voli yang menghantam belakang kepala Oikawa membuat Hinata bersyukur karena ia lolos dari tawaran Oikawa; dan sosok seseorang yang kelihatannya sangat, sangat marah kini terlihat berjalan mendekatinya dan Oikawa.

Siapa orang ini?

"Euh, kau, anak kelas satu—kau tidak apa-apa? Si bodoh ini melakukan apa kepadamu, ia tidak memalakmu atau semacamnya 'kan—"

"Iwa-chan jahat! Mana mungkin aku yang baik hati ini melakukan hal itu—"

"KAU DIAM SAJA!" Lelaki tersebut kembali membentak Oikawa.

"A...anu—"

"Dia Hinata Shouyou, Iwa-chan! Orang yang kuceritakan tempo hari—anak lelaki yang manis di ruang kesehatan itu!"

[[—anak manis di ruang kesehatan?]]

"O—oh, ini... lelaki yang kau maksud itu?"

"Iya, Iwa-chan!" Oikawa masih mengelus-elus belakang kepalanya yang kesakitan. "Ah, Chibi-chan, perkenalkan—orang yang hobinya marah-marah ini namanya Iwaizumi Hajime! meskipun ia galak, ia adalah teman baikku!"

"—Jangan percaya, dia bohong. Aku bukan teman baiknya, aku cuma orang sial yang harus terjebak bersama dia selama sepuluh tahun." Ucap Iwaizumi dengan wajah datar. "Oh, dan salam kenal... Um, Hinata?"
"Ah—oh, iya, salam kenal, Iwaizumi-san.."

"..Jadi, kenapa anak kelas satu sepertimu ada di wilayah anak kelas dua dan tiga?"

"A—aku mau ke kelas 2-C, dan Oikawa-san tadi menawarkan diri untuk mengantarku.."

"Ah, biar aku saja yang mengantarmu." Iwaizumi menaruh telapak tangannya di puncak kepala Hinata; sedikit menepuknya lembut. "Jangan percaya pada si sampahKawa itu, kau bisa saja malah dibawa ke tempat sepi olehnya kemudian diperlakukan macam-macam—"

"MEMANGNYA AKU ORANG MESUM?!"

"Waktu istirahat tinggal sebentar lagi, bukan? Ayo kita pergi sekarang."

Iwaizumi mengabaikan Oikawa yang memanggil namanya—seraya berteriak bahwa ia bukan orang mesum dan semacamnya; sementara Hinata bersyukur karena ia bebas dari Oikawa.

[[Teman baik selama sepuluh tahun, ya?]]

[[...Enaknya. aku juga ingin.. memiliki teman baik.]]

.

.

.

"Kalau mencari Nishinoya, ia ada di ruang kesehatan. Dia sering ada disana dibandingkan di kelas, jadi coba cari saja kesana."

Yang menyambut Hinata ketika sampai di kelas 2-C bukanlah sosok seorang lelaki dengan tubuh pendek yang penuh semangat—seorang gadis tak dikenal mengatakan bahwa Noya tidak ada di tempat. Hinata menarik satu alisnya ke atas—kenapa di ruang kesehatan?

"Ah, jadi yang kau cari itu Nishinoya Yuu, ya?"

"Ah—iya, Iwaizumi-san mengenalnya?"

"Kami satu klub, di klub Voli, dengan Oikawa juga. Nishinoya itu libero yang hebat, kau tahu itu?"

"Huwooo! Libero!"

Ternyata Noya anggota klub voli—Hinata baru tahu soal itu. Begitu juga dengan Iwaizumi dan Oikawa—ternyata anggota klub voli sekolah ini ada banyak juga..

"Tetapi kalau kau mencari dia, seharusnya kau tahu bahwa dia sering ada di ruang kesehatan—apa kau tidak tahu soal itu?"

"..Eh?" Hinata menggelengkan kepalanya. "A-aku baru bertemu dia tadi pagi. Aku... tidak begitu mengenalnya. Memangnya kenapa Noya-san sering ada di ruang kesehatan?"

"...Aku.. tidak bisa bilang kenapa. Maaf. Aku ingin Nishinoya sendiri yang mengatakannya padamu."

[[Eh?]]

"..Eh—"

"Ah, kalau ruang kesehatan, kau tahu jalannya kemana, bukan? Maaf, aku harus ke perpustakaan setelah ini, jadi.."

"Ah—iya, terima kasih banyak sudah mengantarku, Iwaizumi-san!"

Hinata membungkuk dalam-dalam sementara Iwaizumi tersenyum kecil seraya menepuk bahunya; ia berbalik dan meninggalkan Hinata—sementara Hinata masih bertanya-tanya dalam benaknya.

[[Memangnya... ada apa dengan Noya-san?]]

.

.

.

"Oh, Shouyou!"

Nafas Hinata sedikit tercekat ketika orang yang dicarinya memangil Hinata dengan nama depan; namun suara lantangnya yang begitu ceria membuat Hinata tak bisa mengeluarkan protes ataupun jawaban. Noya adalah orang kedua yang memanggilnya dengan nama depan setelah Kenma—dan sama seperti Kenma, entah kenapa Hinata tidak membenci Noya yang memanggilnya dengan akrab.

"No... Noya-san, selamat siang."

"Ada apa? Kau membutuhkan bantuan dari seniormu lagi, hmm?"

"Itu—aku ingin mengembalikan baju olahragamu,"

"Ooh! Terima kasih! Ukurannya pas di badanmu, bukan?"

"Iya, sangat pas. Tapi maaf, aku tak bisa mencucinya, kalau tidak dikembalikan hari ini—"

"Kau takut ada yang mencuri baju olahragaku seperti yang mereka lakukan kepadamu, ya?"

Hinata tak menjawab—ia hanya menundukkan kepalanya. Noya tersenyum lebar seraya mengacak-acak rambut Hinata dengan tangannya.

"Tidak apa-apa! Semoga kau menemukan baju olahragamu, ya! Kalau tidak ketemu, kau bisa pinjam padaku kapan saja!"

"Ah—terima kasih!"

Syukurlah, Noya begitu baik dan mau mengerti akan masalah Hinata—tak bisa ia bayangkan apa yang akan terjadi kalau Noya tidak memergokinya tadi pagi; mungkin ia tidak akan bisa ikut pelajaran olahraga sampai akhir semester.

"Kalau ada masalah apapun—katakanlah padaku, aku akan membantumu sebisaku, Shouyou!"

"Eh? Ah, tenang saja, aku tidak—"

"Aku sudah mendengarnya dari Suga," Noya memotong kalimat Hinata. "Kau beberapa hari yang lalu datang ke ruang kesehatan dengan banyak luka. Pasti ada sesuatu, bukan?"

"Ah.."

Hinata mengepalkan kedua tangannya—tidak. Ia tidak bisa merepotkan Noya lebih jauh—ia tak ingin siapapun tahu. Cukup Kageyama dan Tsukishima saja yang mengetahui soal ini, tetapi, tidak ada yang boleh mengetahuinya lagi.

"Tidak.. tidak ada apa-apa, kok."

"..Kau yakin?"

"Um!" Hinata memaksakan senyuman lebar di wajahnya. "Kalau begitu, sampai nanti, Noya-san. Terima kasih banyak, ya!"

"Ah? Hei, Shouyou—"

[[Aku harus cepat-cepat pergi.]]

[[Karena tak lama lagi, aku pasti akan menangis.]]

.

.

.

"Ternyata dimana-mana tidak ada.."

Hinata kembali mencari ke seluruh sekolah ketika bel pulang sudah berbunyi—langit sudah berubah menjadi jingga dan pencariannya berakhir nihil. Hinata sudah memastikan ia mencari ke berbagai sudut sekolah, sampai ruang guru dan juga ruang klub olahraga—namun tiga jam pencariannya tak menghasilkan apa-apa.

Tak mungkin jika ia harus terus-terusan meminjam baju milik Nishinoya—dan ia harus menabung dahulu jika ingin membeli baju olahraga baru. Ia tak ingin merepotkan orang tuanya dengan meminta uang tambahan untuk membeli baju—terpaksa ia harus menunggu sampai uangnya terkumpul.

Sampai saat itu tiba, mungkin ia harus bersabar dengan kaos dan juga celana training yang ia pakai untuk latihan voli sendirian. Semoga guru olahraganya mau mengerti akan hal ini.

"..Sudahlah, aku pulang saja."

Dengan helaan nafas panjang, Hinata mengambil tasnya dan berjalan meninggalkan sekolah—langit akan berganti menjadi warna biru tua sebentar lagi, dan taburan cahaya akan segera menghiasi langit. Ia cukup beruntung karena tidak dicegat oleh para penindas saat jam pulang tadi; setidaknya ia pulang tanpa memar dan bekas luka hari ini.

Langkah kakinya begitu lemah dan matanya terasa panas—sungguh, ia ingin menangis dengan lantang. Jika ini bukan di tengah keramaian, mungkin ia sudah melakukannya. Namun menangispun tak akan mengubah apa-apa; baju olahraganya tak mungkin secara ajaib akan ada di hadapannya setelah ia menangis, bukan?

Lagipula, Hinata sudah memutuskan untuk menjadi kuat—kuat. Setidaknya ia akan menunjukkan pada Kageyama bahwa ia tidak selemah yang dikatakan.

..Kageyama.

Benar juga, semenjak kelas olahraga tadi, Hinata tidak melihat sosoknya dimana-mana—bahkan saat melewati kelasnya juga, Hinata tak menemukan sosok tinggi dengan rambut hitam di dalamnya. Apa dia membolos?

Kira-kira ia pergi kemana, ya, setelah meninggalkan Hinata tadi?

"Ah, sudahlah, bukan urusanku juga.."

Hinata menaiki anak tangga menuju kamar apartemennya dengan lunglai—hari ini sungguh melelahkan. Makan malam yang lezat dan juga tidur nyenyak adalah hal yang paling tepat untuk saat ini.

"Yo."

—Yah, setidaknya, itulah isi pikiran Hinata sebelum ia melihat Kageyama berdiri di depan pintu kamarnya.

[[...Mau apalagi si menyebalkan ini?]]

[[Dan kenapa dia ada di depan pintu kamarku?!]]

"Euh... halo?"

"Kau baru pulang? Padahal kau tidak mengikuti klub apapun, bukan?"

"Euh.. aku ada sedikit urusan, tadi. Lagipula... kau sendiri baru pulang?" Hinata mengerutkan dahinya. "Dan lagi... kenapa kau masih memakai seragam? Seragammu kotor, pula."

"B—berisik! Ini bukan urusanmu!" Kageyama menyembunyikan rona di wajahnya dan berdehem pelan. "...Ini."

"He?"

Kageyama mengulurkan satu tangannya yang memegang kantong kertas berwarna putih—apa ini?, batin Hinata. Jangan-jangan ia berencana untuk mengejutkannya karena di dalam sini ada sesuatu yang menyeramkan seperti kotak yang mengeluarkan badut berleher spiral—

"Ini bukan sesuatu yang menakutkan. Cepatlah ambil karena aku mau segera ganti baju dan tidur nyenyak!"

"Ba—baik!" Hinata segera mengambil bungkusan tersebut dari tangan Kageyama karena takut Kageyama mengamuk; sementara yang lebih jangkung buru-buru berbalik dan kembali ke kamarnya setelah Hinata mengambil bungkusan tersebut dari tangannya.

Isinya apa, ya?

"—Seharusnya kau lihat, tadi. Sosok si Raja yang dengan bodohnya memanjat pohon untuk mengambil benda itu—lucu sekali."

Suara Tsukishima membuat Hinata mengangkat wajahnya; Tsukishima menyeringai seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Kupikir, ia sedang melakukan suatu atraksi bodoh atau memang sudah gila. Tetapi ia ternyata mau membantu seseorang secara diam-diam. Lucu sekali."

Hinata kembali memasang tampang kebingungan. "Um, maaf? Aku tidak menger—"

"Buka isi bungkusan itu dan kau akan mengerti." Jawab Tsukishima. "Aku terkejut karena orang bodoh sepertimu bisa membuat si Raja mengubah sikapnya."

—Dan kembali Hinata ditinggalkan sendirian; Tsukishima menutup pintu kamar yang dihuni olehnya dan Kageyama. Angin malam yang semakin dingin membuat Hinata juga ikut memasuki kamarnya; dan ia segera membuka isi dari kantong kertas yang diberikan oleh Kageyama.

Apa yang dikatakan oleh Tsukishima dan juga alasan kenapa seragam Kageyama begitu kotor kini terjawab sepenuhnya.

"...Eh?"

Warna putih yang sedikit kotor karena debu dan juga tergores ranting pepohonan...

Namanya yang tertera di bagian punggung..

Yang ada di dalam kantong tersebut adalah baju olahraga miliknya.

"Kageyama... ia pergi untuk mencari baju olahragaku?"

Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kenapa Kageyama tiba-tiba meninggalkannya—kenapa ia tak terlihat dimanapun setelah kelas olahraga selesai—

.

"—Seharusnya kau lihat, tadi. Sosok si Raja yang dengan bodohnya memanjat pohon untuk mengambil benda itu—lucu sekali."

.

Ia mencari baju olahraga milik Hinata ke seluruh bagian sekolah.

Meski dengan kata-kata sinis, meski dengan sikap yang menyebalkan—

Kageyama ternyata mencari baju olahraga miliknya.

"—si bodoh itu!"

Baju olahraga milik Hinata terjatuh ke lantai—ia berbalik dan keluar dari ruang apartemennya.

[[Kenapa?]]

[[Kenapa ia tidak mengatakan apa-apa?]]

Ia kini berdiri di pintu ruangan dengan nomor 9 dan mengetuknya dengan sedikit kencang—ia menahan nafasnya dan juga air matanya yang hampir turun.

"Iya, iya, sebentar—"

[[Kenapa saat ini..]]

[[...Aku merasa begitu senang?]]

Hinata tak memikirkan apapun lagi ketika pintu itu akhirnya terbuka.

Ketika iris biru itu kembali menyambutnya; Hinata tak menunda banyak waktu dan segera meraihnya.

Kedua lengan kecilnya melingkar di tubuh jangkung Kageyama—membuat si pembuka pintu sedikit terkejut karenanya. Apa-apaan, orang macam apa yang memeluk seseorang saat baru membuka pintu seenaknya—

"Oi!"

"—Terima kasih..."

Semua rasa kesal dan protes yang akan ia lontarkan hilang ketika satu isak tangis terdengar dari sosok yang memeluknya.

Isak tangis tersebut kemudian menjadi tangisan yang kencang—Hinata tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Ia tak bisa menjadi kuat jika tak ada yang menopang dirinya; ia ingin ada seseorang yang mau mendengar tangisannya meski hanya sekali saja.

—Menjadi lemah bukanlah sesuatu yang memalukan.

"Pak pemilik apartemeeeen, ada Raja yang membuat anak kecil menangiiis~"

"—BERISIK, TSUKISHIMA!"

Tak tahu harus melakukan apa—Kageyama akhirnya meletakkan kedua telapak tangannya di punggung kecil milik Hinata; ya Tuhan, mengapa ia begitu kecil sekali? tubuhnya gemetar dan juga kurus—Kageyama takut jika sedikit saja ia salah memperlakukan Hinata, ia akan hancur bagaikan gelas yang begitu rapuh.

"Terima kasih—hiks, terima kasih, Kageyama.."

"...Sudahlah, jangan dipikirkan.."

"Tidak—sungguh, terima kasih.."

"Euh—sudah kubilang tidak apa-apa, bukan, jadi tolong lepas—"

"Oi, Raja."

Kageyama melirik ke arah Tsukishima yang kini menggelengkan kepala—jangan. Tsukishima seolah berkata bahwa sebentar saja, biarkan Hinata menangis seperti itu di pelukannya.

Kageyama tak bisa menolak—ya, sudahlah..

Lagipula, ia tidak membenci hal ini.

.

.

[[Mungkin jika aku tidak menanggung semuanya sendiri—]]

[[Aku bisa berjalan maju meskipun hanya sedikit.]]

.

.

To be continued