My Attempts to Get You

Chapter 9

Genre! Romance, Friendship, and many more..

Rating! T

Warning! Yaoi, Plot pasaran, Typo(s), bad!Luhan, banyak flashback jadi berhati-hatilah karena tidak saya beri tanda.

KAISOO/HUNHAN/CHANBAEK

.

Happy Reading

.

"Selamat datang… silahkan lewat sini."

Restoran hari ini cukup ramai. Sangat malah. Bahkan istirahat makan siang mundur hingga setengah jam mengingat pengunjung yang membludak di waktu jam makan siang.

Kini puncak keramaian datang lagi. Luhan dengan cekatan membawa piring-piring berisi makanan pembuka dari dapur ke meja-meja berpenghuni. Setelah meletakkannya secantik dan seanggun mungkin, namja itu membungkuk sebentar lalu melesat kembali ke dapur. Menjemput ratusan piring lagi yang harus diantar.

Tepat setelah tubuh kurus itu menghilang di balik pintu dapur, sebuah keluarga kecil masuk lewat pintu utama. Ketiganya mengikuti arahan waitress menuju meja yang sudah mereka pesan.

"Kau lama sekali, anakku." Wanita paruh baya berdiri dari kursinya begitu melihat Sehun datang bersama wanita cantik dan gadis kecil. Ia memeluk tubuh putranya begitu erat.

"Ibu…" Sementara itu sang wanita mendekati ibunya sendiri. Memeluk ibunya seerat yang dilakukan nyonya Oh pada Sehun.

"Ah jadi ini Oh Hani ya?" selepas saling melepas rindu dengan anak mereka, kedua wanita itu mendekati gadis kecil malu-malu yang bersembunyi di balik kaki ayahnya.

"Eomma, eommonim bisakah kita duduk dulu? Sepertinya Hani ketakutan." Ucap Sehun yang mencoba untuk menenangkan keantusiasan ibu dan calon mertuanya.

Kini mereka duduk di kursi panjang. Ada 7 orang disana. 3 laki-laki dewasa, 3 perempuan dewasa dan seorang anak kecil yang memandang girang sekelilingnya. Seakan melupakan rasa malu yang baru saja ditunjukkannya.

"Kita akan bahas tanggal pernikahan dan pakaian yang akan kalian pakai nanti. Juga gereja dan bagaimana konsep pernikahannya."

.

Dapur begitu berantakan. Chef dan sous chef beserta juru masak mereka kewalahan membuatkan pesanan. Bahkan pelayan pun kini turun tangan mencuci sayuran dan membuat kaldu.

Luhan menatap sekelilingnya dengan bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang, di tengah keributan ini. Tidak ada seorang pun yang bisa ditanyai. Mereka terlampau sibuk.

"Hei anak baru! Kau antar ini ke ruang VVIP. Mereka meminta khusus susu itu untuk diantarkan secepatnya."

Tiba-tiba pelayan yang lebih senior mendekatinya dan menyodorkan nampan dengan segelas susu di atasnya.

"Lalu sunbae?"

"Aku mau cuci piring. Cepatlah sebelum bos marah!"

Cepat-cepat Luhan bergerak menuju ruang VVIP. Mendengar nama ruang itu saja membuat Luhan takut untuk berlama-lama. Di dalam sana pasti ada orang yang sangat penting, dan yang pasti berduit. Untuk menyewanya saja bisa disetarakan dengan gajinya selama sebulan di sini.

Begitu membuka pintu, yang didapati indra penglihatannya adalah seorang pria dan wanita paruh baya berpakaian mahal. Di hadapan mereka, ada sepasang pria dan wanita paruh baya lainnya. Sementara itu seorang wanita cantik tengah bercanda dengan gadis kecil yang duduk di ujung meja. Sepertinya mereka ibu dan anak.

Luhan cepat-cepat mendekati anak kecil yang tertawa riang bersama ibunya.

"Susumu adik kecil." Ucap Luhan sembari meletakkan susu di depan gadis kecil itu. Beberapa saat, Namja itu bertemu pandang dengan wanita cantik yang diasumsinya sebagai ibu sang gadis kecil. Samar, terlihat raut tidak suka di wajahnya.

"Tolong, jangan seenaknya memanggil anakku seperti itu. Dia nyonya muda, asal kau tahu saja."

"M-maafkan saya."

Pembicaraan singkat itu menarik perhatian para orang tua. Mereka memandang Hana dan Luhan bergantian.

"Hana, tidak baik kau bicara seperti itu." Ucap nyonya Song, ibu Hana.

"Tidak. Saya yang salah nyonya. Maafkan saya." Luhan membungkuk. "Saya permisi."

Kembali, Luhan berjalan cepat-cepat. Sepertinya bekerja di restoran membuatnya semakin terburu-buru.

"Jadi kapan hari yang tepat untuk Hana dan Sehun menikah?"

Luhan membeku. Ia nyaris membuka pintu saat kalimat itu meluncur dari bibir nyonya Song. Bertepatan pula dengan gagang pintu yang tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok dewasa dengan garis rahang tegas beserta aroma maskulin yang menguar. Aroma, yang dia tahu.

Namja tinggi itu menatap Luhan dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Luhan tidak berkata apa-apa. Napasnya tercekat. Matanya pun tak bergeming.

"Sehun, lama sekali kau ke belakang." Seorang laki-laki menyebut namanya di belakang sana.

"Aku, cuma memastikan mereka bekerja dengan baik selama aku pergi."

Sehun berjalan begitu saja. Melewati Luhan.

.

Ia berlutut. Di tengah malam musim gugur yang sedingin ini, dia berlutut di depan pintu. Dihadapan kedua orang tuanya yang terkejut bukan main. Mereka berdua sudah kehabisan kata begitu melihat seberantakan apa anak mereka sekarang.

"Jong In, bangunlah. Kita bicara di dalam, sayang. Disini dingin." Nyonya Kim berusaha membuat Jong In bangkit. Namun tubuh itu seperti tidak bernyawa. Ia hanya diam.

"Kim Jong In!" Kini suara tegas tuan Kim yang mengambil alih. "Kenapa kau seperti ini? Mana Kyungsoo? Malam sudah sangat larut tapi kau malah meninggalkan anak dan istrimu di Busan?"

"Appa bisakah kau tarik kata-kata appa tempo hari?" tanpa bergerak sedikitpun, Jong In berkata.

Tuan Kim langsung mengerti kemana arah pembicaraan mereka akan berlabuh. Ia menggenggam tangan istrinya.

"Selama sembilan tahun kami menikah, tidak pernah aku mendengar Kyungsoo berteriak. Malam ini dia melakukannya. Kami juga menghadapi hidup yang sulit appa, kumohon jangan tekan istriku. Dia sudah cukup menderita. Dan semua ini bukan salahnya!"

Putus asa. Padahal Jong In adalah orang yang keras dan dingin. Belum lagi dengan jabatannya sebagai presdir, kedua sifat itu benar-benar dipupuk dengan baik.

"Appa juga tahu aku tidak suka wanita. Aku tidak akan menyentuh Soojung bahkan jika dia adalah istriku. Aku tidak tertarik padanya! Aku tidak mencintainya. Aku mencintai istriku yang sekarang, Do Kyungsoo."

"Lalu? Kau akan menggantungkan nasib karyawan kita hanya karena perasaan bodoh itu? Ini menyangkut banyak orang Jong In. Presdir Kim! Berpikirlah secara rasional!"

"Kami punya Khansa, appa. Dia anakku dan Kyungsoo."

Nyonya Kim tidak sanggup lagi melihat keputus asaan anaknya. Ia ikut jatuh terduduk. Memeluk anaknya dengan hangat.

"Kami punya alasan Jong In. bukan karena kami tidak menerima Kyungsoo dan Khansa. Tapi posisi putri kalian terancam. Para pemegang saham tidak akan setuju dengan pengangkatan Khansa kelak. Mereka menginginkan darah dagingmu sendiri. Entah itu alibi untuk menghancurkanmu atau yang lainnya. Tapi itu yang kami takutkan."

"Tidak akan! Khansa sangat pintar dan akan aku pastikan dia ada di puncak itu dengan usahanya sendiri. Tanpa terpengaruh para pemegang saham. Bahkan akan aku buat saham-saham mereka berada di bawah kendali putriku."

Tuan Kim diam. Memikirkan apa yang harus dilakukannya pada keras kepala anaknya itu.

"Apa maumu?"

"Batalkan pernikahanku dengan Soojung."

.

"Mereka sudah tidur?"

Baekhyun menutup pintu kamar Sojun perlahan. Mungkin karena pengaruh udara yang dingin, kedua bocah kecil itu lebih cepat tertidur.

"Iya. Bagaimana sekarang?" tanya Baekhyun pada Chanyeol, suaminya. "Khansa pasti tertekan sekali karena sudah tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Kyungsoo dan Kai itu benar-benar sudah keterlaluan."

"Tapi apa kita berhak untuk mencampuri urusan mereka?" Chanyeol menggenggam tangan Baekhyun dan mengajaknya pergi dari pintu kamar anaknya menuju kamar mereka.

"Aku juga tidak tahu. Tapi selama ini aku selalu mencoba percaya bahwa mereka pasti akan akur kembali seperti dulu. Dan sekarang kesabaranku sudah habis."

"Baek, ingat. Jangan terlalu jauh bertindak. Untuk sekarang, cukup kita perhatikan Khansa saja. Kyungsoo dan Jong In biarlah urus masalah mereka sendiri. Kalau ada apa-apa, coba kau bicarakan juga dengan Luhan. Dia orang yang paling dekat dengan pasangan tak harmonis itu."

"Kau benar." Baekhyun menyamankan dirinya di kasur. "Mungkin ada bagusnya jika aku membuat rencana dengan Luhan."

"Tapi kau sudah benar-benar percaya padanya 'kan?"

Baekhyun mengedip lucu. Di usianya yang hampir 38 tahun, terkadang sifat kekanakannya masih muncul.

"Kyungsoo yang sudah dihancurkan sana-sini saja sudah percaya, masa aku tidak?"

Chanyeol tersenyum. "Itu baru istriku…"

.

Luhan tahu persis apa yang membuatnya duduk terdiam di dalam sebuah mobil dengan Sehun yang duduk di sampingnya sebagai pengemudi. Ia seratus persen sadar saat namja yang kini sibuk menyetir di sampingnya menariknya masuk ke dalam mobil, beberapa ratus meter setelah ia keluar dari restoran untuk pulang. Tapi dia tidak tahu sama sekali alasan mengapa mereka kini berhenti di sebuah taman yang sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melintas di jalan. Itu pun setiap 5 menit sekali.

Sehun membiarkan mesin mobilnya menyala sembari membiarkan Luhan terdiam. Sebenarnya dia yang tidak sadar mengapa ia menarik Luhan masuk ke mobilnya. Padahal seharusnya sekarang ia ada di apartemen barunya bersama Hana dan Hani. Merencanakan pesta pernikahan impian mereka bertiga.

"Lama tidak bertemu, Lu."

"Ya begitulah. Delapan- ah maksudku sembilan tahun. Ternyata lebih lama dari perkiraanmu 'kan?"

Luhan membiarkan tubuhnya duduk kaku. Memandang ke depan tanpa bergerak sedikitpun.

Di luar, titik-titik air mulai pecah membentur kaca depan mobil. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras dari biasanya hingga suara air yang berjatuhan terdengar hingga dalam mobil. Tubuh Luhan merinding mendengar suara derasnya hujan. Tiba-tiba hawa dingin ikut menusuk kulitnya. Bayang-bayang dia harus sampai ke rumah dengan keadaan basa juga menghantui.

"Ada banyak hal yang terjadi. Eropa benar-benar di luar dugaan." Sehun berkata seakan tengah menerawang ke belakang disaat ia masih menetap di benua maju itu. "Ternyata orang Korea di sana juga sangat banyak."

"Benar. Calon istrimu juga orang korea kan? Dia cantik sih… tapi apa tidak rugi pergi ke luar negeri tapi dapatnya tetap yang lokal-lokal saja? Hahaha… disana 'kan banyak yang lebih cantik dan seksi."

Luhan berusaha mencairkan keadaan. Dia tidak mau pertemuan yang sangat dia nantikan ini berakhir menyedihkan hanya karena perasaan aneh yang dia bawa lebih dari 9 tahun ini. Tidak!

"Mau bagaimana lagi. Aku mencintainya." Tepat saat kata terakhir muncul, kedua namja itu menoleh bersamaan. Kedua pasang mata itu bertemu. Luhan rasa, darahnya bergerak cepat di seluruh pembuluhnya.

"He'em. Cinta, alasan yang tidak pernah bisa dilawan." Luhan adalah orang pertama yang memalingkan wajah. "Oh iya, restoran itu ternyata milikmu? Bagaimana bisa?"

Pembicaraan mereka mulai mencair. Mulai dari alasan mengapa Sehun membuka cabang restorannya di Busan walau ia masih berada di Eropa, keluarga Park –Chanyeol, Baekhyun, Seojun-, sampai mengapa Luhan bisa keluar dari penjara 6 tahun lebih cepat. Mereka menikmati percakapan itu seperti wajarnya orang yang sudah lama tak bersua.

"Aku tinggal dengan Jong In dan Kyungsoo sekarang. Ah! Khansa juga. Dia anak angkat Kyungsoo. Lucu sekali. Walau memang sifatnya agak dingin tapi sebenarnya dia sangat manis dan hangat. Sekali lihat saja aku langsung menyukainya. Oh iya, dia juga menyebutku cantik. Hah! Gadis kurang ajar. Kalau aku dengar kata itu sepuluh tahun lalu, mungkin aku masih bisa terima. Tapi umurku ini sudah tidak muda dan aku sudah semakin tampan. Iya 'kan?"

Sehun hanya menganga seperti orang bingung saat Luhan berkata panjang lebar. Ternyata dia sudah sangat lebih baik dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu. Lebih terbuka dan ramah. Sehun menyukainya, bagaimana cara mata Luhan memancarkan kebahagiaan dan kehangatan yang lama sekali dia rindukan.

"Sehun?"

"Aku senang kau bisa akur dengan Kyungsoo seperti dulu lagi."

Luhan tersenyum tipis. Sangat tipis.

"Aku tahu, kau yang membuatnya seperti ini, Sehun. Terimakasih." Luhan memandang lurus kedepan. Bahkan memandang Sehun saja dia tidak. "Sudah malam. Kyungsoo bisa saja mencariku. Aku pulang dulu ya."

"Kuantar-"

"Tidak usah. Kau kan tahu sendiri kalau apartemennya sudah dekat."

Sehun tidak berkata apa-apa lagi.

"Terimakasih untuk malam ini. Selamat untuk pernikahanmu, Sehun-ah. Semoga kau bahagia dengannya dan…"

"…"

"Dan semoga kau tidak melupakan janjimu padaku."

Pintu mobil tertutup. Sehun melihat tubuh Luhan basah seketika saat keluar dari mobil. Tubuh kurus itu berjalan cepat di trotoar, diantara orang-orang berpayung.

Seharusnya Sehun meminjamkan Luhan payung. Tapi namja itu terlalu sibuk berperang dengan pikirannya. Dengan janjinya.

.

Kyungsoo harus pulang lebih malam hari ini. Sebuah operasi dadakan membuatnya terpaksa tertahan di rumah sakit Universitas Busan itu. Setelah mengganti setelan jas dokter dengan baju casual dan jaket ia segera bergegas pulang. Dia tidak ingin membuat Khansanya menunggu makan malam terlalu lama.

Namja itu meraih ponselnya, sebuah pesan masuk dengan keterangan nama Kim Jong In di sana. Kyungsoo menghela napasnya. Laki-laki itu tidak pulang lagi. Dia masih berada di Seoul sejak malam itu, terhitung 3 hari hingga saat ini. Alasannya, sebuah masalah terjadi di kantor pusat hingga dia mau tak mau harus turun tangan. Tapi di balik alasan yang mungkin benar mungkin salah itu, Kyungsoo tahu masih ada alasan lain.

"Mungkin abonim memintanya lebih dekat dengan Soojung."

Kyungsoo hendak melangkah lagi saat suara wanita dengan keras memanggil namanya. Sontak laki-laki itu berbalik dan menemukan seorang wanita tinggi berjalan cepat ke arahnya.

"Kyungsoo-sshi sudah mau pulang?" tanya Park Sooyoung, wanita yang baru saja meneriakkan namanya dengan lantang. Wanita itu tiga tahun lebih muda dari Kyungsoo dan kini menjabat sebagai salah satu dokter kandungan di rumah sakit Universitas Busan.

"Iya. Ada apa Joy?"

"Kyungsoo-sshi mau melewatkan kontrol lagi ya? Sudah lebih dari 3 bulan kau tidak menginjakkan kaki di ruanganku."

Mata Kyungsoo menerawang. Benar, seharusnya sudah lama ia melakukan check up dengan wanita di depannya. Tapi masalah yang tak kunjung selesai juga kesibukannya sebagai dokter membuatnya lupa.

"Maaf. Besok aku akan kesana."

"Itu bagus. Kyungsoo-sshi harus lebih rutin kontrol agar rahimmu baik-baik saja. Ingat, itu hasil operasi. Tidak akan berfungsi dengan baik tanpa tangan-tangan dokter."

Diam. Apa yang harus dijawabnya?

"Aku belum mau memakainya, Joy."

Sooyoung menegakkan tubuhnya mendengar penuturan Kyungsoo.

"Mwo?! Kenapa? Kudengar Grup Junggo sedang menantikan seorang bayi. Memang yang mereka maksud bukan darimu?"

"Mungkin saja." Kyungsoo meneguk salivanya yang terasa berat. Setelah Jong In menikah dengan Soojung, mereka akan punya anak. Dan itu adalah anak yang diharapkan tuan Kim. Anak yang lahir bukan dari perutnya.

Sooyoung terdiam. Yang dia tahu Kim Jong In adalah putra tunggal penerus Grup Junggo dan dia adalah suami dari laki-laki yang ada di hadapannya. Tapi wanita itu berusaha untuk tidak ikut campur. Ia hanyalah dokter yang mengoprasi penanaman rahim Kyungsoo 8 tahun lalu dan terus melakukan kontrol para rekan satu profesinya itu hingga saat ini.

"Yang penting besok Kyungsoo-sshi harus datang ke ruanganku. Aku tidak mau kau kenapa-napa dengan benda asing yang tertanam di tubuhmu tanpa dirawat."

"Gomawo, Joy. Sudah peduli padaku."

"Aku melakukannya karena aku suka menolongmu."

Tiga hari berturut-turut hujan turun lebat. Kyungsoo sampai kewalahan mengejar bis dengan payung di tangannya sembari melangkah was-was karena salah pijak sedikit saja, mungkin dia akan segera tergeletak di trotoar.

"Kkamong!" Panggil Kyungsoo setelah masuk ke apartemennya. Namja itu langsung menemukan Khansa yang mengobrol dengan Luhan di ruang makan dengan piring bekas pakai yang tergeletak di atas meja. Ia menghela napas. Keberadaan Luhan benar-benar membuatnya tenang untuk urusan Khansa.

"Kau sudah pulang rupanya. Akan kuhangatkan spagettinya." Luhan bergegas beranjak dari kursi lalu mengambil sepiring penuh spaghetti untuk di letakkan ke dalam microwave. "Kau mandi saja dulu Kyungsoo. Kau basah."

Kyungsoo mengiyakan saran Luhan. Tubuhnya memang terasa tidak nyaman sekarang dengan baju basah yang menempel di kulitnya.

Sepeninggal Kyungsoo, Khansa menatap dalam samcheonnya.

"Samcheon sungguh-sungguh 'kan?"

Melihat banyaknya harapan yang terpancar dari mata bulat Khansa membuat Luhan tak kuasa untuk mengangguk mantap. Jika dilihat lagi, Khansa benar-benar mirip kedua orang tuanya –terlepas dari fakta bahwa sebenarnya dia anak angkat-. Mata bulat, bibir penuh, hidung yang tak terlalu mancung, dan kulitnya yang agak kecoklatan.

"Tapi Khansa harus janji kalau ini rahasia diantara kita ya?"

Gadis kecil itu mengangguk cepat. Senyuman dan tawa muncul setelahnya membuat Luhan ikut merasakan hangat menjalar di dadanya. Jika saja dulu dia tidak berpisah dengan Jong In, mungkin gadis ini tidak akan ada di hadapannya. Jika dulu dia tidak berpisah dengan Jong In, mungkin sampai sekarang dia akan punya hubungan yang buruk dengan Kyungsoo. Jika dulu dia tidak berpisah dengan Jong In, mungkin… dia tidak akan serepot ini mencampurkan dirinya di dalam keluarga yang dengan senang hati menerimanya sebagai salah satu anggota keluarganya. Dia tidak mungkin memikirkan orang lain sebesar ia memikirkan nyawanya seperti ini.

.

"Sehun sudah kembali ke Korea."

Kyungsoo menghentikan aktivitasnya menyedot spaghettinya. Lantas menatap Luhan tak percaya. Saat ini Khansa sudah berangkat tidur. Masih ada sekolah yang menunggunya esok pagi.

"Jeongmal? Kenapa dia pulang? Ah- maksudku, kupikir dia tidak akan kembali karena ini sudah sangat terlambat. Dia bilang 8 tahun. Tapi ini…"

"Rencananya dia akan menikah di sini. Bulan depan." Dengan tenang Luhan mengatakannya. Namja itu lebih memilih duduk santai di depan Kyungsoo sambil menemaninya makan. Tanpa menunjukkan ekspresi berlebihan dia menatap Kyungsoo.

"APA!?" Kyungsoo berteriak saking kagetnya. Padahal ia hanya jahil menanyakan alasan, tapi ternyata memang ada maksud dari kepulang Sehun. Dan alasan itu membuatnya kaget setengah mati.

"Kyungsoo, kau bisa membangunkan Khansa!"

"Kau dilamar oleh Sehun?" Tanpa mengidahkan peringatan Luhan, Kyungsoo malah menanyakan pertanyaan yang kali ini membuat Luhan terkejut. Pertanyaan yang tidak pernah Luhan bayangkan sebelumnya.

"Kau ini bicara apa sih? Mana mungkin dia menikah denganku. Kami tidak punya hubungan apapun!"

Kyungsoo tak berkata apa-apa lagi saat Luhan tiba-tiba berhenti menatapnya. Apa namja cantik itu belum tahu bahwa Sehun menyukainya? Bahkan sebelum pergi, namja berkulit pucat itu menyebut Luhan dengan 'Luhanku'. Tidak lupa memohon-mohon agar membuat 'Luhannya' itu tidak merasa kesepian di penjara.

"Lalu dengan siapa?"

"Orang Korea yang dia temui di Eropa. Namanya Hana dan mereka sudah punya seorang putri. Namanya Hani." Luhan menerawang, mencoba mengingat wajah kedua perempuan itu. "Mereka sangat cantik."

"Hana itu perempuan?" pertanyaan bodoh sukses meluncur dari bibir Kyungsoo.

Luhan mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan itu. Ia melihat kesensitifan di mata Kyungsoo saat bertanya. "Iya."

"Oh…" Kyungsoo kembali menyuapkan spaghettinya. Mengunyah benda panjang itu perlahan. "Perempuan itu benar-benar beruntung. Iya 'kan, Luhan?"

"Mungkin"

"Kau baik-baik saja mendengar kabar itu?"

"Tentu. Aku senang dia akan punya keluarga kecil yang bahagia."

Kyungsoo menatap Luhan dalam. Pengalaman kerasnya kehidupan bertahun-tahun silam membuat dia punya rasa sensitif yang lebih dari orang lain. Luhan dengan jelas terlihat kecewa dan marah tapi ketegaran menutupi semuanya. Kyungsoo iri dengan kemampuan Luhan yang satu itu.

.

Pintu kamar terbuka tepat setelah Kyungsoo menenggak obat yang diresepkan Sooyoung padanya siang tadi. Tanpa menolehpun Kyungsoo tahu bahwa orang yang membuka pintu adalah Khansa. Hanya gadis itu yang berani masuk ke dalam kamarnya.

"Kkamong, kau belum tidur?" Tanya Kyungsoo tanpa menoleh. Ia mendekati lemarinya, berniat mengganti baju dengan sesuatu yang lebih nyaman untuk dipakai tidur.

"Kau mau ganti pakaian di depanku?"

"Astaga!" Kyungsoo berbalik dan tidak menemukan Khansa di sana. Sebaliknya, dia malah menemukan suaminya tengah menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "K-kau sudah pulang? Kupikir urusan di Seoul akan lebih lama."

"Ya tapi aku disuruh pulang oleh abojie."

"Oh."

Hanya itu. Jong In lalu menutup pintu kamar Kyungsoo tanpa berpamitan atau apapun.

Di dalam kamar, Kyungsoo tiba-tiba merasa hampa. 5 hari tak bertemu dan sekarang mereka bertatap wajah saja tak bisa. Ternyata waktu saja tidak mampu menghapuskan kekeruhan hubungan mereka.

Bel berbunyi. Kyungsoo mendengar Jong In bicara dengan seseorang lewat intercom dengan suara yang meninggi. Cepat-cepat ia keluar dari kamarnya dan mendapati Jong In sudah membukakan pintu untuk tamu mereka.

"Kyungsoo, lama tidak bertemu."

Seseorang yang baru saja ia bicarakan dengan Luhan kemarin malam kini sudah berdiri di depan pintu apartemennya dengan senyum cerah. Tampak seakan tidak menanggung beban berat apapun. Singkatnya, Sehun bahagia.

Hati Kyungsoo melencos menerima kenyataan bahwa di hadapannya kini sudah berdiri dua laki-laki yang menyakiti laki-laki untuk seorang perempuan.

Sadar dengan apa yang ada di pikirannya, tanpa sadar Kyungsoo menggeleng kuat. Membuat Jong In dan Sehun heran melihatnya.

"Kau duduklah dulu, Sehun-ah. Akan kubuatkan minuman." Kyungsoo melenggang ke arah dapur tanpa menjawab sapaan pertemuan Sehun sebelumnya.

"Kapan kau kembali?" tanya Jong In sambil menggiring Sehun duduk di meja makan. Dari pada di ruang tamu yang terkesan formal, Jong In lebih suka menyambut teman lamanya itu ke ruang makan yang sarat kehangatan.

"Beberapa hari yang lalu. Sudah sedikit lama sebenarnya."

Kyungsoo masih berkutat dengan cangkir teh yang rencananya akan diisi teh lemon. Telinganya tetap awas mendengarkan percakapan Sehun dan Jong In.

"Minumlah…" Kyungsoo meletakkan secangkir teh di depan Sehun, Jong In serta tempat duduk yang akan dia tempati, di depan Sehun.

"Sebenarnya aku ingin langsung kemari setelah sampai di Korea. Tapi aku agak sibuk beberapa hari ini." Sehun tersenyum penuh arti. Jong In terlihat bingung melihatnya.

"Kenapa? Kau buka restoran baru?" tanya Jong In

Mata bulat itu masih memandang normal. Ia menyembunyikan kekesalannya yang membuncah.

"Aku akan menikah." Ucap Sehun.

"Mwo!? Sela-"

"Dengan Luhan?"

Pertanyaan itu meluncur memotong ucapan Jong In. Sang pembicara menatap Sehun tajam, jauh dari raut wajah ingin tahu. Lebih seperti mengintimidasi.

Tiba-tiba detak jam dinding terdengar lebih keras seiring detak jantung yang terpacu. Kyungsoo masih mempertahankan wajah mengintimidasinya sementara Sehun berusaha menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berubah cepat. Jong In dengan cepat mengerti suasana perang di sekitarnya. Namun, dia tidak tahu penyebab dari aura mengerikan yang tiba-tiba keluar dari tubuh Kyungsoo seakan ingin menelan semua benda di sekelilingnya. Ia membiarkan saja semua sembari mencari tahu apa yang telah dan tengah terjadi.

"Tentu saja bukan dengan Luhan. Kyungsoo, kau ini ada-ada saja."

"'Ada-ada saja' kau bilang? Wae? Bukankah kau mencintainya? Kau bahkan menitipkan dia pada kami dulu. Lalu, apa alasanmu tidak menikah dengannya? Sebenarnya yang ada-ada saja itu aku atau kau, Sehun?"

"Semua sudah berubah Kyungsoo-ya."

Di bawah meja, Kyungsoo mengepalkan tangannya.

"Berubah? Secepat itukah rasa cinta bisa diubah? Wah! Aku sangat iri padamu, Hun. Aku ingin sekali punya kemampuan menghapus rasa cinta sejak 16 tahun yang lalu. Tapi yang aku dapat malah sebaliknya."

Kyungsoo melirik Jong In tajam. Menyalurkan sindirannya yang selama ini dia tahan.

"Aku bertemu seorang wanita di Belanda. Aku mencintainya."

"Kau yakin mencintainya? Lalu bagaimana Luhan? Aku yakin kau menjanjikan sesuatu padanya sebelum pergi lewat surat itu. Apa? Apa yang sudah kau janjikan untuk namja yang menunggumu dengan sabar selama sembilan tahun itu? Sebelum kau menikah dengan wanita itu, sudahkah kau tepati janjimu pada sahabatku, Oh Sehun!?"

Sehun diam. Sejujurnya dia melupakan sebuah janji itu. Dia tidak mengingatnya lagi.

"Kyungsoo!" Jong In berkata tegas seakan mengingatkan istrinya.

Kyungsoo mengalihkan pandangannya pada Jong In. Dengan mata yang penuh akan kebencian, ia menatap namja yang selama bertahun-tahun tertulis secara hukum sebagai suaminya.

"Tidakkah kalian tahu betapa sulitnya menjadi orang-orang seperti kami? Kami laki-laki yang terjebak hubungan dengan sesama laki-laki. Kami direndahkan oleh orang-orang seperti kalian, kaum dominan. Kami menerima banyak tekanan, dibuang, dicaci, bahkan harga diri kami sebagai laki-laki hampir hilang. Haruskah kami menangis layaknya perempuan? Mengemis belas kasih dan cinta dari kalian? Tidak, kami laki-laki. Dan dengan keadaan yang sudah sangat hancur, kalian lebih memilih seorang perempuan dibandingkan kami? Perempuan, benar-benar makhluk yang sangat beruntung. Disaat kami harus melakukan penanaman rahim, mereka dengan alami memilikinya. Disaat kami berjuang mempertahankan laki-laki yang kami cintai, dengan mudah mereka merebutnya."

Kyungsoo menegak teh lemonnya dengan cepat. Mengabaikan rasa panas yang menjalar di kerongkongannya.

"Hana…, semoga kau bahagia dengan wanita itu, Sehun-ah. Biar Luhan aku yang jaga, seperti permintaanmu saat kau masih mencintainya." Kyungsoo melirik Jong In yang sejak tadi terdiam. "Kalau kau sudah putuskan waktu untuk menikah dengan Soojung, beritahu aku. Surat perceraian sudah kusiapkan. Tapi aku ingin Khansa memiliki ayah lebih lama jadi kita akan bercerai tepat sebelum kau menikah dengan wanita itu."

Selepas menyelesaikan kalimatnya, Kyungsoo segera berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan dua namja yang terjebak keheningan panjang.

Brak!

Air mata Kyungsoo langsung turun satu persatu begitu pintu kamarnya ditutup. Ia menyandarkan tubuhnya di kayu kokoh itu saat merasa kakinya tak sanggup lagi berdiri tegak. Ia berakhir di lantai. Dengan tangisan yang tak dapat diredam.

"Eomma…"

Dibalik pintu lain, Khansa terisak kecil. Gadis itu mendengar semua percakapan ketiga namja dewasa itu. Dan satu-satunya hal yang bisa dia simpulkan adalah, ternyata keinginannya untuk memiliki keluarga yang bahagia tidak akan pernah tercapai.

Luhan memandang langit mendung dengan sebuah surat yang dia pegang di tangan kanan. Malam ini lagi-lagi dia membacanya. Membacanya dengan suara orang yang menulis surat itu sebagai musik pengiring. Namja cantik itu melengkungkan senyum terluka. Satu, hanya setetes air mata yang keluar dari mata kanannya. Selebihnya, Luhan menahan segala isakan yang siap keluar. Kyungsoo benar. Mereka masih laki-laki yang tidak pantas bersikap seperti perempuan walau diperlakukan demikian.

"Gomawo Kyungsoo-ya"

.

Keesokan paginya, Luhan menemukan sepucuk undangan berwarna putih gading dengan pita di sisi kanan. Tertulis nama Sehun dan calon istrinya di cover surat undangan itu, lengkap dengan foto pra-wedding yang menakjubkan dengan setting bangunan kuno belanda. Sentuhan warna gold yang mencetak jelas kedua nama mempelai membuat undangan itu terlihat semakin mewah. Luhan mengasumsikan bahwa calon istri Sehun berperan besar dalam pembuatan benda itu. Karena Sehun jauh dari kata mewah, dia begitu sederhana.

Ternyata pasangan ini bergerak cepat. Tak disangka, secepat ini ia mendapatkan kartu undangan padahal belum genap seminggu ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kedua keluarga itu baru bertemu. Ia meletakkan undangan itu di atas meja. Luhan tidak punya banyak waktu untuk bersantai jika tidak mau dipecat dari restoran tempatnya bekerja, restoran Sehun.

.

Kyungsoo menatap undangan yang baru saja diberikan Jong In padanya.

"Semalam Sehun menitipkan itu. Aku juga sudah memberikan satu untuk Luhan." Ucap Jong In sambil merapikan dasinya. Ia bersiap memimpin perusahaannya yang di Busan lagi.

"Biar kubantu." Kyungsoo mendekati Jong In, mengabaikan perkataan sebelumnya. Kyungsoo hendak meraih dasi Jong In saat sang empu menghindar. Mata bulat itu menajam. Dia tidak suka ditolak. "Kenapa kau selalu menolakku?"

"Aku bisa sendiri."

"Tidak! Kau tidak bisa. Biarkan aku yang melakukannya." Kyungsoo tidak menyerah. Ia mendekati Jong In yang terus berjalan mundur. Hingga tubuh Jong In terbentur tembok, yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu respon Kyungsoo selanjutnya.

"Aku bisa!"

"Paling tidak biarkan aku terlihat seperti istri yang baik di mata rekan kerjamu!" Kyungsoo meninggikan suaranya, membuat Jong In terdiam. "Untuk pertama dan terakhir kalinya."

Kyungsoo segera menyimpul dasi Jong In dengan teliti. Berusaha untuk tidak membuat sedikitpun kesalahan hingga membuat benda panjang itu terlihat berantakan.

Khansa masih terdiam di depan pintu kamarnya. Pemandangan di depannya membuat semangatnya tiba-tiba muncul. Namun sesemangat apapun dia, dia tidak ingin merusak interaksi pagi kedua orang tuanya. Jadi gadis itu memilih untuk langsung duduk di meja makan dan memakan sarapannya.

.

Waktu sudah sore saat Luhan sampai di sekolah Khansa. Ia sengaja meminta tolong salah satu teman untuk menggantikan shift malamnya di restoran agar bisa bertemu dengan Khansa sekarang. Namja itu melongok lewat gerbang demi menemukan gadis yang sekaras sudah dia anggap sebagai keponakan.

"Samcheon!" teriakan riang itu mengembangkan senyum Luhan.

Khansa berlari ke arah Luhan sambil menggandeng seorang anak laki-laki yang sepertinya lebih muda tanpa berperi kemanusiaan. Wajah gadis itu kelewat ceria dibanding biasanya.

"Aigoo… Kau tidak perlu lari-lari begitu, Khansa-ya."

"Aniya… aku senang sekali samcheon benar-benar datang menjemputku." Ucap Khansa sambil berjingkat-jingkat. "Samcheon, ini Seojun."

"Annyeongseo, Park Seojun imnida" Laki-laki yang dibawa lari Khansa membungkuk di hadapan Luhan. Mendengar nama itu, Luhan segera mensejajarkan tingginya.

"Jadi ini Seojun ya? Wah… mirip sekali dengan Baekhyun dan Chanyeol. Kau berteman baik dengan Khansa kan?"

"Ne… Karena Khansa noona sangaaaat baik!"

Luhan mengusak rambut Seojun karena gemas.

"Seojun-ah, noona tidak bisa main bersama sore ini. Mianhae."

"Mwo? Ah… Noona jahat."

Terjadi perdebatan yang cukup sengit diantara dua bocah kecil itu. Tidak ada yang Luhan lakukan untuk menengahi. Dia terlalu menikmati kelucuan mereka.

"Samcheon, ayo pergi."

Saat sudah sadar, Khansa sudah menarik-narik tangannya. Seojun yang tadinya terlihat sebal kini bisa mengerti. Dia membungkukkan badannya lagi untuk berpamitan.

"Dadah Seojun!" Teriak Khansa. Sungguh, tidak mencerminkan kepribadiannya sedikitpun di depan Seojun.

"Kita pergi Khansa?" tanya Luhan.

"Iya."

.

Tidak seperti biasanya. Langit musim gugur hari ini terlihat cerah. Beberapa awan putih menggantung di langit layaknya musim semi. Udara yang masih dingin adalah satu dari dua hal yang mengindikasikan saat ini masih musim gugur. Selain daun maple yang menguning di kanan kiri jalan.

Jong In melonggarkan dasinya sembari fokus mengendarai mobilnya menuju rumah sakit Universitas Busan. Disana ayah Soojung dirawat akibat colaps setelah terlalu banyak bermain bulu tangkis. Orang tua memang sangat serta.

Disela kesibukannya sebagai pimpinan perusahaan Junggo cabang Busan, ia masih harus menyisakan waktu untuk keluarga wanita yang dipilihkan ayahnya itu. Entah untuk sekedar makan siang, mengajaknya jalan atau mengunjungi orang tuanya. Mengingat kesibukan itu membuat pelipis Jong In berkedut nyeri.

Segera setelah memarkirkan mobilnya, Jong In keluar dengan langkah kaki yang berwibawa. Beberapa perawat dan dokter yang berpapasan dengannya menatap penuh kagum. Namun mereka harus membuang jauh-jauh pikiran untuk menaklukan hati sang pria tampan. Dokter Do Kyungsoo sang spesialis jantung tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mungkin.

"Kau datang?" sapa orang tua yang berbaring di ranjang rumah sakitnya. Dilihat dari luar, pria tua itu tidak terlihat sakit.

"Selamat siang." Sapa Jong In. ia menatap kesekeliling dan menemukan Nyonya Jung serta kedua putri mereka, Jung Jessica dan Jung Soojung. "Ini sebagai buah tangan dariku." Jong In menyerahkan sebuket besar bunga pada Nyonya Jung.

"Terima kasih sudah datang."

"Aku hanya ingin berkunjung kok."

Sebagai 'calon istri' yang baik, Soojung bergerak ke sebelah Jong In.

"Jong In-sshi, jadi kapan kau akan melamar anakku?"

Belum 5 menit dia disana, namun pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Tuan Jung. Jong In menoleh ke samping, menatap Soojung yang hanya tersenyum kecut.

.

Selesai mengoprasi pasien jantung koronernya, Kyungsoo segera meninggalkan ruang bedah diikuti beberapa koas yang mengekor di belakang. Beberapa kali ia bertanya pada para calon dokter itu sampai mereka sampai di ruang perawat. Mereka terlihat sangat antusias membicarakan seseorang yang baru saja masuk ke dalam salah satu ruang VVIP.

"Benar, dia berwibawa sekali!"

"Ah… andai saja dia belum menikah. Aku pasti akan mengejarnya."

"Heh! Jaga bicaramu. Presedir Kim Jong In itu sudah menikah. Dan istrinya adalah dokter Do Kyungsoo. Jangan asal bicara ya."

Seseorang yang sepertinya kepala perawat menengahi perbincangan anak didiknya.

"Iya sih, tapi Kepala Seok, apa kau tahu kalau yang dikunjungi Presedir Kim itu Tuan Jung? Yang pernah menjabat jadi menteri itu."

"Dan anaknya kan ada yang belum menikah, jangan-jangan… Dan lagi! Yang aku tahu pernikahannya dengan dokter Do tidak menghasilkan keturunan kan?"

"Kepala perawat Seok, bisa kita bicara sebentar?"

Sekejap, ruangan itu senyap dari suara. Seseorang yang tengah menjadi objek pembicaraan mereka sudah ada di depan pintu dengan wajah datarnya.

"Ya dokter Do."

.

Seusai pembicaraan memusingkan, menurut Jong In, dengan keluarga Jung, ia langsung beranjak dari tempat itu. Tidak mau berlama-lama berada di sana dengan udara yang begitu mencekik.

Jong In menatap sekeliling. Dia sadar, rumah sakit itu sangat besar. Harapannya untuk bertemu Kyungsoo tentu saja sangatlah kecil kemungkinan untuk tercapai. Jadi dia terus melangkah ke lift untuk menuju baseman.

"Lho, Kim Jong In-sshi?" Saat melangkah memasuki lift, seorang wanita bertubuh bak model menyapanya.

"Ya. Maaf, anda siapa ya?"

Jong In tidak mengenal siapa wanita itu. Dia tidak mengenal siapapun orang di rumah sakit itu.

"Aku Park Sooyoung, dokter kandungan di rumah sakit ini." Jong In mengangguk, ya hanya sebatas mengerti. "Mau mampir ke ruanganku? Ah! Aku dan Dokter Do cukup dekat. Kami berteman cukup lama."

"Benarkah? Dia tidak pernah cerita."

"Oh, aku sedih mendengarnya."

Jong In jadi merasa tidak enak hati. Seharusnya dia tidak perlu sejujur itu.

"Baiklah, aku akan mampir ke sana."

Ruangan dokter Park sangat rapi dan bersih. Tipikal wanita. Jong In disuguhi catatan kesehatan yang menumpuk di meja namun mereka tetap terlihat rapi.

"Minummu Jong In-sshi."

Jong In memandang takjub kopi di depannya. Wanita itu bergerak cepat. "Khamsahamnida."

"Tumben anda ke rumah sakit. Apa ada urusan dengan dokter Do?" tanya Soojung. Matanya yang berbinar membuat Jong In beberapa kali harus mengalihkan matanya.

"Tidak. Ada rekan yang sakit jadi aku mengunjunginya."

"Begitu ya?" Dokter cantik itu membulatkan bibirnya sembari mengangguk. "Ngomong-ngomong bagaimana keadaan Dokter Do di rumah? Dia meminum obatnya dengan teratur kan?"

"Obat? Apa maksud anda? Dia sehat-sehat saja dan tidak pernah minum obat."

Sooyoung terdiam. Ia mengernyitkan dahinya mendengar kejelasan Jong In. Selama ini Sooyoung selalu memberikan obat pada Kyungsoo setiap bulan. Apa dia tidak meminumnya? Tapi tidak mungkin karena selama pemeriksaan, rahim Kyungsoo selalu dalam kondisi yang baik.

"Iya dia memang sehat. Tapi dokter Do harus meminum obat secara teratur untuk memastikan kondisi rahimnya tetap baik."

"A-Apa? Rahim apa? Dokter Park ini bicara apa sebenarnya?"

"Jadi selama ini Jong In-sshi tidak tahu kalau dokter Do melakukan penanaman rahim? Ini sudah 9 tahun sejak dia melakukan operasi besar itu. Bahkan lebih dulu dari tuan Byun Baekhyun."

Jong In terdiam. Tentu saja tidak tahu harus bicara apa mendengar fakta yang baru saja keluar dari bibir Sooyoung. 8 tahun lalu Kyungsoo memang pernah dirawat, tapi sepengetahuan Jong In, ia dirawat karena usus buntu. Ternyata ini adalah alasan kenapa ia harus dirawat lebih lama dibandingkan pasien usus buntu lainnya saat itu.

"Anda benar-benar tidak tahu?" Sooyoung tiba-tiba merasa tidak enak. Tentu saja karena merasa terlalu dalam mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Jadi dia berdehem pelan, "Lebih baik anda bicara dulu dengan dokter Do. Biar dia yang jelaskan semuanya. Aku disini hanya bicara sebagai dokter yang menanganinya, usia dokter Do tidak muda lagi. Terlalu beresiko jika dia harus mengandung di usianya yang semakin tua. Saranku, jika kalian memutuskan untuk punya anak lagi, lakukan secepatnya."

.

"Aigoo… Khansa-ya. Kenapa kamu makan sedikit sekali?" Nyonya Kim segera mengambilkan sedikit lebih banyak nasi dan mendekatkan kimchi kearah gadis berusia hampir 10 tahun itu.

"Segini saja sudah cukup, halmonie." Khansa berusaha menahan tangan Nyonya Kim yang hendak mengambilkan samgyetang ke mangkuk setengah kosongnya.

"Tidak. Kau ini semakin kurus saja setiap kemari. Kali ini kau harus lebih gemuk saat pulang."

"Halmonie-mu benar, Khansa. Apa appamu tidak pernah membelikan daging untumu dan ibumu?" tanya Tuan Kim yang mengiyakan pendapat istrinya.

"Tidak kok! Appa membelikan kami daging seminggu sekali. Kami semua makan dengan banyak, harabojie, halmonie" tidak ingin mendapat protesan lagi, Khansa segera melahap samgyetangnya dengan lahap.

Luhan yang duduk di depan gadis kecil itu mengembangkan senyum. Senang melihat bagaimana Khansa bahagia mendapat perhatian dari kakek dan neneknya. Ternyata mereka masih memperlakukan gadis kecil itu dengan sangat baik meski mereka menginginkan cucu kandung dari Jong In.

Sibuk dengan Khansa, saat Luhan mengalihkan pandangannya, dia langsung dihadapkan dengan tatapan tidak suka Nyonya Kim. Sebenarnya bukan tidak suka, hanya waspada. Tatapan itu membuat Luhan menunduk. Sadar bahwa datang lagi ke rumah itu sama saja dengan bunuh diri. Tapi, dia melakukan semua ini bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk keluarga kecil Kim yang dengan baik menerimanya.

Tuan Kim menggenggam tangan Nyonya Kim saat merasa keheningan di ruang makan itu terlalu dingin. Sebagai kepala keluarga dia tidak ingin merusak makan malam ini dengan kebencian masa lalu.

.

.

TBC

.

"Cinta bukan satu-satunya cara melewati kehidupan."

"Ada banyak hal yang terjadi. Tapi, tidak banyak yang bukan tentang darimu."

"Punya hubungan atau tidak, bukankah tidak mengubah kenyataan bahwa dia pernah menjalin waktu yang sama bersamamu?"

"Perjuanganku berakhir disini. Terimakasih."