Just a Drabble

M

Mistletoe

Sebuah kartu undangan berwarna merah dengan pita hijau dihempaskan malas ke atas meja makan. Sang pelaku penghepasan tak ambil pusing dengan keadaan sang kartu undangan. Mau jatuh dari meja lalu terinjak oleh kaki-kaki mungil anjing kesayangannya pun ia tidak peduli.

Hatinya kini tengah dilanda kegelisahan, walaupun hal itu tak nampak dari eksresi sedatar tembok China miliknya. Ya, kini seorang Kuroko Tetsuya yang terkenal akan ekspresin yang datar tengah dilanda kegelisahan, kegundahan—apapun itu sebutannya.

Salahkan semua ini pada pacarnya—ah, maksudnya mantan pacar yang bersurai scarlet dan berparas tampan itu. Ah, sial, dirinya mulai membangga-banggakan mantan pacarnya yang absolute itu lagi.

Pemuda bersurai teal itu duduk di atas sofa nyamannya, mengarahkan sebuah ponsel pintar ke arah telinga kirinya. Tak berapa lama dari seberang terdengar sebuah suara cempreng yang sudah lama tak didengar.

"Moshi-moshi. Aku tidak akan datang ke pesta natal yang kau adakan, Kise-kun."

To the point. Tipikalnya sekali.

"EH?! KENAPA-SSU?!"

Kuroko tak langsung menjawab, atap apartemennya lebih menarik daripada pembicaraannya dengan orang di seberang, ia rasa.

"...Aku hanya tidak ingin bertemu dengannya, setidaknya sampai hatiku benar-benar kuat untuk melepasnya, Kise-kun."

Tak menunggu balasan dari pemuda bernama lengkap Kise Ryouta, Kuroko lebih memilih memutus pembicaraan. Helaan nafas berat keluar dari bibir ranumnya yang mengering.

Kau tau Tetsuya, bila kau menghela nafas seperti itu, keberuntungan akan menjauhimu.

'Ya, kau benar Akashi-kun. Sekarang keberuntungan telah menjauh dariku membawa seseorang yang sangat kusayangi.'

...

Langkah kakinya yang berbalut sepatu boots melangkah tak tentu arah. Iris birunya yang biasanya secerah langit musim panas mengedarkan pandangan ke segala arah, berharap menemukan surai merah yang selama ini selalu menemaninya.

Dirinya berhenti di bawah lampu taman yang berpendar redup ketimbang lampu yang lainnya. Malam ini seluruh kota disinari oleh lampu-lampu, tak heran karena hari ini adalah hari Natal. Hari yang selalu dilewatinya dengan perasaan bahagia di tahun-tahun sebelumnya.

"Sepertinya tahun ini aku harus melewatinya sendiri," sebuah senyum kecut dipahat di paras manisnya

"Tidak bila aku bisa menarikmu ke pesta natal si berisik itu, Tetsu." Sebuah suara bass membuatnya menoleh ke belakang, bertanya-tanya sejak kapan sang sahabat berdiri disana dengan pakaian hangatnya "Aku sudah sejak tadi disini, bila kau ingin tahu. Kau terlalu hanyut dalam duniamu sendiri, Tetsu."

Kuroko tak membalas apapun, hanya diam menyandarkan tubuh pada lampu taman yang masih memiliki cahaya redup. Mungkin sebentar lagi lampu itu akan padam, begitulah pikir Kuroko.

Pemuda berkulit dim memandang sahabatnya yang tengah dilanda galau tersebut. Benar-benar bukan Kuroko Tetsuya yang biasanya. Ah, tahu begini dulu ia tak akan membiarkan sahabatnya itu berpacaran dengan mantan kapten mereka. Aomine Daiki benar-benar menyesal, seharusnya dulu ia menyatakan perasaannya lebih awal saja.

"Ayolah, Tetsu. Masalahmu tak 'kan selesai bila kau hanya memendamnya sendiri. Lagi pula masih banyak orang di luar sana yang menyayangimu." Tangan kekarnya menarik pelan lengan Kuroko dan berjalan pergi dari taman, melanjutkan ucapannya dalam hati dan tak berminat berbagi dengan sang pujaan hati 'Aku salah satunya.'

Pemuda yang lebih pendek tetap tak berkata apapun, lebih memilih menundukkan kepala bersurai biru mudanya ke jalanan yang mulai tertutup salju putih.

...

Seharusnya ia tak usah menelepon Kise tadi pagi untuk menolak undangan lelaki berisik itu. Seharusnya hari ini dirinya mengurung diri saja di dalam apartemen seperti hari-hari sebelumnya. Seharusnya tadi ia menolak dengan keras ajakan Aomine. Dan masih banyak kalimat yang diawali kata 'Seharusnya..' di dalam otaknya.

Dan kata 'Seharusnya..' kini berganti dengan 'Seandainya..'

Seandaninya ia tak menelepon si kuning berisik itu, seandainya ia hanya diam di dalam apartemen nyamannya seharian, seandainya ia menolak ajakan sahabat berkulit hitamnya itu kemari...apakah ia tak harus mengalami sesak di dadanya ini? Apakah ia tak perlu bertemu dengan sang mantan yang masih belum bisa dihengkangkan dari dalam kepalanya—dalam hatinya? Terkutuklah Kise Ryouta dan Aomine Daiki yang memaksanya kemari.

Mulutnya terbuka kecil, menyambut secuil cake dengan rasa vanilla kesukaannya. Irisnya berusaha mengalihkan perhatian dari sosok tampan berjas abu-abu yang tengah mengobrol dengan seorang pemuda bersurai hijau.

Mengalihkan pandangan dari sosok itu tidak semudah menamatkan novel favoritnya dalam waktu semalam suntuk, sungguh.

'Sebaiknya aku mendinginkan kepalaku.' Pikirnya

Hembusan angin malam di bulan Desember menyapanya yang hanya mengenakan kemeja hitam tipis. Disandarkan punggungnya pada dinding di samping pintu balkon. Tangan berkulit putihnya masih setia menggenggam piring kecil yang terdapat sepotong cake rasa vanilla di atasnya.

"Apa sebaiknya aku pulang saja ya," iris biru menutup perlahan, bersembunyi dari kejamnya dunia yang dijadikan mainan oleh takdir "Lagipula Nigou sendirian di rumah."

Helaan nafas kembali dilepaskan untuk kesekian kalinya hari ini.

"Kalau aku tidak salah ingat, aku pernah berkata bahwa helaan nafasmu yang seperti itu dapat menjauhkanmu dari keberuntungan, Tetsuya."

Tak perlu menoleh, pun membuka kelopak matanya. Ia sudah sangat hafal dengan suara ini, suara yang pernah bersenandung merdu di hari-harinya dulu. Ah, betapa ia rindu dengan suara itu saat mengucapkan 'selamat malam' dan 'selamat pagi' padanya.

"Dan kurasa itu sudah tidak menjadi urusanmu lagi, Akashi-kun." Pegangannya pada piring kecil itu menguat, menyalurkan perasaan menggebu-gebu, menjadi tameng agar tak berlari dan melompat pada pelukan hangat sang mantan

Tak ada yang bersuara di antara keduanya, hanya suara hiruk pikuk pesta di dalam sana—dan keduanya sama sekali tak peduli. Kuroko Tetsuya tetap bersandar di dinding, memandang datar pada sesosok Akashi Seijuuro yang mulai berjalan mendekat.

Dirinya sangat ingin pergi detik itu juga, namun tubuhnya berkhianat. Nyatanya sekeras apapun ia ingin menjauh dari sang mantan tercinta, tubuh pemuda dengan zodiak Aquarius itu tak sanggup memungkiri bahwa dirinya masih menyimpan rasa yang sangat dalam pada sang mantan bersurai merah itu.

"Tak perlu tegang seperti itu, Tetsuya." Pemuda bersurai merah menyandarkan tubuhnya di dinding, menempelkan bahu kanannya pada bahu kiri Kuroko "Aku tidak akan menerkammu—setidaknya belum."

"Maaf?" mungkin karena gagal move on dari orang di sebelahnya ini dan belakangan ini sering melamunkan sang mantan, otak Kuroko Tetsuya mengalami penurunan kinerja

Bukannya menjawab, Akashi Seijuuro diam menatap langit berbintang di atasnya. "Pertunanganku dibatalkan."

"Huh?"

"Pertunanganku dibatalkan, Tetsuya. Aku yakin telingamu belum tuli, kecuali kau mengalami gangguan karena hubungan kita harus berakhir gara-gara perintah egois ayahku."

Kuroko hanya diam, mencerna perkataan Akashi barusan.

"Kemarin aku berdiskusi dengan ayah, memaksanya membatalkan pertunangan yang membuat kita saling menjauhi satu sama lain." Tangan hangatnya yang begitu dirindukan oleh Kuroko mengusap lembut pipi pemuda bersurai biru "Dan beliau setuju—dengan satu syarat."

Kuroko tetap diam, mencerna segala informasi yang baru saja di dapatnya dari yang bersangkutan dengan masalah 'putusnya kisah kasih Akashi Seijuuro dan Kuroko Tetsuya'. Namun matanya berkata lain, kedua bola matanya yang begitu jernih seakan-akan bertanya apa alasan ayah Akashi menyetujuinya? Apa alasan Akashi menceritakan ini semua padanya saat ini? Tak tahukah dia bahwa beberapa detik yang lalu Kuroko masih berusaha membuang perasaannya untuk Akashi Seijuuro? Dan sekarang lihat, seakan-akan mantannya ini memberikan sebuah harapan untuk dirinya tetap menjaga perasaan yang dirasakan untuk Akashi Seijuuro. Brengsek sekali pemuda di sampingnya ini.

"Ayah menyetujui pembatalan pertunanganku dengan satu syarat, aku harus mau menjadi penerusnya."

Kuroko tahu benar seberapa kerasnya Akashi menolak untuk menjadi penerus ayahnya tersebut. Apa tak apa bila Akashi mengorbankan cita-citanya menjadi pemusik dan memilih menjadi penerus ayahnya, hanya demi hubungan mereka yang belum jelas bagaimana kedepannya ini?

Seakan tahu apa yang sedang menjadi masalah di pikiran pemuda bersurai biru di depannya itu, Akashi Seijuuro mendekatkan wajahnya, membuat dahinya bersentuhan dengan dahi mantan kekasihnya tersebut "Tak apa bila aku harus melepaskan cita-citaku, itu hanyalah salah satu dari banyaknya pilihan dalam duniaku. Dalam hidupku kau adalah prioritas utama, Kuroko Tetsuya."

Tak menjawab, Kuroko hanya melemparkan pandangannya pada iris merah delima yang sejak tadi tak mengalihkan pandangan. Mencari sebuah kebohongan disana. Namun nihil.

"Ha—ah," helaan nafas kembali keluar "Ya, aku terima pernyataan cintamu Akashi Seijuuro." Kuroko segera menambahi disaat ia tahu Akashi—yang entah sejak kapan melingkarkan tangannya di pinggang Kuroko—hendak menceramahinya

...

Keduanya masih betah berada di posisi mereka. Dalam posisi berpelukan dan Akashi yang menyandarkan punggungnya pada tembok dingin di belakang. Kesunyian menemani mereka bersama perasaan lega yang keduanya rasakan.

Iris merah yang begitu dikagumi semua orang mendongak, memandang dedaunan yang digantung dengan pita merah.

Mistletoe

Sebuah senyum merekah di parasnya yang sangat tampan 'Meminta apa yang seharusnya menjadi hakku itu tidak apa kan,'

"Apa kau tahu," suaranya mengundang kepala bersurai teal mendongak, menubrukkan dua pasang mata berbeda warna "Di Barat ada kebudayaan yang mengatakan bila kita berdiri di bawah daun mistletoe bersama seseorang, maka kita harus berciuman dengannya."

Akashi Seijuuro dan kemodusannya yang tak akan pernah berubah.

"Itu hanya modus Akashi-kun saja. Mau ada daun mistletoe atau tidak, kau akan tetap menciumku kan." Celetuk Kuroko mengarahkan tangan kanannya ke belakang kepala Akashi, menariknya perlahan dan saling mempertemukan kedua belah bibir yang sudah saling merindukan.

-Mistletoe_End-