Seorang bocah lelaki tampak berlari-lari menuju sebuah rumah yang tampak ramai dengan beberapa mobil khas orang pindahan berada di depan rumah tersebut. Bocah itu tampak menengok ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu. Akhirnya ia tersenyum sumringah saat menemukan sosok yang ia cari tengah berada dibawah pohon, mengamati orang-orang yang membawa barang-barangnya.

"Hyung, barang-barang punya hyung mau dikemanain?" bocah itu bertanya pada sosok yang lebih tinggi darinya.

Pemuda yang ditanyai tersenyum masam. "Ehm—hyung mau pindah ke Beijing, Sehunnie."

"Pindah? Kenapa pindah? Hyung nggak boleh pindah!" si bocah kecil berteriak histeris sambil matanya berkaca-kaca.

"Mama dan papa hyung kan ada disana, hyung disuruh pulang dan melanjutkan sekolah disana, masa hyung menolak? Namanya durhaka dong?" pemuda yang lebih tua berusaha memberikan pengertian.

Si bocah kecil bernama Sehun itu rupanya belum bisa menerima alasan yang diberikan pemuda berambut hitam dan berwajah cantik itu.

"Nanti kalau hyung pergi Thehun mainnya thama thiapa hikthth—" Sehun mulai menangis sesenggukan.

"Kan Sehun punya banyak teman, ada Tao, Chen—"

"Nggak mau! Thehun maunya thama Luhan hyung titik!" si kecil Sehun berteriak lagi.

"Sehuna, jangan begitu, hyung tetap harus pergi—" Pemuda cantik bernama Luhan itu memandang iba Sehun yang terus memnangis sesenggukan.

"Luhan hyung jahaaatttt!" teriak Sehun sambil berlari meninggalkan Luhan.

.

.

.

.

.

Sehun memasuki rumah kecilnya dengan wajah ditekuk. Membuat ibunya yang baru saja datang dari dapur heran dengan tingkah putra satu-satunya itu.

"Sehunnie kok masuk rumah nggak kasih salam?" Wanita mungil bermata bulat itu menegur anak laki-lakinya yang baru saja masuk taman kanak-kanak itu.

"THAMLEKOM!" teriak Sehun ketus lalu masuk ke kamarnya begitu saja sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Kenapa sih anak itu?" gumam sang ibu sambil mengikuti sang anak masuk ke kamar dengan pintu berhias poster spiderman.

"Sehunnie, ada masalah apa sayang?" Sang ibu—Kim Kyungsoo—berusaha menanyai anaknya yang tengah menelungkupkan wajahnya dalam bantal sambil menangis.

"Luhan hyung jahat!" teriak Sehun dalam isakan tangisnya.

"Eh? Emangnya Luhan hyung ngapain?" tanya sang ibu keheranan.

"Luhan hyung mau ninggalin Thehunnie! Luhan hyung mau pergi ke Beijing! Hikth eomaaaaaa—" Sehun akhirnya menghambur ke pelukan ibunya.

Kyungsoo mengelus rambut anaknya dengan sayang. "Sayang, Luhan hyung itu anak yang berbakti, dia hanya menuruti kemauan mama papanya untuk pulang ke Beijing. Sehun mau Luhan hyung jadi anak durhaka nggak nurutin kemauan orang tuanya?"

Sehun menggeleng lemah di pelukan Kyungsoo.

"Luhan hyung pasti juga kangen sama orang tuanya disana, Sehun aja kalau nggak ketemu eomma dan appa sehari aja udah kangen."

Sehun akhirnya menghentikan tangisnya. Ia berusaha memahami perasaan Luhan hyung yang tentu saja merindukan orang tuanya karena semenjak sekolah dasar ia sudah tinggal disini bersama kakek neneknya, hanya waktu libur saja ia pulang ke Beijing.

"Nanti kalau liburan Luhan hyung pasti main kesini. Atau kalau Sehun dewasa nanti kan bisa menyusul Luhan hyung ke Beijing?" kata Kyungsoo sambil tersenyum menenangkan. Sehun hanya mengangguk-anggukkan kepala kecilnya dipelukan sang ibu.

.

.

.

.

.

.

Setelah mendapat penjelasan panjang lebar dari ibunya, Sehun berinisiatif untuk kembali ke rumah hyung tercintanya. Sebelum nanti ia benar-benar pergi malah yang ada Sehun yang menyesal sendiri nanti.

"H-hyung?" kata Sehun lirih sambil menarik-narik ujung baju Luhan yang tengah mengawasi beberapa orang membawa barangnya.

"Eh? Sehun? Masih marah sama hyung?" tanya Luhan seraya berjongkok didepan tubuh kecil Sehun.

Sehun menundukkan kepalanya sambil menggerak-gerakkan kakinya gelisah. "Hyung janji kan bakal thering kethini kalau liburan?"

Luhan tersenyum sambil meraih bahu kecil Sehun. "Hey tentu saja, hyung kan harus mengunjungi kakek dan nenek hyung, dan juga mengunjungi Sehunnie yang tampan ini," katanya sambil terkekeh.

Sehun merona malu. "Hyung tidak akan melupakan Thehunnie kan?"

"Aigooo—tentu saja tidak," kata Luhan sambil mencubit kecil pipi Sehun.

Chu~

Tiba-tiba Sehun mengecup kecil bibir Luhan, membuat pemuda cantik itu mematung karena terkejut.

"K-kenapa Sehunnie mencium bibir hyung?" tanyanya gugup sambil merona malu, padahal yang menciumnya hanya bocah berusia lima tahun.

"Karena Thehun thuka thama hyung," jawab Sehun jujur tanpa berani menatap Luhan. Ia merasa sebal kenapa dalam kata suka ada huruf 's' dan kenapa juga namanya berawalan huruf 's' kan kecadelannya membuat pernyataan cintanya menjadi tidak romantis.

Hey, tau apa kau soal romantis nak?

"Ap-apa?" Luhan terkejut setengah mati karena ada anak TK menyatakan perasaan padanya yang berumur 17 tahun dan belum sekalipun punya pacar.

"Hyung thuka sama Thehunnie tidak?" tanya Sehun lagi karena tak kunjung mendapat respon.

"Ehm—tentu saja hyung suka sama Sehunnie," jawab Luhan sambil tersenyum kikuk, ia bingung sebenarnya harus menjawab apa.

Wajah Sehun berubah sumringah, kemudian ia memeluk hyung nya itu dengan erat. "Hyung, kalauThehun thudah besar nanti kita menikah ya?"

"EH?"

.

.

.

.

.

.

Sudah seminggu semenjak Luhan kembali ke kampung halamannya. Sehun sudah mulai merindukan hyung nya yang menurutnya sangat cantik itu. Setiap mendengar kata 'Beijing' di televisi dia selalu antusias, walaupun ia tahu bahwa wajah cantik hyung nya tak mungkin muncul di kepala Chen—maksudnya televisi.

"Heh bocah, kau kenapa sih ngelamun terus?" suara sang ayah—Kim Jongin—membuyarkan lamunan Sehun soal Beijing.

"Mau tau aja," jawab Sehun datar.

"Ditanya orang tua malah begitu," sang ayah hanya mendengus kesal lalu melanjutkan kegiatannya menonton berita.

Beberapa saat yang lalu terjadi gempa yang cukup besar di wilayah Beijing—

Telinga Sehun menangkap sang pembawa berita mengatakan hal itu disela-sela lamunanya. Wajahnya berubah panik seketika.

"Gempa? Di Beijing? Huweeee Luhan hyuuuung—" tiba-tiba Sehun menangis. Sang ayah disampingnya menatapnya tak paham.

"Kim Jongin kau apakan lagi anakmu?" sang ibu—Kyungsoo—tiba-tiba datang dan langsung mengomeli suaminya, karena pasangan ayah dan anak itu memang jarang sekali akur dan perdebatan keduanya sering membuat Sehun menangis.

"A-aku? Aku tidak melakukan apa-apa! Tiba-tiba dia nangis begitu saja!" sangkal Jongin tak terima.

"Sehunnie sayang, kau kenapa?" Kyungsoo berusaha menenangkan buah hatinya.

"Hikth—itu di berita—Beijing ada gempa—Luhan hyung huweee—" kata Sehun terbata lalu menangis lagi.

"Hah? Gempa di Beijing?" tanya Kyungsoo tak mengerti.

"Tadi di TV ada berita tentang gempa di Beijing eh tiba-tiba bocah ini menangis," jelas Jongin cuek sambil memakan cemilan di meja sambil meneruskan menonton televisi.

Kyungsoo baru memahami apa yang terjadi, rupanya Sehun salah paham dan mengira gempa itu menimpa Luhan di Beijing sana.

Wanita itu tersenyum dengan bibir berbentuk hatinya dan mengelus rambut putranya. "Sayang, Beijing itu kan luas, belum tentu kan yang kena gempa rumahnya Luhan hyung?" katanya berusaha menenangkan.

"Tapi—Thehun khawatir eomma," kata Sehun lirih dengan suara serak karena habis menangis.

"Telepon saja kalau khawatir!" celetuk Jongin sambil mengunyah cemilannya.

Sehun jadi punya ide karena perkataan ayah menyebalkannya, dengan secepat kilat ia berlari menuju sebuah rumah di ujung jalan, rumah yang paling mewah di kompleks perkampungan mereka—rumah pak RT.

.

.

.

.

.

.

"Permithi, athalamualaikuuummm, pak erteeee!" teriak Sehun didepan satu-satunya rumah di kampung mereka yang ada gerbangnya itu.

"Loh, Hunnie? Ngapain disini?" tiba-tiba Tao—teman Sehun—muncul dari dalam rumahnya sambil menggendong boneka panda besarnya.

"Eh Tao? Aku mau pinjam telepon, boleh nggak?" tanya Sehun pada Tao yang notabene anak satu-satunya dari ketua RT di kampungnya.

"Tadi sih kayaknya lagi dipakai sama Papa. Ya udah masuk dulu aja deh," Tao lalu membukakan gerbang, menyuruh teman sekelasnya itu masuk.

Sehun masuk ke rumah paling mewah sekampung itu, banyak perabotan mahal di dalam rumah besar itu, sudah beberapa kali sih Sehun main ke rumah Tao tapi tetap saja rumah itu selalu membuatnya kagum. Ada televisi besar didalamnya, jika dibandingkan dengan televisi 12 inch milik Sehun mungkin televisi Tao sepuluh kali lipat lebih besar.

Dan yang paling penting hanya di rumah pak RT lah ia bisa menemukan telepon.

"Eh ada Sehun," sapa pak ketua RT—Suho—saat melihat Sehun masuk bersama Tao.

"Pak, boleh nggak Thehun pinjem teleponnya?" tanya Sehun sopan.

Pak RT mengeluarkan senyum malaikat khasnya. "Tentu saja boleh, kebetulan baru saja bapak selesai pakai, memangnya mau telepon siapa?"

"Mau telepon Luhan hyung pak," jawab Sehun polos.

Suho menatap Sehun bingung. "Memangnya Sehun tau nomornya?"

Sehun menggeleng. "Nggak thih pak, tapi bapak punya buku telepon yang gede itu kan?"
Suho mengangguk dan menunjukkan buku telepon berwarna kuning di samping telepon rumahnya.

"Pake itu aja pak," kata Sehun mantap. Suho hanya melongo lalu membiarkan begitu saja Sehun memakai teleponnya. Daripada nanti dia menangis, pikirnya.

Sehun menaiki kursi yang tadi diseretkan oleh pak RT disamping meja telepon, karena meja itu cukup tinggi untuk ia gapai. Ia mulai memencet nomor sesuai dengan yang tertera di buku telepon. Ia tadi membaca satu persatu dengan susah payah—karena ia masih TK kemampuan membacanya masih kelas teri—dan menemukan kata Beijing disana.

Tut..tut..tut..

Hanya bunyi itu yang terdengar dari tadi, ia memencet lagi, bunyi yang sama terdengar lagi. Apa sih yang salah?

Ia hendak menanyakannya pada pak RT tapi dia sudah pergi ke samping rumah mengurusi burung-burung mahal peliharaannya.

"Apa thih yang thalah?" gumam Sehun sambil menggaruk kepalanya bingung.

Lalu ia mencoba lagi memencet nomor yang tadi dengan menambahkan beberapa digit nomor di belakangnya—sesuai yang ia baca dengan susah payah di petunjuk.

Dan akhirnya bunyi tut-tut berganti dengan suara seseorang di line telepon.

"# &%## !#(&###a—"

Sehun cengo.

Itu bahasa apa ya?

"Ehm—athalamualaikum, ini Beijing ya?" tanya Sehun berusaha sopan dengan suara yang tengah bicara entah bahasa apa itu.

"# &%## !#(&###a&*&%#%$ % %^ ^# ##h—"

Hah?

Sehun benar-benar pusing sekarang.

"Hallo—Beijing? Bisa bicara thama Luhan hyung?" Sehun terus berusaha mengajak bicara orang di seberang telepon dengan bahasanya.

Lagi-lagi orang itu berbicara aneh yang terdengar seperti 'ching chong ching chong' di telinga Sehun.

"Ya udah kalau math Beijing nggak bitha ngomong bahatha Thehun, Thehun nitip thalam aja buat Luhan hyung. Thuruh dia cepet-cepet main ke thini, Thehun udah kangen. Udah gitu aja, makathih math—"

Tut..tut..tut..

"Loh kok dimatiin?" Sehun menatap gagang telepon dengan bingung, kemudian ia turun dari kursi dengan perasaan gembira, paling tidak mas 'ching chong' tadi akan menyampaikan pesannya pada Luhan hyung.

Dan ia kan segera bertemu dengan hyung tercintanya.

.

.

.

.

.

.

Hahaha masyaAlloh ini sunguh absurd nggak karuan XD

Kepikiran ide ini gara-gara liat judul film ASSALAMU'ALAIKUM, BEIJING bahahaha (authornya stress)

Pengennya pake bahasa nggak baku tapi ternyata susah dan akhirnya jadi campuran gini, maafkan kalo aneh huhuhu

Mind to review? :D