Kelas 2-4 terlihat lengang, hanya ada beberapa murid yang masih bertahan disana semenjak bel pulang sekolah dibunyikan. Termasuk sosok Kuroko Tetsuya yang masih berdiam diri dibangkunya sembari menatap tangannya yang terbalut perban dengan tatapan nanar.
Tangannya bergerak menyentuh pipi mulusnya yang kini dihiasi beberapa plester. Ia menghela nafas ketika mengingat bagaimana ia mendapatkan plester-plester ini.
Apa lagi jika bukan ulah para penggemar Akashi yang semakin menggila? Setelah kemarin ia mendapatkan luka dijari tangannya, pagi ini ia mendapatkan luka diparasnya. Ia masih mengingat bagaimana dinginnya ujung cutter yang digunakan untuk menggores parasnya.
Pelakunya? Orang yang berbeda dengan pelaku penginjakkan tangannya kemarin. Ia kembali menghela nafas, untung saja untuk kasus satu ini ia bisa menghindar, meskipun ia sebenarnya sedikit merasa tidak enak hati karena menyakiti perempuan.
Ruangan kelas yang semula diisi oleh bisik-bisik temannya entah kenapa kini sunyi. Kuroko yang sedari tadi sibuk dengan kegiatannya pun memilih untuk mengamati keadaan sekitar. Nafasnya tercekat ketika mendapati sosok Akashi yang tengah berdiri diambang pintu kelas dengan tatapan tajam yang memaku tubuhnya.
"Kita pulang bersama, Tetsuya. Aku tidak menerima penolakan."
Pemuda itu meghela nafas, ia tidak memiliki pilihan lain selain menghampiri pemuda crimson yang masih berdiri dengan angkuhnya.
.
Sarishinohara
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Sarishinohara © MikitoP
8/?
AkashixKuroko
AU. Sho-ai. Idol!Aka. Rakuzan!Kuro. Typo(s). OOC. OC.
.
Pemuda bersurai baby blue itu menghela napas, ditatapnya Akashi yang masih berdiri bersandar pada loker dengan tatapan datar. Pemuda itu keras kepala—sungguh.
Padahal, Kuroko sudah berusaha membujuk Akashi untuk pulang sendiri—tanpanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Kuroko ingin tenang, untuk sehari saja. Ia ingin menjernihkan pikirannya yang rumit—serumit gumpalan benang.
Bohong kalau ia tidak memikirkan aksi pembullyan yang dialaminya tadi pagi. Setiap perkataan gadis-gadis itu serasa mengoyak hatinya. Mentalnya yang masih ringkih belum siap menerima berbagai caci maki yang dilontarkan padanya.
Memang benar kalau ia sudah menerima dirinya sebagai seorang homoseksual—namun beda lagi ceritanya jika dimaki-maki dengan kata-kata setajam cutter yang menggores pipinya.
Cukup hatinya yang cacat—terluka disana-sini karena sibuk mencintai Akashi, jangan sampai mentalnya ikut cacat.
"Tetsuya, aku menunggu."
Sekali lagi, Kuroko menghela napas. Tangannya yang semula terkulai disamping tubuh kini bergerak untuk membuka loker sepatunya.
CKLEK.
Napasnya tercekat, azurenya melebar, mulutnya tiba-tiba mual—dengan sisa kekuatan yang ada, ia segera menutup kembali lokernya.
Akashi yang melihat tingkah Kuroko mengerutkan keningnya. Mengabaikan berbagai tatapan yang melayang kearahnya, ia melangkahkan kaki mendekati sang surai baby blue. Tangannya menepuk pelan bahu mungil tersebut. Dahinya mengkerut heran—mengapa bahu mungil itu bergetar?
"Tetsuya?" panggilnya—berusaha menarik perhatian Kuroko yang tengah menunudukkan kepalanya dengan tangan yang membekap mulut.
Jelas ada yang salah disini—loker Kuroko. Loker yang tertutup itu hendak dibuka, namun tangan mungil berbalut perban Kuroko menahan pergerakan Akashi, "Ja-jangan—uh—"
Tatapan tajam berubah teduh, tangan yang gemetar hebat digenggam dengan lembut, berusaha menyalurkan ketenangan tanpa kata. Akashi berusaha menyakinkan pemuda mungil itu. Tak akan ada hal buruk yang terjadi.
Seakan luluh, tangan Kuroko berhenti menahan Akashi untuk membuka lokernya, meski begitu, tubuhnya masih bergetar.
Pintu loker akhirnya dibuka oleh Akashi. Sepasang manik heterochrome milik sang surai crimson melebar; namun detik selanjutnya, sepasang manik menawan itu menampilkan kilatan berbahaya.
Sepasang heterochromenya menatap tajam bangkai kucing yang organ dalamnya sudah tercecer, belum lagi, kepala kucing yang sudah terpisah dari tubuhnya itu menghadap tepat kearah loker dengan sepasang mata berwarna kuning pucat yang menatap tajam.
Akashi menggeram, tangannya gatal ingin menggapai guntingnya.
Manusia mana yang berani mengusik kehidupan orang terdekatnya?
Bau bangkai yang menyengat membuat Kuroko kembali menutup mulut serta hidungnya, aliran darah kucing yang mengalir dari lokernya membuat perutnya kembali serasa diaduk, mual tak tertahan menyerang, rasanya ia ingin memuntahkan makan siangnya sekarang juga.
"Uhuk—hoek—"
Akashi tersentak, ia menoleh kearah Kuroko yang parasnya sudah pucat pasi. Tubuh remaja itu bergetar hebat, sementara sepasang azurenya kini sudah mulai meneteskan air mata.
Tubuh ringkih itu direngkuh dalam pelukan lembut, tangan yang terbebas mendorong kepala bermahkota baby blue untuk bersandar pada bahunya, "Sshh—semua baik-baik saja. Tenanglah Tetsuya."
.-.-.
Katakanlah Kuroko pengecut—nyatanya ia masih takut untuk sekedar membuka lokernya sendiri. Meski tak ada lagi bangkai kucing—atau hewan apapun yang mampir disana, namun setiap kali azurenya menatap loker miliknya, otaknya langsung memutar ingatannya tentang bangkai tuan kucing tak berdosa yang teronggok manis didalam lokernya.
Sebenarnya, loker Kuroko sudah sangat amat bersih—tak ada lagi ceceran darah kucing yang tersisa, bahkan dipojokan loker, tak ada lagi bau busuk menyengat. Semuanya sudah bersih bagai baru. Berterimakasihlah kepada Akashi Seijuurou yang langsung memerintahkan pelayannya untuk membersihkan loker milik Kuroko.
Selain itu, Kuroko beruntung ia mempunyai teman-teman yang bisa diandalkan, contohnya Fujioka dan Mikayuki. Dua orang itu selalu siap siaga untuk membuka dan mengecek loker Kuroko—takut-takut jika insiden paket bangkai kembali terulang. Lalu, ia masih punya Karisawa, gadis fujoshi itu terkadang menawarkan diri untuk mengambilkan keperluan Kuroko diloker—sehingga, dirinya tak perlu repot-repot memandang keadaan didalam lokernya.
Dan semua rutinitas itu telah berlangsung selama seminggu, dan selama itu pula, Kuroko tak pernah lagi bertatap muka dengan Akashi. Entahlah, ia pun tak mengetahuinya. Barangkali Akashi sibuk dengan jadwal artisnya?
Kuroko menghela napas, kali ini ia terpaksa pulang sendiri—kawan-kawannya tak ada yang bisa menemani, seorang pun tak ada. Jujur, ia merasa kesepian, ingin rasanya ia segera pulang sebelum para penggemar fanatik Akashi kembali berbuat yang aneh-aneh kepadanya.
Ia pun segera melangkahkan kaki menjauh dari area sekolah, sebisa mungkin ia menekan hawa keberadaannya yang sudah darisananya setipis kertas hingga lebih tipis lagi—berharap tak ada seorangpun siswa Rakuzan yang menyadari keberadaannya diantara segelintir manusia berseragam yang hendak keluar dari gerbang.
Kakinya melangkah menyusuri jalanan yang biasa ia lewati—menikmati semilir angin yang memainkan surai baby bluenya, serta cahaya jingga yang kini tengah menaunginya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, sudah berama lama ia tidak menikmati suasana sore hari yang sangat menenangkan seperti ini?
Rasa-rasanya sudah lama ia tak merasakan hidup tenang seperti ini.
Mungkin semenjak ia mengenal apa itu cinta?
Halte tempat biasanya ia menunggu bus dilewati begitu saja. Meski tadi ia bersikeras untuk segera pulang, namun rasanya terlalu sayang jika melewatkan sore damai seperti ini. Kapan lagi ia bisa menikmati suasana tenang tanpa gangguan fans Akashi?
Jemarinya menyentuh sudut bibirnya yang kini dihiasi oleh plester luka. Jangan ditanya darimana dirinya mendapatkan luka semacam ini, sudah jelas jika semua ini ulah penggemar fanatik Akashi yang sepertinya sudah menjadi hatersnya. Bukan hanya sudut bibirnya, namun pada lehernya terdapat bekas telapak tangan—bekas cekikan—yang ia dapatkan sebelum pulang sekolah.
Untung saja dirinya berhasil kabur sebelum para gadis-gadis ganas dan juga antek-anteknya berhasil mengurungnya di gudang.
Kuroko menghela napas panjang, langkah kakinya terhenti ketika ia sampai disebuah taman yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Ia pun memutuskan untuk singgah—rasanya duduk santai didekat air mancur tak ada salahnya. Siapa tau beban yang dipikulnya bisa sedikit berkurang bersama dengan percikan air mancur.
Manik azurenya menatap pantulan dirinya pada riak air, terlihat menyedihkan—dan tak berdaya. Benar-benar memuakkan. Ingin rasanya Kuroko marah, namun ia tak tau, harus pada siapa dirinya marah? Pada para gadis beringas itu atau justru pada dirinya sendiri?
Kuroko tak mengerti, mengapa para gadis itu begitu membenci dirinya. Padahal ia hanyalah kawan Akashi—tak lebih dari itu, meskipun ia memiliki perasaan khusus untuk si surai merah, nyatanya hubungan mereka hanya sebatas itu saja.
Mana mungkin Akashi juga memiliki perasaan itu padanya? Kuroko tak ingin terlalu berharap meski sikap Akashi terkadang membuatnya jatuh semakin dalam.
Azurenya meredup. Matanya memanas—ingin rasanya ia menangis. Ingin rasanya ia berteriak pada semua orang yang sudah memperlakukannya seperti manusia rendahan. Memang apa salahnya jika ia dekat dengan Akashi?
Apa salahnya jika Akashi memperlakukannya berbeda?
Apa salahnya jika ia diam-diam mencintai mantan kaptennya itu?
Apa salahnya—
—jika dirinya ini gay?
.-.-.
Matahari telah kembali keperaduan kala pemuda manis bersurai baby blue itu menginjakkan kaki dirumah. Sedikit heran ketika mendapati sepasang sepatu yang nampak asing untuknya berada di rak sepatu. Ada tamu 'kah?
Tanpa repot-repot memikirkan perihal sang tamu, pemuda manis itu langsung melesat menuju kamarnya, mengabaikan sang ibu yang sudah histeris melihat keadaan putranya yang seperti habis dikeroyok yakuza.
Dirinya hanya ingin segera berbaring diatas ranjang empuknya dan tidur.
Kuroko sudah lelah—baik hati dan fisiknya.
CKLEK.
Sepasang alis bertaut heran. Azurenya dikucek pelan—takut-takut apa yang dilihatnya saat ini hanya ilusi optik—atau jangan-jangan saking lelahnya ia sampai berhalusinasi?
Tapi, jika berhalusinasi sekalipun, ia tidak akan pernah mau membayangkan orang itu. Tidak akan. Sampai kapanpun.
"Kuroko, novelmu tidak ada yang baru?" sang objek yang diduga hanya sebatas ilusi optik tersebut buka suara. Sepasang irisnya menatap lurus kedalam azure yang tengah menatap datar.
Kuroko melangkah masuk, mengunci pintu kamarnya—antisipasi jika ibunya merangsek masuk demi menggali informasi mengapa dirinya babak belur—dan segera menghampiri sosok manusia yang tengah duduk santai dimeja belajarnya dengan setumpuk buku.
"Mayuzumi-san, kenapa disini?"
Pemuda bersurai kelabu—yang baru diketahui ternyata memiliki hubungan darah dengan status saudara sepupu satu nenek buyut—bernama Mayuzumi Chihiro itu tak menjawab, ia justru mendengus dan menatap adik sepupunya itu dengan tatapan sebal.
"Aku yang bertanya dulu, jadi jawab dulu."
Kuroko menghela napas, ia meletakkan tasnya diatas meja belajar dan melepas jas seragamnya, "Jika kau mencari yang terbaru, maaf, aku tidak punya."
Mayuzumi kembali mendengus, maniknya mengamati gerak-gerik adik sepupunya yang kini tengah melepaskan simpul dasinya dan melepaskan kancing teratas kemejanya. Adik sepupunya itu tak banyak berubah dari terakhir ia bertemu—saat Winter Cup—matanya masih bulat, bibinya masih gembul, tubuhnya tak bertambah tinggi. Mungkin yang membuatnya cukup berbeda itu plester luka yang menghiasi wajahnya.
Tunggu.
"Aku tidak tau jika kau ternyata memiliki niat terselubung untuk menjadi preman. Padahal tubuhmu itu sama sekali tidak cocok untuk diajak baku hantam. Jangankan baku hantam, terkena angin kencang saja aku yakin kau pasti akan terbang," Mayuzumi berucap datar sembari bertopang dagu. Sepasang maniknya menatap tanpa ekspresi.
Yang diajak bicara diam tak membalas, namun azurenya menatap setajam pisau—isyarat tidak terima akan pernyataan sarkas manusia kelabu itu. Maaf saja, walaupun tubuhnya tak cocok untuk untuk urusan berkelahi, begini-begini ignite passnya masih cukup ampuh untuk membuat seseorang menderita.
Mungkin kalau Mayuzumi pelru merasakannya supaya pemuda itu tidak seenaknya mengecapnya sebagai pemuda lemah.
Kuroko pun mengulas senyum tipis, dihampirinya sang sepupu yang tengah membaca summary sebuah novel dan—
BUK!
"Maaf, sepertinya tanganku terpeleset."
Sosok Mayuzumi tergeletak tak berdaya akibat pukulan sayang dari sepupu manisnya.
.-.-.
Gitar berwarna putih tulang dipangku diatas paha yang tengah bersila diatas karpet beludru, sementara jemari lentik bermain dengan senar yang senantiasa menyumbangkan bunyi merdu. Bibir tipis semerah cherry sesekali menggumamkan syair lagu. Surai baby bluenya yang masih basah itu dibiarkan begitu saja dengan handuk berwarna putih yang tersampir diatas surainya.
Tak jauh dari sang pemuda baby blue, Mayuzumi tengah duduk bersandar pada kaki ranjang sembari memegang perutnya yang nyeri bukan main. Ternyata serangan legendaris sang sepupu itu tak main-main, sakitnya hampir saja membuatnya menangis.
"Ternyata kau ada bakat jadi laki-laki," celetuk Mayuzumi. Ia menatap sengit sepupunya yang tengah asyik bermesraan dengan sebuah gitar tua dan mengabaikan keberadaannya.
Kuroko menoleh, ditatapnya Mayuzumi dengan tatapan tajam, "Maaf?"
"Tidak, bukan apa-apa."
Rupanya Mayuzumi masih cukup peka untuk menyadari arti tatapan tajam Kuroko sebagai sebuah kode untuk melancarkan serangan legendaris gelombang dua. Tidak, ia tidak mau tambah, nyerinya saja belum hilang.
"Mayuzumi-kun kenapa ada disini?" tanya Kuroko tanpa perlu repot-repot untuk melirik kearah sang sepupu kelabu.
Yang ditanya mendengus kesal, entah mengapa ia merasa bahwa kehadirannya disini sama sekali tidak diharapkan oleh sang surai biru unyu-unyu. Ia memilih untuk diam mengabaikan—atensi light novel berbau misteri milik sang sepupu dijadikan alibi untuk tak buka suara.
Disisi lain, Kuroko sama sekali tak mempermasalahkan aksi Mayuzumi. Ia justru lega, setidaknya Mayuzumi datang kemari bukan karena ibunya yang mengadu kepada mantan pemain bayangan Rakuzan tersebut—sebenarnya sudah cukup lama Kuroko mengetahui bahwa ibunya diam-diam mempunyai hobi curhat dengan pemuda bersurai kelabu itu.
Menit demi menit berlalu dalam hening, baik Mayuzumi maupun Kuroko sama sekali tak ada yang ingin buka suara. Kuroko sibuk dengan gitarnya dan serakan kertas yang ada didepannya, sementara Mayuzumi sibuk mendalami barisan kalimat yang tercetak di novel yang berada digenggamannya—meskipun begitu, manik kelabunya selalu mencuri pandang kearah sepupunya.
Kuroko menghela napas panjang, pulpen yang tadinya digunakan—entah untuk hal apa—diletakkan begitu saja, sementara empunya justru mengusap pelan kepalanya. Mayuzumi mengernyit heran—ada apa dengan adik sepupunya itu?
"Kau kenapa?" tanyanya penasaran.
Kuroko hanya melirikkan manik azurenya—menatap sekilas kearah Mayuzumi sebelum akhirnya kembali berakhir dengan manatap lesu serakan kertas.
Mayuzumi jelas jengah—dikiranya dirinya ini apa? Patung pajangan begitu? Semenjak menginjakkan kakinya disini dan bertemu dengan Kuroko, bocah biru itu terus-terusan mengabaikannya—baiklah, Mayuzumi tau kalau dirinya ini memiliki hawa keberadaan yang tipis, serupa dengan si biru. Tapi, tidak begini juga 'kan? Memangnya diabaikan itu enak?
"Heh, Kuroko, aku bicara padamu. Setidaknya hargailah orang yang lebih tua ketika berbicara. Kau kira aku ini patung selamat datang yang bisa sesuka hati kau abaikan?"
Kuroko sweatdrop. Enggan, ia pun menatap Mayuzumi dengan tatapan datar, dan dibalas dengan tatapan tak kalah datar dari Mayuzumi.
"Kalau ada masalah berceritalah. Jangan uring-uringan seperti gadis puber. Menyusahkan," sinis Mayuzumi—yang mau tak mau membuat Kuroko kesal juga.
Setelah dicap sebagai lelaki gagal, sekarang ia dicap sebagai gadis puber. Sepertinya Mayuzumi memang perlu diignite pass sekali lagi—tepat dimuka jika perlu.
"Siapa yang kau katai gadis puber?"
"Kau Kuroko. Memang ada lagi manusia disini selain kau dan aku? Sudahlah, sebenarnya ada apa denganmu? Kau akhir-akhir selalu bertingkah aneh, kasihan bibi Tetsumi yang setiap hari selalu mengkhawatirkanmu."
Kuroko menggigit bibirnya, ia menundukkan kepalanya, menghindari tatapan Mayuzumi yang seolah tengah mengorek informasi darinya. Ia tak ingin menceritakannya, pada siapapun. Ia ingin menyimpan rahasia ini untuk dirinya saja—dan mungkin ibunya yang sudah sedikit mengetahuinya.
Karena ini masalah hatinya.
Cintanya.
Mayuzumi menghela napas, ia tau sepupunya itu mungkin tak akan buka suara untuknya—apalagi menceritakan masalah yang tengah menimpanya. Jujur saja, Mayuzumi merasa hatinya tercubit pilu. Rasanya menyakitkan ketika dirimu tak dipercayai—apalagi oleh kerabatnya.
Ia ingin memaksa Kuroko untuk buka suara, namun disisi lain, ia tak ingin melukai perasaan sang sepupu karena dirinya terlalu egois untuk membuat Kuroko menceritakan problemanya. Tapi Mayuzumi tak bisa membohongi perasaannya—perasaan khawatir seorang kakak kepada adiknya.
Sekali saja, ia ingin menajdi temapt sandaran bagi Kuroko kala pemuda itu tengah susah—seperti saat ini.
"Aku bingung..."
Mayuzumi mendongak, ditatapnya Kuroko yang masih betah menunduk. Telinga ia tajamkan—berusaha fokus untuk menangkap suara Kuroko yang sepelan hembusan angin malam itu.
"Aku tak tau apa yang harus aku lakukan..."
Mayuzumi terkesiap, ia tak mungkin salah dengar. Suara Kuroko... bergetar. Pemuda mungil itu berusaha menahan tangisnya.
Pemuda bersurai kelabu itu mendekat, direngkuhnya tubuh mungil Kuroko yang kini bergetar. Hati kecilnya perih tak tertahan ketika melihat pemuda yang biasanya selalu tegar itu kini nampak begitu rapuh. Seakan sedikit saja salah memperlakukannya, ia akan pecah berkeping-keping.
Mayuzumi tak tau, seberat apa beban yang tengah dibawa oleh Kuroko.
Namun, ia tau dengan pasti, siapa subjek yang berhubungan dengan masalah ini.
.-.-.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 10 malam. Ponsel pintar berwarna hitam masih menyala—menampilkan sebuah pesan yang berisi janjinya dengan seseorang. Sang pemilik menghela napas panjang, manik kelabunya menatap kearah pemuda bersurai baby blue yang tengah terlelap.
Ibu jarinya menekan tombol kembali, ponsel pun kembali disimpan didalam saku celana. Ia beranjak—hendak kembali kekamar tamu yang berada disebelah kamar sang surai biru. Namun, tiba-tiba saja ia merasa enggan—apalagi ia teringat akan isi pesan tersebut, mendadak dirinya diselimuti oleh rasa ragu.
Apa keputusannya ini sudah tepat?
Mayuzumi kembali mendudukkan dirinya disamping sang surai biru yang tengah terlelap. Tangannya bergerak menyisir helai sehalus sutra milik sang sepupu.
Pemuda bersurai kelabu itu kembali mempertanyakannya dalam hati, apakah keputusannya ini sudah tepat? Apakah ini yang terbaik untuk Kuroko?
Setelah ia berhasil menenangkan Kuroko—yang mati-matian menahan tangis—Mayuzumi tak bisa diam begitu saja. Tanpa berpikir matang, ia langsung menghubungi Akashi, menanyakan kapan pemuda memiliki waktu senggang.
Entah beruntung—atau sial—Akashi langsung menyanggupinya dan menyuruh Mayuzumi untuk menemuinya besok sepulang sekolah di Rakuzan.
Mayuzumi tarik napas—berusaha menyakinkan dirinya sendiri. ia harus melakukan ini. Ia sudah tak tahan lagi melihat Kuroko—yang juga menurut Tetsumi—kian hari kian mengenaskan.
Apapun resikonya nanti, Mayuzumi harus berbicara empat mata dengan Akashi.
.-.-.
Sebuah keburuntungan tersendiri untuk Mayuzumi ketika ia menginjakkan kakinya di Rakuzan, keadaan sekolah sudah sepi, tak banyak murid yang berkeliaran, apalagi di koridor kelas 2 yang menjadi tempat janjiannya dengan Akashi—yang sebenarnya sudah ia tolak mentah-mentah, namun pada akhirnya ia terpaksa harus patuh karena kalimat sakti Akashi.
GREK!
Pintu kelas dibuka dengan agak kasar—dongkol masih menguasai diri Mayuzumi—dan bertambah dua kali lipat kala manik kelabunya menangkap sosok Akashi yang berdiri dengan angkuhnya didekat meja guru.
Tanpa membuang waktu, Mayuzumi langsung menghampiri Akashi dan langsung menempatkan dirinya berhadapan dengan Akashi. Manik kelabu miliknya menatap datar sepasang manik dwiwarna yang juga tengah menatapnya tajam.
"Akashi, ada yang ingin kubicarakan padamu. Ini tentang Kuroko," ucap Mayuzumi tanpa basa-basi sedikitpun.
Akashi mengerutkan dahinya, "Ada apa dengan Tetsuya?"
Mayuzumi tarik napas, namun sepasang manik kelabunya sama sekali tak berniat untuk berpaling barang sedetik pun, "Sebelum kita masuk kedalam inti pembicaraan, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Apa arti Kuroko Tetsuya dalam hidupmu?"
Akashi kembali dibuat bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mayuzumi. Apa arti seorang Kuroko Tetsuya dalam hidupnya, huh?
"Tentu saja Tetsuya adalah salah satu temanku yang berharga, Chihiro," jawab Akashi lugas—tanpa ada sedikitpun keraguan dalam kalimatnya.
Disisi lain, Mayuzumi tersenyum kecut. Hanya sahabat, huh? Jadi, Akashi hanya menganggap Kuroko sebagai seorang sahabat? Tak lebih?
"Kau... hanya menganggapnya sahabat? Tak lebih? Suka misalnya?"
Akashi terdiam—berpikir lebih tepatnya. Suka, huh? Apa yang dimaksud oleh Mayuzumi itu cinta? Dirinya, mencintai Kuroko? Entahlah, Akashi tak tau. Yang ia tau, dirinya hanya ingin selalu bersama dengan si surai biru muda tersebut, menjaganya, selalu berada disisinya, dan juga... kagum.
Akashi kagum pada Kuroko. Pemuda mungil itu tanpa kenal putus asa berusaha untuk menyatukan Kiseki no Sedai yang pernah terpecah. Dan juga, Kuroko memiliki peranan penting dalam hidupnya. Pemuda mungil itulah yang membuatnya bisa menjadi seperti sekarang, menjadi seorang bintang.
Apakah... perasaan yang seperti ini termasuk cinta? Akashi tak mengerti, jikalau memang inilah yang dinamakan cinta, bukankah itu artinya dirinya ini seorang homoseksual?
Tidak.
Akashi menggeleng, ia bukanlah seorag homoseksual.
Ia... straight.
"Suka? Tentu saja aku menyukainya, Chihiro. Tapi, jika yang kau maksud suka itu adalah cinta, maaf saja. Kau salah sangka, aku bukanlah seorang homoseksual," ucap Akashi—yang mau tak mau membuat sepasang manik kelabu Mayuzumi melebar sepersekian detik.
"Kau? Apa tadi?"
Tangan dilipat didepan dada, "Sekali lagi akan kuulangi, Chihiro. Aku bukanlah seorang homoseksual."
Tangan Mayuzumi terkepal, bagaimana bisa? Bagaimana bisa Akashi berkata seenteng itu setelah membuat Kuroko kebingungan setengah mati?
"Kau—"
BRUK!
"Kuroko kau kenapa?!"
Keduanya sontak menatap kearah pintu kelas yang tertutup, terdengar suara teriakan seorang gadis—yang diiringi dengan suara buku yang berjatuhan.
Manik Mayuzumi melebar—apalagi ia mendengar nama sang sepupu yang diteriakan oleh sang gadis. Ia langsung melesat keluar—dan menemukan sosok Kuroko yang tengah terdiam dengan tatapan kosong.
"Kuroko—HEI!"
Mayuzumi menggeram, sepupunya itu benar-benar, ditanya justru kabur. Ia menoleh kearah Akashi, manik kelamnya menatap tajam sepasang dwiwarna Akashi, "Kau bodoh Akashi."
Secepat kilat, ia langsung melesat keluar—mengejar sang sepupu.
Meninggalkan sosok Akashi yang masih terdiam.
.-.-.
Kuroko terus berlari, ia tak peduli dengan buku tugas yang harusnya ia bawa ke ruang guru, ia tak peduli akan Mikayuki yang memanggil namanya dengan panik ataupun sosok sang kakak sepupu yang mungkin juga tengah mengejarnya.
Ia terus berlari, hingga tak menyadari bahwa derap langkahnya membawanya menuju halaman belakang Rakuzan—tempat yang jarang disinggahi oleh siapapun.
Pemuda bersurai biru itu langsung menjatuhkan tubuhnya diatas hijaunya rerumputan—tak lagi ia pikirkan seragamnya yang akan kotor karena bersua dengan tanah. Punggung mungil berbalut jas seragam bersandar pada kokohnya pohon. Kepalanya menengadah, sepasang azurenya menatap langit senja yang tertutup oleh rimbunnya dedauan.
Percakapan Akashi dan juga Mayuzumi berputar-putar didalam benaknya.
Tidak. Ia tidak menguping, hanya saja, saat ia dan Mikayuki hendak mengantarkan buku tugas kelasnya keruang guru, tanpa sengaja ia mendengar suara yang tidak asing untuknya—suara Akashi dan Mayuzumi yang tengah bercakap dan menyangkut pautkan dirinya.
Tak hanya itu, ia tak mengerti, kenapa pula Mayuzumi menanyakan apa arti dirinya untuk pemuda bersurai merah itu? Untuk apa? Apa sepupunya itu sudah tau bahwa dirinya menaruh hati pada sang idola? Tapi... ia tak pernah menceritakannya—tunggu, mungkin ibunya yang bercerita.
Ah sudahlah, sekarang itu semua tidak penting lagi.
Hancur sudah harapannya selama ini.
Tak ada lagi harapan untuk hatinya yang tengah mencinta ini.
Sang pujaan sudah terang-terangan mengatakan bahwa ia tak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Berharap pun terasa percuma, Akashi hanya menganggapnya sebagai teman. Tak lebih.
Selain itu, ia telah mendengarnya sendiri, bahwa Akashi bukanlah seorang homoseksual.
Jadi, untuk apa ia berharap lagi? Sudah tak ada lagi harapan untuknya.
Kuroko tertawa kecil—terdengar menyakitkan. Ingin menangis pun rasanya sangsi—sudah berapa banyak air mata yang ia buang? Dirinya bukanlah lelaki cengeng. Kuroko kuat—baik lahir maupun batin.
Seharusnya Kuroko sudah tau bahwa sejak awal tak ada harapan untuknya.
Astaga, lalu apa arti semua perilaku Akashi kepadanya jika pada kenyataannya Akashi tak pernah sedikitpun menaruh hati padanya? Untuk apa semua sikap lembut itu? Untuk apa semua perhatian yang dicurahkan untuknya itu?
Hanya sebatas persahabatan 'kah? Atau dirinya 'kah yang terlalu percaya diri jika Akashi sebenarnya memiliki perasaan khusus padanya?
Omong kosong, Aomine, Ogiwara serta Kagami yang merupakan sahabat lengketnya bahkan tak pernah seperhatian ini kepadanya. Mungkin memang benar, bahwasanya dirinya terlalu percaya diri.
Mana mungkin Akashi menyukainya yang hanya begini-begini saja? benar-benar mustahil.
Lebih penting dari itu.
Apa arti dari ciuman yang selama ini mereka bagi bersama?
.-.-.
"Kau bodoh Akashi."
Surai merah diacak kasar. Perkataan Mayuzumi enggan enyah dari pikirannya, selalu menghantuinya. Jujur saja, ia kesal—orang mana yang dengan beraninya mengatainya bodoh didepan wajah seperti Mayuzumi mengatainya. Namun, disisi lain, ia merasa... aneh.
Entahlah, Akashi sendiri tak mengerti. Ia merasa... bodoh—entah untuk alasan apa.
Drrt. Drrt.
Getaran pada saku celananya mengalihkan perhatiannya. Segera diambilnya ponsel pintar miliknya. Ia mendecak kesal, lagi-lagi sang manager kembali menganggu ketenangan hidupnya. Tak bisakah wanita itu membiarkannya hidup bebas sejenak saja?
Ia menekan tombol merah dan langsung mematikan ponselnya. Ia tidak ingin diganggu untuk saat ini. Ada hal yang lebih penting dari sekedar pekerjaannya.
Ia beranjak menyusul sosok Mayuzumi yang sudah terlebih dahulu pergi mengejar sosok Kuroko—yang belakangan ini Akashi ketahui bahwa dua bayangan itu memiliki hubungan kekerabatan.
Digerakkannya tungkai kaki menyusuri koridor, sementara otaknya memutar kemungkinan tempat yang akan dikunjungi oleh si biru. Entah mengapa Akashi merasa jika Kuroko belumlah pulang—dan instingnya tidak pernah salah.
Diabaikannya tatapan dari beberapa siswa yang masih betah berada di koridor sekolah, ia bahkan menulikan telinganya dari teriakan sekumpulan siswi yang baru saja menyelesaikan kegiatan klub mereka.
Akashi segera bergegas, tempat pertama yang akan ia kunjungi adalah atap—siapa tau Kuroko berada disana, untuk sekedar menikmati pemandangan senja mungkin?
Knop pintu diputar, suara pintu besi yang bergesekan dengan kerasnya lantai menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga. Ia melangkahkan kakinya, menyusuri tiap sudut atap yang benar-benar sepi. Tak ada satupun manusia yang berada disini kecuali dirinya dan juga hembusan angin sore yang bermain-main dengan surai merahnya.
Bahkan dengan Emperor Eyenya sekalipun, Akashi tak menemukan sosok mungil berhawa keberadaan tipis itu disini.
Nihil.
"Perpustakaan," gumam Akashi seraya balik badan—meninggalkan area atap menuju perpustakaan yang mungkin saja masih buka.
Namun, alangkah sialnya dirinya kala mendapati pintu perpustakaan yang terkunci rapat dan terdapat gantungan bertuliskan 'CLOSED'.
Akashi mendecih. Kemana lagi ia harus mencari si surai biru? Haruskah ia menelpon Mayuzumi dan menanyai pemuda kelabu itu apakah Kuroko bersama dengannya?
Tidak. Tidak.
Ia tak mau berurusan lagi dengan Mayuzumi. Ia masih kesal dengan perkataan Mayuzumi yang mengatainya bodoh.
Akashi kembali memutar otak. Menyusuri Rakuzan yang luasnya bukan main itu sama dengan omong kosong, yang ada Kuroko tak ia temukan, malah kakinya yang akan pegal bukan main. Maka, ia pun memutuskan untuk menunggu si surai biru didepan loker.
Barangkali Kuroko memang belum pulang. Persetan bila ia bertemu dengan Mayuzumi, guntingnya sudah gatal ingin menyapa surai kelabunya—memangkasnya hingga habis, atau jika dirinya sedang mood, membuat lukisan dikepala Mayuzumi boleh juga.
Dan disinilah Akashi berakhir, berdiri didepan loker Kuroko dengan tubuh yang bersandar pada loker yang berada disebelahnya. Maniknya aktif mengamati siswa-siswi yang hilir mudik didepannya, bercanda tawa satu sama lain.
Memancing kerinduannya akan kawan-kawannya.
Masih segar diingatan Akashi, dulu saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia terlampau sering menghabiskan waktu bersama Kiseki no Sedai—meski terkadang supirnya mendesaknya untuk segera pulang—dan juga menghabiskan waktu berlatih musik bersama dengan Kuroko.
Ah, betapa Akashi merindukan momen saat itu, terlebih momen dimana ia bisa dengan puas menikmati pertunjukan piano solo yang dilakukan oleh Kuroko dulu—saat mereka berlatih bersama. Jujur saja, Akashi merasa tersanjung saat Kuroko berkata bahwa itu adalah kali pertama baginya bermain dihadapan orang lain—mempersembahkan sebuah lagu untuk seseorang.
Akashi tersenyum kecil. Nostalgia.
Tanpa disadari olehnya sendiri, ia begitu merindukan masa lalunya—saat belum menjadi seorang idola.
"Akashi-kun?"
Akashi mendongak, ia tersenyum kecil kala mendapati sosok Kuroko tengah berdiri dihadapannya. Ia langsung mendekati sosok Kuroko, tangannya bergerak untuk menyentuh sang surai biru, namun reaksi dari Kuroko membuatnya mengernyit heran.
"Kenapa menghindar?" tanya Akashi, maniknya memicing menatap Kuroko yang justru membuang pandang.
Kuroko tersenyum tipis—terlihat menyedihkan, "Aku tidak menghindar Akashi-kun, mungkin hanya perasaanmu saja."
Akashi terdiam, senyum yang barusan ditunjukkan oleh Kuroko membuatnya sesak. Akashi tak suka, ia benci melihat senyum itu. Ia tak ingin melihat Kuroko tersenyum seperti itu lagi.
"Kau ini kenapa Tetsuya?"
Kali ini Kuroko yang terdiam, ia tak berniat untuk menjawab—lagipula jawaban apa yang akan ia berikan pada Akashi? Mengatakan bahwa dirinya tengah dilanda patah hati kronis? Mau mengumpat kepada Akashi atas semua perilakunya?
Tidak. Akashi bahkan tak tau perihal tersebut, untuk apa ia protes kepada si surai merah itu?
"Tetsuya, aku berbicara padamu," Akashi kembali buka suara, menginterupsi sosok Kuroko yang tengah menukar sepatunya.
Kuroko melirik, wajah datar andalannya kembali ditunjukkan—Akashi tak boleh melihat wajah putus asanya, atau ia akan terlihat sangat menyedihkan, "Maaf, Akashi-kun, aku sedang agak pusing dan lelah."
Akashi langsung menarik lengan Kuroko, membawa tubuh pemuda itu kehadapannya, dahi yang tertutup helai biru muda disibak, telapak tangannya meraba dahi seputih salju tersebut. Mengukur temperatur disana—takut-takut jika pemuda mungil itu terserang demam.
"Kau tak enak badan? Aku akan mengantarkanmu sampai rumah," putus Akashi sembari menatap khawatir Kuroko.
'Tolong jangan begini lagi, Akashi-kun, jangan buat aku lebih berharap...'
Kuroko tersenyum kecut, ia meraih tangan Akashi—namun tangannya masih digenggam erat oleh si surai merah, menjauhkannya dari parasnya, "Tak apa Akashi-kun, aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing."
"Tak ada penolakan, aku akan mengantarmu pulang Tetsuya. Ingat, aku ini absolut."
Kuroko menghela napas lelah, ia tidak ingin berdebat dengan Akashi, namun untuk hari ini saja, ia ingin menenangkan diri, sedikit menjauh dari Akashi mungkin bisa meredakan perih dihatinya. Ayolah, ia tengah terluka saat ini. Berada bersama dengan Akashi yang begini itu bagaikan menaburkan garam diatas lukanya. Perih.
"Akashi-kun, kumohon. Aku ingin pulang sendiri hari ini," pintanya.
Genggaman pada tangannya mengerat—membuat Kuroko meringis, "Kita pulang bersama."
Sekali lagi, helaan napas terdengar dari si surai biru. Sudah Kuroko duga, pergi dari sosok Akashi tidak semudah dirinya meloloskan diri dari kawan-kawannya yang lain.
Tapi... untuk kali ini saja biarkan dirinya egois.
"Akashi-kun, kumohon."
Akashi mengernyit, sudah ia duga, ada yang salah dengan Kuroko. Pemuda bersurai baby blue itu tengah menghindarinya.
Didorongnya tubuh mungil Kuroko hingga punggung mungil itu berbenturan dengan loker yang berada dibelakangnya. Kedua tangan Akashi dibawa untuk menguruh sosok Kuroko—tak memberikan sedikitpun celah untuk Kuroko lolos dari kungkungannya.
"Tetsuya, apa kau mendengar percakapanku dengan Chihiro?" tanya Akashi, manik dwiwarnanya menatap tajam tepat ke sepasang azure yang juga tengah menatapnya.
Paras manis itu tetap datar—Kuroko berusaha mati-matian untuk meredakan jantungnya yang mendadak menggelar orkestra, demi apapun, wajah Akashi terlalu dekat dengan wajahnya, dan ini tidak baik untuk keadaan hatinya yang tengah terluka.
"Untuk apa aku menghindarimu Akashi-kun?" Kuroko balik melempar tanya. Berusaha terlihat tak mencurigakan didepan Akashi—atau pemuda bersurai merah itu akan membongkar seluruh isi pikirannya.
"Aku merasa jika kau memang menghindariku. Jika tidak, untuk apa kau berlari saat Chihiro menghampirimu hm? Katakan Tetsuya, apakah perkataanku tadi melukai hatimu?"
'Sangat Akashi-kun.'
"Tidak,"—lain dihati, lain pula dimulut.
Paras Akashi dibawa mendekat, membuat Kuroko dilanda panas dingin, "Akashi-kun, tolong menyingkir."
"Tidak akan, sebelum kau mengatakan yang sebenarnya padaku Tetsuya. Kenapa kau menghindariku? Apakah ada yang salah dengan perkataanku tadi?"
Kuroko menggeleng, tolong, ia sudah lelah—baik untuk berusaha kuat atau pun menanggung beban batin ini lebih lama. Ia tidak tau jika menyimpang akan semenyakitkan ini. Ini sama sekali tak sama dengan apa yang biasanya ia baca mengenai hubungan sejenis.
Benar-benar berbeda.
Seulas senyum tipis terulas di paras manisnya—ia berharap semoga saja terlihat tak begitu mencurigakan, "Tak ada Akashi-kun. Justru aku merasa sangat senang karena Akashi-kun menganggapku sebagai sahabat yang berharga untukmu. Karena bagiku pun begitu, Akashi-kun adalah sosok yang sangat kukagumi, sekaligus sahabat terbaik yang pernah kumiliki."
Kali ini Akashi yang terdiam, ia tak mampu untuk bereaksi kala Kuroko mendorong tubuhnya menjauh dan perlahan menjauhinya.
Senyum itu... mata itu...
Terlihat begitu menyakitkan.
Meski tak ada air mata yang membasahi paras manis Kuroko, namun Akashi yakin, pemuda itu tengah menangis.
BUK!
Loker tak berdosa menjadi sasaran tinju, Akashi mendecih kesal.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
To be Continued
(Haroo! Yak, tanpa banyak basa-basi, saya ingin mengucapkan maaf terlebih dahulu karena menggantungkan ff ini terlalu lama. Saya tak mau mengucapkan alasan macam-macam—karena sebenarnya sudah banyak yang terjadi /halah. Jadi ya, saya benar-benar ingin minta maaf, sudah updatenya lama, ceritanya juga makin gaje. Da aku mah apa atuh :"()
(Terima kasih saya ucapkan yang sebesar-besarnya untuk para pembaca dan reviewer yang masih bersedia untuk membaca karya saya ini. Untuk selanjutnya, saya tidak mau janji mau update kapan. Yang pasti, ff ini akan terus berlanjut XD)
(Sankyuu~XD)