Suara deru kereta terdengar memekakan telinga. Bisikan-bisikan orang pun terdengar menggema. Namun, ia tak memperdulikannya. Perhatiannya tak ada disana, ia tengah berada dalam dunianya sendiri.

Earphone putih terlihat menyumpal kedua telinganya, manik azurenya tengah mengikuti tiap baris kata yang tercetak dalam novel kecil yang senantiasa dibawanya. Terlihat sekali pemuda itu sama sekali tidak terganggu dengan kebisingan disekitarnya.

Ia hanya duduk diam, menyempil dipojokan kereta, menyembunyikan kehadirannya diantara puluhan—mungkin ratusan penumpang yang memiliki tujuan pemberhentian kurang lebih sama dengan dirinya. Ia menghela nafas ketika beberapa orang hampir saja mendudukinya—hanya karena hawa keberadaannya yang tipis ia benar-benar dianggap tak ada.

Pemuda itu tersentak, ia meraih ponselnya yang baru saja bergetar. Dihembuskannya nafasnya ketika dirinya baru saja membaca e-mail yang baru diterimanya.

'Aku harap tak ada yang berubah,' batinnya penuh harap.

.

Sarishinohara

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Sarishinohara © MikitoP

1/?

AkashixKuroko

AU. Sho-ai. Idol!Aka. Rakuzan!Kuro. Typo(s). OOC.

.

Pemuda dengan nama lengkap Kuroko Tetsuya itu menarik nafas panjang ketika dirinya berhasil keluar dari lautan manusia yang mendesaknya untuk segera keluar pintu kereta—mungkin jika terlambat sedikit saja dirinya sudah terseret kereta yang telah kembali melaju.

Ia masih berdiam diri dipinggir rel, menstabilkan jantungnya yang rasanya seperti dipompa. Bukan, dia bukanlah orang desa yang tidak pernah naik kereta. Dia terlampau sering, hanya saja baru kali ini ia bepergian menggunakan kereta dengan barang bawaan yang cukup banyak.

Menyulitkan. Ia akui itu, dengan tubuhnya yang mungil, ia mudah goyah karena tersenggol oleh orang lain. Bukan hanya faktor itu, hawa keberadaannya yang terlampau tipis juga berperan dalam kesialan hari ini. Berkali-kali ia ditabrak orang tanpa sadar—dan berkali-kali pula kopernya hampir terseret kaum-kaum modern itu.

Ketika jantungnya sudah kembali berdetak normal, ia memutuskan untuk segera beranjak dari stasiun. Langkah kakinya berhenti ketika manik azurenya menangkap sebuah poster besar yang terpampang disisi stasiun.

Ia tersenyum tipis, fokusnya kini hanya pada sosok yang termuat dalam poster tersebut. Seorang pemuda bersurai crimson dengan manik dwiwarnanya yang tajam—namun disaat bersamaan begitu mempesona.

Ia tidak asing dengan sosok itu—ayolah, bukan hanya dirinya, mungkin orang satu Jepang pun tidak ada yang asing dengan paras tampan berhiaskan mahkota crimson itu.

Akashi Seijuurou namanya. Pemuda yang kini tengah digandrungi oleh masyarakat. Seorang penyanyi sekaligus aktor muda yang telah memiliki prestasi gemilang didunia panggung hiburan. Paras? Sudah jelas, tampan. Suara? Perfect. Akting? Jangan ditanya lagi, ia sempurna. Semua peran ia babat habis tanpa sisa.

Namun, bukan sosok Akashi seperti itu yang Kuroko kenal. Sosok Akashi Seijuurou dimata Kuroko adalah seseorang yang pernah menjadi kapten basketnya. Seseorang yang pernah mengajarinya trik-trik basket yang sampai sekarang masih ia lakukan.

Pemuda itu menghela nafas, nampaknya ia terlalu larut dalam dunianya hingga tak menyadari bermenit-menit lamanya telah berlalu. Ia memutuskan untuk kembali melangkah, dengan sepasang earphone ditelinganya yang senantiasa memutar lagu milik Akashi Seijuurou.

.-.-.

Ruangan itu nampak begitu berantakan, beberapa dus besar tersusun secara ala kadarnya dipojokan ruangan. Sementara itu, Kuroko yang baru saja menapakkan kakinya disana hanya bisa mendecakkan lidah sebal. Ditendangnya pelan tumpukan kardus itu—berharap tindakannya itu tidak akan merobohkan menara kardus dadakan yang kini menghuni kamar barunya, padahal kardus-kardus itu berisi barang-barangnya.

Ia memilih untuk meletakkan kopernya begitu saja disamping single bednya—tanpa ada niatan untuk segera menyusun isinya disebuah lemari yang telah tersedia dan langsung merebahkan dirinya diatas kasur empuk yang telah bersih. Soal membereskan kamar bisa ia lakukan nanti, sekarang ia ingin istirahat.

Baru beberapa menit memejamkan mata, ia kembali dibuat terbangun oleh suara derap langkah yang terburu-buru didepan kamarnya. Bibirnya hendak melayangkan protes, sebelum pintu putih itu dibuka dengan brutal oleh seorang perempuan bersurai baby blue sepinggang yang mengenakan apron.

Wanita dengan bandana kain dikepalanya—dan sebuah teflon ditangannya itu memijit pelipisnya ketika melihat Kuroko justru asyik bersantai diatas kasurnya, "Kenapa kamarmu masih berantakan? Okaa-san 'kan sudah menyuruhmu untuk langsung membereskan."

Kuroko mendesah lelah, ia mengalihkan tatapannya dari sang wanita dan melambaikan tangannya, "Lelah, Okaa-san. Tapi akan kubereskan lima menit lagi, jika tidak lupa."

Alis wanita itu menukik tajam—tidak suka dengan jawaban asal dari orang yang merupakan putra tunggalnya itu. Maka, ia pun berjalan mendekat, menarik tubuh pemuda itu untuk segera bangun dari acara berbaringnya.

"Bangun, pemalas. Atau Okaa-san akan memotong jatah vanillashake bulananmu," ancamnya.

Tidak punya pilihan lain, Kuroko pun mengangguk pasrah, lebih baik ia menurut. Daripada jatah minuman favoritnya yang menjadi korban.

Ia dengan malas meraih kopernya, baru saja ia mengeluarkan satu stel pakaian, ibunya kembali bersuara, "Bereskannya nanti saja, sekarang cepat bersihkan dirimu dan turun kebawah. Okaa-san sudah menyiapkan makan malam. Otou-san juga sudah pulang."

Pemuda itu pun kembali mengangguk—memancing seulas senyum manis dari ibunya. Diambilnya satu stel pakaian itu dan sebuah handuk, hendak bergegas untuk mandi. Diam-diam, ia melirik kearah ibunya yang kini melihat-lihat isi ranselnya, lalu tiba-tiba ibunya itu tersenyum-senyum sendiri sebelum akhirnya berlalu.

Paling juga ibunya melihat barang koleksinya—begitu pikirnya. Ia pun segera bergegas untuk mandi. Sepertinya berendam sejenak dengan air hangat bisa mengurangi sedikit kadar lelahnya.

.-.-.

Tidak jauh berbeda dengan keadaan kamarnya, beberapa ruangan dirumahnya pun masih terlihat berantakan. Beberapa kardus dibiarkan menumpuk disudut ruangan. Bahkan, saat ia tadi melintasi ruang keluarga, ia melihat kardus berisi koleksi bukunya dan ayahnya tergeletak begitu saja didekat rak buku yang masih separuh terisi.

Yah, memang mereka baru saja pindah rumah. Pindah dari kota padat merayap, Tokyo menuju sebuah prefektur yang lebih tenang, Kyoto.

Mengabaikan hal itu, Kuroko beranjak pergi menuju ruang makan ketika mendengar suara cempreng ibunya berteriak memanggil namanya.

Sesampainya disana, ia disambut oleh omelan ibunya yang mengatakan jika Kuroko terlalu lama, sementara ayahnya itu hanya tertawa pelan.

Ritual makan malam mereka berjalan seperti biasa, tenang dan khidmat, jika saja ibunya itu tidak mengatakan sebuah hal yang membuatnya nyaris tersedak kari.

"Tecchan, nanti kau akan bersekolah di Rakuzan. Otou-san sudah mendaftarkanmu."

Demi semua vanillashake premium yang ada diseluruh dunia. Tolong katakan jika ibunya itu tengah mabuk sekarang—bisa jadi mabuk kari.

Baiklah, Kuroko memang menyetujui permintaan—lebih tepatnya permohonan ibunya selama 4 hari 4 malam—untuk ikut pindah bersama menuju Kyoto. Tapi seingatnya, ia tidak pernah menyetujui apapun tentang pemilihan sekolah barunya—ia ingat, ia bahkan mengajukan syarat kepada orangtuanya agar ia diberi kebebasan untuk memilih sekolah baru.

"Okaa-san, bukankah waktu itu Okaa-san bilang aku bebas memilih sekolahku nanti?"

Ibu Kuroko—Tetsumi memutar kedua bola mata topaznya bosan. Ia melirik kearah sang suami—Haru—yang tengah asyik menyantap hidangan makan malamnya, memberinya kode, yang sayangnya tidak dimengerti oleh sang suami. Buktinya, Haru masih saja terus memakan makan malamnya.

"Sekolah di Kyoto itu tidak terlalu banyak Tecchan, lagipula kau pasti belum tau banyak tentang sekolah-sekolah itu. Kenapa kau nampak keberatan? Bukankah Rakuzan sekolah yang bagus?" tanya Tetsumi.

"Bukan itu masalahnya," rengeknya—tumben.

Haru yang telah selesai dengan makan malamnya menatap putranya yang tengah merengek itu, "Lalu apa Tetsuya? Benar kata Okaa-san, Rakuzan adalah sekolah yang bagus. Lagipula disana ada teman SMPmu dulu 'kan?"

Kuroko merengut, ia memajukan piringnya—bertanda ia sudah tidak berniat lagi untuk menghabiskan makanannya, "Justru disitu letak permasalahannya, Otou-san. Aku tidak mau satu SMU dengan temanku dulu. Lagipula—"

"Apa karena Rakuzan baru kau kalahkan pada laga Winter Cup lalu? Kau jadi enggan untuk bersekolah disana?"

Pertanyaan ayahnya itu sukses pada intinya, membuatnya mengangguk. Toh memang benar, pada laga Winter Cup kemarin, Rakuzan baru saja dikalahkan oleh tim basket SMUnya dulu, Seirin. Rasanya pasti akan sangat aneh jika dirinya bersekolah disana, sekolah yang pernah ia kalahkan dulu.

"Ayolah Tetsuya, itu bukan masalah serius, kau pasti bisa mengatasinya nanti, toh itu pilihanmu untuk ikut klub basket atau tidak. Saran Otou-san, jika kau tidak ingin bermusuhan dengan Seirin, lebih baik kau mencari klub lain. Dan Otou-san mohon, jangan sia-siakan perjuangan Otou-san untuk mendaftarkanmu kesekolah elit itu Tetsuya."

Manik azurenya menatap tak tega pada sosok sang ayah yang kini tengah membujuknya. Ia pun pada akhirnya menghela nafas dan mengangguk, menerima keputusan sepihak dari kedua orangtuanya—toh pada dasarnya ia memang anak yang penurut.

Usai makan malam dan membantu ibunya berbenah rumah, Kuroko memutuskan untuk segera tidur. Lagipula besok adalah hari pertamanya bersekolah di Rakuzan, dan ia tidak ingin membuat citra buruk sebagai murid yang terlambat datang dihari pertama.

Namun niat tinggalah niat. Baru semenit ia terlelap, ia kembali terbangun. Tubuh mungilnya itu berguling kesana-kemari, membuat selimut putih yang membalut tubuhnya itu tersingkap. Pikirannya melayang kepada sosok pemuda bersurai crimson.

Akashi bersekolah di Rakuzan. Dan dirinya sebentar lagi akan menjadi siswa disana. Bagaimana jika mereka satu kelas?

"Argh!" teriak tertahan Kuroko. Ia menenggelamkan kepalanya kebantal—meredam teriakan frustasinya.

Ia tidak tau harus bersikap bagaimana jika seandainya ia bertemu dengan Akashi. Orang yang diam-diam ia kagumi.

Hah, semua ini semakin rumit saja.

'Sudah kuduga, mengikuti keputusan Okaa-san hanya akan menambah beban hidupku.'

.-.-.

Kuroko mematut bayangannya pada cermin. Ia menghela nafas ketika mendapati kantung mata dibawah matanya. Astaga, dirinya seperti bayi panda sekarang. Dan ia kembali menghela nafas ketika melihat pakaian yang sekarang ia kenakan, kemeja berwarna abu-abu kelam dan sebuah dasi hitam yang masih belum terikat sempurna.

Tangan itu bergerak untuk mengikat simpulnya. Percobaan pertama, gagal. Tidak menyerah, ia mencoba lagi dalam eksperimen pengikatan simpul dasi—dan berkali-kali ia gagal. Pemuda itu mengerang frustasi. Seingatnya dulu saat SMP, ia tidak pernah kesulitan dalam hal sepele seperti ini, kenapa sekarang ia justru hampir gila hanya karena sebuah simpul dasi?!

Ternyata bersekolah selama setahun lebih di Seirin—yang menggunakan gakuran sebagai seragamnya sukses membuatnya amnesia tentang cara bagaimana mengikat simpul dasi yang rapi dan benar.

Ia menyerah, dibiarkannya dasi itu menggantung tak terikat dilehernya. Disambarnya jas seragamnya dan juga sebuah tas hitam yang tergeletak rapi diatas ranjangnya—tak ketinggalan pula sebuah iPod putih dengan earphonenya yang selalu dibawanya kapanpun.

Dengan langkah sedikit terburu-buru, ia berjalan menuruni tangga. Mengucapkan selamat pagi pada ayahnya yang masih memberi makan Nigou—anjingnya, sebelum melesat menuju ruang makan, mengabaikan teriakan ayahnya yang protes dengan ikatan dasinya.

Sesampainya diruang makan, ia melihat ibunya tengah menyiapkan sarapan. Kuroko pun beringsut mendekati sang ibu, "Okaa-san, tolong bantu aku mengikat dasi."

Tetsumi yang baru selesai memanggang roti menatap heran putranya—sebelum tawanya meledak, "Astaga, Tecchan tidak bisa mengikat simpul dasi? Seingat Okaa-san dulu Tecchan bisa."

Kuroko kembali menghela nafas, "Aku amnesia, mungkin."

"Konyol sekali," cibir ibunya. Wanita itu kini tengah berkutat dengan dasi hitam putranya, mengikatnya dengan rapi, lalu menepuk-nepuk bahu putranya sebelum tersenyum lebar, "Nah, putra Okaa-san sudah terlihat tampan sekarang."

"Ehm, sepertinya aku sedikit cemburu disini," sela sebuah suara—Haru tentu saja. Pria itu baru saja datang keruang makan dengan sebuah koran ditangannya.

Ibu-anak itu hanya tertawa menanggapi candaan sang kepala keluarga Kuroko. Mereka berdua pun menempati posisi masing-masing, berniat menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh sang ibu.

"Tetsuya, perlu Otou-san antar kesekolah?" tanya Haru sambil melirik putranya yang tengah meminum susu vanilla—nutrisi hariannya.

Kepala baby blue itu mengangguk, "Jika Otou-san tidak keberatan."

Haru terkekeh geli, ia mengusak sayang surai baby blue milik putranya—yang tentu saja dihadiahi oleh sang pemilik karena tidak terima rambut rapinya diacak-acak oleh ayahnya.

"Baiklah, lekas bergegas, kurasa kau hampir terlambat."

.-.-.

Gerbang megah itu dipadati oleh manusia-manusia dengan balutan garmen sama—jas kelabu. Mereka berjalan dengan penuh percaya diri, terkadang menyapa satu sama lain. Suara tawa terdengar disana-sini, begitu pula dengan ucapan selamat pagi yang saling diucapkan satu sama lain.

Namun, ramainya suasana itu membuat seorang pemuda yang bernama Kuroko Tetsuya itu berdiam diri dengan wajah datarnya yang khas. Ia berkali-kali mencubit pipinya—berharap ini semua hanyalah mimpi—tapi pada akhirnya ia justru mengusap pipinya yang kini berubah kemerahan itu dengan raut sakit.

Jelas sakit, ini semua bukan mimpi. Berkali-kali pula rasanya ia ingin berlari pergi darisini, menuju stasiun kereta terdekat, pergi menaiki kereta menuju Tokyo dan menjalani harinya dengan tenang seperti biasa. Berangkat sekolah ke Seirin, latihan basket bersama timnya, lalu pulang dengan berbekal segelas vanilla shake Maji Burger favoritnya bersama dengan partnernya.

"Sudahlah, aku harus bisa menjalani semua ini,' batinnya menyerah. Ia pun memasang kedua earphonenya—yang tidak memutar lagu apapun, ia hanya ingin meredam suara bising disekitarnya, dan mulai melangkahkan kakinya. Sebisa mungkin ia memanfaatkan hawa keberadaan tipisnya untuk tidak menjadi pusat perhatian.

'Selamat datang Rakuzan, selamat datang hidup baru,' batinnya miris sambil melanjutkan perjalanannya menuju ruang guru.

Kuroko menghela nafas lega ketika melihat sebuah ruangan dengan papan bertuliskan Teacher's Room dihadapannya. Satu cobaan sudah terlewati, ia bisa mencapai ruangan ini dengan keadaan utuh, tanpa kekurangan suatu apapun, dan yang terpenting ia belum bertemu dengan Akashi Seijuurou.

Sampai detik ini, dirinya masih selamat.

Dilepasnya sepasang earphone yang menghiasi telinganya dan menyimpannya kembali kedalam saku celana seragamnya. Ia menarik nafas, mempersiapkan diri menemui guru yang menjadi guru walinya nanti. Semoga saja dia tidak segalak guru matematikanya di Seirin dulu—harapnya.

GREK

Pintu geser itu terbuka nyaring—membuat beberapa orang guru yang tengah bersiap menolehkan kepalanya. Kuroko membungkukkan badannya, "Sumimasen—"

Kata-kata seolah tersangkut ditenggorokannya, manik azure itu membulat sempurna ketika melihat atensi seseorang yang tidak asing baginya tengah berbincang dengan seorang guru dipojokan ruang guru.

Ia kalut, bagaimana ini? Keringat dingin mulai keluar dari pelipisnya, semantara itu, beberapa guru mulai menatapnya bingung.

"Kuroko Tetsuya?"

Kuroko menoleh kearah orang yang berada dibelakangnya—seorang pria paruh baya dengan surai hitam legam. Pemuda itu buru-buru membungkukkan badannya karena merasa tak sopan sudah menghalangi satu-satunya akses menuju ruang guru.

Namun sesaat kemudian ia mengerjapkan matanya bingung. Tunggu sebentar, dirinya adalah murid baru, kenapa guru ini bisa tau namanya?

"Aku guru walimu, Harada Fuji, kau bisa memanggilku Harada-sensei. Nah, karena kau sudah berada disini dan bel masuk sebentar lagi akan berdering, sebaiknya kita segera pergi kekelasmu, kelas 2-4," jelas pria didepannya ini seolah menjawab pertanyaan yang baru saja mampir kedalam otaknya.

Kuroko mengangguk, "Ha'i Sensei."

Ia pun beranjak mengikuti langkah guru didepannya. Sebelum benar-benar berlalu dari sana, ia menyempatkan diri untuk menilik keadaan didalam ruang guru. Ia bersyukur ketika melihat sosok yang tadi menjadi perhatiannya sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Hah, dia sangat bersyukur dianugrahi dengan keberadaan tipis seperti ini.

Baiklah, Kuroko mulai mencatatnya dalam otaknya,

'Hal terpenting yang harus kulakukan, jangan sampai bertemu dengan Akashi-kun.'

To be Continued.

(Saya bawa fanfik baru nih. Tangan saya gatel pengen bikin fanfik dimana Akashi itu seorang idol. Kyaa~!)

(Oh ya, ide cerita ini berasal dari lagu Sarishinohara punya MikitoP, lagunya bagus banget. Saya sampai tergila-gila. Ide ini langsung dateng ketika saya liat PV lagunya sama PV versi AkaKuronya. Jadi saya remix saja, dan jadinya seperti ini, lol. Ini disebut apa? Songfict atau bukan? Saya bingung, men.)

(Yasudah, segitu saja dulu ya. Tolong jangan hujat saya yang seenak jidat upload fanfik baru sementara yang lain udah mulai lumutan. Karena bagi saya, ide sekecil apapun itu harus dimaanfaatkan—supaya tidak mubazir, lol. Boleh minta reviewnya? Kalau responnya positif akan saya upload rutin, kalau tidak ya... tidak tau ._.)