DARK RED

.

HUNHAN AS MAIN CASTS

KAI-BAEKHYUN-KYUNGSOO, etc

.

©kyoonel1220

.

CRIME-PSYCHO-THRILLER

A/N: Di chapter ini banyak adegan kekerasandan menjijikan. Disarankan untuk tidak lanjut membaca jika tak kuat.

++ Dilarang membaca ketika sedang makan ++

+++ Diperuntukkan bagi readers yang mempunyai jiwa psik*o. Author hanya menulis, dan amat berperikemanusiaan :) +++

.

HARD-GORE!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tokyo, Jepang

14.00 PM

"Sepertinya ia memang benar-benar bersih!" keluh Suho keras. Kris memijat pelipisnya pelan.

"Sudahlah, toh, kita sudah mendiskusikan hal ini kepada Kepolisian Tokyo. Dan kita harus segera menghubungi beberapa rekan di New York untuk membantu proses penyelidikan. Jangan hanya karena para gangster tersebut tak tahu menahu mengenai Andrew Wastr, kau malah jadi uring-uringan sendiri." Jelasnya penuh wibawa.

Suho mendengus sekali, lalu mengangguk mengiyakan, "Aku jadi gemas sendiri. Kau tahu, kan, kalau dia itu cerdas. Aku berpikir, mungkin saja ia sudah mengetahui bahwa kita sedang mengejarnya sekarang. Insting, mungkin." Suho berpendapat. Kris mengangguk.

"Bisa saja. Pasti ada perasaan itu. Ia telah menjebloskan dirinya sendiri kedalam lingkaran hukum. Ia harus waspada, walaupun cerdas. Terkadang, orang cerdas pun akan menjadi bodoh detik itu juga, ketika kesialan menimpanya. Dan kuyakin, ia akan sial karena kita." Suho tersenyum optimis mendengar ucapan Kris.

"Kuharap seperti itu. Aku yakin kita bisa menumpas kasus ini secepatnya." Ia menyeringai.

.

.

Apartemen 357

07.15 AM

"Apa yang kau pikirkan?" suara berat Sehun membuat Luhan sedikit terperanjat. Ia langsung duduk tegap dengan selimut yang masih melekat pada tubuhnya. Sehun baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melingkari pinggangnya. Harum shampoo Sehun menguar karena pria itu terus mengusak rambutnya dengan handuk kecil. Luhan hanya tersenyum kecil menanggapi, Sehun menaiki satu alisnya.

"Kelasku dimulai pukul delapan, ingat?" Sehun melangkahkan kakinya menuju tepian ranjang. Luhan memalingkan wajahnya ketika Sehun sudah duduk di sebelahnya. Pria itu tampak begitu seksi serta memesona dengan tubuh-setengah-telanjang-sedikit-basahnya.

"Tatap aku selagi aku berbicara." Ujar Sehun datar, ia membelai pipi kanan Luhan. Luhan memejamkan matanya sejenak, lalu menoleh dan menabrakkan matanya dengan Sehun.

"Aku tidak enak badan." Jawabnya. Telapak tangan Sehun masih setia menangkup pipi Luhan yang terasa amat lembut, "Kau tidak panas." Ujarnya, heran. Luhan menurunkan tangan Sehun lalu mengusapnya, "Aku ingin istirahat. Lukaku masih perih."

Raut wajah Sehun yang semula datar menjadi sedikit tegang. Ia mengerutkan dahinya dalam-dalam. Tak suka akan jawaban Luhan, yang secara tak langsung menyalahkan dirinya. Ia mengembuskan napas, "Terima kasih." Gumamnya pelan, namun masih dapat didengar oleh Luhan. Ia bangkit dari tepian ranjang lalu berjalan menuju almari pakaiannya.

Luhan mengamati Sehun dalam diam. Pria itu sedang memilah pakaian. Sedang Sehun sendiri, ia merasa sedikit bersalah pada Luhan. Ia telah menyakiti Luhannya. Seharusnya, ia tak terlalu menggebu saat bersama Luhan, harusnya juga ia bisa menahan gejolak perasaan ingin menyakiti Luhan dengan baik dan terkendali. Setidaknya, baru awal saja, ia tahu, bahwa Luhan terlalu takut padanya. Ia terlalu gegabah dengan membuat Luhan segan padanya. Padahal seharusnya, ia membuat Luhan merasa nyaman dan senang berada di dekatnya—awalnya. Namun, emosinya yang kerap kali tak stabil serta sisi kelamnya yang menuntutnya agar bertindak di luar , tindakan memang tak sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

"Kalau kau ingin makan, aku sudah memanggang roti, di meja makan." Ucap Sehun sambil mengancingkan dua kancing teratas kemeja bergaris hitam-putihnya. Luhan mengangguk, meski tidak di lihat oleh Sehun. Sehun berbalik dan melempar handuk kecilnya ke keranjang sebelah kamar mandi. Ia mengusak rambutnya asal dan kembali menghampiri Luhan.

Sehun langsung saja menghimpit tubuh Luhan sehingga sang empunya tersandar secara paksa pada sandaran ranjang, lalu ia menyapu bibir lembut Luhan dengan gerakan memuja. Luhan bergeming selama beberapa detik, namun lumatan di bibirnya nampaknya semakin menggebu, ia pun turut membalasnya. Mereka berciuman intens—tanpa lidah. Bibir Luhan sungguh lembut, Sehun seakan terbuai ketika Luhan membalasnya dengan lumatan yang sangat memabukkan. Tangan Luhan bergerak menelusuri rahang tegas Sehun, kemudian ia melepaskan pagutan mereka. Napas keduanya sedikit tersengal dan panas, aroma maskulin Sehun membuat Luhan terus-terusan beranggapan bahwa Sehun adalah Dosen terseksi yang pernah ia temui.

Lama keduanya saling bertatap, Sehun memutuskan kontak mata mereka dengan melumat kembali bibir Luhan, "Aku harus mengabsenmu apa?" tanyanya setelah puas menyesapi bibir Luhan. Luhan terlihat berpikir, "Kau tahu apa yang harus kau lakukan." Balasnya tenang, menatap iris Sehun lekat. Sehun terkekeh pelan, lalu mengecup singkat kening Luhan. Ia bangkit dan kembali berjalan menuju almari. Ia melepas handuk yang sedari tadi menutupi area pribadinya itu, mau tak mau, mata Luhan menangkap dua bongkahan kenyal itu, ia memalingkan wajahnya.

"Aku akan memberitahu seluruh warga kampus, bahwa kau sedang beristirahat di apartemenku." Ia membalikkan badan dan menaikkan boxernya. Ia tersenyum geli melihat Luhan yang merona dari samping. Luhan menoleh dan mendapati Sehun yang tengah menyeringai ke arahnya. Ia berdesis pelan, "Bodoh." Sehun memakai celana jeans hitamnya dan menatap Luhan posesif.

"Kau tak boleh kemana-mana sebelum aku pulang. Kalau sampai aku tak mendapati dirimu ketika pulang, aku akan membakarmu hidup-hidup." Luhan mengembuskan napasnya kasar, "Aku disini. Menunggumu." Sehun tersenyum senang mendengarnya, ia mengambil tas ranselnya dan kembali menghampiri Luhan.

"Tak usah tutupi dadamu seperti itu." Gumamnya datar—ia sedang mencari sesuatu dalam tasnya, tanpa menatap Luhan. Luhan mengusak rambutnya gusar, salah tingkah, "Setidaknya, berikan aku kaos." Sehun tak mengindahkan ucapan Luhan, ia menemukan benda yang sedari tadi dicarinya. Ditatapnya benda itu dengan pandangan berbinar.

"Kau tahu, Luhan. Selain mengagumimu, aku juga mengagumi ini." Lalu ia mengacungkan pisau besar kesayangannya tepat di depan wajah Luhan. Luhan membelalak, "Jauhkan benda ini, S-Sehun." Cicitnya tergagap. Sehun menyeringai, ia malah memutar-mutar pisau tersebut di hadapan Luhan. Sehun menempelkan pisau tersebut pada pangkal hidung Luhan. Luhan menahan napas sejenak. Sehun menekan pisau tersebut hingga terdengar desisan lirih Luhan. Hampir berdarah.

"Tidak, sayang," gumam Sehun lembut. Luhan tak berani menatap mata Sehun, ia menunduk. Sehun menarik pisau tersebut lalu mengecup ujungnya. Ia memasukkan pisaunya ke dalam tas yang lalu disandangnya.

"Tidak untuk sekarang." Sambungnya menyeringai. Luhan tetap menunduk, membuat Sehun gusar—merasa tak diperhatikan. Ia menjambak kuat rambut belakang Luhan, sehingga membuat mata Luhan bertubrukan langsung dengan matanya. Sehun dapat melihatnya, ekspresi ketakutan Luhan.

"Kau milikku, Luhan. Jangan pernah mencoba menjauhiku. Jika itu terjadi, aku akan mengeluarkan paksa otakmu lalu membakarnya sampai lenyap. Atau mungkin, lebih dari itu." Ucap Sehun rendah, sangat dingin. Luhan berusaha keras agar tak menumpahkan air matanya yang tengah menggenang itu. Ia sungguh takut pada Sehun jika seperti ini. Sehun melepaskan jambakannya kasar, lalu ia mendekatkan wajahnya pada Luhan. Di kecupnya kedua mata Luhan yang tengah terpejam itu. Ia menyeka air mata Luhan tak sabaran, lalu ia mengecup bibir Luhan.

"Kau milikku." Tegasnya.

.

.

"Apa Luhan masuk?" tanya Kyungsoo setelah mendudukan dirinya di samping kursi Baekhyun. Baekhyun mengacak rambutnya gusar, "Aku tidak tahu, Kyung. Bahkan, kemarin aku terus menghubungi Kai, namun tak ada satupun balasan darinya. Aku bingung." Kyungsoo terlihat berpikir mendengar ucapan Baekhyun.

"Apa yang harus kita lakukan, Kyung? Bisa-bisanya mereka tak ada kabar seperti ini. Ya Tuhan, aku sangat mengkhawatirkan Luhan." Baekhyun memijat pelan pelipisnya. Kyungsoo menepuk-nepuk singkat bahu Baekhyun, "Kita harus mengunjungi apartemen dan rumah Luhan lagi nanti." Ujarnya yang mendapat anggukkan lesu dari Baekhyun.

"Selamat pagi." Suara berat nan ramah itu membuat suasana kelas yang semula riuh menjadi senyap.

"Pagi." Jawab seluruhnya. Sehun tersenyum ramah lalu melangkahkan kakinya menuju mejanya. Ia menaruh ranselnya dan kembali berjalan hingga berdiri di depan. Ia menggulung tangan kemejanya, lalu berkata, "Lima dari kalian silakan maju. Berbicara mengenai Tindak Pidana beserta Undang-Undangnya. Untuk nilai tambahan kalian. Siapa cepat, dia dapat."

Keadaan kelas menjadi semakin senyap setelah Sehun berseru. Sehun menaikkan sebelah alisnya. Bodoh sekali mereka, pikirnya. "Angkat tangan bagi yang sudah siap." Tuturnya kemudian berjalan kembali menuju mejanya. Ia mengambil buku absen, matana langsung tertuju pada absen nomor 15, 'Lu Han'.

"Luhan tak masuk. Ayahnya menghubungiku bahwa Luhan sedang tak enak badan." Ujar Sehun tenang. Mendadak suasana kelas menjadi bising. Baekhyun menyenggol siku Kyungsoo pelan, lalu mendekatkan bibirnya ke arah telinganya.

"Luhan tak enak badan, katanya." Kyungsoo mengangguk mendengar ucapan Baekhyun. "Dari mana pula Paman Xi mengetahui nomor ponsel Sehun? Mengingat, ia adalah seorang yang super sibuk." Tambahnya. Kyungsoo mengembuskan napasnya pelan, Baekhyun menjauhkan diri dari Kyungsoo karena mendapat tatapan tajam dari Sehun.

"Kau tahu, aku mempunyai firasat tak mengenakkan tentang ini." Gumam Kyungsoo yang masih dapat di dengar oleh Baekhyun.

.

.

.

Luhan terbangun. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Ia mengucek matanya beberapa kali, lalu bangkit dan melangkah menuju almari Sehun. Luhan memejamkan matanya sesaat ketika ia membuka almari Sehun, aroma Sehun yang Luhan sukai. Ia memilah tumpukan baju Sehun, ia mendapatkan kaos putih. Di pakainya kaos itu—kebesaran, tentu saja. Ia juga memakai boxer Sehun. Luhan mengacak rambutnya pelan, ini jauh lebih baik daripada ia tak mengenakan sehelai benangpun.

Luhan enggan untuk mandi. Tubuhnya masih terasa nyeri, Sehun memang luar biasa. Lagipula, cuaca di luar sedang mendung. Luhan melihat-lihat kamar Sehun. Bercorak titik-titik garis dengan warna merah-hitam. Catnya berwarna dark brown. Ia melangkah menuju cermin. Tak ada perbedaan berarti pada fisik Luhan, hanya saja, wajahnya terlihat lelah. Ini masalah hati dan logika. Luhan menyentuh pantulan dirinya pada cermin. Ia telah terpenjara dalam kehidupan Sehun. Sehun, Dosen muda yang dingin serta sakit itu, bahkan sebelum Luhan mengetahuinya, ia telah terjerat oleh Sehun. Pikirannya melayang. Beberapa perlakuan tak wajar Sehun pada dirinya, membuatnya takut sekaligus senang. Hati Luhan yang rapuh seakan telah diperdaya oleh pesona Sehun. Logika Luhan mengekang, namun, tak dapat dipungkiri pula, ia sungguh menyukai Sehun.

"Sehun sakit. Apa yang membuatnya seperti itu? Apa hanya kepadaku? Ia terobsesikah kepadaku? Aku menyukaimu, Sehun. Secara tak langsung, kau membalas perasaanku. Namun, sikapmu yang di luar nalar itu sungguh membuatku takut." Monolog Luhan sendu. Ia kembali menuju almari Sehun. Ia mencari-cari kartu nama yang kemarin baru ia temukan saat Sehun sedang pergi.

"Ah, ke mana kartu nama itu?" gumam Luhan masih terus mencari. Nihil. Ia tak menemukannya. Luhan mengacak rambutnya kesal, "Padahal aku belum sempat menanyakan kepadanya. Siapa gerangan Andrew Wastr itu." Ia berdecak, lalu berjalan kembali ke ranjang. Ia duduk pada tepian ranjang. Sedikit mencondongkan tubuh ke depan, Luhan ingin mengetahui isi laci nakas Sehun.

"Oh." Ia menemukan beberapa paku payung yang tercecer dan silet yang tertumpuk rapi di laci pertama. Luhan mengambil salah satu silet tersebut dengan hati-hati. Ia baru menyadari, bahwa seluruh silet dan paku payung tersebut telah berkarat. Luhan menutup laci pertama, ia membuka laci kedua.

Luhan hampir saja berteriak melengking—untung ia bisa menahannya. Matanya menangkap beberapa—yang Luhan yakini adalah jari manusia, terpotong-potong. Ia dapat melihat, potongan jari teratas dengan kuku yang hampir terkupas sepenuhnya di nodai oleh darah kering. Potongan jari-jari tersebut memenuhi laci kedua nakas. Pucat dan membuat siapapun pasti bergidik ketika melihatnya. Luhan menahan napas selama memerhatikan, kemudian ia tutup dengan cepat laci nakas tersebut. Ia mual sekali. Luhan menarik napas lalu membuangnya pelan.

Apa-apaan dia? Menyimpan potongan jari manusia pada laci nakas? Seratus persen, Oh Sehun sakit, pikirnya. Luhan mulai bertanya-tanya, itu berarti, ia bukanlah satu-satunya yang di klaim oleh Sehun. Malah ada yang jauh lebih tragis. Luhan mengempaskan tubuhnya, tak habis pikir. Bahkan Sehun sampai menyimpan. Ia memandangi langit-langit kamar Sehun. Saat ini, ia tengah terperangkap pada alur permainan Sehun terhadap dirinya, ia jadi teringat Kai.

Bagaimana keadaanmu, Kai? Apa yang sedang kau lakukan? Aku mengakui, aku menyukai Sehun. Dan sekarang, aku ada di apartemennya. Aku menyukainya, namun tidak dengan sikap meledak-ledaknya, kumohon dengar. Bawa aku pergi dari sini, Kai.

.

"Makanlah barang satu suap, Tuan Muda." Pinta Bibi Ahn namun tak diindahkan. Bibi Ahn menghela napas sekali. "Bagaimanapun juga, kau harus makan, Tuan. Kalau tidak, kondisimu akan semakin parah." Paksanya lagi.

"Aku tidak ingin. Jangan memaksaku, silakan keluar." Tutur sang Tuan Muda—Kai, dingin. Bibi Ahn pun mau tak mau menaruh mangkuk supnya di atas laci nakas Kai. Ia membungkuk sopan kemudian berlalu meninggalkan Kai.

Kai melirik ke arah pintu sepeninggal Bibi Ahn. Ia menghela napas berat, tak enak hati pada Bibi Ahn. Ia mencoba mendudukkan dirinya, namun gagal. Ia paksa lagi, sedikit duduk. Ia bersandar pada kepala ranjang. Matanya menatap lurus ke depan. Pikirannya melayang. Sekelebat kejadian luar biasa yang telah dialaminya kemarin kembali terngiang di otaknya. Ia memejamkan matanya sesaat.

.

.

Aku amat bersyukur ketika sudah berhasil melepas lilitan tali dan rantai yang menjerat tubuhku. Aku merasakan pening yang teramat ketika mencoba untuk berdiri. Efek empat paku yang tertancap pada tubuhku, dan aku merasa getaran-getaran halus pada tubuhku karena aliran listrik bertekanan tinggi tadi masih sedikit menyelingi tubuhku. Membuatku sedikit linglung. Kulihat sekeliling ruangan. Kobaran api kian meluas dan besar. Aku masih setia pada posisiku. Duduk terdiam. Aku berpikir keras, bagaimana cara untuk bisa selamat dari tempat ini.

Aku meluruskan kakiku dengan susah payah. Kakiku terasa mati rasa. Darah masih setia mengaliri daerah lututku. Kugerakkan perlahan tanganku, bermaksud ingin mencabut paku yang tengah tertancap pada lututku. Aku menengadahkan kepala dan memejamkan mata kuat-kuat ketika paku itu sudah terangkat seperempatnya. Aku menangisberusaha tak meraung karena sakit yang luar biasa ini. Napasku menjadi satu-satu. Kurasa aku tak bisa mencabutnya, paku tersebut sangatlah besar. Aku membuka mataku kembali, kobaran api kini sudah semakin menjadi.

Aku menepuk-nepuk kasar kepalaku. Rambutku dihiasi api. Cara satu-satunya adalah, aku harus merayap menggunakan bokongku sebagai tumpuannya. Aku menumpukkan kedua tanganku yang terasa amat nyeri tiap kali melakukan pergerakan. Aku menegarkan hati, menembus api tersebut secepat mungkin. Aku seperti terbakar hidup-hidup. Sedikit lagi sampai pintu. Aku berusaha sebisa mungkin untuk sedikit membuka mata. Tanganku terasa kebas seketika saat berhasil meraih gagang pintu tersebut. Aku menguatkan diriku sendiri. Aku harus bisa keluar dari neraka dunia ini. Aku menoleh ke belakang, beberapa benda yang sudah kabur dari pandanganku mulai berjatuhantermasuk lampu dan almari.

Kukerahkan seluruh tenagaku yang tersisa guna menurunkan kenop tersebut. Semakin kucoba menekan, semakin perih pula tanganku. Tanganku sempat tergelincir beberapa kali, namun pada percobaan ketiga, kenop tersebut berhasil kubuka. Tanpa membuang waktu, aku dengan cepat membuka lebar-lebar pintu lapuk tersebut dengan dahi. Aku kembali merayap, berusaha keluar dari sana.

Aku sudah sampai di depan pintu. Kututup kembali pintu tersebut dengan napasku yang tinggal satu-satu. Mataku terasa terbakar saking perihnya. Tubuhku mati rasa. Mataku kunang-kunang. Yang kulihat terakhir kali adalah, sepasang mata hitam yang tepat menatap mataku. Aku merasakan pusing yang teramat setelahnyavertigo bertekanan tinggi. Lalu semuanya menjadi gelap.

.

.

Kai membuka matanya. Siapapun pemilik sepasang mata hitam saat itu, Kai sangat berterima kasih. Orang itu telah menyelamatkan hidupnya. Kai pikir, saat itu adalah saat terakhirnya membuka mata, namun Tuhan berkehendak lain. Ia membuka mata keesokan harinya. Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan serba putih dengan bau yang khas.

Tanpa disadari, air mata meluncur dari matanya. Ia menatap nanar kaki kanannya yang tengah di gips dan tergantung. Bukan fisik saja ia sakit, namun batin pula. Niat awalnya, ia hanya ingin mencari Luhan, namun bukannya hasil yang didapat, malah kesialan. Kai menggemeletukkan giginya keras. Ia sungguh kacau saat ini. Perban membalut bentuk wajah Kai dengan sangat apik, mulai dari kepala. Bahkan matanya masih merah dan berair karena terpaan api. Wajahnya mengalami luka bakar yang serius, bahkan sebagian rambutnya rontok dan di beberapa titik kepalanya melepuh berkat api tersebut. Di lehernya tepasang gips.

Hal yang Kai sesali adalah, dirinya malah ingin mencabut paku pada lutut kanannya, sudah seperempat terangkat, malah tidak diteruskan. Kobaran api yang ganas itu lantas membakar badan paku tersebut hingga berkarat. Paku tersebut tertancap cukup lama pada lutut Kai, terlebih saat ia dengan terpaksa menerjang api. Darahnya sudah terinfeksi karena paku tersebut. Paku di kedua lengan dan bahu Kai tak masalah karena lubang luka Kai tertutup walaupun kobaran api menyelimuti dirinya. Pada kasus Kai, para dokter pun mengambil tindakan operasi—dan memang itulah satu-satunya cara untuk mengeluarkan paku tersebut.

Kendati demikian, Kai mendengar dengan telinganya sendiri—ketika ia siuman, dokter berkata pada Bibi Ahn bahwa mereka berniat mengamputasi kakinya. Karena lutut kanannya terinfeksi cukup parah. Tim dokter pun sudah berupaya sebaik mungkin untuk memberi obat-obatan yang kiranya dapat meredakan virus yang kini tengah mengerubungi kaki Kai. Kalau dibiarkan saja, virus-virus tersebut bisa menjalar, bahkan mungkin sampai ke pangkal kaki Kai.

Bukan itu saja, bahkan di saat keterpurukannya saat ini, orang-orang yang disayanginya malah menghilang bak ditelan bumi. Pertama, Ayahnya. Ketika Bibi Ahn menelepon Ayah Kai sesaat setelah ia datang ke rumah sakit, teleponnya tak aktif. Kemudian hari ini pun masih sama. Kedua, Luhan. Kemana Luhan disaat seperti ini? Masih saja menghilang. Mengapa pula ia tak menghubunginya? Perihal menghilangnya Luhan membuat Kai bertanya-tanya. Apa mungkin kekasihnya itu diculik? Disekap seperti dirinya? Oh, tidak. Jangan sampai.

Apa mungkin Sehun yang membuat Luhan seolah-olah lenyap dari muka bumi? Tapi itu tak mungkin, mengingat kemarin Sehun-lah orang gila yang sudah membuatnya sengsara. Mengingat Sehun, membuat rahang Kai mengeras. Ia sungguh murka pada pria berstatus dosen tersebut. Kai menggertakkan giginya. Ia sungguh membenci Sehun. Sehun yang membuatnya akan segera kehilangan kakinya, karena ia menolak mentah-mentah permintaan Sehun—agar ia meninggalkan Luhan.

"Aku akan membalasmu, Sehun." Geramnya, tangannya terkepal kuat.

.

.

.

"Sehun, tunggu!" seru Baekhyun. Sontak Sehun menghentikan langkahnya karena merasa dipanggil. Ia berbalik dan mendapati Baekhyun yang tengah terengah beserta Kyungsoo. Ia berusaha bertampang datar.

"Ada apa?" tanyanya ketika Baekhyun dan Kyungsoo sudah berada di hadapannya. "Kami ingin menanyakan sesuatu padamu." Balas Kyungsoo. Sehun menghela napas dan melirik sekilas arloji klasiknya, "Langsung saja. Waktuku tak banyak."

"Ini masalah Luhan." Ujar Baekhyun cepat. Sehun menaikkan satu alisnya ketika mendengar nama Luhan. Ia memasang raut wajah Luhan-kenapa. Baekhyun memerhatikan sekitar lorong, sudah agak sepi. Ia menatap Sehun serius lalu berkata, "Apa benar Tuan Xi meneleponmu? Ia mengatakan apa tentang Luhan? Dari mana pula Paman Xi mempunyai kontakmu? Dan, Luhan ada di mana saat ini?" Sehun berusaha menahan laju tangannya yang sangat gatal ingin merobek paksa mulut Baekhyun. Ia membenarkan kerah kemejanya.

"Aku—"

"Kau tahu, bahkan dari kemarin aku dan Kyungsoo sudah mencari-cari Luhan yang sepertinya menghilang entah kemana. Nomor ponselnya tak aktif. Kami juga mengunjungi apartemen dan rumahnya, dan sekarang kami mendapat kabar darimu, bahwa Luhan sedang tak enak badan jadi tidak masuk. Kemarin, kami mendapati apartemen dan rumah Luhan kosong melompong dan tak ada Tuan rumah beserta Bibi Feng—asisten rumah tangganya. Bahkan Kai—kekasihnya, hari ini juga tak masuk. Kemarin ia juga mencari Luhan, sama seperti kami. Tolong beri kami penjelasan." Ujar Baekhyun panjang lebar. Sehun menghela napas pendek lalu tersenyum tipis. Ia sungguh benci ketika dicecar pertanyaan seperti itu.

"Dengar. Pertama, aku juga tak tahu dari mana Ayah Luhan mengetahui nomorku. Kedua, ia berpesan padaku agar kalian jangan mengunjungi Luhan dahulu—ia tak memberikan pernyataan spesifik perihal di mana Luhan berada, kondisinya masih sangat sakit. Apa sudah jelas? Aku harus pergi." Jawab Sehun yang diakhiri dengan senyuman tipisnya lagi. Ia membalik badan dan ia mengeraskan rahangnya. Sial, baru berbincang kali pertama dengannya saja sudah membuatku muak. Tikus kecil kurang ajar yang harus kuberi ganjaran. Tak tahu berbicara dengan siapa, ya. Sehun pun berlalu meninggalkan mereka.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Baek?" tanya Kyungsoo sepeninggal Sehun. Baekhyun mengacak rambutnya gusar, "Kau tahu, Kyung. Entah mengapa, aku tidak terlalu yakin akan pernyataan Sehun tadi. Ditambah, hari ini Kai juga tak masuk. Apa kau sudah menghubungi Kai?" Kyungsoo menggelengkan kepalanya lalu dengan cepat mengambil ponselnya menelepon Kai. Berkali-kali sudah di telepon, namun tak ada jawaban berarti. Ia berdecak,

"Tak diangkat." Ucap Kyungsoo lesu. Baekhyun menjentikkan jarinya tak sabaran, "Kita ke apartemen Luhan lalu ke rumah Luhan dahulu. Setelah memastikan keadaan Luhan, baru kita ke rumah Kai. Bagaimana?" tanyanya yang mendapat anggukkan oleh Kyungsoo.

.

.

Sehun membanting keras pintu utama. Ia mengempaskan kasar tubuhnya pada sofa tua yang terdapat di sana. Sekarang pukul satu siang, namun tangannya sudah gatal sekali ingin bekerja, maka dari itu ia ke sini. Sebelum mereka, Sehun ingin pemanasan terlebih dahulu. Ia membuka kasar pintu utama. Jalan yang selalu sepi. Terang saja, mana ada orang yang mau melintasi gang sempit yang terdapat rumah tua di dalamnya. Bisa di bilang, ini adalah markas Sehun. Walaupun bukan tempat yang terbilang strategis, rumah ini dipakainya semata-mata hanya untuk beraksi. Kau tahu, koleksi Sehun perihal organ dalam sepertinya tak terhitung. Sehun menghabisi, lalu mengorek, dan berakhir memajang. Kakinya bahkan menginjak usus terburai—ia mendapat mangsa penutup, setelah menyiksa Kai kemarin.

Ia membanting kembali pintu utama. Ia meninju keras pintu tersebut hingga beberapa serpihan kayu menancap pada kepalan tangannya. Sehun mengacak rambutnya gusar, berpikir keras. Ia sangat tahu, bahwa Baekhyun dan Kyungsoo adalah orang-orang yang berbahaya—ancaman bagi dirinya. Kai sudah ia beri ganjaran, dan Sehun 99% yakin bahwa pria itu sudah tewas mengenaskan dengan tubuh dipenuhi luka bakar. Sehun menyeringai, ia berjalan menghampiri gumpalan panjang-panjang di sudut ruang utama. Ia sengaja menjemurnya seperti menjemur pakaian. Ditariknya salah satu, "Apa milik mereka sekenyal ini?" ia terkekeh sembari menekan-nekan gumpalan panjang yang licin itu dengan gemas.

Sehun menjepit kembali gumpalan panjang—usus tersebut. Ia berjalan ke arah kamar satu-satunya yang terdapat di rumah itu. Suara kriet menggema ketika ia membuka pintu kamar reyot tersebut. Debu dan sarang laba-laba menyapa penglihatannya. Ia berjalan perlahan menghampiri lemari. Dibukanya lemari tersebut. Seketika Sehun tertawa keras—menyeramkan, belum terkelupas sempurna ternyata. Terdapat tiga onggokkan. Semuanya digantung dengan rantai berkarat.

Di sudut paling kanan, terdapat mayat gadis dengan tangan yang tersisa satu. Lidahnya terjulur, matanya digenangi darah kering—terbelalak, dan tepat di dada sang gadis naas itu tertancap pedang—tembus hingga punggungnya—yang belum Sehun cabut dari dua hari yang lalu. Di tengah, mayat seorang lelaki dengan mata kiri yang kosong dengan mata satunya yang sudah tak memiliki bola mata. Perutnya terbuka sempurna. Isi perutnya tercecer mengenai sepatu mahal Sehun. Ususnya terburai tanpa malu-malu. Dan yang paling kanan, mayat seorang anak kecil dengan mulut yang terobek, memperlihatkan gigi-giginya yang dipenuhi darah kering. Kepalanya bolong, sehingga otak bocah lelaki tersebut mengintip tanpa malu-malu. Paku-paku besar tertancap dengan apiknya memenuhi perut bocah tersebut. Jumlahnya sangat banyak.

Tangan Sehun terjulur. Ia mengorek isi kepala bocah tersebut dengan wajah berseri. Tak sampai lima detik mengorek, ia berhasil mendapatkan gumpalan bulat nan kenyal tersebut. Diambilnya secara paksa otak yang masih dibanjiri darah segar tersebut. Otak merah tersebut memenuhi telapak tangannya, Sehun menyukai fakta itu. Ia remas beberapa kali otak tersebut. Testur kenyalnya membuat Sehun senang sekaligus terpukau. Ia menyeringai, kemudian berjalan menghampiri salah satu sofa lapuk di sana. Diambilnya kotak berukuran sedang itu. Sehun tak mau repot-repot membersihkan noda otak tersebut, ditaruhnya otak itu dengan perasaan membuncah. Ia tutup kembali dan berjalan menghampiri laci nakas. Diambilnya dua botol dengan ukuran berbeda. Sehun menghampiri kembali tiga mayat tersebut.

"Aroma kalian lebih busuk dari sampah. Kalian seharusnya berterima kasih padaku, karena aku berbaik hati menyirami cairan ini pada kalian." Monolog Sehun sambil terus menyirami mereka dengan botol berukuran sedang. Sehun melempar asal botol tersebut—pengawet mayat. Kemudian dirinya mendekat, ia menarik kasar kulit wajah mayat sang gadis yang sudah terkelupas setengahnya. Sehun tertawa senang ketika berhasil mencabutnya. Ia simpan robekan kulit wajah itu pada kotak yang sama tempat ia menyimpan otak. Sehun menabur-naburkan bubuk di botol berukuran kecil itu pada ketiganya. Perlu diketahui, bubuk tersebut adalah bahan kimia berbahaya yang bisa membuat kulit manusia terkelupas dan akan memperlihatkan gumpalan daging manusia jika bubuk tersebut mengenai kulit manusia. Dan jika sudah tiga kali terkena, mereka dipastikan akan merasa tubuhnya terbakar dan berakhir tak memiliki kulit. Sehun baru memakaikan pada mereka dua kali, dan sekarang tiga. Sehun tersenyum puas ketika bubuk tersebut sudah habis ia pakaikan. Tinggal ia tunggu besok, pasti mereka sudah mengelupas sepenuhnya. Sehun pun menutup lemari tersebut dengan seringaian yang menghiasi wajah tampannya.

Dengan cepat Sehun kembali melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Diletakkannya kotak tersebut pada ranselnya. Sehun becermin dengan seringaian yang masih setianya terpampang pada wajah rupawannya. Ia membenarkan kerah kemejanya. Menatap tajam pantulan dirinya.

"Oh Sehun memang hebat. Oh Sehun hebat. Kau adalah penguasa dunia. Sekali mereka mengusik hidupku, maka detik itu juga mereka tidak akan pernah melihat dunia lagi. Oh Sehun, kau hebat." Monolognya dengan tangan terkepal kuat dan seringai yang kian menakutkan.

.

.

.

"Permisi!" teriak Baekhyun pada sumber suara depan pintu gerbang megah rumah Luhan. Tiba-tiba bunyi bip terdengar. Dan sebuah suara menjawab, "Selamat datang di kediaman Keluarga Lu. Di sini Kepala Keamanan Jae. Ada yang bisa kubantu?"

"Paman Jae! Ini Baekhyun dan Kyungsoo. Bisakah kau membuka pintu gerbang ini secepatnya? Aku ada perlu dengan Luhan!" jawab Baekhyun cepat. Terdengar suara bip lagi, "Tuan Byun dan Do? Baiklah, tunggu sebentar." Tak lama kemudian, pintu gerbang terbuka. Tanpa aba-aba, Baekhyun dan Kyungsoo memasuki kediaman Luhan dengan tergesa. Baekhyun menekan bel rumah Luhan tak sabaran. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita setengah baya.

"Tuan Baekhyun dan Kyungsoo?" spontan wanita tersebut, sedikit terkejut. Baekhyun langsung memegang kedua bahunya, "Bi, apa Luhan ada di dalam?" tanyanya cepat. Wanita tersebut—Bibi Feng, mengerutkan dahinya dalam-dalam. Ia menatap air wajah Baekhyun yang sepertinya gusar, "Tuan Muda Luhan tidak ada di rumah. Kalian tahu sendiri, bahwa Tuan Muda lebih suka tinggal di apartemennya daripada di sini. Ia hanya akan pulang ke rumah kalau ingin saja atau keperluan penting yang mengharuskan ia berada di rumah." Balas Bibi Feng. Baekhyun berdecak lalu melepas pegangannya dari bahu Bibi Feng. Bibi Feng menatap keduanya penuh tanya,

"Memangnya ada apa, sih, Tuan?" tanyanya pelan. Kyungsoo melirik Baekhyun yang sedang memijat pelipisnya, ia menghela napas, "Jadi, kami mendapat kabar dari salah seorang Dosen, bahwa Luhan tak masuk hari ini karena sakit. Ia berkata, bahwa Paman Xi sendiri yang menghubunginya. Kau tahu, Bi, dari kemarin juga, kami mencari Luhan yang sepertinya menghilang bak ditelan bumi. Ponselnya tak aktif sampai sekarang. Aku dan Baekhyun juga habis dari apartemen Luhan, dan tak mendapati dirinya di sana."

Bibi Feng membelalakkan matanya mendengar penuturan Kyungsoo. "Kami mencari bersama Kai kemarin, Bi. Dan sekarang, baik Kai maupun Luhan juga tak masuk. Ponsel Kai mendadak tak aktif." Lanjutnya. Bibi Feng terlihat berpikir, "Tuan Besar Xi tak mengabari orang rumah kalau Tuan Muda tak masuk kuliah karena sakit. Ia juga tak memberikan nomor ponselnya ke sembarang orang. Lagipula, seperti yang kalian tahu, Tuan Besar adalah orang yang acuh dan sangat sibuk. Bahkan, Tuan Muda saja seringkali tak dipedulikan olehnya."

Baekhyun menjambak rambutnya sendiri gemas, "Aku sudah menebak, pasti terjadi apa-apa pada Luhan. Dan, apa hubungan Sehun dan Luhan sampai-sampai Sehun yang notabenenya seorang yang sangat dipuja serta cerdas itu…berbohong?" Kyungsoo mengedikkan bahunya sembari berdecak, "Aku sudah bilang dari awal, kan, bahwa Dosen putih-pucat-seperti-mayat itu memang tak beres. Maksudku, di dalam dirinya seperti ada sesuatu yang aneh dan mengganjal. Aku memang tak mempunyai indera keenam, namun kau tahu sendiri, firasatku akurat dan aku bisa membaca aura seseorang."

"Jadi apa yang harus kita la—"

DAR

DAR

DAR

Belum selesai Baekhyun mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara tembakan berkali-kali di udara. Sontak ketiga orang yang tengah berdiri di ambang pintu itu bergeming dengan mata yang saling mengerling1. "S-suara…pistol?" cicit Baekhyun dengan degupan jantung yang menggila.

DAR

Lagi. Baekhyun membuat kontak mata dengan Kyungsoo. Bibi Feng sudah mengangakan mulutnya dengan mata yang membelalak sempurna. Kejadian tersebut tepat di depan matanya. Mereka pun menoleh bersamaan. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika mendapati Paman Jae yang tengah tergeletak bersimbah darah di depan pos keamanan. Dunia seolah berhenti saat itu. Ditambah,

DAR

DAR

Tembakan tersebut sungguh mendadak dan sangat cepat. Peluru meluncur tepat mengenai perut samping Paman Jae, bersamaan dengan tembakan yang melesat mengenai pintu utama. Untung saja, Bibi Feng dengan sigap merunduk. Mereka bertiga merapat.

"D-dengarkan aku. Pasti ada penyusup di rumah ini. Ia belum menampakkan diri. Dengar, kita tak boleh menampakkan raut panik. Tetap tenang." Ujar Kyungsoo pelan. Bibi Feng berlindung di belakang tubuh mereka, "Aku akan berjalan menghampiri Paman Jae. Kalian tetap tenang. Dengar, kalian masuk ke dalam rumah. Dalam hitungan ketiga, kalian harus sudah berada di dalam." perintah Kyungsoo. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menuruni anak tangga dengan hati-hati.

"Satu."

Baekhyun menatap cemas punggung Kyungsoo.

"Dua."

Baekhyun berusaha tak mengindahkan ucapan Kyungsoo. Ia sangat khawatir pada Kyungsoo. Bibi Feng sudah menarik-narik lengan Baekhyun.

"Tidak, Kyung! Kau juga harus masuk!" seru Baekhyun lantang. Kyungsoo tak memedulikannya, ia berbalik dan menatap nyalang Baekhyun. Tatapan mereka bertubrukan, "Tiga! Masuk, bodoh! Ma—"

DAR

"KYUNGSOOOOO!"

"—suk…uhuk." Baekhyun menjerit kencang. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa peluru tersebut meluncur tepat mengenai leher belakang Kyungsoo. Kyungsoo terperenyak2. Ia memegangi area tengkuknya yang terasa terbakar dan dipenuhi darah segar. Ia berusaha mendongakkan kepalanya, ia menatap Baekhyun sayu.

"M-masuk, atau kau akan mati, uhuk." Baekhyun merasakan tubuhnya bergetar hebat. Ia tak kuasa melihat Kyungsoo yang tengah kesakitan dan mulut yang akan memuncratkan darah setiap kali terbatuk. Tak lama kemudian, Kyungsoo pun merasakan vertigo yang teramat. Sayup-sayup, ia mendengar suara Baekhyun yang melengkingkan namanya. Setelah itu, semuanya menjadi gelap.

.

Aku menyeringai di balik masker hitamku. Aku mengintip dari balik gerbang kokoh nan mewah itu, empat pasang mata yang sedang menatap nanar pemandangan di hadapannya. Aku sangat gemas pada pria-bersifat-kewanitaan itu, ia masih saja menangis meraung bahkan di saat genting seperti ini. Aku pun melesatkan kembali peluru, lalu aku lesatkan pula anak panah setelahnya—ke arah masing-masing mereka. Sialnya, mereka dengan sigap berhasil menghindar. Aku kembali membidik dan menarik pelatuk, melesatkan peluru ke arah wanita tua tersebut. Dar, tepat sasaran. Mengenai dahinya. Aku dapat mendengar teriakan melengking pria-bersifat-kewanitaan itu ketika si wanita tua tersungkur dengan posisi telungkup. Aku kembali membidik dan memicu ke arah pria-bersifat-kewanitaan itu. Oh, sial, apa yang membuatnya masuk ke dalam rumah? Peluruku terbuang sia-sia.

Aku berjalan mengendap-endap menghampiri tiga sampah tersebut. Kawasan perumahan ini sungguh senyap. Seperti tak ada kehidupan. Mungkin karena pagar-pagar di kawasan ini menjulang tinggi hingga para tetangga tak mengetahui apa kiranya yang terjadi di luar. Aku menghampiri seorang penjaga keamanan dengan rambut yang kujambak kuat—menyeretnya. Aku memikirkan cara untuk membawa mereka ke markasku. Aku tidak menaiki taksi ketika mengikuti dua mahasiswa bodoh itu. Oh, aku menemukan beberapa karung di dalam pos keamanan.

.

.

Tubuhku bergetar. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku. Aku masih setia terduduk meringkuk di balik pintu. Entah mengapa, aku tak bisa menangis. Mungkin karena rasa ketakutan luar biasa yang kualami sekarang mengalahkan kesedihanku. Aku mencoba untuk rileks, menarik napas lalu membuangnya. Aku merayap, mengintip di balik gorden tipis ini, kulihat seseorang tengah berusaha memasukkan—oh tidak, Paman Jae ke dalam karung! Tidak, tidak. Masalahnya, badannya terlebih dahulu—kepala dan badannya terpisah. Aku sungguh mual selama menyaksikan. Lama memerhatikan, aku pun menyadari bahwa sepasang mata cokelat kelam itu menatapku tajam di balik gorden ini. Tatapannya membuat jantung serta intesitas darahku kian menggila. Segera kututup gorden pelapisnya.

"D-dia…pasti pembunuhnya, pembunuhnya…" aku menangis. Dengan bergetar, aku mencoba merogoh saku celanaku guna mencari benda tipis persegi panjang milikku. Ini tidak bisa dibiarkan. Sialan, mengapa pula di rumah Luhan sangat sepi? Seharusnya perlu beberapa petugas keamanan juga walaupun rumah ini hanya semacam persinggahan keluarga Luhan. Aku menekan lama nomor satu—panggilan cepat untuk Chanyeol. Aku menggigiti bibir bawahku, karena dari tadi hanya terdengar suara tuutt tuutt. Aku membatalkan panggilannya. Aku tahu seharusnya aku menghubungi polisi, namun aku terlalu takut untuk itu. Setidaknya, aku ingin Chanyeol ke sini dan membawa para polisi.

Saat ingin menekan dial Chanyeol lagi—bunyi dar tepat di sampingku. Oh, spontan aku beringsut menjauh. Aku merasa sangat lemas sekarang. Penyusup itu menembak kaca jendela dan beberapa serpihan kacanya mengenai diriku. Kacanya sekarang bolong. Bolong. Itu berarti...

Aku memberanikan diri untuk mengintip di balik jendela bolong itu. Nihil. Mengapa tidak ada? Aku mengembuskan napas tertahan, aku memfokuskan diri lagi pada ponsel. Aku merasa pelipisku dingin. Tubuhku kembali bergetar hebat saat bunyi ckrek sangat jelas. Pergantian peluru. Aku menoleh sedikit,

"Mencariku?" tolong. Penyusup itu menatap mataku penuh intimidasi dengan pistol yang masih setianya bertengger di pelipisku. Aku merasa tidak bisa bernapas dengan baik saat ini. Pakaiannya serba hitam. Apakah ia berteleportasi? Bisa masuk tanpa kusadari. Sialan, aku bergidik memikirkan bagaimana tiga detik dari sekarang aku akan bersimbah darah. Aku memejamkan mataku kuat-kuat, "K-kumohon…jangan."

Aku dapat merasakan ia menyeringai di balik masker hitamnya. Kemudian ia berlutut tepat di sebelahku, membisikkan sesuatu dengan suara rendahnya. "Jangan. Berani-beraninya. Menghubungi polisi." Aku tambah bergidik.

"Jika kau nekat menghubungi mereka, nyawamu—wush terangkat tak sampai sepertiga detik ini. Dan aku akan menguliti dirimu tanpa sungkan. Berbicaralah, sialan." Ia melanjutkan.

"Katakan iya, maka kau akan—"

"Iya."

Kata itu meluncur begitu saja di mulutku. Ia pun menoyor keras pelipisku dengan pistolnya. Ia bangkit dan tanpa aba-aba, ia menendang kuat kepalaku. Pandanganku mendadak buram, aku terjerembab ke lantai. Ia membuka maskernya. Tunggu, wajah itu. Menyeringai.

S-Sehun?

Lalu semuanya pun menjadi gelap.

.

.

Kyungsoo terbangun. Rasa nyeri langsung menjalari tubunya. Kesadarannya sudah terkumpul dan jantungnya berdetak keras saat menyadari posisi tubuhnya. Saat ini, ia tengah tergantung dengan seutas tali besar. Jaraknya pada lantai tak seberapa jauh, dilihatnya banyak paku payung tercecer tepat di bawah kakinya. Kyungsoo pun terbatuk kesakitan. Tali itu menjerat kuat lehernya. Tangan dan kakinya di borgol. Bola matanya bergerak-gerak gusar. Wajahnya merah, serta sekujur tubuhnya di penuhi peluh dingin. Ia berusaha memegang tali yang menjerat lehernya perlahan. Oh, lehernya berdarah. Ia terus terbatuk dan setiap kali terbatuk, mulutnya mengeluarkan darah segar. Ini sungguh sakit, Kyungsoo membatin.

"Kau indah berada di situ." Kepala Kyungsoo dengan cepat tertoleh dan mendapati seorang berwajah datar dan dingin yang sangat dikenalinya.

"O-Oh Sehun…" ucapnya susah payah. Ia menatap Sehun nyalang. Sehun berjalan hingga tepat berada di hadapan Kyungsoo. Ia bersedekap dan menyeringai, "Ya? Kenapa? Ada yang ingin kau sampaikan padaku?" Kyungsoo sangat ingin membenturkan kepala cerdas Sehun ketika ia mengeluarkan suara menyebalkannya. Kyungsoo terbatuk lagi, dan darahnya pun mengenai wajah tampan Sehun. Sehun menghela napas sabar ketika percikan cairan menjijikan itu menempel pada wajahnya. Ia menyeka asal darah itu, kini wajahnya kacau. Dan itu membuatnya berkali-kali lipat lebih menyeramkan. Tanpa aba-aba, Sehun menarik baju Kyungsoo kuat ke bawah, dan itu membuat Kyungsoo menjerit kesakitan. Lehernya yang sudah berdarah bertambah sakit karena Sehun seakan ingin mempercepat kematiannya.

"Aku hanya ingin kau menilaiku saat ini. Sebentar." Sehun pun berlalu meninggalkannya. Napas Kyungsoo tersengal kuat, dirinya sungguh merasa nyeri. Ia terus saja terbatuk kesakitan. Tak lama kemudian,Sehun pun kembali dan membawa—Bibi Feng. Telah menjadi mayat. Ia menyeret Bibi Feng dengan rambut yang ia jambak. Sehun menggeletakkan Bibi Feng tepat di hadapan Kyungsoo, di bawah kakinya.

"K-kau…mau kau a-apakan uhuk d-dia…?!" Sehun tertawa keras mendengar ucapan geram Kyungsoo. Ia pun menyejajarkan wajahnya tepat di depan wajah Kyungsoo.

"Jangan banyak bicara kalau kau tak ingin kematianmu dipercepat. Jangan seperti teman hitammu yang berakhir ke neraka karena kebodohannya sendiri." Suaranya rendah, namun tak menggentarkan hati Kyungsoo. Ia terbatuk lagi, Sehun memicingkan3matanya sesaat.

"B-berengsek! Sialan! Kau membuat Kai mati! Kau sakit! Sakit! Sakit! Oh, Ya Tuhan." Entah mengapa, Kyungsoo bisa berteriak lantang seperti itu. Ia tengah menangis. Antara kesakitan dan kehilangan. Gemeletuk giginya dapat didengar dengan jelas oleh Sehun. Sehun tersenyum tipis mendengar makian Kyungsoo, ia memundurkan wajahnya. Rahangnya mengeras. Sedang Kyungsoo berusaha untuk tidak meronta karena saat ini keadaannya tengah tergantung. Ia berusaha tetap tenang. Dirinya sungguh kacau. Ia menangis tanpa suara, sesegukan, terbatuk, merintih. Dan ulangi lagi.

"Lalu, apa masalahmu?" tanya Sehun rendah. Kyungsoo mendongak dan mendapati Sehun yang tengah memegang kapak di tangan kanannya. Kyungsoo menahan napas sejenak. Ternyata Oh Sehun sesakit ini, pikir Kyungsoo. "Tak mau menjawab." Suaranya amat rendah—menakutkan.

"APA MASALAHMU, SIALAN?!"

TAK

Sehun sungguh murka. Kyungsoo memejamkan matanya kuat ketika darah segar berlomba-lomba menciprati tubuh dan wajahnya. Sehun baru saja memenggal perut Bibi Feng dengan keras dan kuat. Darahnya pun muncrat hingga menodai pakaian, tubuh dan wajah Sehun. Kyungsoo membuka matanya, ia sangat ingin muntah saat ini. Bau darah yang sangat kentara sangat menohok indera penciumannya. Sehun berlutut di samping jasad Bibi Feng. Perutnya telah ia berai dengan sempurna. Sehun tertawa keras dengan mata yang sesekali terpejam—ia menikmati aroma anyir-besi yang melingkupi dirinya. Ia pun mendongak dan mendapati Kyungsoo yang sudah sangat busuk. Tali itu semakin menjerat Kyungsoo dan dirinya dipenuhi darah, terbatuk-batuk tanpa henti. Tangan Kyungsoo tak sanggup lagi bertengger pada tali, ia pun menurunkan tangannya. Tatapan matanya kian melemah. Sehun menjilat bibirnya yang dipenuhi darah itu tak sabaran.

"Kau tahu, seharusnya, aku tak melakukan ini padanya, kan? Kau juga harus tahu, bahwa sebenarnya yang ingin kuhabiskan seperti ini adalah temanmu yang bersifat kewanitaan itu. Namun aku tahu, aku tahu, kau, Kyungsoo. Kau yang sudah awas terhadap diriku, sejak awal." Sehun merenung sembari menenggelamkan tangannya pada lubang perut mayat Bibi Feng. Ia mengorek-ngorek isi perut Bibi Feng dengan penuh gairah. Kyungsoo terbatuk dan memuncratkan darah yang sangat banyak sekarang. Ia bertambah sakit dan mual menyaksikan adegan menjijikan ini secara langsung.

"Ah…dapat." Ujar Sehun riang. Sehun menjulurkan tangannya yang berhasil mengambil ginjal Bibi Feng itu pada Kyungsoo. Kyungsoo tetap diam, berusaha tak membuat pergerakan sedikitpun. Jika ia membuat pergerakan barang sedikitpun, ia akan berakhir saat itu juga. Ia berusaha mengatur napasnya yang seakan pasokan udara di sekelilingnya sudah sepenuhnya di miliki Sehun saja. Kyungsoo menyumpah-serapahi Sehun dalam hati ketika pria itu bangkit lalu dengan santainya memolesi ginjal tersebut ke seluruh wajahnya. Darah segar dari ginjal tersebut melekat sempurna pada wajahnya. Kyungsoo hanya bisa diam dan menutup matanya.

"Bukankah benda ini enak? Kenyal, namun tak terlalu." Ujarnya sambil berusaha menjejalkan ginjal berdarah tersebut pada mulut Kyungsoo yang terkatup rapat. Sehun yang kesal pun melempar kasar ginjal tersebut pada hidung Kyungsoo. Ia berbalik dan menginjak perut Bibi Feng, dan itu membuat gumpalan daging Bibi Feng berburai seketika.

"Kau tahu, aku adalah seorang yang amat posesif dan obsesif. Jika aku ingin itu, maka aku harus mendapatkan itu. Dan jika aku sudah tidak suka pada seseorang, mau tak mau orang itu harus kuberi ganjaran. Wanita tua ini hanya sebagai contoh. Kuberitahu, ya,"

Sehun mengambil sesuatu dari saku kemejanya, "Aku sungguh terobsesi pada Luhan. Luhan sudah memiliki Kai, dan karena aku menyukai Luhan, aku memberi Kai ganjaran karena ia memiliki apa yang seharusnya jadi milikku. Dan untukmu, aku melihat kau ini orang yang pandai menebak aura seseorang dan itu jelas sangat membahayakan diriku. Kau pasti akan terus memengaruhi Luhan agar tak dekat-dekat denganku." Sehun mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu bunyi jleb terdengar dengan sangat mengerikannya. Ia menusukkan pencungkil pada mata kiri Bibi Feng hingga darahnya lantas menyembur deras menerpa wajah Sehun. Sehun tertawa selama darah tersebut mengelitiki wajahnya. Ia meludah, darahnya sungguh tak mengenakkan.

"K-Kumohon…lepas…uhuk." Mata Kyungsoo mulai memburam. Darah sudah mengaliri lehernya dengan deras. Ia tak peduli lagi perihal Sehun yang sepertinya amat bangga memaparkan keahliannya dalam membombardir mayat. Sehun menengadahkan kepala menatap Kyungsoo yang terlihat sungguh memprihatinkan. Tak lupa, ia pun berusaha mencungkil mata Bibi Feng dengan perlahan.

"Kau lebih busuk dari mayat yang tengah kumainkan ini, Kyungsoo-ya." Ia terkekeh menyebalkan. Sehun kembali fokus pada mata Bibi Feng. Tak sampai sepuluh detik, ia pun berhasil mengeluarkan mata Bibi Feng. Ia menaruh mata tersebut pada telapak tangannya. Diremasnya beberapa kali mata itu. Kenyal dan licin. Ia pun bangkit dan menghampiri Kyungsoo. Ia mengangkat dagu Kyungsoo agar menatapnya.

"Ada kata-kata terakhir, manis?" tanya Sehun menyeringai. Kyungsoo menatapnya lesu, ia pun terbatuk dan memuncratkan kembali darahnya pada wajah Sehun. Sehun menggeram marah, ia pun menarik kuat kaki Kyungsoo sehingga sang empunya makin terbatuk seperti orang sekarat. Sehun berdecak, lalu ia melepaskan borgol di tangan serta kaki Kyungsoo. Ia pun melepas tali yang sedari tadi mengikat lehernya. Kyungsoo pun jatuh ke lantai dengan keras, tubuhnya mengejang sakit karena punggungnya mengenai paku payung. Menembus hingga tertancap pada kulitnya. Sehun berdiri di atasnya, Kyungsoo melihatnya seperti malaikat pencabut nyawa. Ia pun menginjak kuat dada Kyungsoo.

"Sudah lebih baik? Omong-omong, apa, ya, yang harus aku sampaikan pada Luhan ketika ia mendapat kabar bahwa kekasihnya dan sahabatnya telah menyatu dengan bumi? Tolong beri aku saran." Ujarnya tak mengindahkan rintihan Kyungsoo yang terdengar sangat memilukan. Sehun yang kesal pun menendang tubuh tak berdaya Kyungsoo kuat sampai berguling dan terbentur sudut dinding ruang tamu. Kyungsoo merasakan perih tak berujung pada tubuhnya. Dirinya sungguh sakit. Ia meluncurkan air matanya. Matanya terpejam kuat. Ia merasakan vertigo yang teramat. Dunia seolah bergejolak dengan sangat kencangnya, seakan siap memorak-porandakan seisinya. Samar-samar, ia mendengar suara…sirene?

Ambulanskah?

Mobil polisi?

Kyungsoo tak dapat berpikir panjang. Di sisa-sisa tenaganya, ia bergumam.

"A-aku menyayangimu, Luhan. Aku mencintaimu, Kai. Aku…a-aku menyayangi Baekhyun dan Chanyeol…"

Dunia pun seolah berhenti bergejolak detik itu juga.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

*mengerling1 = melihat dengan pandangan mata ke sebelah kanan atau kiri (hanya menggerakkan bola mata ke arah sudut mata sebelah kanan atau kiri)

*terperenyak2 = jatuh terduduk dengan tiba-tiba; jatuh duduk; terjelepok

*memicingkan3 = memicing; memejam(kan) mata

Banyak yang salah mengartikan pemilihan kata mengerling dan memicing (termasuk diriku lol)

Dan, ngomong-ngomong

H-A-I?!

Parah, kangen banget buat lanjutin ff ini. Baru kelanjut juga soalnya abis selesai UAS huhu. Chapter ini panjang banget lho:')

GIMANA NIH CHAPTER INI?! /ga nyantai/

Gaada yang enek, mual, muntah, atau bahkan, muntaber/? Kan?! Wkwkwk apasih. Sehunnya emang makin kesini makin gila, harap dimaklumi ya:')

Tanggapan kalian mengenai chapter ini? Bisa dituangkan/? Dalam kolom review ya teman-teman berjiwa psik*oku/? Wkakakak

Maaf kalo luhan dan hunhannya seiprit disini, emang chapter ini pengen banyakkkk adegan ekstremnya/? Tapi, berhasil memuaskan para pecinta gore gak nih? Kalo enggak, harap-harap maklum lah ya, authornya juga sebenernya juga bukan pecinta gore-gore amat, tapi pengen bikin yang sadis-sadis cem dark red hehe.

DAN TAK LUPA, AUTHOR TERIMA KASIH BANGET SAMA YANG UDAH FOLLOW+FAVORIT INI CERITA:') APALAGI YANG REVIEW:')

MAKASIH BANYAK LOH YA! ^^ MUAH~

Review lagi dong ya? Hohoho

/semoga ya SEMOGA chapter depan cepat di lanjut jika tak banyak halangan menghadang/ /php/ /emang/

DADAH~