Tangisan seorang bayi di sebuah pelataran rumah berukuran tak lebihnya sebuah ruangan serba guna, memecah kesunyian malam yang diselimuti langit kelam bertaburan bintang. Suara tangis yang nyaring memekik telinga.

Kepalanya bayi tersebut bergerak ke kanan ke kiri tak beraturan. Mencoba mengeluarkan tangannya dari gulungan kain yang membungkus tubuh kecilnya. Bibirnya menganga lebar ketika suara tangisan keluar dari bibir kecilnya.

Siapapun yang mendengarkan pastilah memastikan jika bayi yang tengah menangis itu sedang kesakitan. Akibat dari suara tangisannya yang semakin berlanjut semakin terdengar sangat menyayat kerongkongan. Tanpa adanya cairan yang membasahi kerongkongan saat menagis atau teriak keras pastilah sangat menyakitkan. Dan hal inilah yang tengah bayi itu alami.

Bayi tersebut telah berada di pelataran rumah tersebut lebih dari setengah jam yang lalu. Pada awalnya bayi berambut pirang tersebut tak terganggu saat ditinggalkan oleh kedua orangtuanya di pelataran rumah itu. Tidurnya tak terganggu bahkan saat waktu telah berjalan selama dua puluh menit. Seolah keranjang bayi yang di tempatinya adalah tempat yang ternyaman untuk menyambut mimpi indahnya. Namun saat tidurnya terusik akibat dari hinggapan nyamuk di wajahnya, bayi itu mulai terbangun dan menangis.

Sewajarnya seorang ibu akan langsung menyusui bayinya saat ia terbangun di tengah malam. Namun saat rengekannya tak kuncung mendapat sumpalan susu dari sang ibu, akhirnya rengekan bayi itupun berubah menjadi sebuah tangisan. Tanginsan pelan yang dengan sejalannya waktu berubah menjadi tangisan memekik telinga. Tangisan yang membuat siapapun haus. Tak terkecuali bayi tersebut. Ia benar-benar membutuhkan apa yang di sebut 'air susu ibu' sekarang juga.

Namun seolah tangisan bayi itu tak pernah ada. Maka dari itu tak aka ada ASI bagi bayi tersebut. Lama menangis histeris, bayi itupun merasa lelah. Dengan sedikit pergerakan dalam balutan selimut hangatnya, ia kembali tertidur. Tertidur akan rasa lelah. Lelah menangis demi memanggil sang ibu kembali, kembali untuk memberinya asupan paling bergizi yang ada di dunia. Tanda dari sebuah kasih sayang tulus seorang ibu. Namun hal itu tak ada. Atau lebih tepatnya tak akan pernah ada untuk bayi tersebut.


.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Disclaimer
Naruto
©Mashashi Kisimoto

Adakah aku di hati kalian?
©Kanami Aya

Pairing
Minato. Kushina. Sasuke. Naruto. Sakura.
Pairing akhir bukan SasuNaru.
Saya sudah memperingatkan.
Jika masih ada flame.
Dimohon close saja.

Genre
Hurt/Comfort/Family/Romance/Angst

Rating
Teenager

Warning
Broken Home. Romance minimalis dengan bau-bau yaoi.
Ending berderai air mata, maybe. Alur cepet? Typo's?
Alur maju mundur tanpa peringatan flashback. Tapi aku rubah jadi italic saat percakapan flashback.

Summary
Penderitaan Naruto yang di buang oleh keluarga saat ia bayi.
Namun saat ia dapat bertemu kembali dengan keluarganya.
Rasa sakitlah yang ia terima.
Terlebih saat cinta pertamanya benar-benar memilih meninggalkannya demi cinta yang lebih rasional.
Menyadarkan bahwa kini sudah benar-benar tak ada yang menyayanginya.

Inspiration
Aku terinspirasi membuat fic ini saat mencari kasus untuk tugas Sistem Hukum Indonesia,
tentang hokum perdata warisan.
Disana dijelaskan jika seorang anak tidak di akui oleh ayahnya dan ibu yang mengandungnya.
Berarti dia tak berhak atas warisan kedua orangtunya.
Dan secara hokum adalah individu mandiri. Anggap saja sebatang kara.
Gimana sakitnya hati seorang anak yang tidak diharapkan sama sekali?

Status
Complate

Please choose back or close if you don't like this fict.
Happy reading for everyone!


.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

"Naruto. Hei. Bangunlah."

Seorang wanita lanjut usia nampak tengah menahan amarah saat membangunkan cucu lelakinya. Sejak setengah jam yang lalu ia telah memanggil sang cucu dari arah dapur, namun sang cucu tak kunjung terbangun. Tanpa ingin membuat kerongkongan tuanya terasa sakit, pada akhirnya sang wanita lanjut usia tersebut memilih membangunkan langsung cucu tunggalnya tersebut.

Namun saat ia merasa masih tak ada respon, dengan hati senang dan terpaksa, wanita tersebut menarik daun telinga sang cucu.

"Aduh! Sakit!" Naruto terbangun dan terlonjak duduk saat merasa daun telinganya terasa panas dan sakit. "Ini menyakitkan nenek Tsunade." Ucap Naruto seraya mengusap-usap daun telinganya mencoba menetralisir rasa sakit.

"Maka dari itu. Saat ku suruh bangun seharusnya bangun." Wanita yang di panggil Tsunade oleh Naruto melempar bantal ke arah sang cucu. "Cepat ke ruang makan. Pemalas!" Ucapnya.

"Tidak perlu memakai kekerasan 'kan saat membangunkan cucu kesayanganmu ini?" Keluh Naruto seraya bangkit dari kasur lipatnya. Sudah menjadi kebiasaan sedari kecil untuk ia membersihkan alas tidur dan menatanya di lemari yang terbuat dari kayu lapis di sudut ruangan.

Bukan karena apa. Keadaan rumahnya membuat ia dan sang nenek harus menggunakan ruangan yang sama untuk berbagai keperluan. Bisa ruang tidur. Bisa juga ruang tamu.

"Nenek. Hari ini kau tak usah keliling jualan kue. Aku akan membawanya lagi dan ku jual di tempatku bekerja." Naruto berjalan menuju kamar mandi yang juga berada di satu ruangan.

"Benarkah tak apa Naruto?" Ucap Tsunade dari arah dapur.

"Tentu saja. Kau istirahatlah. Kau sangat merepotkan saat kau sakit." Ucap Naruto di barengi dengan suara percikan air.

"Apa kau bilang?" Hardik Tsunade.

"Hahaha. Aku hanya bercanda. Jangan di ambil hati nek. Aku menyayangimu."

Tsunade tersenyum hangat mendengar penuturan cucu angkatnya tersebut. Naruto memang bukan darah dagingnya. Karena ia memang tak memiliki keturunan. Hal ini dikarenakan ia tak lagi mencari pengganti pasangan hidupnya setelah kematian Jiraya. Sahabat yang kemudian menjadi suaminya. Tepat saat pernikahannya masuk ke tahun kedelapan, peristiwa tragis dialami oleh Jiraya.

Saat itu, lelaki bersurai pitih panjang tersebut dinyatakan meninggal setelah kehabisan darah akibat penyerangan yang di lakukan segerombolan orang yang berniat mencuri di kawasan daerah mereka tinggal.

Jiraya yang notabene adalah seorang kepala keamanan wilayah, tentu saja tak membiarkan begitu saja perbuatan mereka. Akibatnyapun ia berhasil dilumpuhkan setelah merlawan sekuat tenaga. Hal ini mungkin tidak akan terjadi. Andai saja salah satu diantara mereka tidak menusukan sebilah pisau tepat di dada kirinya.

Kematian Jiraya lantas semakin memperburuk status sosial dan taraf hidup Tsunade. Ia yang dulu masih sanggup bekerja paruh waktu karena memiliki pendapatan pasti dari sang suami, kala itu Tsunade kelimpungan menghidupi dirinya sendiri.

Tsunade memilih tidak menikah lagi dengan keyakinan tidak ingin merasakan rasa sakit yang sama saat ketika entah karena apa kemungkinan perpisahan kembali terulang. Meskipun ia tahu apa konsekuensinya. Terlebih saat ia tak memiliki keturunan.

Namun saat menemukan naruto di depan rumahnya tujuh belas tahun silam ia telah berumur empat puluh tiga tahun. Jadi ia berfikir bahwa ia lebih cocok menjadi neneknya ketimbang ibu dari Naruto.

Saat itu, betapa terkejutnya ia melihat keranjang bayi terbengkalai begitu saja di depan rumahnya. Ia yang baru pulang bekerja menjadi pembantu rumah tangga hanya bisa pasrah dan tak habis pikir kenapa ada orang tua yang tega membuang bayi sekecil itu di depan rumahnya.

Saat di dekatinya keranjang tersebut, hal pertama yang ia lihat adalah wajah tan pucat dengan mata tertutup. Di sentuhnya kulit bayi baru lahir tersebut, dan ia langsung menyumpahi kedua orantua bayi tersebut yang tak bertanggung jawab. Membiarkan bayi yang ia perkirakan baru saja lahir hanya berbekal selimut hangat tanpa susu. Ya Tuhan! Makhluk apa mereka?

Tsunade langsung bergegas membawa bayi tersebut ─yang untung saja masih bernapas meskipun telah lemah─ ke dalam rumahnya. Di letakkannya bayi tersebut di tumpukan pakaian yang belum di lipatnya. Bermaksut membuat sang bayi merasa hangat. Namun saat tindakannya terlalu tergesa-gesa, hal tersebut membuat sang bayi terbangun dan menangis. Namun tangisan bayi tersebut amatlah aneh saat di dengar olehnya. Seakan ia telah kehabisan suara.

"Ia haus." Celetuk Tsunade. Merasa bodoh karena ia sadar tak memiliki susu formula bayi dan uang untuk membelinya. Gajinya sebagai pembantu belum keluar bulan ini. Dengan sisa uang yang ia punya kini, ia yakin tak akan bisa memebeli susu yang buatnya amat mahal tersebut.

Pada akhirnya ia hanya memanaskan air dan gula. Suara tangisan bayi yang saat itu benar-benar memilukan hati membuat ia bertindak cepat. Saat air telah hangat ─Tsunade juga tahu takaran panas air untuk bayi─ ia menuangkanya di gelas plastik miliknya.

Dengan menggunakan sendok teh miliknya, ia menyalurkan cairan air gula dari gelas ke bibir sang bayi. Sesuai dugaannya. Sang bayi benar-benar haus. Apapun yang di berikannya pasti akan di minum olehnya.

Tsunade tersenyum saat melihat bibir kecil berwarna peach di depannya bergerak-gerak mencari sesuatu yang bisa di kenyutnya. Sedikit miris melihat kemalangan sang bayi. Sedikit terbesit di pikirannya bahwa mencicipi ASI kuning sang ibu saja ia pasti tak sempat. Apalagi ASI putih yang seharusnya rutin sang ibu berikan.

Seolah melihat hiburan terindah di dunia, Tsunade mendekatkan jari teunjuknya ke hadapan sang bayi. Dan ia langsung menggenggamnya dengan jemari kecilnya. Jemari kecil dengan sedikit kulit yang mengelupas. Dan akhirnya, dengan telaten ia menyuapi sang bayi dengan air gula. Alternatif paling tepat yang di miliki olehnya.

Sembari memberi asupan ala kadarnya pada sang bayi. Tsunade mulai berfikir. Tidakkan sang orang tua sedikit saja terbesit bagaimana anak ini akan hidup? Tidakkan mereka ingin melihat tumbuh kembangnya? Tidakkah mereka ingin memandang dengan puas sehingga tahu wajah siapa yang lebih mirip dari anak ini dengan mereka? Rambut pirangnya. Mata birunya? Hidung mancungnya? Tanda lahir di kedua pipinya? Sungguh. Tiada yang perilaku lebih kejam dari perilaku yang membuang darah daging sediri.

"Tega sekali orang tuamu? Setidaknya seharusnya mereka memberikanmu kepada orang yang lebih mampu. Bukan orang miskin sepertiku." Ucap Tsunade di tengan aktivitasnya. "Mulai sekarang kau adalah anakku─" Tsunade tampak berfikir "─tidak. Mulai saat ini kau adalah cucuku, Naruto. Cucu kesayanganku." Lanjutnya.

"Apa yang kau lamunkan?" Suara Naruto yang mengintrupsi lamunannya tentang masa lalu sedikit membuatnya terkejut. Sadar akan satu hal bahwa ia tak sadar Naruto telah usai mandi dan duduk di depannya.

"Tidak ada." Jawab Tsunade. Kemudian tangannya menata sajian sarapan sederhana yang bisa ia buat di piring Naruto. "Makanlah yang banyak. Kuli bangunan bukanlah pekerjaan yang mudah." Lanjutnya.

"Haha. Nenek ini lucu. Jika aku makan dengan porsi banyak, apa yang akan kau makan?" Naruto berbicara sambil memasukan nasi dan ubi rebus yang di olah menjadi satu sebagai perasa nasi.

Seperti inilah setiap paginya rutinitas yang di jalani oleh Naruto. Bangun tidur ia akan makan di temani oleh sang nenek tercinta. Makan ala kadarnya apapun yang bisa di beli malam harinya. Pendidikan yang hanya sebatas sekolah dasar membuatnya tak memiliki keterampilan apapun selain tenaga. Hal ini membuat taraf hidupnya tak berubah. Terlebih saat Tsunade tak sekuat dulu bekerja sehari penuh sebagai pembantu rumah tangga.

Pagi hari seusai sarapan, Naruto akan berkeliling mengantar koran. Menjelang siang hingga sore ia akan bekerja sebagai kuli bangunan di mana pun ada proyek. Malam hari ia akan menjadi tukang parkir. Apapun akan ia lakukan demi membuat sang nenek tetap berada di sisinya.

Tiga tahun yang lalu. Tsunade dinyatakan menderita kanker hati oleh para dokter. Masih stadium dua dan masih bisa di obati. Namun karena tidak adanya biaya, operasi yang seharusnya di jalani Tsunade tak pernah terjadi. Pada akhirnya Naruto hanya bisa membelikan obat penghilang rasa sakit untuk Tsunade.

"Aku berangkat dulu ya nek? Kau jangan terlalu banyak bergerak. Istirahatlah sebanyak mungkin." Naruto beranjak berdiri dan menggunakan tas selempangnya. Diambilnya keranjang kue untuk di jualnya di tempat kerja.

"Aku masih bisa mencuci pakaian tetangga. Kau jangan terlalu hawatir padaku. Aku wanita yang kuat." Tsunade ikut beranjak mengantarkan Naruto hingga di depan pintu.

"Ya. Kau memang wanita yang kuat. Sayang kau wanita yang telah tua." Celutuk Naruto yang berbuah jitakan di puncak kepalanya. Sementara Naruto hanya tertawa lima jari.

Naruto memang tak pandai tak bisa mengatur bicaranya dengan baik. Tapi Tsunade tahu. Dibalik kata kasar dan prilaku brutalnya. Naruto adalah anak yang baik. Salahnya memang tidak mengajari sopan santun dengan benar. Tapi ia yakin. Naruto tidak akan terjerumus ke arah buruk. Sebab ia tahu seberapa tangguh ia dan Naruto menjalani hidup. Hingga tak ada kesempatan untuk berbuat yang tidak-tidak.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Saat telah melewati pagar rumahnya. Hal pagi yang selalu ia dapati pertama kali ialah sahabat terbaiknya. Uchiha Sasuke. Pemuda berambut biru donker yang lima tahun lebih tua darinya. Pemuda yang kini telah duduk di bangku perkuliahan semester akhir. Pemuda yang secara diam-diam di kagumi olehnya. Dan pilihan terbaik yang ia pilih saat ini adalah kagum sebagai seorang kakak.

"Kau akan berangkat kerja Naruto?" Seperti biasa. Sasuke akan selalu menunggu di depan pagar rumahnya. Seperti biasa pula, ia akan selalu menekuk sebelah kakinya dan di tempelkan di dinding belakang tubuhnya. Tak lupa posisi tangan yang selalu berada di dalam saku.

"Untuk apa kau bertanya saat kau sudah mengetahui jawabannya Teme?" Mendengar penuturan Naruto, Sasuke hanya berdeham. Kemudian Naruto menghampiri Sasuke. Kemudian berbarengan mereka berjalan bersama menuju halte bis.

"Aku hanya heran. Kau tetap saja berbadan kecil padahal setiap hari kau kerja kasar dengan rajin." Ucap Sasuke saat Naruto telah berada di sampingnya. Tinggi mereka memang tak terlalu jauh. Hanya berselisih delapan centimeter. Tapi tubuh Naruto memang terbilang berpawakan kecil. Mungkin karena umurnya yang masih remaja, atau saja masa pubertasnya yang terlambat datang. Bahkan suaranya saja masih terdengar nyaring.

"Maaf saja tubuhku tak bisa sesekar tubuhmu tuan Uchiha. Asupanku sudah pas-pasan sejak aku bayi." Naruto mencibirkan bibirnya saat mendengar perkataan Sasuke. Sementara Sasuke hanya tersenyum sekilas di balik wajah stoicnya.

"Kuenya?" Pinta Sasuke. Mendapati tangan Sasuke terulur padanya, Naruto menyerahkan keranjang kue yang di bawanya.

"Hari ini isinya dua puluh."

"Hn."

"Sebenarnya kemanakan kau kue-kue itu?" Tanya Naruto penasaran. Sejak beberapa hari yang lalau, setelah Tsunade mendadak mengeluh sakit seusai berjualan. Pada akhirnya Naruto akan selalu membanya untuk ia jual. Tapi Sasuke selalu bersikeras ingin dialah yang menjualnya. Bukannya tidak senang. Hanya saja Naruto ragu benarkah Sasuke menjual kue-kue neneknya tersebut? Mengingat siapa Sasuke.

Karena tidak mungkin seorang mahasiswa tingkat akhir dengan berpawakan wajah tampan akan mau membawa-bawa kue dan di jualnya Hal ini pastilah menjadi tidak rasional. Meskipun pemuda tersebut tidak termasuk jajaran orang terpandang. Status sosialnya tak terlalu di bilang mewah, namun keluarga Uchiha masih di pandang hormat. Dengan ayah yang hanya bekerja sebagai kepala sekolah dan seorang ibu rumah tangga biasa.

Adalagi satu orang keluarga dalam jajaran Uchiha tersebut. Putra yang bias diharapkan akan mengubah kehidupan biasa mereka menjadi lebih baik. Tapi sayang, saat semua keluarga akan mendapatkan rasa bangga yang melimpah, Uchiha Itachi ─kakak Sasuke, meninggal dalam tawuran mahasiswa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tepatnya ketika Sasuke berumur dua belas tahun.

Alasan yang menyebabkan keluarga Uchiha pindah. Karena tidak ingin terbelenggu oleh sang mendiang anak sulung. Karena ketika diselidiki, Itachi dinyatakan sebagai korban. Bukan pelaku. Karena pada saat itu Itachi adalah aktivis yang menggalangkan kepedulian Mahasiswa terhadap HAM di Jepang ─kala itu Itachi berdiri di tengah-tengah bundaran alun-alun kota, ketika dari kedua arah kanan dan kirinya berdatangan siswa pelajar sekolah menengah tingkat atas. SMA yang selama sepuluh tahun terakhir telah melakukan beberapa kali aksi tawuran, di karenakan adanya perselisihan pendapat dan permasalahan di masa lalu. SMA Iwa dan SMA Ame.

Selama sepuluh tahun terakhir tersebutlah. Banyak siswa pelajar baik dari SMA Iwa maupun SMA Ame menjadi korban. Dan disanalah Itachi berdiri. Meneriakan arti sebuah kehidupan. Kehidupan yang harus dilindungi, dihargai, dijaga. Bukan di bantai karena masa lalu yang jelas. Naas memang. Berniat membawa kedamain. Itachi justru tewas setelah batu sekepalan tangan terlempar ke arah kepalanya. Dan ia terjatuh.

Dan seperti di aksi tawuran-tawuran yang telah lalu. Korban yang berjatuhan tidaklah dianggap. Mereka tetap melakukan kegiatan tidak berguna tersebut. Membiarkan para korban berjatuhan semakin tak bias berbuat apa-apa. Terinjak. Terhimpit. Tersudut. Atau malah menjadi mangsa empuk karena tidak bisa melawan. Dan mati mengenaskan.

Setelah seminggu pemakaman Itachi berlangsung. Sang kepala keluarga ─Fugaku, memutuskan memintah pemindahan tugas. Setelah melihat bagaimana depresinya Mikoto ─istrinya─ setelah kematian putra sulungnya tersebut.

"Tenang saja. Aku tak akan membuang makanan-makanan ini." Sasuke tak menghiraukan ekspresi Naruto yang masih menuntut penjelasan yang lebih konkret. Menyerah karena tak mendapat jawaban, akhirnya Naruto memilih mengalah.

"Kau pulang jam berapa hari ini?" Tanya Sasuke tanpa menatap Naruto. Seolah tak peduli.

"Ada apa?" Naruto kembali bertanya sama tidak pedulinya.

"Aku hanya akan meminta dosen ACC untuk proposalku dan membahas masalah pembenaran kuisioner hari ini. Kemungkinan besar aku bisa menjemputmu nanti sore."

"Benarkah?" Naruto sumingrah. Meskipun sebagian besar ia ta mengerti arah pembicaraan sang raven.

"Tentu."

"Asyik." Naruto mengepalkan tangannya ke udara.

"Aku akan menaktrirmu nanti."

"Rejeki ganda." Naruto berlari-lari kecil untuk mengekspresikan kegembiraannya. Sasuke hanya tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya. Kemudian ia merangkul Naruto dan jalan bersama hingga halte bis.

Beginilah hubungannya dengan Sasuke. Selalu akrab seperti ini. Di hitung sejak perpindahan pemuda raven tersebut ke sebelah rumahnya sepuluh tahun yang lalu.

Awalnya memang, mereka nampak seperti kucing dan anjing yang tak bisa rukun. Saling mencemooh dan membenci. Sasuke dengan kata-kata kasar andalannya. Dan Naruto dengan kepalan tangan kecilnya. Tak peduli yang dipukulinya adalah anak kelas enam sekolah dasar, sementara ia masih kelas satu.

Kala itu, tepat saat Naruto pulang sekolah. Untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa marah karena ada yang mencemooh hidupnya. Hidup susah dan sering di kasihani memang sudah biasa baginya. Namun tidak hari itu. Hari saat dimana ia untuk pertama kalinya benar-benar marah karena ucapan dang raven. Di picu dengan dipergokinya ia sedang terkena amukan guru karena nilai merah hampir di setengan jumlah mata pelajaran.

"Dasar makhluk tak berguna. Sudah hidup susah bodoh pula. Sepertinya memang benar kau adalah seseorang yang tak berguna. Kasihan sekali si Tsunade itu harus menghidupimu. Tapi tak apa. Dia juga sama tak bergunanya sepertimu"

Digujat sebagai anak haram sudah biasa baginya. Sebagai pembawa sial juga tak akan di gubrisnya. Atau cemoohan lain yang memanaskan telinga. Ia bisa melewatinya dengan lancar. Dengan tabah. Dengan besar hati.

Tapi saat nama neneknya yang dibawa. Apalagi ikut dicemoohkan. Ia tidak terima. Amat tidak terima. Biarlah semua cemoohan ia yang menanggungnya. Asal jangan sang nenek. Sudah cukup sengsara hidup sang nenenk demi mengnafkahinya. Dan ia tak ingin menambah beban pikiran.

Dan saat itulah pertama kalinya sang Uchiha muda mendapat bogeman mentah yang bahkan di layangkan oleh adik kelasnya. Anak kecil berumur tujuh tahun.

"Jangan pernah kau hina nenekku. Dia tak sejelek mulutmu. Dia orang paling kuat yang pernah ada." Kala itu dengan emosinya, setelah memukul Sasuke, Naruto mendorong tubuh anak di depannya yang notabene lebih tinggi darinya hingga terjatuh. Di dudukinya perung sang kakak kelas, dan siap melayangkan pukulan lain tepat sebelum usahanya di cegah oleh beberapa pihak.

Jika saat itu para guru dan beberapa orang tua tak ada disana. Sudah di pastikan Naruto akan bertindak bengis. Tapi bersyukur usahanya tak sampai membuat para guru terpaksa men-drop out-nya. Hanya panggilan orang tua demi meluruskan masalah dan memberinya pelajaran.

Sejak saat itu, mereka berdua tak pernah akur. Selalu bertengkar dan saling menghina. Meskipun waktu telah berlalu tiga tahun lamanya, dan Sasuke telah lulus sekolah dasar dan melanjutkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Permusuhan itu tetaplah berlanjut.

Namun saat suatu hari, ketika pulang sekolah. Naruto mendengar suara-suara isakan keputusasaan di sebuah gang dekat persimpangan rumahnya. Dengan mengendap-endap ia berjalan mendekat menghampiri asal suara tersebut. Dan yang hal yang di lihatnya amatalah miris. Sekumpulan orang yang terlihat seperti sebuah geng, tengah memeras uang dari seseorang. Parahnya yang mereka peras adalah kakek-kakek.

Dengan hati panas Naruto menghampirinya. Terlebih saat ia mengetahui Sasuke terlibat di dalamnya. Tak gentar meski ia hanyalah anak kelas empat Sekolah dasar dan lawannya adalah sekumpulan anak sekolah menengah tingkat pertama. Ia tetap berani!

Seolah tak peduli bahwa ia hanyalah bocah dengan tinggi sebatas bahu bagi mereka. Naruto tetap menghajar orang-orang yang lebih dewasa di depannya. Menghajar dengan sekuat tenaga. Berbekal tekat kuat dalam hatinya.

Setelah dua anak dari lima anak tumbang. Akibat tendangan kuat di bagian selangkangan mereka. Naruto benar-benar yakin bisa mengalahkan mereka. Setelah menyuruh sang kakek lari. Naruto kembali memasang kuda-kuda.

"Ada yang mau jadi pahlawan ternyata disini." Tantang Sasuke. Tapi Naruto tak takut. Ia benar-benar menerjang Sasuke setelahnya. Memukul dengan membabi buta di daerah wajah dan dada meskipun hanya mendapat elakan dari Sasuke. Karenan memang tubuhnya lebih kecil dari pemuda yang dihajarnya. Namun Naruto lupa ada dua orang lagi yang masih belum ia kalahkan. Dan ia lengah.

"Jangan!" Teriak Sasuke. Namun terlambat. Seseorang temannya yang berpawakan kekar memukul Naruto dengan sebilah kayu dengan sekuat tenaga. Tepat mengenai belakang kepala Naruto. Dan setelahnya, Naruto tumbang dengan mudahnya.

Sasuke seolah terpaku. Tidak bisa berbuat apa-apa. Saat tubuh kecil di atasnya jatuh ke sebelah tubuhnya. Masih sadar. Naruto masih sadar. Karena ia masih bisa mendengar kalimat terakhir Naruto. Kalimat yang menusuk hatinya. Menyadarkan dirinya atas kebodohannya selama ini.

"Kau bodoh. Seharusnya kau berterimakasih pada takdir hidupmu. Tak sepertiku yang tak memiliki orang tua! Kau tak ubahnya bajingan melebihi diriku yang telah di buang." Dan setelahnya Naruto benar-benar pingsan. Di barengi dengan darah yang mengucur deras dari belakang kepalanya.

Jangan tanyakan lagi sikap ketiganya. Kedua teman Sasuke sudah terlebih dahulu kabur. Di susul dengan kedua teman lainnya meski sedikit terpincang akibat tendangan di daerah vital. Meninggalkan Sasuke dan Naruto berdua di tikungan jalan.

Tapi ternyata kematian belum menjemput Naruto. Saat dengan sigap Sasuke menggendong Naruto di dadanya dan meminta pertolongan ke mobil yang melintas untuk membawa mereka ke rumah sakit.

Setelah operasi penjahitan dan koma selama dua hari. Naruto akhirnya siuman. Biaya rumah sakit yang di tanggung pihak uchiha sedikit melegakan bagi Tsunade saat mendengar cucunya masuk rumah sakit.

Selama Nartu koma. Selama itu pula Sasuke selalu berada disinya. Tidak menghiraukan perintah tegas ayahnya untuk sekolah, ataupun rayuan sang ibu dan kakak tercinta. Ia benar-benar tak memperdulikannya.

Dan saat untuk pertama kalinya Naruto membuka kembali matanya, Sasuke meneteskan air mata untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun terakhir (kita anggap saja Sasuke menangis untuk terakhir kalinya saat ia berumur lima tahun). Tangisan yang diiringi dengan ucapan doa dan rasa terima kasih yang amat sangat kepada sang Halik. Terima kasih karena masih membiarkan Naruto hidup. Dan terima kasih karena telah menyadarkan dirinya lewat Naruto.

"Dobe." Ucap Naruto lirih. Dan setelahnya ia memeluk Naruto erat. Momen yang ta akan di lupakan oleh keduanya. Momen awal mereka berkembang menjadi akrab dan berunjung dengan persahabatan.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Sasuke benar-benar menjemputnya pada sore hari. Mengantarkan sang pemuda bersurai pirang ke tempat kerja selanjutnya. Menjadi juru parkir di sebuah rumah makan terkenal. 'The Rasenggan Restaurant' adalah nama tempat Naruto bekerja.

Seperti biasa pula. Sasuke akan dengan senantiasa menunggu sang pirang di game centre tak jauh dari tempat Naruto bekerja. Dengan alasan agar Naruto tak merasa kelelahan saat usai kerja karena sang Uchiha akan mengantarnya. Hal ini ia lakukan karena Naruto terlalu menghemat uangnya dan memilih jalan kaki setelah kerja sebagai juru parkir.

"Hari ini kau bagian shift sampai pukulberapa?" Sasuke menghadap Naruto. Mengeluarkan amplop berisi lembaran uang hasil dari penjualan kue-kuenya tadi pagi.

Naruto menerimanya dengan senyuman apik di wajahnya. "Jam sembilan aku sudah out dari sini."

"Enam jam lagi?" Sedikit terkejut dengan jadwal kerja Naruto. Sasuke benar-benar tak habis pikir. Apa yang menyebabkan Naruto benar-benar betah dan tahan akan posisinya. Semangatnya atau tuntutan hidupnya? Sebab Naruto terlihat tidak terbebani sedikitpun.

"Terlalu lama?" Naruto menaikan sebelah alisnya. "Kau boleh pulang mendahuluiku jika kau ingin." Naruto menyuarakan protesnya dengan nada merajuk.

"Tidak! Aku akan tetap menunggumu." Ucap Sasuke lantang. Naruto hanya terseyum. Senang dugaannya menjadi kenyataan.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Jam kerjanya sepuluh menit lagi akan berakhir. Seperti biasa ia akan segera menuju loker kerjanya. Mengganti seragam kerjanya dengan pakaian pribadinya. Aktifitas terakhir ini sedikit di lakukan dengan semangat oleh Naruto. Hal ini di karenakan upah untuk masa kerjanya selama sebulan ini akan diterimanya hari ini.

Dengan langkah ringan Naruto menuju bagian staf pegawai. Bermaksut untuk mempercepat langkahnya, tanpa sengaja Naruto menyenggol seseorang yang juga akan menuju kesana. Hal ini di barengi dengan bunyi jatuhnya sebuah barnag dengan keras di atas lantai.

"What happen with you?" Sial bagi Naruto. Seseorang yang di tabraknya mengucapkan rangkaian kata yang tidak di mengert olehnya.

"Maaf. Maaf. Saya tidak sengaja." Naruto menundukan badannya berulang-ulang. Benar-benar merasa bersalah dan tak enak diri.

"You destroy my thing!" Sosok di hadapan Naruto kini benar-benar terlihat murka.

"Saya benar-benar minta maaf tuan." Naruto berbicara bahasa local dengan logat se sopan mungkin. Berharap orang di depannya sedikit mengerti maksud ucapannya.

"What the fuck are you saying? How about This?" Lelaki tersebut mengambil kotak persegi kecil berwarna merah. Dari yang Naruto tahu, benda itu adalah kotak perhiasan.

"Maaf. Maaf." Naruto kembali membungkukan badannya. Karena dari gelagat lelaki di depannya, Naruto tahu jika lelaki tersebut sedang marah dan menuntun penjelasan bagaimana dengan barang yang telah dirusaknya.

"What heppen here?" Seseorang dengan tampilan rapi dan berpawakan tegas mengintrupsi kegiatan mereka.

"Your employee was destroy my special thing. And you have to know. Toonight I will give this for my girlfriend. So you know the problem?" Serentenan kata keluar dari laki-laki berpawakan asing ─sebut saja bule.

"Ok. I see. But I think that is not a big problem~" Setelahnya Naruto tak dapat mendengar perkataan kedua laki-laki tersebut. Sebut sang laki-laki yang tadi mengintrupsinya berjalan menjauh darinya.

"Ada apa Naruto?" TenTen. Wanita dewasa yang menjabat sebagai kepala staff pekerja menepuk pelan bahunya.

"Aku tadi tak sengaja menabraknya─" Naruto menunjuk laki-laki berbaha asing tadi, "─dan sepertinya kotak perhiasannya rusak. Padahal yang penting cincin di dalamnya kan tidak rusak!" Lanjut Naruto dengan nada kesal.

"Tetap saja itu salahmu. Kau tahu 'kan reputasi restaurant ini? Laki-laki yang kau tabrak tadi akan melamar seorang wanita. Ia tadi membicarakan serangkaian rencananya padaku. Pantas saja kalau dia marah, Kau sedikit mengubah rencana yang telah ia buat." Tenten mengangkat selembaran kertas yang Naruto yakini adalah skema rencana laki-laki tadi.

"Dan satu hal." Tenten menjeda bicaranya. "Semoga keberuntungan masih di pihakmu. Karena laki-laki yang berada di sebelah laki-laki yang kau tabrak adalah bos kita. Pemilik restaurant ini dan Namikaze Company.

"APAA?" Teriak Naruto histeris. Benar-benar merasa sial.

"Sudahlah. Masih untung dia tak memecatmu di tempat." Tenten melangkah menjauh. "Jika kau ingin mengambil gajimu. Tunggui aku. Aku masih harus membicarakan rencana ini pada beberapa pelayan makanan." Setelahnya Tenten benar-benar meninggalkan dirinya.

Naruto memasuki ruangan dimana Tenten bertugas. Ruangan seluas empat kali lima meter bersegi itu memiliki nuansa soft blue and purple. Gaya penataan ruangannya di sesuaikan dengan hall utama yang di jadikan ruang utama restorran. Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya Tenten dating dan menyerahkan upah kerjanya. Dan Naruto harus berterima kasih. Karena saat ditanya apakah bos besarnya akan memecatnya atau setidaknya memarahinya. Tenten hanya menjawab, "Kau selamat kali ini." Dan Naruto masih bisa bernapas lega.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Naruto berjalan mengitari arena game ─dengan fasikitas karaoke yang buka dua puluh empat jam tersebut. Mencari sosok pemuda berambut raven yang amat di kenalnya. Namun setelah mengitari seluruh lantai bawah dan lantai atas, ia tetap tak mendapati keberadaan Sasuke. Pada akhirnya ia memilih bertanya pada pegawai bar mini di lantai atas. Dengan berbekal panduan arah sederhana Naruto mencari keberadaan Sasuke kembali.

Tepat saat berada di kawasan ruangan-ruangan karaoke─ruangan ketiga dari belokan ke kiri, ia mendapati Sasuke, tengah tertidur dengan nyenyaknya di kursi yang di letakan di tenga ruangan.

Awalnya Naruto tak langsung berniat membangunkan sang pemilik surai raven. Di pandanginya wajah alabaster milik sang sahabat. Di sentunya hidung mancung kecil yang tengah mengeluarkan deru nafas dengan teratur. Di tatapnya bibir sang uchiha yang bahkan dalam keadan tertidurpun masih tetap meninggalkan aksen sombong dan dingin. Menyadari perilakunya, Naruto tertawa sendiri dan sadar akan perilaku bodonya. Dan pada akhirnya, ia memukul pelan bahu sang Uchiha.

"Teme?" Naruto memanggil dengan suara yang sedikit di kecilkan. Takut jika menganggu kenyamanan ruang sebelah. Tanpa tahu jika ruangan yang di pakainya adalah ruangan kedap suara.

Meskipun demikian ─dipanggil dengan suara rendah─ Sasuke tetap saja terbangun. Salahkan saja pendengaranya yang amat sensitif. Atau mungkin karena suara Narutolah yang membuatnya terjaga.

"Kau sudah selesai." Tanya Sasuke setelah ia berhasil sadar dengan sempurna. Sedikit menggelengkan kepala mengusir rasa pegal karena posisi tidur yang tidak sesuai.

"Kau dari tadi tidur? Dari awal aku bekerja?" Naruto bertanya takjub. Merasa terkesan ada manusia yang betah tidur enam jam di sofa tanpa bantalan.

Sasuke menganggukan kepalanya.

"Kau menyewa ruang karoeke hanya untuk tidur?" Kini Naruto tambah takjub. Bagaimana ia melihat tingkah sang bungsu Uchiha menghabiskan uangnya menyewa ruang karaoke selama enam jam hanya untuk tidur. Hanya untuknya. Untuk menungguinya dan bisa pulang bersama.

"Ada apa?" Sasuke menaikan sebelah alisnya. Heran saat Naruto terus memandanginya tanpa henti. Naruto hanya menggelengkan kepalanya. "Kita jadi makan?" Sasuke kembali bertanya.

"Jika aku minta di bungkus saja. Apakakah kau tetap akan meneraktirku?" Tanya Naruto hati-hati. Sasuke hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian berbarengan menaikan kedua alisnya, mengabulkan permintaan Naruto.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Naruto berjalan beriringan dengan pelan di samping Sasuke. Entah mengapa malam ini terasa sepi. Biasanya Naruto akan berceloteh tentang banyak hal. Menceritakan tentang pengalamannya saat kerja. Atau sekedar menanyakan masalah kuliah Sasuke yang pada akhirnya tetap mendapat gelengan tidak faham.

"Dobe," Sasuke memanggil. Namun ia menjeda ucapan selanjutnya, "─jika kau diminta melakukan sesuatu oleh nenekmu meskipun kau tak menyukainya apakah kau tetap akan melakukannya?" Sasuke menerawang lampu-lampu di atasnya yang berlalu begitu saja saat ia melewatinya.

"Kalau hal itu yang menyuruh adalah nenek. Aku pasti akan tetap melakukannya. Setidaknya, meskipun aku tak bisa terlalu membahagiankannya dengan materi, jika itu permintaan nenek, asal beliau bahagia aku akan melakukannya." Ucap Naruto dengan tegas.

"Meskipun itu menyakitimu?" Sasuke masih berusaha kekuh mendapat jawaban lain dari Naruto.

"Kau ini kenapa Teme? Tiba-tiba─"

"Jawab saja." Sasuke memotong dingin.

Naruto menaikan bahunya bersamaan. Bingung dengan suasana hati sang raven. "Tentu! Aku akan melakukannya meskipun hal itu menyakiti aku. Karena aku menyayangi nenek."

"Apakah kau menyayangiku juga." Kali ini pertanyaan Sasuke benar-benar membuat langkah Naruto terhenti. Bingung harus menjawab apa? Bingun harus menganggapnya apa.

"Tentu saja." Jawab Naruto riang dengan senyuman lima jarinya. "Karena kau adalah sahabatku. Keluargaku." Naruto merangkul bahu Sasuke bersahabat. Meskipun Naruto harus berjinjit tinggi demi menggapai pemuda di sebelahnya.

"Sudah ku duga." Jawab Sasuke terdengar pasrah.

"Apanya?" Tanya Naruto tidak faham.

Sasuke hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak ada." Ia melepas rangkulan Naruto, kemudian mengacak rambut pirangnya. "Aku hanya heran. Kenapa kau tak pernah berfikir sedikit saja untuk egois. Sedikit saja, kau berfikir ingin bahagia tanpa memikirkan orang lain." Sasuke berjalan cepat, mendahului Naruto. "Bodoh." Lanjutnya.

"Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat aneh." Naruto berlari kecil menyusul Sasuke.

"Besok aku akan mengajakmu bertemu seseorang." Bukan menjawab Sasuke malah melontarkan ajakan atau lebih tepatnya paksaan.

"Kenapa harus aku?" Naruto Protes.

Sasauke memasukkan kedua tangannya di kedua saku celananya saat dirasakannya hawa dingin mulai terasa. "Karena kau orang bodoh yang bisa dengan gampangnya menyairkan suasana." Sasuke menatap Naruto yang tiba tiba berhenti mendengar ucapannya.

"Aku apa? Apanya yang dicairkan." Naruto terlihat kebingungan dengan penuturan Sasuke. Sementara Sasuke hanya mendengus kemudian berlalu. Meninggalkan Naruto kebingungan sendirian.

"Hei Teme! Apa maksudnya? Jangan tinggalkan aku. Teme kau dengar tidak?"

"Berisik Dobe!"

"Maka dari itu jelaskan!"

"Bodoh!"

"Brengsek!"

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Awalnya Naruto ingin berbagi kebahagian karena gajinya sebagai tukang parker telah didapatnya. Sembari memakan bersama makanan yang tadi di belikan Sasuke untuknya ─plus untuk sang nenek, karena Naruto meminta tambah dengan manja. Namun saat ia telah sampai di rumah, dan dengan suka cita membuka pintu rumah, suara ricuh yang sudah di rencanakannya menghilang. Digantikan dengan rasa terkejut menemukan sang nenek tergeletak lemah di lantai rumah.

"Nenek!" Tanpa piker panjang. Naruto membawa Tsunade dengan memanggulnya di punggung. Mencari angkutan dan membawanya ke rumah sakit.

Naruto dengan telaten menuntun Tsunade menuju ruang dokter. Mendudukannya di ranjang pasien untuk di periksa. Kemudian sabar menunggu saat dokter menjalankan profesinya. Sepuluh menit kemudian saat setelah menjalankan beberapa proses, dokter menuliskan sebuah catatan di kertas yang sudah biasa ia terima saat di suruh membeli obat.

Tapi kali ini dang dokter tak kunjung memberikan kertas tersebut. Bahkan sang dokter dengan tag nama 'Shizune' tersebut melepas dulu kaca matanya. Diam sebentar. Barulah ia berkata.

"Kondisinya sudah parah Naruto. Kankernya sudah merambat kemana-mana. Masalah penglihatannya yang mengabur mungkin karena sel kankernya sudah menganggu saraf motorik. Sehingga aktifitas otak terganggu. Dan tak bisa mengirim gambar seperti yang retina rekam ke otak." Jelas Shizune.

"Seberapa buruk dok?" Tanya Naruto hati-hati. Mencoba memelankan sedikit detak jantungnya karena sudah bisa menduga jawaban akhir sang dokter.

"Tak perlu ku jelaskan Naruto. Karena kesimpulannya satu. Nenekmu sudah masuk ke dalam tahap kritis." Jawab Shizune menundukan kepalanya. Ikut berduka.

"Tak adakah obat yang lebih ampuh untuk penyakitnya?" Naruto mencoba mencari informasi lain demi kesembuhan sang nenek.

"Obat terbaik untuk memperpanjang usianya adalah mengangkatan kankernya tiga tahun lalu. Dan kau tak kunjung melaksanakannya."

Naruto tersenyum miris mendengar penuturan sang dokter. "Kalau biaya sama seperti beli beras. Aku pasti akan setuju." Jawab Naruto asal.

"Jika dulu kau berusaha lebih keras, mungkin sekarang kita masih bisa melakukan kemoterapi. Atau setidaknya kau bisa meminjam uang terlebih dahulu." Ucap Shizune menekankan kalimatnya. Sementara Naruto hanya tersenyum miris mendengarnya.

Masih jelas di ingatannya. Kejadian yang tak akan pernah di lupakannya. Saat dirinya baru berumur empat belas tahun. Dengan kaki-kaki kecilnya ia memapah sang Nenek mencari tumpangan yang mau mengantarnya hingga ke Konoha Hospital.

Kala itu. Ia yang masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah tingkat pertama, tersentak kaget menemukan sang nenek jatuh pingsan di sudut kamar. Saat disentuhnya tangan sang nenek, ia merasakan dingin telah menjalar hingga ke nadi. Bahkan tangan sang nenek telah berubah berwarna biru.

Dan saat ia telah sampai di dalam ruangan spesialis penyakit dalam Konoha Hospital. Betapa ia terkejut. Diberitahukan jika sang nenek mengidap penyakit mematikan. Meskipun ia masih remaja. Ia tahu seberapa berat masalah penyakit sang nenek. Terlebih saat sang dokter menutut untuk segera melakukan operasi agar menyelamatkan sang nenek. Tapi percayalah. Untuk makan saja mereka harus memikirkan dengan susah parah. Apalagi untuk berobat.

Pada akhirnya. Setelah sang nenek siuman di ruang inap jalannya. Dengan lantang Naruto menyatakan. "Aku tak ingin melanjutkan sekolah!" Ucap Naruto kala itu.

Tsunade yang baru sadar awalnya kebingungan. Bagaimana sang cucu mengatakan hal tersebut dengan mudah ─padahal semangat sang cucu yang ingin mengubah hidup mereka lebih baik dengan bersekolah.

Tsunade dengan lemah meminta Naruto mendekatinya. Diusapnya belahan pipi sang cucu. "Bukankah kau ingin menjadi orang terpandang dan mengubah hidup kita?" Ucap Tsunade lemah. "Kau tak bisa mencari tahu siapa orangtuamu jika kau tak menjadi orang sukses." Lanjutnya.

"Tidak! Aku tak mau bertemu mereka jika aku harus kehilangan nenek." Naruto terisak.

"Maafkan nenek Naruto. Maafkan nenek. Nenek tak bisa membuatmu bahagia." Tsunade meneteskan air matanya. Merasa tak berguna, tak bisa membantah perkataan sang cucu. Dan semenjak hari itu, aruto bukan lagi seorang pelajar.

"Nenek jangan pergi." Naruto menangis sesegukan di perut Tsunade. Berharap bisa berbagi rasa sakit atau bahkan menghilangkan rasa sakit sang nenek. Agar sang nenek tak akan pergi meninggal kannya. Jika hal itu terkabul, ia tak akan meminta hal lainnya lagi.

"Sudah cukup susah hidupku. Dan aku tak ingin menambahnya dengan hutang budi pada orang lain. Biarlah ini menjadi tanggunganku tanpa ada orang lain yang tau tentang penyakit nenek. Aku tak ingin semakin di kasihani." Papar Naruto berdiri. Memapah Tsunade dan keluar dari ruangan dokter muda berambut hitam tersebut. Meninggalkan gelengan lemah pada paras cantik sang dokter.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Dok. Dok. Dok.

"Naruto!"

Dok. Dok. Dok.

"Naruto bangunlah!"

Sudah sejak lima menit yang lalu Sasuke berdiri di depan rumah Naruto. Menggedor pintu bermaksud membangunkan sang pirang. Tapi memang dasarnya Naruto susah di bangunkan. Maka dari itu Sasuke mencoba sedikit berlaku kasar.

Dok! Dok! Dok!

"NARUTO!" Sasuke sudah siap menggedor kembali pintu rumah Naruto saat sang pirang muncul di balik daun pintu yang terbuka.

"Bisa tidak membangunkan seseorang dengan cara normal?" Seketika Naruto marah. "Aku tidak tuli." Lanjutnya.

"Kau memang tidak tuli. Tapi seorang pemalas." Sasuke masuk bahkan saat Naruto belum mempersilahkannya.

"Nenek sedang sakit. Aku tak bisa ikut denganmu hari ini." Naruto berkata lirih. Berharap Sasuke tidak kecewa dengan keputusan sepihaknya.

Sementara di tempat, Sasuke hanya menghela nafas. Dan berguman 'hn' andalannya. Kemudian ia mendekat kea rah Tsunade yang kala itu sedang berbaring di tatami rumah dengan sebuah selimut hangat menutupi sebagian tubuhnya. Disentuhnya kening Tsunade dengan telapak tangannya. "Panasnya masih tinggi. Kenapa kau tidak mengkompresnya?" Sasuke berkata lirih.

"Aku lupa." Naruto menepuk jidatnya keras. Kemudian ia berjalan cepat ke arah dapur dan menyiapkan air dingin dengan kain untuk mengkompres.

"Dia sakit apa?" Tanya Sasuke mencoba membantu memasang kain kompres.

"Biasa. Penyakit tua." Jawab Naruto asal.

"Hn."

"Dengan siapa kau akan bertemu?" Naruto mencoba mengalihkan pikiran Sasuke agar tidak bertanya lebih lanjut.

"Teman ayahku." Jawab Sasuke pelan. Kemudian ia beranjak berdiri, dan melangkah ke luar.

"Kau sudah mau berangkat?" Cegah Naruto sebelum Sasuke membuka engsel pintu dengan cara menahan gerak tangan Sasuke.

"Ada apa?" Sasuke heran saat melihat raut wajah Naruto yang entah mengapa di matanya terlihat seperti orang pesakitan. Sedih. Takut. Marah. Kesal. Menuntut. Putus Asa.

"Aku… Aku…" Naruto ragu ketika akan mengungkapkan sesuatu. "Bantu aku mencari orang tuaku." Ucap Naruto lantang.

Sasuke menaikan sebelah alisnya. Heran dengan penuturan Naruto yang tiba-tiba. Karena ia tahu, dihitung semenjak ia akrab dengan sang pirang. Naruto telah lama mengubur dalam-dalam rasa ingin bertemu dengan keluarga kandungnya. "Untuk apa?"

"Hahaha." Naruto tertawa kikuk. "Aku hanya ingin tahu seperti apa wajah mereka." Lanjutnya kemudian.

"Kalau kau hanya ingin tahu seperti apa wajah orang tuamu, lebih baik kau bercermin saja. Aku tak punya banyak waktu untuk mengurusi urusanmu yang tidak penting." Sasuke memakai sepatu ketsnya dan berjalan menjauh. Tapi sebelum terlalu jauh, Sasuke kembali menoleh ke belakang. "Jangan siksa dirimu dengan memikirkan mereka. Jika kau bisa bahagia tanpa mereka kenapa susah-susah mencari orangtuamu yang telah membuangmu. Jika kau tak bisa bahagia, aku akan membuatmu bahagia. Meski aku tak bisa terus di sampingmu. Aku akan terus berusaha membuatmu bahagia Naruto. Karena kau adalah…" Sasuke memalingkan wajahnya. Sempat di dengar oleh Naruto, Sasuke menghela nafas panjang. "Sahabatku." Setelahnya Sasuke benar-benar melangkah menjauh.

Sebenarnya Sasuke benar-benar ingin mengatkan sesuatu yang penting pada Naruto. Tapi entah mengapa setiap ia ingin mengatakannya, pemikiran rasionalnya kembali berjalan. Menghentikan pemikiran Sasuke yang ingin mengatakan hal penting pada Naruto. Hal yang mungkin akan mengubah hidupnya kedepannya.

Di tambah dengan melihat sikap Naruto yang seperti dalam keadaan tertekan. Menambah alasan Sasuke untuk tidak mengatakannya. Menyadarkan kembali Sasuke untuk memendam perasaannya agar Naruto mengetahui segalanya. Hal apa yang akan terjadi padanya. Siapa yang ingin di temuinya.

Sementara di lain pihak. Naruto tak kalah labilnya dengan Sasuke. Ia merasa memang butuh tempat bercerita. Butuh teman untuk mendukungnya. Butuh seseorang yang mau dirangkulnya. Menenangkannya. Mengatakan bahwa semua-akan-baik-baik-saja. Tapi setiap kali ia akan cerita. Kata-kata yang telah di siapkan olehnya menghilang. Berbaur dengan perasaan ragu mungkinkah semuanya akan benar-benar berjalan baik kedepannya. Mungkinkah Sasuke akan membantunya. Atau setidaknya Naruto ingin menceritakan hal lain yang mungkin saja bisa merusak pandangan Sasuke terhadapnya.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Naruto berniat untuk mengajukan diri mengambil gaji bulan depan hari ini. Ia berniat membawa sang nenek berobat alternative atau menjalankan kemoterapi. Meski terlambat, setidaknya ia ingin menyelamatkan sang nenek. Berusaha lebih keras mencari alternative demi kesembuhan sang nenek.

Selepas bekerja kasar di proyek. Naruto berjalan sendiri ke tempat ia bekerja sebagai tukang parkir. Karena hari ini, tiba-tiba saja Sasuke tak muncul untuk menunggunya di depan rumah seperti biasa. Saat ingin mengkomfirmasi, dengan cara mengunjungi kediaman Uchiha. Di dapatinya rumah itu tengah terkunci rapat. Menandakan seluruh penghuninya tak ada dirumah.

Di tempat kerja. Naruto tak bisa diam. Setiap ada pengunjung restoran yang hendak pulang. Selesai membantu para pelanggan mengeluarkan mobilnya, tak lupa Naruto selalu menawarkan jasa penjaga rumah husus malam hari hingga pagi hari. Tak berhenti disitu, ia juga menanyakan informasi kesana kemari demi mencari pekerjaan tambahan. Semua ia lakukan demi memperoleh penghasilan tambahan agar bisa sedikit meringkankan beban sakit yang diderita Tsunade.

"Maaf Naruto. Aku tak berani. Aku mengeluarkan gaji sesuai tanggal para karyawan di awal kerja. Dan kau baru menerima upahmu seminggu lalu." Tenten mencoba menjelaskan ketika tiba-tiba seusai kerja Naruto menemuinya dan meminta upah bulan depan lebih awal.

"Aku mohon Tenten-san. Aku sangat membutuhkan uang itu." Naruto tetap bersekukuh membujuk Tenten untuk membantunya.

"Maaf Naruto. Ini di luar wewenangku." Tenten tetap menyatakan bahwa ia tak bisa membantunya. "Tapi, jika kau berani mengajukan ke Namikaze-sama. Mungkin akan berbeda jawabannya." Usul Tenten.

"Kau yakin?" Ragu Naruto.

"Tak ada orang lain disini yang bisa membantumu. Kecuali Namikaze-sama─"

"Kenapa aku?" Namikaze yang tiba-tiba datang langsung mengintrupsi pembicaraan Naruto dan Tenten.

"Boleh saya berbicara secara pribadi dengan anda Namikaze-sama?" Naruto tanpa sungkan langsung berbica meminta izin.

Tak langsung menjawab, Namikaze minatato menarik nafas panjang dan duduk di bangku dimana biasanya para karyawan duduk saat Tenten membagikan upah kerja. "Ada apa?" Minato menekuk kedua tangannya di depan dada.

"Ano, Namikaze-sama. Sebaiknya saya keluar saja." Sebelum pembicaraan Naruto dan Minato dimulai. Tenten berusaha undur diri. Namun sang bos tak kunjung member alasan. Dan pada akhirnya Tenten menyimpulkan bahwa ia memang lebih baik keluar ruangan tersebut.

Naruto menatap bos tempatnya bekerja itu. Memerhatikan dari atas hingga bawah meski hanya dari lirikan sebab ia memang sedang menunduk. Rambut pirangnya bermodel sama dengannya. Hanya saja lebih panjang. Mata birunya senda dengan manyanya. Ketika sekali lagi Naruto memandang Minato. Entah mengapa ada rasa lega di hatinya. Meskipun hanya berandai, ia merasa seperti melihat sosok sang ayah. Karena mereka begitu mirip. Hanya saja Naruto memiliki tiga garis halus di setiap pipinya. Mungkin tanda lahirnya. Juga tingginya yang hanya sebatas bahu Minato.

Imajinasi NAruto mungkin tidak akan berhenti andai saja ia tidak mendengar deheman dari Minato. Dengan menarik nafas sekali lagi, Naruto akhirnya mengatakan keinginannya. "Saya mohon maaf jika harus berbicara langsung seperti ini dengan anda Namikaze-sama. Saya benar-benar minta maaf." Naruto mengangkat kepalanya. Dan memandng langsung di safir sang Namikaze. "Saya membutuhkan uang lebih untuk berobat nenek saya. Beliau terkena kanker. Saya mengajukan untuk menerima upah dua bulan ke depan lebih dulu." Naruto kembali menundukan kepalanya.

"Seberapapun susah hidupmu. Seharunya kau tak usah menunjukannya. Karena hal itu hanya membuat orang-orang memandangmu rendah." Minato menjawab dengan memandang Naruto dari atas hingga bawah. Sedikit terhennyak mendapati tiga garis halus di setiap pipi Naruto. Mengingatkannya akan seseorang. Seseorang yang telah di lupakannya selama tujuh belas tahun.

"Saya janji akan bekerja keras setelahnya." Naruto berusaha memperkuat alasan mengapa ia membutuhkan upah lebih cepat.

"Aku akan memberimu gaji enam bulan utuh." Ucap Minato seketika. Membuat Naruto mengangkat wajah terhenyak. "Tapi mulai detik ini juga kau harus berhenti kerja." Imbuh Minato. Dan kali ini membuat Naruto membelalakan matanya. "Bagaimana?" Sebuah senyum muncul di wajah Minato.

Naruto dilemma. Pekerjaan ini sangatlah membantunya. Hanya bekerja sebagai tukang parkir dengan gaji lumayan. Susah untuk mendapatkan kerja seperti ini. Tapi ia benar-benar membutuhkan uang dengan cepat untuk kemotrapi sang nenek. Apa yang akan di pilihnya?

"Saya setuju." Ucap Naruto pada akhirnya. Ia memejamkan matanya. Seolah ini adalah pilihan sulit.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

"Nek. Besok kita akan pergi ke tempat kemoterapi. Aku sudah memiliki uang yang cukup untuk biaya penyembuhanmu." Ucap Naruto sambil mengarahkan amplop coklat ke Tsunade.

Saat Tsunade membukanya. Ia begitu terkejut. Mendapati lembaran uang yen terdapat di dalamnya. "Kau? Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak ini?" Tanya Tsunade takjub.

"Ada teman yang berbaik hati pada keluarga kita. Mau meminjamkan uang tersebut. Dan tidak menuntut berapa lama akan di kembalikan." Jawab Naruto dengan senyum lima jarinya.

"Benarkah? Siapa?" Tsunade penasaran.

"Seseorang yang sangat mirip denganku." Mendengar jawaban Naruto. Terlihat kerutan kebingungan di dahi Tsunade. "Sudahlah. Nenek tak usah banyak bertanya. Yang penting nenek bisa lebih baik."

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Seminggu tak ada kabar Sasuke kembali dengan membawa kabar mengejutkan. Ia akan menikah. Seminggu menghilang ternyata ia melaksanakn pertunangannya di daerah Suna. Awalnya Naruto terkejut. Tidak percaya dengan penuturan sang Raven. Namun saat Sasuke menunjukan jari manisnya, Naruto mau tak mau percaya. Dengan senyum kaku ia merangkul Sasuke. Dan berbisik. "Brengsek. Kau sudah laku rupanya? Kita tak akan bisa sedekat dulu sahabat." Naruto menenggelamkan wajahnya di perpatahan leher Sasuke. Menarik nafas dalam-dalam aroma mint sang bungsu Uchiha. Mencoba mengenang wanginya jika nanti di suatu saat ia tak bisa melakukan hal ini lagi.

Namun saat ia akan menarik kembali kepalanya. Tanpa aba-aba Sasuke menahan belakang kepala Naruto menggunakan sebelah tangnnya. Sementara tangan yang lain merangkul Naruto dan mengusap punggungnya. "Sebentar saja. Sebentar saja kita seperti ini." Sasuke tak melanjutkan kalimatnya untuk menjelaskan mengapa ia melakukan hal ini. Tapi Naruto tak memberontak. Apapun alasannya. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di bahu dekat perpatahan leher Sasuke.

Naruto mencoba mencerna lagi pembicaraannya dengan Sasuke perihal pernikahannya yang tiba-tibanya. Sasuke bercerita bahwa ini keinginan orang tuanya. Fugaku dan Mikoto. Berawal dari pertemuan tidak sengaja sang uchiha bungsu dengan calon dokter muda bernama Sakura.

Kala itu, tepatnya enam bulan yang lalu. Saat Sasuke menjalani progam kuliah kerja nyata di daerah Suna. Disana ia terserang malaria dan mendapat pertolongan dari mahasiswa kedokteran yang juga melaksanakan penelitian tentang penyakit di desa yang sama.

Selama seminggu sakit. Selama itu pula Sakura merawatya. Dengan telaten dan rajin Sakura menjaga Sasuke. Hingga akhirnya Sasuke kembali sembuh. Awalnya Sasuke merasa hanya menganggap Sakura sebagai seorang calon dokter yang melaksanakan tugasnya. Maka dari itu Sasuke tak ingin berhubungan lebih jauh dengan wanita bersurai merah jambu tersebut.

Namun belakangan. Entah karena ketidak sengajaan progam perkuliahan atau memang karena takdir. Sasuke jadi sering bertemu Sakura. Dan gadis itu tak segan-segan mengajaknya berbicara. Lambat laun mereka jadi akrab. Bahkan setelah progam kuliah mereka selesai di daerah Suna. Meskipun beda universitas. Mereka berdua tetap akrab. Atau setidaknya, Sasuke beranggapan, Sakuralah yang terlalu dekat dengannya.

Tanpa mereka ketahui. Ternyata ayah Sakura ─Hizashi─ adalah teman lama ayah Sasuke ─Fugaku. Dan saat mereka bertemu di luar rumah tanpa sengaja, yang kala itu Sakura mengantarkan ayahnya untuk membeli peratan renovasi rumah. Sakura menangkap sosok Sasuke di balik estalase took. Ia terlihat sedang membantu sang ayah membawa beberapa kaleng cat dengan troli belanja.

Dan pada akhirnya. Mereka berempat makan bersama di sebuah rumah makan. Dan berlanjut pada acara gila yakni menjodohkan mereka berdua. Fugaku dan Hizashi memberikan waktu luang untuk mereka memikirkannya. Sakura memilih pasif pada jawaban Sasuke.

Awalnya Sasuke ingin langsung menolak pemikiran dua pria dewasa tersebut. Ingin membagi masalah dulu dengan sang sahabat Naruto. Namun saat mendapat jawaban malam itu. "─Aku akan melakukannya meskipun hal itu menyakiti aku. Karena aku menyayangi nenek." Sasuke langsung merubah pemikirannya. Ia berfikir. Jika mungkin ini salah satu cara membuat orantuanya bahagia. Sebab, saat ia melihat ayahnya memperkenalkan Sakura pada ibunya. Mikoto terlihat sangat senang jika Sakura benar-benar menjadi menantunya. Terlebih dengan status sosial Saskura yang mungkin saja bisa mengangkat status sosial keluarganya.

Aku akan tetap melakukannya. Meskipun hal itu menyakitiku. Sasuke kembali melafalkan kalimat Naruto malam itu. Yah. Ia akan tetap melakukannya. Meskipun pernikahan ini menyakitinya. Karena ia tidak mungkin meminta izin pada ayahnya untuk membawa Naruto bersanding di sisinya. Karena ia tahu hal ini akan menyakiti sang ibu. Sebab ialah satu-satunya harapan yang mereka punya. Harapan untuk melihat Uchiha yang baru lahir. Yang tidak akan di dapatinya dari Naruto.

Sasuke melepas rangkulannya. Kembali menyadarkan mereka berdua bahwa mereka terlalu larut dalam keadaan melankonis.

"Bulan depan. Tepatnya seminggu setelah aku diwisuda, aku akan menikah dengannya di Suna. Kau datanglah." Ucap Sasuke lirih.

"Tentu. Aku akan jadi orang pertama yang akan duduk di barisan depan. Menyaksikanmu mengucap janji suci dengannya." Naruto berkata dengan semangat. Mencoba menyembunyikan suara bergetarnya.

Di lain pihak Sasuke hanya diam. Melihat reaksi Naruto yang terlihat bahagia. Meyakinkah bahwa ia tak salah pilih keputusan. Sebab ia yakin bahwa ini adalah perasaan sebelah pihak saja.

"Aku juga ikut bersuka cita atas rencana pernikahanmu Sasuke." Ucap Tsunade yang muncul dengan tiba-tiba dari arah dapur. Meletakan nampan berisi dua minuman hangat yang cocok untuk musim dingin seperti ini. "Minumlah." Lanjutnya.

Tapi sebelum ia selesai meletakan nampan tersebut. Nampan tersebut telah jatuh terlebih dahulu. Disusul dengan ikut ambruknya tubuh Tsunade.

"NENEK!" Naruto berteriak histeris.

"Dobe. Minta ibuku untuk menelpon ambulance." Perintah Sasuke otoriter. Sementara ia berusaha membawa tubuh pingsan Tsunade di gendongannya.

"Iya."

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Hari itu telah datang. Hari dimana Naruto harus berpisah dengan sang nenek. Hari dimana tak pernah diharapkan oleh Naruto untuk datang. Hari dimana semuanya terasa telah berakhir bagi Naruto. Hari dimana Tsunade ─neneknya─ dinyatakan meninggal karena penyebaran sel kanker hati yang telah menjalar ke jantung dan menyebabkan gagalnya fungsi jantung. Hari itu adalah hari ini. Senin, sebelas Oktober. Hari dimana Tsunade menemukannya. Hari dimana ia dan sang nenek menganggap adalah hari kelahiran Naruto. Hari yang seharusnya dirayakan.

Di luar ruang jenazah. Naruto menangis tertunduk. Kedua tangannya yang di letakan di kedua lututnya memangku kepalanya. Sudsah tak terhitung berapa air mata yang menetes. Di sampingnya Sasuke hanya mampu merangkul punggung ─melengkuk Naruto karena menunduk─ dengan sabar.

"Sudahlah. Ini memang saatnya." Hibur Sasuke meski tidak pintar menghibur seseorang. Sebenarnya ia sedikit kaget. Mendapati bahwa ternyata Tsunade mengidap kanker. Selama ini ia mengira, Tsunade hanya sering sakit karena factor usia. Ternyata? Terlebih Naruto tak pernah menceritakannya.

"Dia pergi Sasuke. Dia pergi meninggalkan aku. Dia meninggalkan aku." Rancau Naruto.

Tak kuasa mendengar tangisan Naruto. Secara sepihak Sasuke marik tubuh lemah Naruto ke dalam rangkulannya. Memeluknya erat.

"Aku tak punya… siapapun lagi. Tidak… ada lagi." Ucap Naruto terbata. Mendengarnya Sasuke semakin memeluk Naruto erat. Ya Tuhan. Batin Sasuke. Bagaimana ia bisa meninggalkan seseorang dalam pelukannya ini nanti? Saat ia menikah ia pasti akan pindah ke Suna. Naruto pasti sendiri. Tak aka nada siapa-siapa lagi di sisinya.

Dari kejahuan. Mikoto hanya menatap miris kehidupan Naruto. Benar-benar kehidupan yang menyakitkan.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Tiga minggu pasca pemakaman Tsunade. Sasuke mulai menata barang di dalam mobil box sewaan yang biasanya di sewa untuk pindah rumah. Semua peralatan berat telah terkirim seminggu yang lalu. Saat ini tinggal beberapa barang dan pakaian yang di angkut. Juga beberapa properti rumah lainnya.

Keluarga Uchiha memutuskan untuk pindah ke Suna. Karena kini Sasuke adalah anak tunggal, mengharapkan Sakura akan pulang ke konoha sangat tidak mungkin. Karena ia adalah anak tunggal. Satu-satunya cara agar bisa dekat dengan Sasuke dan Sakura dan anak mereka yang akan lahir kelak adalh mengalahnya pihak pria dan pindah ke Shuna agar bisa dekat dengan mereka berdua.

"Ada barang lagi Teme? Aku akan mengambilnya." Tanya Naruto saat ia ikut sibuk membantu Sasuke mengangkut barang untuk perpindahan.

"Tidak ada." Jawab Sasuke setelah meletakan koper keduanya ke dalam mobil box.

"Benarkah?" Naruto memandang Sasuke sayu. Sebuah kesalahan. Karena Sasuke bisa menangkap kepedihan di safir langit itu.

"Kau ikutlah bersamaku. Kita bisa tinggal bersama."

"Dengan menjadi obat nyamuk di rumah tanggamu?"

"Tak masalah."

"Aku yang masalah." Naruto memalingkan wajahnya. "Lagi pula ada satu hal yang ingin kupastikan sebelum semuanya terlambat. Lalu aku akan berangkat ke Suna. Melihatmu ketika kau memakai setelan Texudo. Mengikar janji setia. Aku akan duduk di─"

"Kau tak usah datang." Potong Sasuke.

"Apa maksudmu? Aku kan sudah janji."

"Aku bilang tak usah."

"Aku pasti datang. P-a-s-t-i!"

"Terserahlah." Jawab Sasuke pada akhirnya. Membuat Naruto sedikit kecewa mendapati Sasuke menyerah melarangnya datang.

"Aku pasti akan merindukanmu Teme." Ucap Naruto dengan langsung merangkul Sasuke. "Aku akan merindukanmu." Ulangnya.

Sementara Sasuke hanya diam. Membalas pelukan Naruto. Mencoba mengukur waktu perpisahan mereka. Karena ketika ia telah menaiki mobil tersebut dan menuju Suna. Semuanya telah berubah. Semuanya tak akan sama lagi. Ia tak akan menjadi Uchiha Sasuke yang sama lagi. Tak aka nada lagi alasan perasaanya untuk diungkapkan. Karena sebentar lagi aka nada nyonya Uchiha yang menjadi pendampingnya.

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.

Saat itu Kushina sedang mengalami pertengkaran hebat dengan kekasihnya Minato. Berdebat tentang digugurkan atau tidaknya sang jabang bayi yang telah bersemai dalam rahimnya selama tiga bulan.

"Aku tak ingin memiliki anak terlebih dahulu Minato. Aku baru berumur Sembilan belas tahun." Kushina menekankan kalimatnya. "Aku juga masih punya cita-cita. Aku ingin jadi dokter. Dan mahasiswa kedokteran di larang hamil dan nikah terlebih dahulu." Lanjutnya.

"Tapi apa salahnya Kushina? Biarkanlah ia lahir dahulu." Pinta Minato membujuk sang kekasih.

"Tidak mau!"

"Kasihan dia."

"Gugurkan atau aku bunuh diri."

"Kita akn membuangnya jika sudah lahir. Tapi jangan gugurkan." Ucap Minato akhirnya. Keputusan berat karena ia tak ingin kehilangan sang kekasih. Tapi juga takn ingin membunuh darah dagingnya.

"Aku ingin jadi Dokter Minato. Aku belum menginginkannya." Kushina memeluk Minato dan menangis setelahnya.

"Aku tahu."

.

K-a-n-a-m-i ^.^ A-y-a

.


To Be Continued

Pertama ingin aku buat one shoot. Tapi kayaknya ini akan jadi panjang banget. Sementara aku lagi pada masa belajar mau UAS (tapi masih sempet ngefanfic). Maka dari itu aku putus sampai sini dulu.

Aku ingin mempersembahkan ini untuk hari ibu. Walau telat!
Memberitahukan untuk para ibu. Bahwa kami akan selalu sayang padamu. Karena kami tahu kau sangat menyayangi kami. Terbukti dengan lahirnya kami di dunia ini. Meski kau tak menginkan kami.

Maaf yang nunggu fanficku yang 'M-Preg It's Not My Disteny' bukannya lanjut malah bikin fanfic baru. Tapi ini two shoot kok. Dan tinggal ngerampungin dikit. Sementara fic ku yang 'M-Preg It's Not My Disteny' tinggal edit dikit siap publish.

Aku janji kemungkinan upload dua fic ini sekitar dua minggu lagi.

Makasih yang udah baca. Jangan lupa RnR ya. Kalo reviewnya ini lebih banyak dari review fic 'M-Preg It's Not My Disteny' chap 9. Maka aku akan update yang ini dulu. Dan sebaliknya. (Ngancem)

Makasih udah baca curcolan aku.