Long Kiss Goodbye by Yuu Nightmarie Phantomhive

NARUTO by Masashi Kishimoto

(Naruto dan segala karakternya bukan milik saya)

Rated: T

Genre: Romance/Hurt/comfort

Warning: AU, OOC, typos, Newbie, EYD kacau balau, tata bahasa serampangan (?), abal, gaje, BL, BoyxBoy, SasuNaru. Bisa baca kan? =-="

DON'T LIKE, DON'T READ!


Chapter 1: The Meetings

"Hosh..Hosh.."

Ternyata aku benar-benar salah. Harusnya aku tak keluar untuk mencari kayu bakar saat sedang salju begini. Huh.. lagipula dapatnya tak terlalu banyak.

Kulihat mulutku seperti mengeluarkan kepulan asap. Pertanda aku kedinginan. Kuusap rambut blonde milikku yang terkena jatuhan salju.

Aku pun terus berjalan sambil menggendong kayu bakar yang sangat sedikit. Ya beginilah kegiatanku sehari-hari, mengumpulkan kayu bakar dan pergi menjualnya kekota keesokan harinya.

Hidupku sulit tapi setidaknya aku cukup bahagia. Aku sama sekali tidak mengetahui seperti apa rupa orang tuaku. Aku tumbuh disebuah panti asuhan dipinggir desa. Karena tak mau merepotkan Nenek Chiyo yang selalu mengurusku dengan penuh kasih sayang, aku memutuskan untuk meninggalkan tempat tinggalku sejak kecil itu dan mulai belajar untuk hidup mandiri walau Beliau memaksaku untuk tetap tinggal dan tak pernah merasa direpotkan olehku.

Aku juga terpaksa meninggalkan teman baikku, Gaara. Dia adalah cucu Nenek Chiyo dan aku juga tak mau terus terusan membebaninya.

Aku terus berjalan sambil menggosok kedua tanganku, mencoba menghangatkan diri hingga aku berhenti dan menatap sebuah gundukan salju didepanku. Apa itu? Pikirku dalam hati. Gundukan itu tak terlihat seperti gundukan salju biasa. Karena rasa penasaran yang begitu kuat, aku mendekati gundukan itu. Aku perhatikan lekat-lekat sampai aku memutuskan untuk menyentuhnya. Saat kusentuh, saljunya sedikit melongsor kebawah dan dapat kulihat sesosok pria berambut kelam. Kulit pria itu sangat pucat. Kelihatannya dia pingsan. Aku mencoba menyingkirkan semua salju yang menutupi tubuhnya dan aku memapahnya. Yah.. walaupun tubuhku kecil dan kurus, tapi aku cukup kuat untuk memapahnya sampai rumah walau dengan tenaga ekstra.

Sesampainya dirumah aku membawanya kekamarku. Aku membaringkannya di ranjangku dan menyelimutinya hingga sebatas dadanya. Kulihat dia sudah jauh lebih baik daripada saat aku menemukannya. Irama nafasnya terdengar normal. Dan ia tidur dengan wajah damai bak malaikat yang turun dari langit. Sepertinya dia lebih merasa hangat sekarang. Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk menolong orang ini. Orang asing yang bahkan aku tidak pernah melihatnya disekitar sini. Kalau dilihat-lihat, ia tampan sekali. Aku bertanya-tanya apa warna mata pria ini. Seketika pipiku merona. Hah.. aku mendesah. Aku merasa seperti om om mesum sekarang. Kenapa aku jadi memperhatikannya begini?


Gelap. Kenapa gelap begini? Siapa yang mematikan lampu? Dimana aku?

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan akhirnya aku bisa melihat sedikit cahaya. Kulihat ada seorang wanita bergaun putih penuh dengan renda-renda. Rambutnya panjang bewarna merah seperti darah. Indah sekali. Aku mengosok kedua mataku, namun wajahnya masih tak terlihat jelas.

Siapa dia? Tak mendapat jawaban, aku pun berjalan mendekatinya. Semakin dekat kurasakan jantungku semakin berdebar. Aku terkejut saat ia membalikan badannya dan tersenyum menatapku.

Aku terpaku menatap senyumnya yang terasa ganjil itu. Senyum itu. Senyum itu terasa hangat, namun juga terasa sakit dan menyedihkan.

Ia kemudian berlari menjauhiku. Aku pun refleks berlari mengejar wanita itu namun semakin kukejar ia semakin menjauh. Aku berteriak keras agar dia mau berhenti sampai kepalaku terasa sakit. Aku terjatuh menghantam aspal jalanan. Lututku terasa sakit dan berat. Aku menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh dan kembali berteriak. Namun Ia menghilang. Aku berteriak lagi hingga kurasakan tenggorokanku akan hancur. Tanpa kusadari sebutir air mata meluncur dari mataku dan suara teriakanku tak terdengar lagi. Aku memegangi leherku yang terasa sangat sakit.

Tiba-tiba kepalaku berputar hebat dan terlintaslah memori yang terasa blur dipikiranku. Aku melihat wanita itu, namun aku tak dapat mengingat siapa dia.

DEG!

Kepalaku berdenyut kencang. Kujambak kuat surai ravenku berharap dapat mengurangi rasa sakit dikepalaku.

Saat aku membuka mataku lagi, aku merasa tubuhku terhempas kuat dan kakiku tak lagi menapak tanah yang solid. Sekelilingku menjadi gelap.

Yang ku tau saat itu hanya -

.

.

.

.

Aku tenggelam.

.

.

.


"Hosh..Hosh.."

'Cu.. Cuma mimpi?' pikirku dalam hati.

Aku mengatur nafasku dan menenangkan diriku. Namun seketika aku terkejut saat kulihat sekelilingku. Dimana ini? Ini sepertinya bukan dikamarku. Aku menelisik setiap sudut tempat ini. Kulihat aku berbaring di ranjang berseprai oranye. Dan dinding tempat ini dicat bewarna coklat kayu dengan guratan-guratan khas dan berhiaskan sulur-sulur tanaman. Aku merasa benar-benar seperti berada didalam sebuah pohon. Jendela yang terbuka lebar menampilkan butiran salju. Aku mengerjapkan mataku, lalu menghela nafas sejenak. Aku mulai memperhatikan sekelilingku lagi. Saat mataku masih sibuk meneliti dimana kira-kira aku berada, sebuah suara mengagetkanku.

"Ng.. kau sudah sadar?"

Aku menoleh ke sumber suara. Kulihat seorang pemuda berambut pirang dan bermata biru cerah menghampiriku. Untuk sejenak aku terpaku menatap iris birunya yang seakan menyedot kesadaranku dan mengingatkanku akan langit dimusim panas yang cerah. Ia meletakan semangkuk bubur dan segelas susu hangat di meja disamping tempat aku tidur.

"Kau pasti binggung kenapa saat kau bangun kau berada disini. Hm.. yah.. aku menemukanmu. Eto- Kau pingsan."

"Pingsan?" tanyaku sambil menatap matanya lekat.

"I-Iya. aku menemukanmu pingsan. Jadi aku bawa kau kerumahku."

Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk mencerna kata-katanya.

"Terima kasih sudah menolongku." kataku sopan.

Ia tersenyum dan tiba-tiba aku merasa pipiku panas dan sedikit merona saat melihat senyumnya. Kenapa aku jadi begini?

"Kau tidak apa-apa? Wajahmu memerah. Apa kau demam?"

Aku ingin menjawab, tapi aku kaget saat kulihat wajahnya mendekat dan ia menyentuh lembut dahiku dengan tangannya. Wajahnya terlihat khawatir.

"Tidak. Aku tidak apa-apa"

"Oh. apa benar begitu?"

"Hn." Jawabku seadanya tak terbiasa dengan tangannya yang menyentuh dahiku.

Ia menarik kembali tangannya dan entah kenapa aku agak kecewa saat ia melakukan itu. Hei! Apa yang terjadi padaku? Apa aku terlalu lama pingsan?

"Aku membuatkanmu bubur dan segelas susu. Kau pasti lapar. Makanlah." Katanya sambil tersenyum lebar.

DEG!

Aku tersentak melihat senyum lebarnya itu yang mampu membuat dadaku berdebar kencang seperti ini. Untunglah sepertinya ia tak memperdulikan wajahku yang kini kembali memerah seperti tomat makanan kesukaanku. Syukurlah. Aku harus segera mengecek kondisiku. Sepertinya ada yang salah dengan diriku. Kenapa aku terus terusan merona melihat wajahnya yang manis itu. HELL? MANIS?! TUNGGU! Apa yang kupikirkan?!

"Aku mau pergi kekota sebentar. Kau kutinggal sendiri tidak apa-apa kan?"

Ucapannya membuyarkan lamunan gilaku.

"Sendiri?" tanyaku sambil menatapnya.

"Iya. Dirumah ini tidak ada siapa-siapa selain aku. Aku tinggal sendiri."

"Hn." Aku hanya bergumam tak jelas masih binggung dengan wajahku yang sedari tadi entah kenapa menjadi panas.

"Namaku Naruto. Namikaze Naruto. Namamu?" tanyanya sembari berhenti di ambang pintu.

"Sasuke." Jawabku singkat. Aku belum mau memberitahu nama keluargaku. Bisa rumit jadinya kalau sampai ia tahu.

"Oh. Baiklah Sasuke. Aku pergi dulu ya." Katanya sambil melenggang pergi.

Aku sedikit terkejut saat ia tak bertanya ataupun mempermasalahkan nama keluargaku. Lebih bagus sih. Aku jadi tidak perlu berbohong padanya.


"Terima kasih ya, Tuan!" sahutku kepada seorang lelaki berambut gelap yang kuketahui bernama Sai. Ia orang baik yang selalu mau membeli kayu bakar dariku untuk ditaruhnya diperapian rumahnya. Kudengar Beliau adalah orang yang sangat kaya. Beliau mempunyai sebuah penginapan yang terkenal dan juga café. Kudengar Beliau juga seorang pelukis hebat yang sangat terkenal dikota. Selain itu Beliau juga selalu tersenyum dan aku menyukai senyumannya.

"Iya sama-sama Naru-chan.", katanya sambil tersenyum kepadaku.

"Jaa~ sampai bertemu lagi ya Naru-chan. Jangan lupa kalau ada kayu bakar lagi jangan segan-segan temui aku ya?"

"Baik Sai-sama."

Tiba-tiba senyumnya menghilang mendengar aku menyebut namanya mengunakan embel-embel 'SAMA'

"Ada apa Sai-sama?"

Mukanya bertambah masam kalau kuperhatikan. Apa aku salah bicara?

"Naru-chan, tolong jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu lagi ya. Cukup Sai saja", katanya sambil menghela nafas berat.

"Hm.. baiklah S-Sai" kataku ragu-ragu yang hampir menyerupai bisikan namun masih bisa didengar olehnya.

"Yah begitu lebih baik!", katanya sambil tersenyum lagi. Aku pun ikut tersenyum tipis melihat senyumnya itu.


Aku menatap segelas susu diatas meja samping tempat tidurku. Kepulan asap dari gelas itu sudah mulai menghilang. Menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku, aku pun meraih susu itu dan kuteguk hingga kandas.

Kutaruh kembali keatas meja, dan mataku menangkap semangkuk bubur yang tampak mengiurkan. Kuraih bubur itu dan menatapnya sejenak.

Aku memakannya dan tertegun. Enak. Aku teringat akan masakan Ibuku. Ia selalu membuatkan bubur seperti ini ketika aku sakit.

Tanpa berpikir apa-apa lagi aku menghabiskan bubur itu dengan cepat. Setelah kuletakan mangkuk bubur itu kembali, aku pun berdiri dan melangkah menuju satu-satunya jendela diruangan ini. Jendela besar dengan tirai berwarna putih bersih yang tersingkap. Mataku menemukan sebuah taman namun yang terlihat hanyalah tumpukan salju. Yah mungkin karna sedang musim dingin, pikirku.

Aku menghirup udara sedalam-dalamnya dan menghembuskannya dengan kencang. Rasanya nyaman. Sulit kupercaya aku dapat bebas dan merasa sebahagia ini. Entah dimana aku sekarang, namun aku lega telah memutuskan untuk kabur dari istana. Persetan dengan harta, persetan dengan tahta, dan persetan dengan hari pernikahanku. Sampai kapanpun aku tak sudi menikah dengan gadis pinky berjidat lebar itu. Ia begitu menjijikan dengan senyumnya yang dibuat-buat. Dan aku harus berusaha mati-matian menahan gejolak sakit diperutku saat mendengar tawanya yang sungguh mengerikan. Tak lupa dengan suara cemprengnya yang berdenging ditelingaku setiap kali ia berbicara. Putri angkuh yang bodoh. Entah sampai kapan ia mau mengerti bahwa aku tidak pernah menyukainya.

Aku menghela nafas lagi. Kualihkan pandanganku kepada salju halus yang mulai turun kembali. Pemuda bernama Naruto itu sudah cukup lama pergi. Kemana dia? Kekota kah? Bukankah itu lumayan jauh dari sini? Apa yang dia lakukan? Pusing dengan pertanyaan yang tak terjawab, aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar bernuansa coklat itu. Mataku menelisik setiap sudut rumah ini. Satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur kecil, dan sebuah ruang tamu yang dilengkapi dengan perapian. Aku berjalan lurus menuju perapian dan menyusun balok-balok kayu yang mulai dingin dan aku berinisiatif untuk menyalakan perapian dirumah itu. Setelah menyala, aku mendudukan diriku disalah satu bangku kayu yang ada disana. Wangi khas cemara menyapa penciumanku. Aku menatap perapian dengan wajah datar. Tak lama kemudian aku menutup mataku. Merasakan hangat yang mulai menjalar keseluruh ruangan dirumah ini.

KRIET

Aku mendengar suara pintu yang terbuka. Aku masih betah memejamkan mataku. Kudengar suara derap kaki ringan menuju kearahku.

"Eng~ Tadaima."

Suara yang terdengar ceria itu mengalun lembut ditelingaku dan membuatku membuka kelopak mataku sehingga menampakan iris kelamku.

Kulihat pemuda pirang itu tersenyum kearahku.

"Hn.", tanggapku seadanya.

"Hn, Hn kau ini tidak jelas sekali kalau berbicara. Aku tidak mengerti tahu!", jawabnya sambil cemberut dan mengerucutkan bibirnya.

Terlihat manis dimataku. Ia seperti kucing kecil.

"Hn."

Ia cemberut lagi mendengar jawabanku dan berbalik menjauhiku. Aku mendengar ia menghela nafas kemudian mengaruk leher belakangnya.

"Kau sudah makan bubur yang kubuatkan untukmu?", tanyanya sambil menolehkan kepalanya kearahku.

".."

"Hei? Teme? Sudah belum?", tanyanya lagi.

".."

"TEME! Jawab aku kalau aku sedang bertanya padamu!"

Nampaknya ia mulai kesal karena aku tak menjawab pertanyaannya.

"Hn."

"Hahh. Um~ Bagaimana rasanya?"

".."

"Seburuk itukah Teme?", tersirat guratan kesedihan diwajahnya.

"Hn. Lumayan Dobe.", jawabku berbohong. Padahal dalam hati aku berkata enak.

Ia menatapku dengan wajah sumringah. Senyum diwajahnya mengembang. Aku tertegun kembali melihat senyum yang terlukis diwajahnya.

"Kau menyukainya Teme? Akan kubuatkan lagi untukmu nanti!"

Ia tersenyum lagi.

"Hmm apa kau suka sup tomat Teme? Diperjalanan pulang tadi aku melihat tomat segar yang dijual dan aku membelinya. Tapi kalau kau tidak suka-"

"Aku suka Dobe."

"Hah? Apa Teme?"

"Ck! Aku bilang aku suka Dobe."

"Hehe baiklah kalau begitu kita-"

TOK TOK TOK

Terdengar suara ketukan pintu.

"Ng? Tamu? Tunggu ya Teme aku mau lihat dulu siapa yang datang."

"Hn."

Naruto bergegas menuju pintu, aku mengikutinya dari belakang.

CKLEK

"Ah! Ternyata Anda. Ada apa Sai-sama kemari?"

Kudengar Dobe berbicara entah dengan siapa. Kupercepat langkah kakiku dan mataku membelalak melihat siapa yang datang.

"Sudah ku bilang jangan memanggilku dengan panggilan seperti-"

Aku menatap tajam mata orang yang bernama Sai itu. Matanya membulat melihatku yang berdiri tepat dibelakang Naruto.

"K-Kau?!"

~To Be Continued~


A/N: Nahh.. itu dia chapter 1 yang abal, ngaco, garing, serta ngak jelas.

Hahaha. Jangan timpuk Yuu pake sandal ya . =-="

Makasih dah mau mampir dan baca fic abal nan gaje ini. ^^ Yuu masih Newbie disini.

Lanjut apa ngak nih Minna? Tolong reviewnya ya! (~^w^)~

Kritik dan Saran Yuu terima.

Hahaha. Ja naa~