Disclaimer: All character belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: AU, miss-typo, OOC, SasuSaku

©LastMelodya

.

Fragmen

.

.

"Aku ingin kita."

.

.

"Rasanya seperti baru kemarin, tapi … kalian sudah besar, ya."

Sakura membuka mata dan sayup-sayup mendengar konversasi ringan dari balik pintu kamarnya. Kuapan ia embus dari pengecapnya yang kering, sembari mengerjap, Sakura mengulurkan tangan untuk meraih gelas berisi air putih yang ada di atas nakas.

Untuk sesaat ia merenung. Menyandarkan diri pada kepala ranjang di atasnya.

Tunggu, apa semalam ia bermimpi?

Ia mengingat Sasuke mengatakan hal yang … memalukan. Hal-hal yang berelasi dengan masa depan. Sakura memijit kening hingga merasa tak ada gunanya, sebab ia tak merasa pening. Ia hanya merasa terdisorientasi. Apa itu memang mimpi atau kenyataan? Tapi … terlalu tak logis untuk dibayangkan.

Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan ringan. Namun, atensinya teralih ketika mendengar suara kenop pintu yang terputar, serta derapan langkah statis yang terdengar tipikal di telinganya.

"Sudah bangun kenapa tak langsung mandi?"

Sasuke!

Sakura dengan cepat menatap wajah sahabat seusia hidupnya itu. Rongga dadanya berosilasi tiba-tiba. Ketika sepersekian detik kemudian merasakan wajahnya memanas, Sakura memilih mengalihkan tatapan.

Sepertinya … yang semalam memang bukan mimpi.

"Sudah siang, kau sudah ditinggal sarapan."

Sakura merasakan ranjangnya berderit kecil, perlahan-lahan, ada beban yang menambah massa di kasur queen size itu. Gadis itu melirik lagi, melihat Sasuke dengan ringannya mengambil posisi duduk di sebelah, memerhatikannya.

Wajahnya memanas lagi.

"Kau ini kenapa?"

Sasuke mencondongkan tubuh, memerhatikan Sakura lebih jauh dan dengan santai mengulurkan tangan untuk menyentuh keningnya. Alis-alisnya mengerut, membuat oniksnya tersipit barang sedikit.

"S-Sasuke,"

"Kau pusing?"

Pria itu tak menghiraukan panggilannya, terus menatap Sakura seolah gadis itu satu-satunya subjek yang ada di sana. Sentuhan di keningnya pun sama sekali tak membantu. Demi apa pun, hampir seumur hidup ia habiskan untuk memegang telapak tangan Sasuke, tapi baru pagi ini ia merasakan efeknya yang besar. Pagi ini berbeda, tak sekasual biasanya. Dan Sakura tahu sebab ada yang berubah di sudut-sudut hatinya, tentang perspektifnya, bagaimana cara ia memandang lelaki di hadapannya kini, benar-benar sudah berubah.

Pada akhirnya Sakura menggeleng, dengan lembut menepis tangan Sasuke di keningnya. Mengembalikan kembali di sisi tubuh pria itu, seraya mengulas senyum malu. "Aku mau mandi. Sana keluar …."

Sakura segera beringsut turun dari tempat tidur, mencari-cari sandal kamarnya dan bersiap mengambil peralatan bebersih diri. Ia masih dapat merasakan tatapan Sasuke di belakangnya, seolah terus menaut, tak berpaling. Sudah sejak lama ia tahu Sasuke punya tatapan tajam, hanya saja, yang ini berbeda. Maka, dalam kegugupannya yang tak terarah, Sakura mencoba tak memedulikan.

Ketika ia hampir membuka kenop pinty kamar mandi, suara Sasuke terdengar lagi.

"Sakura,"

Gadis itu menoleh, pada akhirnya kembali menaut oniks Sasuke yang kelam dan menenggelamkan. Ia melihat sedikit keraguan di sana. Suatu hal yang sangat jarang ia lihat dari seorang Sasuke. Sebab Sasuke tak akan pernah mengujar jika masih ragu, atau, ia akan lebih memilih defensif. Tidak seperti ini. Di mana segala pergerakannya seolah sedikit tak nyaman.

"Ya … ?" Sakura merespons dalam gumam.

Ada senyum lembut yang kemudian diuar. Sasuke berdiri dari tempat tidur, menatap Sakura persis seperti kolase memori semalam. Ketika ia mengatakan hal-hal itu kepadanya.

"Aku … ingin mengajakmu pergi—" Deham. "—nanti malam."

Senyum Sasuke tak pernah semenenangkan ini. Dan Sakura merasakan dadanya berdesir lagi.

Sasuke tak membiarkannya menjawab karena ia sudah lebih dulu keluar dan menutup pintu kamar Sakura.

Tapi, ia tahu—sangat tahu.

Sasuke tak perlu satu-dua kata untuk mendengarnya menjawab pernyataan yang diujar tadi.

Karena Sasuke tahu Sakura tak akan punya jawaban lain selain sebuah afirmatif.

Pagi-pagi sekali tadi, Sasuke sudah pergi ke rumah Sakura. Satu hal yang mengendap di dadanya masih tersisa ketika semalam ia telah menguarkan kata yang begitu taksa kepada Sakura. Mungkin, mungkin logikanya sudah di ujung ketiadaan, sebab malam-malam kasual yang seharusnya bisa ia lewati bersama gadis itu dengan biasa, ketika itu menjadi begitu janggal.

Tapi, mau tahu apa?

Ia tak menyesal. Sama sekali tak menyesal.

Sasuke mungkin kembali mendapati kesadarannya setelah hampir lima menit penuh mereka hanya saling menatap pada netra masing-masing. Sakura melebarkan gioknya begitu maksimal, dengan bulatan mungil di bibir dan tremor-tremor kecil tanda keterkejutan. Ketika ia menatapnya, Sasuke tak ingin mengalihkan barang sedetik pun. Tapi detik jam terus berdetak hingga rasanya menyesakkan segala keheningan. Di menit berikutnya, Sakura mengerjap, dengan rona merah memenuhi pipi, sekali menunduk dengan iris menjalar ke sana-kemari (ingin menatap, tapi mungkin terlalu malu), maka ia memilih untuk bangkit dan berkata malam sudah terlalu larut.

Dan di detik itu, ketika ia melihat punggung Sakura berlalu dari pintu kamarnya, pada akhirnya ia tahu, ia benar-benar menginginkannya.

Ia benar-benar menginginkan Sakura lebih dari sekadar sahabat seusia hidup.

Ia ingin Sakura yang selalu di sampingnya, menatapnya dengan binar yang mengimplikasi gemintang itu, mungkin, selanjutnya, akan mereka sebut cinta. Ia juga ingin Sakura di setiap malam ia berkontemplasi akan mimpi-mimpinya. Ia ingin Sakura di dekapannya, ketika mendung tiba dan rintik hujan menguar bersamaan dengan petir-petir yang menggelegar. Ia ingin Sakura, di setiap malam dingin atau panas, di antara kopi atau teh, di depan pantry, di balik selimut, di dalam dekap-dekapnya; ia ingin Sakura.

Mungkin ia tak akan punya kesempatan lagi jika bukan sekarang. Kehidupannya sudah terlampau matang. Usia, karier, apa lagi? Sasuke sudah meraup masa depannya dengan gemintang, dan yang ia butuhkan saat ini hanya tinggal pendamping hidup.

Maka,

kedatangannya pagi itu, tak hanya tentang Sakura.

"Sasuke-kun?"

Yang ditemuinya pertama kali pagi tadi adalah Mebuki. Wanita paruh baya itu baru saja selesai membereskan meja makannya ketika ia datang. Sedang Kizashi sudah lebih dulu menghilang entah ke mana, jalan-jalan pagi, ucap Mebuki ketika itu. Padahal, kalau bisa, Sasuke juga ingin menemui ayah Sakura tersebut saat ini.

Ia mengikuti Mebuki hingga pantry, wanita itu tak menyadari hingga ia menoleh ketika tiba di lantai dua, untuk menjemur pakaian.

"Lho, Sasuke-kun? Kenapa mengikuti Bibi? Sakura ada di kamar, sepertinya masih tidur karena semalam ia masih di ruang baca hingga larut. Entah memikirkan apa."

Fokus Sasuke sedikit teralih, apa gadis itu memikirkan perkatannya? Sebab semalam ia juga menjadi tak bisa tidur.

"Ng, tidak, Bi. Aku … ingin berbicara dengan Bibi, sebenarnya."

Mebuki mengatensi Sasuke lama. Di tangannya masih ada tumpukan pakaian yang didekap. Tapi, entah mengapa, ia melihat keseriusan yang jarang dipancarkan oniks kelam sahabat baik anak tunggalnya itu.

Hingga ia memutuskan untuk meletakkan tumpukan pakaiannya di dalam ember kecil di sudut ruangan.

Di sebelah kubikel untuk menjemur, ada ruang baca, sedang tepat di sebelah ruang baca ini adalah kamar Sakura. Mebuki menitah langkah Sasuke untuk menuju ke ruang baca, memintanya untuk duduk di salah satu sofa yang ada di sana.

"Baiklah, apa yang ingin kau katakan?"

Sasuke diserang gugup mendadak. Ia tak punya rencana untuk ini, sebenarnya. Gagasan ini tetiba datang tadi malam, ketika Sakura pergi dan Sasuke didera rasa ingin yang begitu kuat. Ditambah, persuasif Shikamaru sebelumnya, ada banyak hal, mungkin, yang pada akhirnya, membuat Sasuke untuk mengatakan ini di pagi hari ini. Kepada ibu Sakura.

"Bibi, mungkin … ini terlalu tiba-tiba."

Kumpulan keringan mulai membanjiri wajah putih bersih itu. Mebuki melihat jari-jemari Sasuke yang terus bertautan. Seumur hidupnya, mungkin kali ini pertama kalinya Mebuki melihat Sasuke begitu tak terkendali.

Sasuke berdeham kecil, tonjolan di lehernya bergerak-gerak seiring pergerakan internal tenggorokannya. "Aku—" gigitan bibir, "—aku sebenarnya bingung … ingin mengatakan mulai dari mana." Tawa sumbang. Sasuke mereguk kegugupannya dalam satu tawa sumbang.

Entah naluriah atau apa, Mebuki … seperti memahami situasi yang tengah terjadi. Sesuatu di dalam rongga dada wanita tegas itu juga tetiba berdetak, was-was. Tetapi ia berusaha menutupinya dengan satu senyum khas seorang ibu. Biar bagaimanapun, jika perkiraannya benar, setidaknya ia tahu, ini adalah Sasuke.

"Mulailah dari sesuatu yang sudah tercetak jelas di pikiranmu sekarang, Sasuke-kun." Ia tersenyum lagi.

Tautan di jemari Sasuke masih berkonvergen, pria dewasa muda itu menggigir mulut bagian dalamnya, sebelum akhirnya mengembuskan napas perlahan-lahan, disusul tatapan yakin pada seorang Mebuki Haruno.

"Bibi, aku ingin meminta izin—" Satu helaan napas, lagi. "—untuk melamar Sakura."

Ada napas yang berhenti dalam sedetik kemudian.

Di antara kerjap kaget, dan kelegaan tersirat di balik rongga dada si pria.

Sasuke tak pernah memikirkan, akan ada waktu di mana ia melihat sebuah pandangan seperti ini pada mata Mebuki. Ia tak pernah memandang Mebuki dengan cara lain selain ia memandangnya sebagai ibu dari Haruno Sakura, sahabatnya, yang harus ia hormati walau dalam tuntutan sekadar. Ia tak pernah memikirkan, ia akan begitu takut melihat binar-binar haru di mata itu, disusul kerjapan gugu, bayang-bayang semu likuid bening, dan sebuah tangisan haru di dalam diam.

"Bibi, maaf, aku—"

"—ah, m-maaf." Mebuki menepis tangan Sasuke yang hendak menjangkaunya, dalam pintaan maaf. Ia tersenyum dalam tangisannya kepada Sasuke. "Jangan minta maaf, Sasuke-kun. Aku—aku—ini … aku hanya terlalu senang," isaknya kemudian, di antara rasa hangat dan aroma pagi yang melebur di rongga dada.

Sasuke merasakan jantungnya berdetak begitu cepat. Ia tak pernah merasakan sebuah komplikasi perasaan seperti ini sebelumnya, sungguh; lega, sedih, takut, haru, semuanya. Semuanya.

"Bibi—"

"—Sasuke-kun," Mebuki memotong lagi. Suaranya kini begitu kecil, lesap dalam senyum kecilnya—senyum kecilnya yang terlampau hangat. "Bibi belum pernah merasa sebahagia ini lagi setelah kelulusan Sakura dengan nilai cemerlang bertahun-tahun yang lalu."

Sasuke menundukkan kepala, ia tak sanggup menatap mata terlampau tulus itu. Namun, tak sampai beberapa detik, ia merasakan sebuah tangan mengelus lembut kepalanya.

"Sejak dulu, Bibi selaluuu ingin Sasuke-kun bisa bersama Sakura." Wanita itu tertawa kecil. "Sejak kalian lulus kuliah, dan semakin dekat, semakin dekat. Sejak kalian berhasil dalam profesi masing-masing. Sejak kalian memutuskan untuk saling mendukung, menyangga yang lemah dan mendampingi satu sama lain. Bibi selalu ingin suatu saat nanti, kalian bisa bersatu tak hanya sebagai sahabat."

Ada yang memanas pada netra Sasuke. Ia hampir lupa rasanya menangis, tapi, pagi itu, untuk pertama kalinya, Sasuke ingin menangis dalam bahagia.

"Karena hanya Sasuke-kun yang bisa membuat Sakura bersikap apa adanya. Sebagaimana ia bersikap di depanku dan Kizashi—orangtuanya."

Tangan Mebuki terulur untuk kembali pada tempatnya, tetapi netranya masih menyorot tajam.

"Tapi, setelah melihat pertemanan kalian yang begitu stagnan, juga melihat masing-masing dari kalian selalu punya pasangan lain, akhirnya Bibi seperti kehilangan harapan.

"Bibi juga melihat kalian begitu nyaman dengan relasi kalian, entah bagaimana kalian merasakannya, tapi, Bibi memutuskan untuk tak mengganggu. Sakura pasti sudah banyak merepotkan Sasuke-kun, begitupun sebaliknya. Bibi berpikir, mungkin Sasuke-kun terkadang lelah dengan sikap Sakura. Putri Bibi yang satu itu memang manja, walau sudah dewasa. Bibi mengerti, mungkin, jika kalian bersama bukan dalam relasi sahabat, Sakura akan banyak merepotkan Sasuke-kun saja.

"Tapi … sekarang … di depan Bibi, Sasuke-kun datang dan melamar Sakura pada Bibi. Bahkan di saat Sasuke-kun tahu gadis yang sedang kaulamar pagi-pagi begini masih tertidur di dalam kamarnya. Meski Sasuke-kun tahu, mungkin Sakura bukan calon pendamping yang terlampau sempurna. Meski Sasuke-kun tahu, ada banyak—banyak sekali, kekurangan yang dimiliki putri Bibi."

"Bibi Mebuki," Sasuke memotong pelan, berusaha menghilangkan tremor dalam suaranya. Terkadang yakin bisa semendebarkan ini. "Aku sudah mengenal Sakura lebih dari belasan tahun. Sudah cukup lama untuk kami mengerti diri masing-masing, bahkan segala kekurangan. Aku dan Sakura—kami, bersahabat tidak hanya untuk mencari kesenangan, atau kesempurnaan. Tetapi juga ketika kami terpuruk, atau ketika dalam keadaan susah. Aku tidak akan pernah mempermasalahkan segala kekurangan Sakura. Dan jika Bibi ingin tahu, alasanku memilih Sakura, karena aku yakin bisa menerima segalanya yang ada pada Sakura. Segalanya. Dan semoga, Sakura juga begitu."

Sasuke akan mencatat sejarah baru dalam hidupnya, ketika ia berhasil melontar kalimat sepanjang itu dalam satu hela napas.

Gila. Sasuke yakin ia telah gila karena Sakura.

Mebuki tak bisa menahan air mata bahagianya lagi. Wanita paruh baya itu menutup wajahnya, mengisak dalam diam, merasakan debar-debar bahagia ketika merasakan ada seorang pemuda yang begitu mengenal putrinya sedalam ini. Dan sekarang, pemuda itu tengah meminta izin untuk melamar putrinya.

"A-ah, satu lagi, Bi." Mebuki menepis tangannya, menatap Sasuke yang memandangnya gugup di antara remasan ujung kemejanya. "Di luar kenyamanan itu, alasanku ingin melamar Sakura adalah … karena aku … mencintainya. Setelah sekian lama, aku menyadari, hanya Sakura yang mampu melakukan itu."

Mebuki tak pernah membayangkan, ketika ia menatap Sasuke, ia akan menemukan masa depan cerah Sakura-nya. Pemuda ini tumbuh begitu sempurna, tak hanya tampan—sudah sejak lama ia tahu Sasuke akan tumbuh begitu tampan, tetapi juga segala kebesaran hatinya. Sasuke juga punya karier yang cemerlang, suatu bidang yang tak jauh dengan Sakura. Sasuke punya jutaan kesepahaman yang ia semat tentang anak tunggalnya, Sasuke punya kepercayaan Sakura, Sasuke punya kesabaran, Sasuke punya semua yang Sakura butuhkan; semuanya.

"Rasanya seperti baru kemarin, tapi … kalian sudah besar, ya."

Maka, ketika akhirnya ia melihat tautan jemari Sasuke terlepas, Mebuki mencondongkan tubuhnya. Mengusap bahu tegap pemuda itu sekilas, sebelum akhirnya mendekap dalam hangat yang begitu familier.

Dalam dekap bahagianya, Mebuki berbisik. "Aku mengizinkanmu, Nak. Buatlah Sakura bahagia."

"Kita mau ke mana, sih, Sasuke?"

Sasuke mengangkat bahu, ditambah lirikan sekilas dengan senyum kecil yang ia singkap pada matanya. "Makan."

Sakura mengerutkan kening, memerhatikan bahwa ada yang berbeda dengan Sasuke malam ini. Bukan, bukan hanya tubuhnya yang semakin rupawan sebab kini lelaki itu mengenakan setelan jas resmi. Walau kancingnya tidak disemat dan lengannya digulung hingga siku, tetap saja, Sakura merasakan pancaran yang berbeda. Seperti ada yang bersinar begitu terang dalam diri Sasuke malam ini. Seolah ia dibanjiri kebahagiaan, atau semacamnya. Entahlah, Sakura tidak tahu.

Sedang dirinya, mau tak mau juga memakai pakaian yang agak formal. Ketika Sasuke mendatanginya sesorean tadi, ia yang mengacak-acak lemari Sakura dan memilihkan pakaiannya. Mengatakan dengan sifat angkuh dan dinginnya yang biasa "Untuk malam ini, jadilah Cinderella yang cantik." membuatnya mengerucutkan bibir dan sedikit mengambek pada sahabatnya itu. Tapi ketika Sasuke tersenyum dan mengacak rambut merah mudanya, ia tak bisa menahan kekesalannya lebih lama. Ia luluh kembali.

Beberapa saat kemudian mobil Sasuke berhenti di sebuah restauran besar. Sakura sekilas dapat membacanya—Astaga! Restauran Prancis!

"Sasuke," Tangan Sakura refleks terulur memegang lengan pria itu ketika Sasuke mendapatkan lahan parkir dan mematikan mesin mobilnya. "Sasuke, kau tidak salah tempat?"

"Hn? Tidak." Sasuke menjawab acuh tak acuh. ia merapikan pakaiannya dan bersiap membuka pintu mobil. Tapi tangan Sakura masih menahannya. Ia berdecak. "Apa yang kaulakukan?"

Gadis itu meringis kecil—lucu. Emerald-nya berputar-putar, tak berani berlama-lama menatap Sasuke. "Sasuke … pindah saja, yuk? Aku … aku tidak bawa kartu kredit."

Sasuke diam-diam menahan tawa. Ia menepis lembut tangan Sakura di lengannya. "Aku yang mengajakmu ke sini, Sakura. Jadi aku yang traktir."

Sakura mendongak cepat pada oniks hitam itu, kepalanya menggeleng gegas. "Tapi ini mahal! Kau bisa menghabiskan setengah juta untuk makan malam, ugh, Sasuke … Apa yang akan Ibu bilang nanti kalau tahu aku menghabiskan uangmu hanya untuk makan malam. Pindah saja, yuk, Sasukeee."

Pada akhinya, Sasuke tak bisa menahan tawa. Dirinya gemas sekaligus kesal dengan kekhawatiran gadis itu. Sasuke tahu, selama seumur hidup mereka makan di luar bersama, mereka pasti akan memilih restauran standar dengan alasan biar murah, yang penting kenyang dan enak. Lagi pula, meski Sasuke tahu mereka berdua sama-sama punya uang yang lebih dari cukup untuk pergi makan sesekali ke restauran seperti ini, tapi mereka sudah terlampau nyaman hidup dalam kesederhanaan yang sekadarnya. Selain itu, mereka juga tak punya alasan untuk pergi ke restauran mewah macam ini, sih, karena yang mereka lakukan selama ini hanya nongkrong-nongkrong tidak jelas, bukannya kencan atau semacamnya.

Tapi … Sasuke bermonolog dalam hati. Ia ingin malam ini berbeda.

"Sudah, cepatlah turun. Kau membuat mobilku menjadi pusat perhatian nanti." Akhirnya Sasuke memberi tanda finis.

"Kalau begitu, biarkan aku mengutang padamu dulu, nanti kubayar di rumah."

"Sakura …," Sasuke membungkam gadis itu dengan tatapan putus asanya. Sakura terdiam. "Sekali kubilang kutraktir, ya berarti kau kutraktir. Ini tidak seperti aku harus bersusah payah untuk mentraktirmu ke sini, kok. Aku hanya ingin …." Sasuke menjeda ujarannya, tangannya terulur kepada Sakura, sekilas menyentuh pelan bahu terbuka gadis itu. "… aku ingin ini menjadi malam yang penting. Itu saja."

Dada Sakura berdetak dengan cepat. Berepetisi terus-menerus seiring sentuhan Sasuke yang menurun hingga jemari-jemarinya. Tautannya di sana, mengisi sela di antara lima jarinya yang kurus. Hangat.

"Jadi, ayo turun."

Akhirnya mereka berdua turun dari mobil. Semenjak dari pintu parkir, mereka sudah dikawal salah satu pelayan. Sakura mendengar sayup-sayup konversasi Sasuke dan pelayan laki-laki itu, mereka mencari seat nomor delapan.

Bahkan Sasuke sudah memesan tempatnya lebih dulu!

Mereka dilayani begitu baik. Dari mulai mencari seat, memesan makanan, hingga makanan mereka sampai. Porsi di sini cukup kecil, tipikal restauran-restauran mahal yang menjunjung estetika dan rasa dibandingkan kuantitas. Tapi, Sakura akui, suasananya, pelayanannya, rasanya, semua memuaskan. Sakura tak tahu, berapa jumlah uang yang Sasuke habiskan untuk membawanya ke sini.

Tetiba giok Sakura teralih untuk memerhatikan lelaki itu. Sasuke makan dengan tenang, sebagaimana biasanya. Sasuke dalam balutan jas dan suasana mewah seperti ini memang benar-benar cocok. Sejak kapan, sih, sahabat kecilnya itu berubah menjadi seorang lelaki yang sempurna seperti ini? Rasanya Sakura terlalu lupa. Waktu menghukumnya begitu lama.

Lalu … semua ini. Apa yang mendasari Sasuke melakukan semua ini? Semalaman ini ada banyak sikap Sasuke yang ia pertanyakan, yang sayangnya, belum ia dapatkan konklusinya. Seharusnya ia berhak bertanya, bukan? Setelah semalaman menyiksanya dengan insomnia dan pemikiran-pemikiran terlampau jauh, sudah seharusnya Sakura bertanya, kan?

"Sasuke,"

Akhirnya gadis itu memantapkan diri.

Sasuke telah menyelesaikan makannya. Ia mengelap mulutnya dengan tenang untuk kemudian balas menatap Sakura.

"Sebenarnya …" Sakura menggigit bibir. "… ada apa?"

Ada senyum yang ditaut Sasuke. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya gadis itu melontar pertanyaan itu.

Ia mengecek jam di pergelangan tangannya, kemudian menatap Sakura dengan satu senyum lagi. "Habisi desert-mu, setelah itu kita lihat bintang di pantai. Ada yang ingin aku bicarakan."

Giok Sakura melebar bersamaan dengan detak-detak maksimal di rongga dada.

Sakura lupa kapan terakhir kali ia pergi ke tepi pantai. Terlebih bersama Sasuke.

Akhir musim dingin memang bukan waktu yang tepat ke tempat penuh hamparan jelaga langit ini, ditambah malam hari. Tapi, Sasuke tahu, Sakura suka malam. Gadis itu juga mencintai bintang, ia tak akan peduli meski angin menggigit kulit wajahnya yang sudah pucat pasi. Sakura akan tetap bertahan.

"Waaaah, lihat, Sasukeee. Bintangnya banyak!"

Sakura berlari menuju batuan-batuan yang tersusun di pantai itu. Lokasinya tak jauh dari pinggir jalan raya, sehingga mereka masih bisa melihat ratusan mobil yang setiap detik melewati pinggir pantai ini. Langit mala mini hitam sempurna, dengan titik-titik indah yang menghiasi kesempurnaannya. Seperti musim panas, Sasuke merasa beruntung musim dingin berbaik hati padanya malam ini.

Ia memerhatikan Sakura yang sudah mengambil tempat di pinggiran pantai, mengambil tempat di salah satu batu dan membiarkan kakinya tergantung di udara laut. Di bawah mereka ombak berkejaran sepersekian detik sekali, angin malam berembus semakin kencang, dan bahu gadis itu menggigil pelan.

Sasuke berdiri di belakang Sakura, melepaskan jas dan menyampirkannya di bahu kecil gadis itu. Ia terkekeh kecil, Sakura seperti tenggelam di antara jasnya yang kebesaran untuk tubuh gadis itu. Tapi, Sasuke melihat kenyamanan, sebab Sakura menarik jasnya hingga ke depan dada, memeluknya erat-erat.

"Sini, Sasuke."

Sakura menepuk batuan tepat di sebelahnya, meminta lelaki itu duduk. Sasuke mengikutinya dan duduk di samping gadis itu. Mengatensi langit malam dan angin-anginnya yang mencipta gigil. Sakura merapat, membagi jasnya pada setengah tubuh Sasuke.

"Sok gentleman."

Sasuke mendengus tapi membiarkan Sakura membagi kehangatannya. Ia bisa merasakan bahu Sakura di bahunya, aroma laut berkonvergen dengan harum manis gadis itu. Dingin yang menyengat disubtitusi oleh kenyamanan.

Kenyamanan yang ingin ia dekap selamanya.

"Sasuke, terima kasih, ya." Sakura mengujar di antara debur ombak dan klakson-klakson yang mengganggu resonansi angin. Netra gadis itu masih terpaut pada langit, tak berpaling. "Terima kasih sudah mau mentraktirku mahal-mahal, dan mengajakku ke tempat ini." Ia mengikik kecil.

Lelaki itu ikut tertawa, pelan. Sasuke memerhatikan figur Sakura dari samping, terlampau dekat, dibingkai gelap malam dan terang-terang bintang. Sejak kapan ia menjadi begitu indah dipandang?

"Sakura," bibirnya terbuka tiba-tiba, membuat dadanya tersentak dan disengat ribuan tremor. Tapi ia tak berhenti, sebab waktu sudah membawanya jauh jauh jauh sampai ke sini. "Apa kau bahagia?"

Pada akhirnya, Sakura menoleh. Ia melihat hamparan jelaga lain di mata Sasuke, dan pantulan bintang yang ada di sana. Ia belum sempat membuka pengecap ketika Sasuke sudah mengucap lagi.

"Apa kau bahagia bersamaku?"

Rasanya, seperti petir. Menggelegar dan mengacak-acak ketenangan. Sakura melebarkan netra bersamaan dengan jantung yang meloncat entah ke mana. Detak-detaknya begitu kencang, hingga Sakura begitu yakin Sasuke dapat mendengarnya.

Bahagia bersama Sasuke? Sakura tak mengerti bagaimana menjelaskannya. Mereka sudah terlampau lama bersama sehingga Sakura tak bisa membedakan mana yang bahagia, mana yang bukan. Segalanya membahagiakan. Segalanya tak bisa dijelaskan. Sasuke datang dengan segala yang ia punya, menjadi salah satu yang paling dekat dengannya, yang selalu menerima apa adanya, menemaninya, menunggunya, bersamanya. Apa semua itu bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan yang konkret?

Tapi … ia tak bisa menjelaskannya dengan adjektif lain, kalau bukan bahagia.

Maka Sakura menjawab yakin. "Tentu saja."

Sasuke bernapas pelan. "Akhir-akhir ini … aku berpikir." Sasuke mengulurkan tangan, menyelipkan helai merah muda Sakura yang tertiup angin ke telinganya. "Aku berpikir lebih jauh tentang kita."

Sakura menatapnya dengan pandangan bulat-bulat, wajahnya membuat Sasuke tertawa gemas. "Kita?"

"Iya, kita. Kau dan aku," katanya lagi. "Aku tidak bercanda tentang kata-kataku semalam, Sakura. Kalau kau masih ingat."

Dalam durasi yang tak sampai dua detik berikutnya, belah pipi Sakura menghangat lagi. Ia memalingkan wajah karena tak mampu menatap Sasuke lebih lama. "K-Kau bercanda!"

"Kukatakan aku tidak bercanda, Sakura." Tangan Sasuke terulur, menyentuh sisi wajahnya dan membuat Sakura berpaling lagi padanya. "Aku serius."

Sakura membisu, terpaku pada kata-kata dan tatapan Sasuke.

"Aku merasakannya ketika kau dengan Shikamaru, kau tahu? Maksudku, perasaan itu." Sasuke berkata lagi, ibu jarinya mengelus pelan wajah Sakura. "Ada banyak yang berubah, karena aku benar-benar tak suka melihatmu bersama laki-laki lain. Mungkin aku bodoh, aku bukan impulsif, aku perlu banyak pertimbangan untuk menyimpulkan segala sesuatu. Tapi, Sakura, aku benar-benar belum pernah merasa seyakin ini, terkait perasaanku sendiri."

Ada bayang-bayang di netra Sakura, perasaannya saat ini benar-benar tidak bisa dideskripsikan.

Sasuke mengulurkan satu lagi tangannya, membingkai wajah Sakura di kedua telapaknya. "Aku menginginkamu, Sakura. Aku menginginkanmu lebih dari sekadar sahabat."

Jika tidak ditahan Sasuke, mungkin Sakura sudah terjatuh dan tak terkendali. Likuid itu dengan refleks mengalir di pipinya, menjatuhi telapak Sasuke yang masih di sana, membuatnya bergerak lagi, menyusuri pipi, menghapus jejak-jejak likuid netra itu. "K-Kau a-apa?"

"Aku menginginkanmu. Aku menginginkamu lebih dari sekadar sahabat. Aku ingin kau di masa depanku, di masa depan kita. Aku …" Sasuke menjatuhkan kepalanya, kepada bahu Sakura. "… aku mencintaimu, Sakura."

Sakura meraih Sasuke di tangannya. Ia lingkari pinggang lelaki itu dengan pelukannya. Perasaannya karut-marut, ia seperti meleleh dalam balutan malam. Perasaannya penuh, begitu penuh, ia seperti merasakan jutaan kupu-kupu terbang di perutnya. Membuatnya merasakan sensasi penuh itu. Sakura tidak mengerti, apa ini bahagia atau apa. Tapi, tapi rasanya begitu benar.

"S-Sasuke …,"

Sasuke tak menjawab. Ia masih menyembunyikan wajah di bahu Sakura. Menyesap dalam-dalam aroma gadis itu, serta sensasi di antara tubuh mereka yang tak berjarak. Pelukan Sakura begitu erat, begitu menenangkannya dan menghangatkan. Ia ingin waktu berhenti sebenar, sebentar saja. Seperti ini. Ia ingin seperti ini lebih lama barang sebentar saja.

Tapi ia teringat sesuatu. Sesuatu di kantungnya.

Maka sedetik kemudian, ia melepaskan Sakura. Membuat gadis itu kosong dan tak punya pegangan. Sebelah tangan Sasuke merogoh kantung celananya, mengambil lambat-lambat sesuatu di dalamnya, hingga kemudian, terlihat sebuah kotak beledu lembut, merah, yang sangat khas.

"Kuulangi?" ujar Sasuke, dengan senyum. "Haruno Sakura, sahabatku, aku mencintaimu. Aku ingin kau di masa depanku. Aku …" Hela napas. Sasuke membuka kotak beledu itu, mengambilkan sebuah benda kecil yang berkilau di dalam sana, untuk kemudian, ia tautkan di jari manis milik Sakura. " … aku ingin kau menjadi pendamping hidupku."

Sakura menutup bibirnya. Tangan kirinya yang masih digenggam Sasuke terasa kaku, terasa begitu berkilau. Pipinya sudah basah dengan air mata—yang entah apa. Sakura tak bisa berkata-kata, ini terlalu mengejutkan, terlalu tiba-tiba.

"Ini bukan aku sedang mengajakmu menikah sekarang atau apa, tenang saja. Aku tahu kau butuh waktu? Kita butuh waktu, untuk mulai menjalani relasi yang bukan hanya penuh afeksi platonis. Kita butuh pembiasaan." Pria itu tersenyum.

"Sasuke …"

"Hn?" Sasuke masih menjawab dengan senyum.

Raut Sakura tiba-tiba saja berubah, jengkel, tangannya ditarik dan netranya melebar kesal. "AKU BAHKAN BELUM MENJAWAB IYA, BAKASUKE!"

Sasuke terpaku pada posisinya. Senyumnya menghilang disubtitusi oleh wajah pucat, dingin yang beberapa saat lalu hilang kembali menggigiti kulitnya. "Maksudmu … kau … tidak, Sakura—"

Sakura memotong ujaran panik Sasuke dengan satu dekapan, begitu erat. Hingga Sakura merasa ia bisa kehabisan napas saking eratnya. Tapi ia tak keberatan, di saat-saat seperti ini ia ingin menghirup aroma Sasuke sebanyak-banyaknya, ia ingin merasakan perasaan ini sebanyak-banyaknya, ia ingin membiarkan semuanya terbuka, ia ingin ia ingin ia ingin—ia juga ingin Sasuke.

"Aku juga mencintaimu, baka." Sakura mengujar dalam bisikan. "Setelah bertahun-tahun, Sasuke … ternyata kita bodoh sekali."

Sasuke terosilasi dalam pelukan Sakura, oniksnya melebar dalam satu kedipan. Tapi, kemudian, segalanya terasa melegakan. Ia memejamkan mata di antara dekapan yang semakin erat.

"Maafkan aku, Sakura. Maaf maaf maaf."

Sakura tak menjawab, hanya mengelus punggung Sasuke di telapaknya, tak ada yang perlu dimaafkan, lagi pula. Yang terpenting adalah sekarang.

Sekarang saja.

Sasuke yang lebih dulu melepaskan pelukan erat itu. Ia ingin melihat wajah Sakura, bayang-bayang bintang di netranya, sapuan lembut di belah pipinya. Sasuke tersenyum, membawa jemarinya kembali menyusuri pipi putih itu, membayangkan kapan terakhir kali ia menyentuhnya … seintim ini.

Angin yang semakin dingin membawa serta wajah Sasuke mendekat, mendekat, mendekat, jemarinya masih di sana, mengelus dengan amat pelan sisi wajah Sakura. Membelainya lembut, seakan Sakura benda rapuh yang bisa pecah kapan saja. Sasuke didera aroma Sakura yang begitu menyengat ketika ujung hidungnya menyentuh ujung hidung gadis itu. Ia merasakan napas panas Sakura di wajahnya, menahan lama, berhenti di sana, membuat Sakura mendesah pelan, dan memejamkan mata.

Sasuke mendaratkan bibirnya pada pipi gadis itu, merasakan lembut yang terlampau, dingin dan hangat, dan candu. Bibirnya terus bergerak menyusur sepenjang pipi, ke ujung bibir, dan lagi-lagi berhenti di sana. Mengecupnya lembut, membuat tangan Sakura refleks mencengkeram kemejanya. Sasuke tak bisa berpikir apa-apa lagi ketika pada akhirnya bibirnya bergerak, menuju belah bibir Sakura. Dan menciumnya dalam intensitas lambat yang memabukkan. Begitu lambat hingga ia merasakan bibir Sakura ikut bergerak, mengimbanginya dalam lumat-lumat halus yang penuh akan penantian. Sudah berapa lama … sudah berapa lama mereka menunggu saat-saat seperti ini?

Ini bukan ciuman pertama bagi keduanya, bukan. Tapi Sasuke begitu berdebar dan bersemangat. Bibir Sakura begitu lembut di atasnya, bergerak bersamanya, membelainya. Di antara napas yang mulai memberontak dan netra yang terpejam, nyaman, mereka tak ingin berhenti. Tak ingin.

Maka tangan Sasuke bergerak, menuju tengkuk Sakura, membelainya begitu lembut dan perlahan menariknya semakin dalam. Tangan sebelahnya melingkari pinggang Sakura, meretas jarak yang ada pada tubuh mereka, menarik, membuat Sakura terduduk dalam pangkuannya. Gadis itu merasakan sesuatu memenuhi perutnya, ia mendesah kecil, menggapai leher Sasuke. Ia butuh pegangan. Tidak bisa, ciuman ini terlalu menyiksanya dalam perasaan yang begitu penuh.

Sakura menarik diri ketika merasakan napasnya tak bisa lagi diajak kompromi. Ia menarik napas panjang, merasakan bibirnya begitu lembap dalam basah, menoleh malu-malu, pada Sasuke yang juga memerah.

Perasaannya begitu melegakan, hingga tanpa sadar, Sakura melepaskan sebuah tawa.

Sasuke menatapnya lekat, ikut tersenyum. "Apa?"

Sakura menggeleng pelan, masih mengumpulkan sisa-sisa tawanya yang menyenangkan. Tatapannya ia taut lagi pada Sasuke, membiarkan tangannya bergerak kepada wajah pria itu, mengelus sudut bibirnya. "Dasar Sasuke maniak."

"Kau berkata seolah kau tidak menikmatinya?"

Wajah Sakura merona hebat. "Sasuke!"

Sasuke tersenyum lebih lembut, menarik Sakura, dan mencuri satu lagi kecupan ringan di bibirnya. "Kita harus terbiasa mulai dari sekarang, hn?"

Gadis itu menunduk malu, sebelum akhirnya menyandarkan tubuh di bahu Sasuke. Kembali pada bintang-bintang.

"Seharusnya … kita melakukan ini dari dulu, Sasuke." Ia menghela napas. "Ini begitu menyenangkan."

Sasuke tak berkata apa-apa lagi, hanya mendekap Sakura di sampingnya, membiarkan helai merah muda gadis itu melambai dan menyentuhi pipinya. Ini memang menyenangkan, sangat menyenangkan. Tapi, mungkin, jika mereka menyadari perasaan ini sejak dulu, segalanya tak terasa semenyenangkan ini.

"Sakura."

"Hm?"

"Rasanya, mungkin aku sudah mencintaimu, sebelum aku mengerti apa itu cinta."

Sakura tersenyum, menggenggam jemari Sasuke di tangannya. Membawa mereka ke dalam genggaman hangat yang tiada tara.

"Terima kasih, Sasuke."

Langit malam itu masih sehitam jelaga bahkan hingga larut menyambangi. Dan mereka, bintang-bintang itu, masih di sana. Berbayang lembut pada netra bening milik Sakura.

Ia begitu indah.

Dan Sasuke bersyukur diam-diam karena bisa memilikinya.

.

End.

a/n: ini ooc sangat demiapa T_T setiap memikirkan fragmen, feel fluffy saya memang selalu naik drastis, susah sekali untuk saya mendapatkan feel fluffy lho :" TAPI YA GATAU KENAPA malah jatuhnya selalu menjijikan begini T_T

chap kemarin udah gombalehe abis, dan sekarang. gak. tahu. lagi. deh. saya minta maaf kalau endingnya jauh dari ekspektasi kalian :") dan terima kasih, sudah mau mengikuti sampai sini. cuma sepuluh chapter tapi membutuhkan waktu hampir dua tahun hwhwhw. but, yeaaay, satu multichap tamat di tahun ini! *tebar bunga*

terima kasih untuk zarachan, Charlotte Puff, suket alang alang, wowwoh geegee, Guest, Flowyurin99, ft-fairytail, Mrs. Uchiha, rimbursa, Jamurlumutan462, Ranindri, raizel's wife, Diah cherry, Ozora-Chan, Nica-Kun, kakikuda, 5a5u5aku5ara, Rinda Kuchiki, Guest, Atashi Kimkim31, kura cakun, echaNM, saradaya, Sauscake, Brokoro, Guest, yamazaki ariel, yamaken, lacus clyne, Tsalasa, daffodila, suket alang alang, uchihaliaharuno.

final chap ini saya mabok semabok maboknya karena selain behasil bikin fluffy, tapi saya juga bisa nembus 4,5 words++ x))

pokoknya, terima kasih sebanyak-banyaknya untuk kalian. terima kasih sudah sabar menunggu saya yang kadang kambuh ngaretnya ini. terima kasih yang sudah setia dengan sasusaku saya x") terima kasih banyaaak, saya sayang kalian pokoknya :* kalau ada waktu, saya akan bikin mc sasusaku lagi, kok, tenang aja :")

final chap nih, ada pesan-pesan terakhir? ;)

love,

LastMelodya