Disclaimer: All character belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: AU, miss-typo, miss-OOC(?), SasuSaku

©LastMelodya

.

Fragmen

.

.

"Bagaimana jika pada akhirnya hanya aku dan kau, bukan kita?"

.

.

Gadis itu menarik mantel merah marunnya semakin rapat, penghangat yang dipasang di dalam mobil ini ternyata belum mampu menghalau rasa dingin yang menyeruak di sekitarnya. Netra hijaunya beralih pada jendela mobil di sisinya, memerhatikan laki-laki dewasa muda yang tengah berbicara dengan seseorang di luar sana—penjaga kedai.

Laki-laki itu berbalik untuk kembali masuk ke mobil, ke tempat pengemudi di sisinya, bersamaan dengan titik-titik putih yang mulai turun perlahan. Akhirnya salju turun juga. Musim dingin mencapai puncaknya.

"Bagaimana, Sasuke?"

Yang dipanggil hanya melirik singkat seraya menghidupkan mesin mobil, "sekitar limabelas menit lagi dari sini. Paling tidak, kita tidak tersesat."

Gadis itu—Sakura, tersenyum tipis, "terima kasih, Sasuke. Maaf merepotkanmu."

Mobil kembali berjalan, dan satu seringaian muncul pada wajah tampan Sasuke tersebut. "Kau memang selalu merepotkanku, bukan?"

.

Tentu saja, karena itulah fungsi sahabat, kan?

.

Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mungil yang sederhana. Tembok-temboknya terbuat dari bata, dan tidak disemen atau sekadar dicat. Di atasnya terpampang poster besar bertuliskan "Nara's Orphan House", dan Sasuke mematikan mesin mobilnya.

"Benar yang ini, kan?"

Gadis yang ditanya mengangguk seraya membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Sebelah tangannya terangkat ke telinga, memegang ponsel. "Halo, Shika. Ya, aku sudah di depan asrama, bisa keluar?"

Sasuke terus memerhatikan Sakura yang berjalan di depannya. Gadis itu terlihat serius, namun tak pelak senyum kelegaan terpatri secara implisit di wajah cantiknya. Ya, ia pun merasakan kelegaan itu setelah dua jam mencari alamat dan akhirnya menemukan asrama anak-anak tuna wisma Konoha ini.

"Sasuke, tidak apa-apa, kan, mampir lama?" ucapnya setelah selesai dengan konversasi di teleponnya. Sasuke mengangguk singkat.

Seorang pemuda seumurannya terlihat keluar dari dalam rumah sederhana itu. Sasuke sedikit mengenalnya—Shikamaru, salah satu teman Sakura di kegiatan sosialnya ini. Beberapa kali pemuda itu juga sempat mengunjungi rumah Sakura, entah untuk apa.

"Akhirnya sampai, Sakura. Sulit ditemukan, ya, alamatnya?" ujar pria itu ramah.

Sakura menggeleng pelan sambil tertawa, "tidak, tidak. Aku punya supir hebat yang hapal seluruh sudut Konoha." Gadis itu melirik Sasuke. "Oh, ya, Shika, ini Sasuke, sahabatku. Dan Sasuke, ini Shikamaru, pemilik asrama ini."

Mereka saling berjabat tangan, tersenyum basa-basi, dan menyebutkan nama masing-masing.

"Kalau begitu, ayo masuk, anak-anak sudah menunggu Kakak Sakura yang cantik dan baik hati ini dengan hadiah-hadiahnya." Kata Shikamaru kemudian melangkah mengajak Sakura dan Sasuke masuk ke dalam rumah.

Sakura tertawa lebar seraya meninju lengan Shikamaru main-main, Sasuke menangkap pemandangan itu dan sedikit merasa tak nyaman.

Salju yang turun seolah membekukan udara di sekitar mereka, aura dingin tak lagi bisa dihindari. Namun, siapa sangka, asrama sederhana yang mereka masuki ini memberikan kehangatan yang berbeda melalui senyum lucu anak-anak yang menyambut mereka di dalam.

Pertama kali Uchiha Sasuke mengenal Haruno Sakura, adalah hari di mana ia melihat sebentuk seyum yang begitu mirip dengan milik Ibunya. Senyum gadis itu begitu tulus, saking tulusnya hingga kurva-kurva menyenangkan terbentuk pada bibir mungilnya serta kedua matanya yang menyipit.

Itu adalah hari pertama masa orientasi sekolah menengah pertamanya. Ia dan Sakura dipanggil naik ke atas panggung, perwakilan dua murid dengan nilai teratas. Selain senyumnya yang memaku Sasuke, realitas bahwa gadis remaja itu memiliki otak yang cerdas juga membuat Sasuke memberikan atensi khusus pada gadis itu. Sasuke menyukai gadis yang pintar. Suka dalam arti platonik.

Lalu, waktu-waktu setelahnya tanpa disadari menjadikan mereka sepasang sahabat. Rumah mereka yang berdekatan juga melatarbelakangi persahabatan itu. Mereka tumbuh dengan pusat perhatian berada di pihak mereka. Sasuke si populer dan Sakura si sosialis. Banyaknya cinta yang mendatangi mereka tak membuat ikatan persahabatan itu merenggang. Begitulah, persahabatan yang tulus tanpa ada embel-embel memang selalu bertahan lama, bukan?

Hingga saat ini, saat keduanya telah menayandang usia kepala dua, semua itu tetap berjalan statis.

"Tidak bosan, kan, Sasuke?"

Sakura berbisik di antara kegiatannya membagikan beberapa peralatan tulis-menulis pada anak-anak di asrama ini— "ayo, ayo, jangan rebutan, ya! Semua pasti kebagian!", katanya. Sasuke hanya menggeleng dengan senyum tipis seraya membantu gadis itu membagikan tas.

Bagaimana bisa ia bosan melihat wajah lucu anak-anak itu tersenyum lebar? Bahkan, untuk dirinya yang dikenal pendiam dan jarang bicara, ikut serta dalam kegiatan di asrama ini mampu membuat hatinya menghangat. Mungkin suatu saat ia bisa mengajak Sakura untuk membuka asrama untuk mereka para tuna wisma juga, eh? Sepertinya ide yang bagus. Gadis itu juga pasti akan senang. Yah, walau sekarang sepertinya ia dan Sakura hanya mampu membantu hal-hal kecil seperti ini karena kesibukan pekerjaan mereka masing-masing belum memungkinkan mereka membangun sebuah asrama dan mengurusnya secara total.

Satu tepukan pelan, membuatnya menoleh, "kau bilang tidak bosan, tapi malah melamun, dasar Sasuke!" lagi-lagi tawa tulus itu kembali terlihat, lengkap dengan kurva senyum dan mata-matanya yang menyipit manis.

"Ck, aku tidak melamun, aku memang tak banyak bicara sepertimu, kan?"

"Ne, ne, Sasuke. Kalau begitu tolong urus pembagian ini dulu, ya. Aku ingin menemui Shikamaru sebentar."

Sasuke mengangguk dan membiarkan Sakura melangkah pergi.

Sembari berbisik dalam hati, mengapa hari ini nama Shikamaru sering sekali disebutkan oleh gadis itu?

Sasuke: belum tidur, ya? Lampumu masih menyala

Sakura melirik ke arah ruangan di seberang jendela kamarnya. Masih benderang juga, tanda pemilik kamar itu belum tidur. Seperti dirinya.

Me: Insom lagi, biasa. Kau?

Sasuke: ada proyek, klien aneh yg meminta desain rumah superaneh juga

Me: wah, cocok dong! Kau kan arsitek aneh ;p

Sasuke: hn

Me: terima kasih kembali xP

Sasuke: tidur sana

Me: nanti ah. Belum ngantuuuuk. Kirimi vn dong, Sasuke

Me: Sasuke?

Me: hoi

Me: ishhhh Sasukeeee

Me: oiiiii

Sasuke: hn. Maaf aku dari kamar mandi

Sasuke: tidak mau, aku sudah mau tidur

Sasuke: sebaiknya kau tidur juga. Have a sleep tight

Me: hmmmmmm

Me: u too

Tanda centang dua yang berubah menjadi warna biru mengakhiri konversasi tengah malam mereka itu. Sakura kembali menoleh ke arah jendela, lampu ruangan di seberangnya itu sudah mati.

Gadis itu meletakkan ponselnya di atas meja. Mematikan saklar lampu kamarnya dan menyalakan lampu meja yang terangnya lebih redup.

Terkadang, ia merasa memiliki Sasuke sebagai sahabat adalah anugerah paling berharga yang diberikan Tuhan padanya. Laki-laki itu, meski ucapannya lebih sering terkesan sinis, tapi sikapnya sangat bertolak belakang. Entah sudah berapa kali ia merepotkannya, mulai dari selalu menjadikan Sasuke supir sepihaknya jika sedang ke mana-mana, memaksanya ikut kegiatan-kegiatan sosial Sakura—seperti tadi (padahal ia sendiri tahu kalau Sasuke adalah tipe individualis), meminta dibelikan ini-itu, meminta saran ini-itu, dan hal-hal sederhana walaupun rumit lainnya.

Sasuke dan dirinya juga bekerja di bidang yang hampir sama, Sasuke arsitektur dan ia desainer. Dunia visual terkadang mampu membuat keduanya terasingi dari realitas untuk sementara. Menggambar bersama Sasuke adalah salah satu saat-saat favoritnya.

Sakura selalu berdoa, semoga Sasuke akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, sahabat sejawatnya, belahan jiwa konkretnya.

Jangan ubah apapun dari relasi ini, Tuhan. Pintanya dalam hati.

.

Tapi, sayangnya, persahabatan tak akan pernah sesederhana itu.

.

To be continued.

a/n: jadi, begini. Rasa ingin menulis sesuatu tentang mereka lagi muncul tiba-tiba saja, sayangnya, dengan ide yang masih ngambang. Yang ada di kepala, ya, cuma satu—selalu—friend become lover, ehe. Dan aku juga belum tahu akan jadi apa fic ini, mungkin akan menjadi kumpulan fragmen yang setiap chapternya saling berhubungan, tapi alurnya tidak tersusun sistematis dan berurutan. Atau bisa juga menjadi fragmen yang tersusun sistematis, tapi plotnya loncat-loncat dan nggak mendetail #doh. Yang jelas, setting-nya tetap seperti ini; Sakura 23 tahun, Sasuke 24 tahun, bersahabat sejak kecil, terbiasa bersama. Aku ingin membuat tipe persahabatan mereka tenang dan tidak menggebu-gebu. Dan beberapa 'caring' yang implisit, mungkin. Semoga tersampaikan :)

Anggap saja sebagai fic SasuSaku pengganti Two Ways Arrows yang mau tamat itu ;p tapi dengan tema yang lebih ringan, pendek, absurd, dan rush #lol xD

RnR?

LastMelodya