Terima kasih banyaaak untuk kalian semua yang sudah bersedia membaca tulisan iseng yang –hiks– tak seberapa ini. Sungguh, aku sangat terharu & berterimakasih :))

Err, apa ada yang masih menunggu kelanjutannya?

TIDAK ADAAAA!

Y-ya sudah, tak apa-apa, yang penting hutangku akhirnya lunas~ :')

.

.

.

Special thanks to:
DeeValerya || Guest || Anniiee || de-chan || Tuan Flamer || zielavienaz96 || Yamanaka Aya || heiressYMNK || chan-ame || and you ;)

QA:
Bagian mana aja yang based on true story? Err, sebenarnya 80% chapter 1 dan 45% chapter 2 adalah true story seseorang o.o Tangan bisa masuk jok? Iyep, seriuus :o Motor keluaran kapan? Waktu itu korbannya Supra X-125 rakitan 2012. Kenapa Naruto pakai masker? Mungkin terinspirasi Kakashi :o Ceritanya aneh, membingungkan. Hiks, yang nulis pun juga bingung :( Lebih suka setting lokasi di Jepang. Samaaaaa! :)) Hubungan montir sama ino? Aduh, apa ya.. Genre-nya apa? G-gomen, aku payah dalam memilih genre :') Jangan protes kalo reviewernya cerewet. Tidak akaan :)) Malah berterimakasih :D Lanjut? Sudaaah. Suka, ada Deidaranya. Samaaa. Kecup bang dei-dei :* Rapi. Hiks, ini masih belajar. Semoga bisa lebih rapi lagii. Arigatoou :)

.

.

.

.

.

.

Yatte mi Nakerya Wakannee
(Part 2)

Naruto by Masashi Kishimoto
Story and cover by Lala
Soundtrack by AKB48 – River

AU, CRACK, RUSH, OOC? FTV? NISTA? dll.
.

.

.

.

.

.

Hanya fict ringan untuk hiburan

Inspired by true story

.

.

.

18 jam sebelumnya.

Seorang gadis bersurai pirang menggulingkan tubuhnya ke kanan. Selang beberapa detik, ia ganti menggulingkan tubuhnya ke kiri. Begitu terus hingga beberapa kali.

Ini baru jam sembilan malam.

Kakaknya sudah pulang sejak sore tadi. Dan mereka sudah melewati makan malam bersama dengan tenang seperti biasa. Lalu seperti biasa pula, gadis pirang itu akan masuk kamarnya tepat jam delapan untuk belajar dan menyiapkan pelajaran sekolah esok hari.

Semua seharusnya sama seperti biasa.

Tapi entah.

Malam ini ia merasa begitu gelisah.

Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Membuat gadis pirang itu bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Ia yakin, tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Flunya sudah sembuh sama sekali. Kepalanya tidak pusing. Ia juga tidak sedang demam. Bahkan ia sudah tidak lagi terbatuk sejak tadi siang.

Ya, sejak tadi siang.

Ada apa dengan tadi siang?

Ino, gadis pirang itu, berguling lagi. Sambil memejamkan mata kali ini. Memutar ulang kejadian yang dialaminya tadi.

.

.

Flashback.

Apa ini?

Bukankah seharusnya jantungnya sudah berdetak normal dari tadi?

Kenapa kembali menggila?

Bahkan lebih cepat dibanding tadi ia berlari menuntun motornya menghindari hujan.

Kenapa?

Entah sihir apa yang membuatnya tergagap begini. Sungguh! Ini tidak seperti dirinyaaaa! inner Ino menjerit.

Demi mengatasi perasaan aneh yang tiba-tiba melingkupinya, Ino segera berdiri. Kemudian tiba-tiba membungkuk, "M-maafkan aku. Aku tidak akan merepotkan lebih dari ini. B-biarkan aku mengambil kunci cadangannya di rumah."

Dan tanpa menunggu lagi, Ino sudah berlari keluar dari bengkel. Hujan sudah tak begitu deras. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun baru berlari sekitar lima belas langkah, didengarnya suara yang memanggilnya dari belakang.

"Hei!"

Ino menoleh. Montir itu mengacungkan benda kecil yang membuat jantung Ino semakin berdetak cepat.

Dia ... berhasil mengambil kunci motorku?

Melihat montir itu hendak menuju ke arahnya, Ino segera berlari kembali ke arah bengkel. Ia sudah begitu merepotkan, dan tak ingin lebih merepotkan lagi dengan membuat montir itu harus menyusulnya.

"K-kau berhasil mengambil kunciku?" Ino sedikit terengah dengan tatapan takjub dan tak percaya.

Dari balik maskernya, Ino bisa memastikan montir itu tersenyum lebar dan mengangguk kuat-kuat sambil menyodorkan kuncinya.

Ino menerima kunci tersebut dengan perasaan campur aduk. "Ya Tuhan. Kupikir ... kupikir ... tidak akan mungkin mengeluarkannya tanpa kunci cadangan ..."

Montir itu kembali tersenyum lebar, "Yatte mi nakarye wakannee ..."

Mungkin aquamarine-nya sudah berkaca saat ini. Gadis pirang itu tiba-tiba sudah membungkuk lagi. "A-aku tidak tahu harus berterima kasih seperti apa!"

"Hei, hei." Si montir menggaruk kepalanya yang ditutupi topi rajut. Ia terlihat bingung dan sedikit kikuk untuk bersikap. "Tidak usah formal begitu-ttebayo ..."

"Tapi kau memang keren, N—"

"Oi, Kiba," potong sang montir memutus kalimat temannya yang sudah sembuh dari kebisuannya.

Ino mengangkat kepalanya. "Nn? Nn—ah, boleh aku tahu namamu?" tanyanya penuh harap. Yah, ia bisa membalas budi montir itu lain kali.

"Uh? Kalau yang ini namanya Kiba. Inuzuka Kiba. Dia pemilik bengkel ini."

Kiba nyengir pada Ino. Ino memandangnya sekilas. Oh, jadi dia pemilik bengkel yang telah mempekerjakan montir sekeren ini.

"Apa kau tinggal di dekat sini?" tanya Kiba, mengingat sedari tadi Ino ngotot akan berjalan sendiri ke rumahnya.

"Eeh? A-aku?" Ino menunjuk dirinya sendiri sebelum menjawab, "Rumahku di kompleks perumahan blok sebelah."

Sesaat kemudian Ino menyesal menjawab pertanyaan Kiba karena montir itu menolak apa pun wacana Ino seputar 'balas budi' dengan alasan mereka bertetangga—yeah, jarak antara bengkel ini dengan kompleks perumahannya hanya sekitar 500 meter.

End of Flashback.

.

.

Satu hal yang kini disadari gadis pirang itu dan semakin membuatnya menyesal.

Ino lupa untuk kembali menanyakan nama montir yang sudah menolongnya. Dan ia merasa cukup canggung untuk kembali ke Bengkel itu hanya untuk menanyakan ini.

Oh, dia seorang Yamanaka Ino, bukan? Lupakan ide memalukan barusan!

Sialnya, hal ini terasa sangat mengganggunya kini. Ia penasaran. Amat penasaran.

N—?

N—siapaaa?

N—agato? N—atsu? N—akamura? Atau... N—obita?

Aaaargh.

Sebenarnya Ino merasa heran dengan dirinya sendiri. Mengapa ia begitu ingin tahu tentang sosok itu. Saking ingin tahunya hingga rasa penasaran itu seakan bisa membunuhnya kapan saja.

Oh, ayolah. Itu hanya kejadian sekian menit yang seharusnya bisa kau lupakan begitu saja. Mungkin orang itu memang tidak penting bagimu dan kau juga bukan orang penting baginya.

Dan Ino semakin merasa heran. Hanya memikirkan itu saja, dadanya seolah dicengkam oleh perasaan nyeri yang tak biasa. Apa benar, ia baik-baik saja?

Gadis pirang itu tak menyadari. Memang benar, ada yang salah. Bukan pada tubuhnya, tapi hatinya.

.

ooOoo

.

7 jam sebelumnya.

"ASTAGA, PIG!"

Haruno Sakura tidak bisa tidak histeris ketika melihat tampang kusut sahabatnya Senin pagi itu. "Apa yang ..." ia tampak kesulitan berkata-kata, "APA YANG TERJA—"

"Ck. Jangan berisik, Forehead."

"Huh? MANA BISA AKU HANYA DIAM MELIHATMU SEPERTI INI?"

"Hentikan teriakanmu, Sakura. Kau bisa memancing perhatian orang-orang di sekolah."

Sakura mendengus. "Tanpa begitu pun kau sudah memancing perhatian semua orang, Ino-buta."

Heh? Memangnya seperti apa tampang Ino?

Mari cek.

Lingkaran hitam di mata. Lalu? Kulit yang sedikit pucat. Lalu? Wajah yang terlihat menahan kantuk. Lalu? Errr ... sepertinya itu saja. Tapi tidak bisa dibilang itu saja jika yang mengalaminya adalah Ratu Kecantikan, Yamanaka Ino, yang selalu tampil prima.

"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu? Kau sudah benar-benar sembuh? Kenapa memaksa datang ke sekolah?" beruntun pertanyaan Sakura.

"Aku sudah sembuh. Dan semalam aku tidak bisa tidur—kalau kau mau tahu."

"Heeeh?" Sakura terdengar heran. "Kau begadang?"

Ino belum sempat mengangguk atau menggeleng saat Sakura sudah menjerit heboh, "Yamanaka Ino begadang? Astaga, apa sakit flu membuatmu lupa bahwa begadang itu musuh nomor satu kecantikan, Pig!"

"Aku tahu, aku tahu. Justru karena itu—hei, kenapa dengan lenganmu?" Ino menyadari lengan kiri Sakura yang diperban. Ia kemudian menatap Sakura dan baru menyadari binar di mata emerald itu tak seperti biasanya.

Sakura mendadak tertawa kaku. "Oh, ini. Hanya kecelakaan kecil kemarin," tukasnya sambil mengibaskan tangan.

Ino berbalik curiga. "Kecelaka—"

"Bukan apa-apa. Daripada itu, apa yang tadi ingin kau katakan, hm?" Sakura memotong kalimat pertanyaan Ino.

Belum sempat Ino mengatakan apapun, dering telepon Sakura menginterupsi.

"Ah! Ponselku berbunyi. Maaf, Ino-chan. Sampai jumpa nanti. Jaa~" Sakura sudah berlari kabur meninggalkan Ino yang sekali lagi masih belum sempat bereaksi.

.

ooOoo

.

Lima belas menit sebelumnya.

Ino mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menggerutu pelan. Entah harus berapa lama lagi ia menahan kantuk, namun sahabat pink-nya tak juga muncul.

Gadis pirang itu menyenderkan kepalanya ke bangku taman sekolah. Seperti biasa, sepulang sekolah, mereka akan pulang bersama. Karena kelas mereka berbeda, keduanya biasa bertemu di tempat ini, lalu bersama-sama pulang dengan Gamabunta Ino. Tapi kali ini ...

Ino melirik jamnya. Sudah lewat pukul dua siang. Sakura ke mana sih?

"Hei, Akeno. Bukankah kau yang seharusnya jaga UKS sekarang?"

"Ah, iya. Maaf, tadi aku harus mengerjakan tugas tambahan dari Asuma-sensei terlebih dulu."

"Kalau begitu, cepatlah kesana. Tadi kulihat Haruno-senpai terpaksa mengobati sendiri temannya."

"B-baik. Aku akan segera ke sana setelah mengumpulkan tugasku."

Ino menolehkan kepalanya mendengar dialog kouhai-nya yang menyebut-nyebut nama Sakura. Hoo, jadi dia ada di UKS?

Gadis Yamanaka itu memutuskan untuk menyusul.

.

ooOoo

.

Enam menit sebelumnya.

"Sudah kubilang hati-hati, baka!"

"Ouch! Pelan-pelan, Sakura-chan ..."

Ino tersenyum sendiri. Sepertinya Sakura memang sedang di ruang UKS. Tanpa bermaksud menguping, suara keras kedua orang di dalam sana—yang mana salah satunya adalah suara cempreng sahabat pink-nya—mampu mengusik pendengarannya.

Gadis pirang itu bermaksud melangkah masuk dan—

"Huuh, kau seperti temanku saja, memakai benda seperti ini. Plester konyol bergambar babi begini sebaiknya dilepa—"

"Jangan, Sakura-chan! Ini kenang-kenangan dari pelanggan pertamaku di bengkel Kiba kemarin."

—kembali terdiam di tempat.

Eh?

P-plester konyol bergambar babi? Bengkel Kiba?

Apa maksudnya?

"Ck. Kau ini tidak pernah berubah. Masih saja terlalu bersemangat seperti dulu. Kau kan tahu, kau baru saja pindah dari Suna lusa kemarin. Tapi kau bahkan memaksa berkeliling-keliling Konoha, mengunjungi bengkel pecinta anjing itu, dan sekarang memaksa bermain basket dengan sepatu begitu. Kau lihat akibatnya, baka?"

"Aku kan hanya ingin mencari teman baru karena tidak satu sekolah dengan Teme ..."

"Berhenti merajuk begitu, bodoh. Memangnya dengan memaksa main basket, mereka lalu mau menjadi teman makhluk berisik sepertimu?"

"Yaaah ... Kalau tidak dicoba, tidak akan tahu, kan?"

Eeeh? EEEHH?

Kalimat itu! Tak salah lagi.

Ino tidak bisa menunggu lebih lama. Ia segera menerobos masuk dan terkejut saat melihat sosok montir yang menolongnya kemarin—tanpa masker dan tanpa topi rajut—tengah duduk di kursi dan diobati oleh sahabatnya.

"K-kau ..." suaranya tercekat di tenggorokan.

Sakura dan pemuda itu menoleh. Keduanya sama-sama terkejut saat melihat Ino—dalam artian yang berbeda.

"Ino? Kau—ah! Maafkan aku. Kau pasti menunggu lama ya?" Sakura berseru panik. "Aku lupa bilang kalau hari ini aku harus—are? Ada apa dengan kalian?" Gadis musim semi itu baru menyadari reaksi aneh kedua makhluk pirang yang terpaku di tempat masing-masing sambil bertatap-tatapan dan membuat dirinya terabaikan.

Teman lelakinya yang sedari tadi berisik dan hampir mustahil berhenti mengeluarkan suara, kini mendadak terdiam seribu bahasa. Pun sahabat blonde-nya yang biasanya tak pernah mau kalah berisik dengannya, kini hanya berdiri tegak tanpa kata-kata.

"Pig?" Sakura mencoba memanggil Ino, namun panggilannya tak mendapat respons.

Melihat sikap kedua orang di hadapannya yang seperti ini ...

Sakura memiringkan kepalanya heran, "Apa kalian sudah saling menge—" gadis pink itu menghentikan kalimatnya saat emerald-nya menangkap ujung jari teman prianya yang terbalut perban babi kecil-kecil dan kini tengah dipegangnya.

Huh? Babi kecil-kecil?

Sakura menoleh cepat ke arah Ino yang masih tak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari direksi yang sama sejak tadi. Sang gadis pink ganti beralih menatap teman lelakinya yang juga masih terpaku.

Pelanggan pertama di Bengkel Kiba?

Tak butuh waktu lama bagi seorang gadis berdahi lebar seperti Haruno Sakura untuk menyatukan kepingan-kepingan tersebut, merangkainya, dan menyimpulkan semuanya dengan cepat dan tepat.

Hohoho. Jadi begitu ...

Gadis musim semi itu menyimpan tawa dalam hati. Ia bisa menebak apa yang telah, sedang, dan mungkin akan terjadi nanti.

"Haruno-s-senpai ..." sebuah desisan terdengar tiba-tiba dari arah pintu UKS yang terbuka, membuyarkan bayangan yang tengah disusun Sakura dalam benaknya.

Sakura menoleh cepat ke asal suara dan mendapati seorang kouhai-nya berdiri di sana dengan wajah takut-takut dan gelisah. Sakura mengenal anak ini sebagai petugas yang seharusnya berjaga di UKS.

Iris mata emerald itu lalu melirik kedua pirang yang masih saja terdiam. Kheh, membiarkan suasana seperti ini terinterupsi begitu saja?

Cepat, gadis pink itu bertindak. Ia segera bangkit menghampiri kouhai-nya, "Ayo kutemani menghadap Shizune-sensei. Persediaan perban di UKS sudah mulai menipis," sahutnya dengan senyum dibuat-buat sambil menutup pintu UKS, lalu cepat-cepat menyeret sang kouhai menjauh.

.

.

Terdengar suara pintu ditutup. Menyusul bunyi langkah kaki yang perlahan terdengar semakin menjauh. Meninggalkan kedua sosok pirang yang masih terbungkus keheningan.

Ino masih berdiri di tempatnya. Iris aquamarine-nya telah merekam baik-baik sosok di hadapannya. Rambut pirang, kulit tan, tiga pasang garis di pipi. Ia memang tidak melihat semua itu kemarin karena tertutup masker dan topi.

Tapi ...

Sepasang bola mata biru langit itu ...

Tak akan dilupakannya begitu saja.

Orang yang berdiri di depannya dengan yang kemarin menolongnya adalah sosok yang sama.

Ino yakin sekali. Namun yang membuatnya kembali ragu adalah sikap pemuda pirang itu. Ia tidak kelihatan akan melakukan sesuatu. Sama sekali tak terlihat seperti montir penolongnya kemarin yang penuh inisiatif.

Kalau begitu ...

Gadis blonde itu menggigit sedikit bibirnya.

Kau yang harus melakukan sesuatu, Ino! Lakukan sesuatu! Seorang ratu kecantikan tidak pernah mati gaya bukan?

Sel abu-abunya berputar cepat. Sibuk memikirkan hal terbaik yang bisa dilakukannya. Tak lama kemudian, sepotong kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya, "Sakura benar. Perban konyol bergambar babi itu sebaiknya dilepas saja."

Dalam hati, Ino merutuk. Apa-apaan kalimatnya barusan? Namun, ia cukup terkejut dengan reaksi pemuda di hadapannya.

"Eeeh?" Pemuda blonde itu tiba-tiba berjengit, "Tidak mau-ttebayo!" sergahnya cepat seraya menarik tangannya yang berperban. "Ini kan kenang-kenangan dari—" kalimatnya terhenti tiba-tiba.

Tiba-tiba saja Ino merasa sulit bernapas. Ia berdebar-debar untuk alasan yang entah apa. Terutama ketika mata safir itu memerangkap Ino sejenak sebelum meneruskan penggalan kalimatnya.

"—mu ..."

Lenyap sudah.

Semua keraguan itu lenyap tanpa sisa.

Tanpa ditahan, gadis pirang itu bergerak maju selangkah. "Jadi, kau benar-benar montir yang menolongku kemarin?"

Pemuda pirang itu menggaruk kepalanya sedikit kikuk. Ia tidak mengiyakan, namun juga tidak mengelak. Tapi, gadis Yamanaka itu yakin seyakin-yakinnya.

Dia memang orang yang menolongnya kemarin. Orang yang sudah membuat Ino gelisah semalaman. Membuatnya bertanya-tanya. Membuatnya sibuk menerka dan menduga. Pendek kata, orang ini yang sudah membuatnya dililit penasaran!

Gadis pirang itu kemudian segera tersadar akan sesuatu.

Sekarang, atau tidak sama sekali!

Tanpa menunda lagi, Ino memecah kesenyapan yang sempat terjadi dengan ucapannya, "Aku ... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Tapi ... aku punya baanyak sekali pertanyaan untukmu. Kalau kau tidak keberata—"

"Naruto. Namaku Uzumaki Naruto-ttebayo ..."

Ino terkejut. Pemuda itu langsung memperkenalkan namanya?

"Ehehe ... maaf ... aku tidak bermaksud begitu tadi." Ia menggaruk kepalanya. Bibirnya menyungging cengiran setengah kikuk, "Aku hanya sangat terkejut melihatmu disini. Aku sama sekali tidak menyangka ternyata kau teman Sakura-chan dan bersekolah di sini. Kemarin itu, aku sedang kabur dari orang tuaku jadi aku merasa perlu untuk menyembunyikan diri di balik masker dan topi. Aku baru sadar kalau tampangku waktu itu terlihat ... err ... mencurigakan, mungkin ..."

Ino seperti mau tertawa dan menangis mendengar semua ini. Ia sudah akan menyahut, namun lawan bicaranya lebih dulu berucap melanjutkan kalimatnya.

"Aku sungguh tidak percaya bisa bertemu denganmu sekarang. Kemarin aku belum sempat berterima kasih karena sudah mengobati lukaku. Dan entah kenapa hal ini menggangguku semalaman."

Gadis Yamanaka itu nyaris tak percaya mendengar sosok di depannya juga mengaku memikirkannya semalaman.

"Emm ... sebenarnya aku baru saja pindah kemari. Temanku tidak begitu banyak, hanya teme, Kiba, Neji—tapi mereka tidak sekolah di sini. Jadi kupikir, setelah ini ... err ... apa aku ... m-maksudku, bolehkah ... kita mencoba berteman? Ehehehe ..." Kali ini pemuda itu tersenyum padanya sambil menyunggingkan cengiran secerah matahari.

Ternyata dia yang duluan mengucapkannya.

Menahan haru dan bungah yang tiba-tiba menghangatkan hatinya, gadis pirang itu langsung mengulurkan tangan hangat.

"Ino. Yamanaka Ino."

Kalau tak dicoba, tak akan tahu kan ...?

.

.

Di balik pintu, seorang gadis merah muda tengah menguping sementara tangannya sibuk membekap mulut kouhai-nya kuat-kuat. Tanpa sadar jika korbannya hampir kehabisan napas. Sosok bermata emerald itu kemudian menyeringai puas.

Setelah ini, apa kau masih akan mengeluh karena tidak bisa satu sekolah dengan Sasuke-kun lagi, baka-Naruto?

Fufufu.

.

ooOoo

.

43830 jam setelahnya.

Alias lima tahun kemudian.

"Aku tidak pernah menduga, pada akhirnya Dei-nii benar-benar menjadi seniman ledakan." Seorang gadis pirang dalam balutan gaun cantik berwarna ungu tengah bergumam. Sepasang iris birunya tertuju pada tulisan mewah di seberang sana.

'Seni adalah Ledakan.' Bunyi tulisan itu.

Ia menyunggingkan senyum.

"Huh? Bukankah katamu itu memang hobi utamanya?" Pemuda pirang di sebelahnya menyahut heran. Bola mata safir birunya berputar lucu, namun tak mengurangi ketampanan wajah berkulit tan dengan tiga garis di pipinya itu.

Di sekitar mereka, orang-orang memandang keduanya dengan tatapan kagum. Terutama pada rambut pirang dan bola mata biru memukau milik keduanya yang sekilas terlihat mirip. Pasangan serasi, eh?

Ino—si gadis pirang—menatap Naruto—si pemuda pirang—lalu terkikik geli. Ia mengingat kejadian lima tahun lalu saat sang kakak ogah-ogahan mengikuti teman-temannya mengunjungi Museum Ledakan. Ketika itu, Ino berhasil memaksanya ikut dengan mengancam tak akan menganggapnya kakak jika Deidara masih juga enggan berangkat. Siapa sangka, itu justru menjadi awal mula kecintaan Deidara pada benda-benda yang meledak.

Gadis Yamanaka itu mengalihkan pandangannya kembali pada tulisan pendek di bawah tulisan pertama.

'Presented by Deidara.'

Ia kembali tersenyum.

"Memang benar ... Kalau tak dicoba, tak akan tahu ..." bisiknya lirih.

"Huh? Kau bilang apa, Ino-chan?" Naruto yang tidak begitu mendengar tiba-tiba mencondongkan telinganya lebih dekat ke bibir Ino, membuat wajah keduanya berdekatan dan bahu mereka bersentuhan.

Ino terkejut. Rona kemerahan segera menjalar di pipi putihnya. Anehnya, ia tidak lekas menarik wajahnya menjauh dari kepala sang pemuda rubah hingga—

Bletak.

—sebuah tinju ringan menghantam kepala itu dan membuatnya menjauh sendiri.

"Dei-nii!" Ino memekik kaget.

"Itu hukuman karena sudah berani menyentuh Ino-ku." Deidara berkata angkuh sembari menarik pinggang Ino posesif. Ia sedikit menaikkan dagunya kala menatap Naruto. Tatapannya menajam pada bocah rubah berkulit tan itu.

"Hei!" Naruto yang mengusap-usap kepala durennya menyerukan protes tak terima. Namun melihat sikap Deidara, tiba-tiba saja pemuda Uzumaki itu ikut-ikutan mengangkat dagunya. Katanya dengan sikap menantang dan menyebalkan, "Ino-chan tidak pernah marah jika kusentuh."

Ino melotot mendengar kalimat ambigu tersebut.

Deidara yang mendengarnya pun merasa panas. Ia mengangkat dagunya lebih tinggi sementara matanya melotot tajam kau-tidak-akan-pernah-bisa-menyentuhnya-lagi-selama-aku-sebagai-kakak-laki-laki-tampan-satu-satunya-masih-bernyawa.

Naruto balas menaikkan dagunya lagi lebih tinggi. Sepasang safir birunya turut tak mau kalah melotot akulah-satu-satunya-pria-tertampan-yang-akan-melindungi-Ino-chan-dari-kakak-lelaki-jejadian-sepertimu-meski-dengan-taruhan-nyawa.

Deidara yang semakin terbakar segera mengangkat dagunya lagi lebih tinggi.

Naruto pun meninggikan dagunya tak mau kalah.

Kedua pemuda pirang itu saling berlomba-lomba mengangkat dagu tinggi-tinggi sembari melemparkan tatapan tajam hingga—

"Adaw!"

—Ino menginjak kaki-kaki mereka dengan heels-nya dan membuat keduanya mengaduh kesakitan.

"S-sakit, Ino-chaan ..." Naruto mengaduh sambil memegangi ujung sepatunya.

"K-kenapa kau menginjakku juga, Ino-hime?" Deidara yang juga memegangi ujung sepatunya menatap melas pada adik perempuan kesayangannya.

Ino meletakkan satu tangannya di pinggang. Dengan gaya sok anggun nan elegan, gadis manis itu berkata tenang, "Lihat tempat dan situasi, Baka. Sedang ada di mana kita. Jangan bertingkah yang aneh-aneh."

Tepat sekali. Saat ini mereka sedang menghadiri perayaan ulang tahun perusahaan mitra orang tua Naruto di atas geladak utama sebuah kapal pesiar mewah dan Deidara ditunjuk sebagai perancang pesta kembang apinya.

Ada banyak orang penting di sini. Jadi seharusnya mereka menjaga sikap.

"Dan Dei-nii. Lihat, orang-orang perusahaan itu mencarimu." Ino berkata tenang sambil memutar tubuh kakaknya yang hendak mengajukan protes. Beberapa pria berjas memang sedang berjalan ke arah mereka.

"S-sebentar, Ino! Aku harus memastikan kau aman dari—"

Crap.

Lagi-lagi Deidara harus mengalah pada tatapan andalan Ino yang berbunyi angkat-kaki-atau-aku-tak-mau-menganggapmu-kakak-lagi.

Tak mau kehilangan status sebagai 'Kakak laki-laki tertampan satu-satunya dari Ino-chan', pemuda blonde berkuncir itu buru-buru pergi setelah melempar tatapan mengancam pada Naruto.

Naruto tertawa puas. Tapi tatapan Ino yang beralih padanya segera membuatnya bungkam dan berusaha setengah mati menahan geli.

Ino mengibaskan rambut blonde panjangnya dengan gerakan anggun hingga—

"Ck. Trio blonde yang menyusahkan."

—sebuah suara menyebalkan tiba-tiba mengusik pendengarannya dan membuatnya berbalik.

"ASTAGA, FOREHEAD!" Gadis Yamanaka itu lupa jika dirinya baru saja berceramah mengenai sopan santun dan tata krama—bahkan mengabaikan kalimat menyebalkan yang barusan terdengar—saat mendapati sepasang muda-mudi yang sangat dikenalnya tengah berdiri di belakangnya.

"KAU?!" Ino melotot pada sahabatnya yang berambut pink bernama Sakura. Lalu mengarahkan telunjuk lentiknya ke arah pria berambut hitam kebiruan mencuat di sebelahnya dengan tatapan horor. "...jalan dengan Ebisu ini?" Ino menekankan kata 'jalan' saat mengucapkannya.

Sakura melongo.

"Hah? Ebisu?"

Tik.

Tik.

Tik.

"HUAHAHAHAHA!" tawa Naruto meledak tiba-tiba membuat Ino kaget mendengarnya.

Gadis itu lalu menginjak kaki kekasihnya keras-keras agar diam. Are? Kekasih? Ya, itulah status yang mereka sandang sejak tiga tahun lalu—detailnya sengaja tidak diceritakan agar word-nya tidak membengkak -.-

"Ouch! Ittai, Ino-chan!" keluh Naruto memegangi ujung sepatunya, lagi.

Ino memandang pemuda pirang itu galak. "Jangan mempermalukan dirimu, baka." Kalimat itu sebenarnya berbunyi 'Jangan mempermalukanku, bodoh. Tidak lihat, siapa gadis cantik yang kau gandeng saat ini?'

Naruto terkekeh lagi. "Habis, kau memanggil teme dengan nama pegawaiku yang super mesum itu."

"Huh?" Dahi mulus gadis pirang itu berkerut tak paham, "Teme? Pegawai? Apa maksud—"

"Astaga. Ini pasti gara-gara permainan Truth or Dare kalian malam lima tahun lalu itu." Sakura geleng-geleng kepala. Jidat lebarnya memudahkannya mencerna kejadian barusan dalam waktu yang super singkat.

"Hah? Truth or Dare?" beo Ino lagi. "Apa sih yang kalian bicarakan?" Gadis blonde itu mulai kesal, sepertinya ia satu-satunya yang tak mengetahui apa-apa di sini.

Naruto masih terkekeh. Sakura mulai menahan tawa. Dan pemuda emo yang disangkanya Ebisu? Hanya membuang muka.

"Hellooo? Adakah yang bisa menjelaskan padaku?" Ino terlihat mulai mempersiapkan tinjunya.

"Aaaaah," Sakura segera mengambil alih. Amukan Ino bisa lebih mengerikan dibanding amukannya. Gadis merah muda itu berusaha menjelaskan dengan kalimat terbaiknya. "Ino-Pig yang baik hati, 'Ebisu' yang kau sebutkan tadi itu nama salah seorang pegawai mesum di SPBU milik Naruto," Sakura berhenti sebentar, "dan Ebisu tidak hadir di pesta ini kalau kau mau tahu."

Ino membuka mulutnya hendak protes, namun Sakura mendahuluinya lebih cepat, "Sedangkan yang kau lihat ini adalah Sasuke-kun. Alias Uchiha Sasuke, putra bungsu pemilik perusahaan yang membuat pesta ini sekaligus teman akrab kami—aku dan Naruto."

Rahang Ino terjatuh.

APAAAAAA? Uchiha? P-pemilik perusahaan yang—

Hmpfh. Tidak mungkin.

Gadis berambut pirang itu segera memasang senyum cantik, "Kalian bercanda." Lalu menatap pemuda emo itu lekat-lekat dan tiba-tiba menunjuk-nunjuknya kalap, "Aku jelas-jelas melihat tukang bensin menyebalkan ini di SPBU dekat rumahku! Aku masih ingat rambut aneh dan muka datarnya! Terutama sikap menyebalkannya yang membuat kunci motorku tertinggal di dalam jok! Mana mungkin aku melupakannya?!"

"Uh? Jadi ... kejadian kunci motormu yang tertinggal di dalam jok itu ..." Naruto tiba-tiba ikut berbicara.

Ups.

Ino membekap mulut. Kikuk.

Sakura mendesah lelah, "Terserah lah, kalian saja yang menjelaskan bagaimana si baka ini menantang Sasuke-kun untuk menjadi petugas SPBU sehari gara-gara dia tidak mau memilih truth dan malah memilih dare."

Gadis pink itu menghentikan ucapannya ketika menyadari tiga pasang mata beda warna kini memandang ke arahnya. Huh?

"Baiklah, baiklaaah," desahnya pasrah.

Butuh tujuh menit penjelasan, diselingi lima menit seruan berisik Naruto dan dengusan Sasuke, plus sepuluh menit teriakan kesal Ino hingga gadis pirang itu akhirnya mengerti dan mau menerima penjelasan Sakura.

O-ow. Pantas saja petugas itu seperti petugas gadungan. Rupanya di malam kedatangan Naruto ke Konoha, pemuda rubah itu langsung menyambangi kediaman Sasuke dan memaksa bermain Truth or Dare. Saat tiba giliran Sasuke, pemuda raven itu bersikeras memilih Dare dibanding harus membeberkan rahasia nista yang sudah diincar Naruto sejak lama.

Naruto yang sebal pun tak tanggung-tanggung mengajukan tantangan. Dan karena harga diri Uchiha yang setinggi langit, pemuda raven itu tentu tak akan mundur dari tantangan yang sudah dilontarkan di depan hidungnya. Jadilah, Sasuke 'mengambil alih' tugas Ebisu setelah mendapat tutorial singkat bagaimana mengoperasikan mesin bahan bakar dan melayani pelanggan.

Ino menarik ujung bibirnya masam. Sial. Pantas saja, senyuman mautnya saat itu tak mempan sama sekali pada pemuda bermuka datar ini. Jelas saja! Cowok tampan kaya raya sepertinya pasti sudah kenyang dan kebal menerima senyuman wanita.

"Yah, kurasa teme cukup sukses jadi petugas SPBU," Naruto menyeringai usil dan segera mendapat deathglare dari Uchiha. Namun sang Uzumaki tak peduli, malah bersiul jahil. "Berkat itu akhirnya teme berhasil menggaet sepupuku yang kebetulan mampir dan kemudian mereka bersama sampai sekarang."

"Apaa? S-sasuke-kun? Jangan bilang kau—" ganti Sakura yang terkaget-kaget heboh.

"Hn." Sasuke hanya memutar bola matanya.

"Uapaaah! Itu seriuss? Kau dengan sepupu si baka ini? Yang berkacamata ituu?" Sakura tidak bisa tidak histeris.

"Apa kubilang teme, kalau tidak dicoba tidak akan tahu, kan?" Naruto terkekeh semakin keras.

Sekali lagi Sasuke memutar bola matanya. Ia tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari skenario busuk bocah kepala duren yang merencanakan pertemuan dirinya dengan—

Hmp.

Yah sudahlah.

Bagaimana pun, Naruto memang benar.

Jika tak dicoba, tak akan tahu.

Bukan begitu?

.

.

Yatte mi nakerya wakanne...

You won't know until you try...

.

.

OWARI ?


A.N:

Failed, failed, and failed everywhere. Toooo muuchh absurdity? Huooo bunuh saja akuuuuu... XD

Yatte mi Nakerya Wakanne. Berkat kalimat mantra ini, aku memberanikan diri coba-coba menulis fict absurd seperti ini dan mem-publish-nya #dor. Kalimat itu juga yang dalam beberapa kesempatan, selalu membuat aku jadi lebih semangat untuk terus mencoba. Mungkin di antara kalian ada juga yang punya kalimat mantra? :))

Terimakasih banyaak sudah bersedia membaca sampai selesai (semoga OMAKE-nya bisa menjawab sisanya). Maaf terlalu banyak kenistaan. Menerima segala jenis koreksi dan masukan. Arigatoouu~


OMAKE

"Aku tahu, sedari tadi kau terus mencuri pandang ke arah jam tiga."

"E-eeh?" Sakura berseru panik mendapati Ino tiba-tiba berdiri di belakangnya sambil membawa gelas minumnya. "Astaga. Kau mengagetkanku, pig!" Gadis bermata emerald itu mengelus dadanya.

Ino tak menyahut. Ia justru menolehkan kepalanya sekali lagi ke arah yang disebutkannya tadi. Kemudian kembali menatap gadis gulali sahabatnya penuh arti, "Hooo. Jadi kau menyukai Hyuuga itu, eh?" godanya.

Sakura terbelalak. "Apaa? T-tidak!" pekiknya cepat. Kemudian tersadar "Eh? B-bagaimana kau tahu dia seorang Hyuuga?" gadis pink itu tiba-tiba merubah sikapnya.

Ino terkekeh melihat tingkah sahabatnya.

Sakura yang kemudian menyadari itu memberengut kesal. Tidak mau digoda lagi, gadis musim semi itu membalikkan badan, bermaksud menyelamatkan dirinya dari keusilan Ino.

"Hei."

Langkah Sakura terhenti.

Gadis itu terpaksa membalikkan tubuh menghadap Ino. Disangkanya ia akan menjumpai raut jenaka sahabat yang tengah menggamit lengannya.

Tak disangka, Ino justru berwajah serius saat mengatakan, "Kau tak ingin mencoba menemuinya?"

"A-apaa?" Sakura terpekik lagi. Ia buru-buru menurunkan suaranya sambil mendelik, "K-kau bercanda!"

Ino melepas tangannya. "Apa aku terlihat sedang bercanda, Forehead?"

Sakura terdiam sebentar. Kepalanya kemudian tertunduk pelan, "A-aku tidak ..."

"Jangan buang waktumu, Sakura. Ayo!" Ino tahu-tahu sudah meletakkan gelasnya, menarik tangan Sakura dan menyeretnya.

Sakura terkejut. Ia kemudian berusaha melepaskan diri dengan panik, sementara Ino bersikeras menyeret Sakura menemui pemuda Hyuuga yang tengah bersama adiknya di seberang sana. Keduanya tak sadar, tingkah mereka sedari tadi tak lepas dari pengamatan dua pasang mata.

"J-jangan memaksaku terus, Pig!" Sakura semakin panik saat Ino benar-benar hampir berhasil menyeretnya.

"Kau yang jangan keras kepala, Dekorin!" Ino balas ngotot.

"Tapi aku tidak bisa, Ino-buta!"

"Apa salahnya mencoba, hah?"

"A-aku tidak berani menco—"

"Bodoh. Kalau tidak dicoba, tidak akan tahu, kan?"

"Betul sekali-ttebayo!"

Eh?

Kedua gadis itu menoleh ke asal suara.

Seorang pemuda berambut pantat ayam yang mengucapkan kalimat pertama tengah menatap mereka datar. Di sebelahnya berdiri pemuda berambut pirang yang mengucapkan kalimat kedua dengan cengiran lebar sehangat matahari pagi.

"Naruto?"/"Sasuke-kun?"

Ino dan Sakura berucap bersamaan.

"Hn." Sasuke memasukkan tangannya ke saku, "Temui pria Hyuuga itu. Kami tahu, sebenarnya kau ingin berterima kasih karena dia sudah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu dari kecelakaan lima tahun lalu kan?"

Wajah Sakura sontak memerah. "K-kalian ..."

Naruto mengangguk kuat-kuat, "Dia sudah di depan matamu. Jangan ragu-ragu, Sakura-chan. Kau pasti bisaa!" serunya menyemangati.

"T-tapi ..."

Ino menggeleng tegas. "Tiada jalan selain maju, Haruno Sakura." Gadis pirang itu kemudian mendekat dan berbisik di telinga Sakura, "Yatte mi nakerya wakannee.."

Sekali lagi, mantra itu bekerja.

Gadis berambut pink yang semula ragu-ragu, tiba-tiba seolah mendapat kekuatan. Ia memejamkan mata sebentar, lalu mengangguk. "B-baiklah."

Ia membuka mata dan menatap ketiga sahabatnya. "Doakan aku," bisiknya.

"Tentu," sahut ketiganya bersamaan sambil melempar senyum dukungan. Mereka semua sudah membuktikannya sendiri, "Yatte mi nakerya wakannee ..."

Sekarang, giliran kalian yang mencoba :)

.

.

.

END

.

.

.

Terimakasih sudah membaca :D

Bunuh saja aku melalui kolom review di bawah ini ;)