Langit kota Seoul menggelap digantikan temerang lampu kota yang menyala terang. Hiruk pikuk malam yang ramai terdengar asing bagi telinga Oh Sehun. Lelaki berkulit pucat itu hanya memandang datar orang-orang yang berlalu lalang dari atas balkon apartemen Luhan.

Ya, apartemen Luhan yang baru saja diatas namakan dirinya; Oh Sehun.

Angin malam mendingin membuat siapapun menggigil di musim dingin. Tetapi kegembiraan dan rasa haru bagi sebagian orang diluar sana tidak bisa dilewatkan, rasa dingin itu menjadi halangan kecil yang dapat diatasi bagi mereka.

Tidak hanya alam saja yang mulai dingin bersamaan salju pertama turun; hatinya ikut mendingin meringis nyeri.

"Dia perempuan yang kuat, Sehun. Harusnya kau percaya Luhan akan baik-baik saja."

Tidak. Kalimat yang dilontarkan Joonmyeon memang hanya bertahan sesaat. Begitu Sehun sudah menapaki lantai apartemen Luhan seketika pertahanan yang diperlihatkan pada banyak orang itu runtuh melebur jadi satu dengan tanah. Bahkan Oh Sehun tidak bisa mengenali dirinya sendiri yang begitu hancur dan lemah.

"Kalau aku menghilang… apa kau mencariku? Menungguku?"

"Kalau aku… memintamu berhenti?"

'Jangan cari aku. Jangan tunggu aku. Jangan mencoba mencari alasan dariku, Oh Sehun. Aku tidak memintamu berhenti, aku hanya memintamu jangan lakukan hal itu.'

Sehun memejamkan kedua matanya ketika semua kalimat Luhan berputar seperti rekaman kaset yang rusak.

Giginya bergemelutuk untuk menyalurkan apa yang dirasakannya dari hati. Begitu dia membuka kelopak matanya, dia berhalunisasi Luhan ada di depannya; tersenyum sembari menawarkan secangkir coklat hangat untuk dinikmati di malam salju turun.

Tetapi Sehun harus rela saat bayangan Luhan sekejap lenyap digantikan angin menembus tulangnya.

Hanya rasa sakit dan pedih yang dia rasakan.

Tawa seakan menjadi mitos, senyum seakan jadi legenda baginya.


"Sassy Lady and City Cool Man."

Xi Luhan | Oh Sehun EXO | Wu Yifan | others

Romance | Friendship | Drama

Lenght: Chaptered | Rated: T

WARNING! : GS, drama-adict, menye-menye.

Disclaimer: semua cast yang kalian tahu dari dunia K-pop bukanlah milikku (berdoa saja, semoga Sehun milikku #slapped), mereka sepenuhnya milik Tuhan YME dan keluarga mereka masing-masing. Aku hanya yang memiliki plot cerita ini atas nama Hwang0203 dan kuharap kalian bisa membuat cerita khayalan kalian sendiri daripada harus meniru orang lain ._.

.

Chapter 12 : Hidden Plan

.


Kabar Luhan yang hilang kontak selama tiga hari menghebohkan semua kenalan Luhan –tidak sampai pada kumpulan

karyawan bawahan Sehun, tentunya.

Berbagai tempat yang mereka tahu sering dikunjungi Luhan, tempat-tempat yang pernah disambangi sampai bertanya pada kenalan Luhan yang tidak mereka kenal sama sekali pun sudah mereka lakukan.

Yifan dan Zitao smapai turun tangan untuk menyewa detektif yang bertugas melacak keberadaan Luhan. Dua minggu penuh harapan dan kecemasan itu harus berakhir sia-sia.

Mereka tidak menemukan Luhan dimanapn.

Minseok dengan pemikirannya yang terlalu khawatir.

"Bagaimana kalau Luhan kecelakaan dan sebagainya?! Aku tidak mau!" seru Minseok saat pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu.

"Tenanglah! Jangan berpikir negatif dulu, aku takutnya akan terjadi jika kita selalu berpikir negatif!" Yixing bukannya menangkan, tetapi memberi beberapa tetes minyak tanah dalam percikan api.

"Apa kita laporkan saja Luhan Noona sebagai orang hilang; bagaimana?" usul Jongdae yang ditolak keras oleh Yifan dan Joonmyeon.

"Tuan Xi bukan sembarang orang. Dia politikus yang cukup aktif dan dikenal luas masyarakat. Pernah ada desus jika Luhan menghilang bukan karena kehamilannya yang tidak diketahui media; tetapi paksaan Tuan Xi akan kuasa Luhan terjun di bidang politik seperti beliau. Jika kita menambah nama Luhan di daftar orang hilang, ini jadi berita hangat media lokal sana." terang Yifan yang dimengerti semuanya.

"Lalu kita harus bagaimana lagi?!" Zitao mengerang frustasi.

Semuanya diam. Tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun dalam rumah kecil milik Jongdae. Mereka hanya terus dikalutkan oleh keberadaan Luhan dan tempat-tempatnya.

Hanya satu orang yang terlihat begitu santai tetapi lebur seperti bubur kertas di dalamnya.

Oh Sehun.

Sedari tadi lelaki berkulit pucat itu hanya diam tanpa memberikan usul. Pandangannya kosong entah kemana.

Tetapi mereka semua tidak protes. Kepanikan yang berlebih bukanlah sebagai jawaban. Mereka tahu Sehun lebih hancur dari mereka semua.

Oh Sehun lebih menderita atas hilangnya Luhan daripada mereka.

"Apa kita harus memberitahu Bibi Xi?" tanya Yixing.

Dan gelengan samar dari Joonmyeon sebagai jawaban awal atas pertanyaan istrinya.

"Jangan dulu. Kita usahakan. Kalau sebulan penuh Luhan Noona belum kembali, kita bisa memberitahu Bibi Xi." Dan semuanya setuju dengan usul Joonmyeon.

Ya, memang lima hari hilangnya kontak dari Luhan membuat mereka bertanya pada Bibi Xi. Dari hari pertama sampai hari ketiga Luhan memang pulang ke Beijing. Bibi Xi juga sudah memberitahu mereka Luhan tengah pergi entah kemana; yang terpenting anak perempuannya sudah mendapatkan ijin darinya untuk kemanapun.

Dan seminggu lebih mereka menunggu, tidak ada hasil dan akhirnya Kis memutuskan menyewa detektif sedangkan yang lainnya berusaha mencari Luhan lewat kenalan atau tempat-tempat yang pernah Luhan sambangi.

Nihil.

Dan ini sudah 26 hari menghilangnya Luhan.

Kemana perempuan itu?

"Jangan cari lagi Luhan." semuanya menoleh memberi perhatian penuh ke arah Sehun yang bersuara tadi.

"Jangan cari dia. Biarkan dia sendirian." ekspresi yang dikeluarkan Sehun bukannya raut sedih atau apa, terkesan datar dan seolah tidak peduli akan hilangnya Luhan.

Mereka yang lainnya juga mendadak lupa bagaimana eskpresi Sehun yang tidak pernah berubah dalam keadaan apapun. Untuk itulah emosi mereka sedikit terpancing.

"Maumu apa sih, Sehun?! Luhan menghilang dan seolah kau bertindak ttidak peduli padanya? Apa kau tidak khawatir dengannya? Demi Tuhan, jika jawabanmu iya, aku benar-benar akan membunuhmu!" Minseok berujar dengan lantang, matanya memantang Sehun untuk menatapnya. Memperlihatkan kilatan amarah yang tersirat dalam diri Minseok untuk sikap acuh Sehun.

"Unnie!" tahan Yixing saat melihat gerakan Minseok yang akan melayangkan tamparan pada Sehun. "Ini tidak akan selesai jika kau emosi seperti!" akhirnya Minseok bisa meredam emosinya. Perempuan itu bisa duduk tenang di samping kekasihnya.

Mata elang Yifan menatap tajam laki-laki di depannya. Dia tidak bisa menyembunyikan bahwa dia juga marah terhada sikap Sehun.

"Apa yang membuatmu berhenti?" sungguh, Yifan penasaran sekaligus ingin tahu seberapa besar kepedulian Sehun pada Luhan.

Sehun mendesah lalu menatap semua mata yag memandanginya penuh tanya.

"'Jangan cari aku, jangan meminta alasan padaku', bukankah itu artinya dia tidak ingin dicari? Mungkin… dia butuh waktu berpikir. Ya, berpikir..." bukan seperti memberi pernyataan, malah terdengar seperti keraguan atas alasan yang tidak pasti.

Sehun sendiri juga tidak yakin, tapi dia percaya pada Luhan.

Yifan menampilkan senyum yang samar lalu semuanya bernafas lega mendengar jawaban dari Sehun. Jongdae yang pertama mengambil kesimpulan.

"Baiklah. Kita percaya pada Luhan Noona kan? Lebih baik kita beristirahat dua hari saja. Jika tidak ada kabar apapun dari Luhan Noona, kita bisa bicarakan ini dengan Paman Xi; kita tidak ingin keluarganya di Beijing khawatir."

Semuanya setuju dengan apa yang diusulkan Jongdae.

Sedang Yifan menyimpan senyum dibaliknya.

Menarik sekali…


.


"Tolong urus semua, Yongguk Hyung. Aku tahu kau bisa mengatasi semuanya." ya, panggilan terakhir sebelum speaker bandara mengumumkan nomor pesawat yang akan ditumpangi Sehun persiapan lepas landas 30 menit lagi. Lelaki berkulit pucat ini bergegas merapikan ransel dan kopernya.

Kemana dia akan pergi?

Tentu saja kota pertama yang akan ia kunjungi yang berhubungan dengan Luhan; Beijing dan bertamu ke rumah orangtua perempuan itu.

Bukan hal mudah sebenarnya. Apalagi dalam kasus ini Luhan tidak bersamanya. Perempuan itu menghilang dengan jejak kakinya yang terhapus sempurna oleh alam.

Urusan di kantor dia bisa mengandalkan Jonghyun dengan imbalan rekomendasi jabatan. Yang penting dari ini semua adalah Xi Luhan.

.

Dua jam penerbangan Incheon-Beijing bukanlah perkara mudah. Dalam waktu sesingkat itu, lelaki ini harus mempersiapkan mental dan kemungkinan yang akan terjadi.

Selepas keluar dari bagian imigrasi, Sehun disambut oleh Song Qian –sepupu Zitao yang berbaik hati memandu Sehun jika yang hanya bisa sedikit berbahasa Mandarin. Sehun bisa menyewa penerjemah, sebenarnya. Tetapi bantuan dari orang terdekat bukankah menjadi kemudahaan?

"Noona, tolong jangan beritahu Zitao jika aku ke Beijing dua hari ini." pinta Sehun saat mobil mini Qian melaju diantara jalanan sibuk kota Beijing.

"Tenang saja. Kau bisa mempercayaiku. Tumben sekali kau ke Beijing. Ada hal penting apa?"

Lelaki ini tersenyum simpul. "Noona tahu Xi Gaoshu?" pertanyaan kecil dari teman sepupunya ini membuat kening Qian berkerut.

"Aku tahu siapa dia. Politikus besar dari masaku remaja sampai saat ini namanya masih belum tenggelam. Baru-baru ini kudengar dia mendapatkan fitnah. Memangnya apa urusanmu dengan politikus tua itu?"

"Antarkan aku kesana, Noona. Aku ada perlu dengan puterinya."

Qian ingin tertawa. "Ayolah, Sehun. Kau ini kekasih puterinya atau–"

Ganti Sehun yang tertawa. "Aku memang kekasihnya. Kekasih puterinya, koreksi lagi."

"–kau hanya… YA?!" sungguh, Qian tidak menyangka sama sekali.

Puteri politikus terkenal China dengan (calon) Wakil Direktur perusahaan di seluruh Asia. Bagi Qian, tidak ada yang menghebohkan lagi selain masalah perjodohan rumit sepupunya.

.

.

Sehun sudah berada di depan kantor besar tempat ayah Luhan bernanung. Tidak mudah menemui politikus besar dan berpengaruh. Orang-orang berbadan besar dengan pakaian serba hitam itu selalu berada didekat si politikus.

Dan dia tidak ingin menyerah begitu saja. Walupun dia punya derajat yang sama tinggi, sejujurnya sih.

Dengan berhasil mengelabui resepsionis dan tetap ngotot untuk bertemu politikus Xi Gaoshu, Sehun akhirnya mendaptkan jam kosong beliau dan dapat menemuinya.

Setengah jam lagi antara break rapat mingguan beliau sebelum dilanjutkan jadwal pertemuan lainnya.

Lelaki ini menunggu dengan gelisah.

Bagaimana jika mereka –orang tua Luhan– belum mendengar kabar hilangnya Luhan? Bagaimana jika selama ini perempuannya tidak bersembunyi di Beijing? Bagaimana kalau… Luhan tidak ingin bertemu dengannya.

Pertanyaan terakhir bagai mimpi buruk yang paling mengenaskan bagi Oh Sehun.

Qian lebih dulu pulang dengan meninggalkan Sehun yang menunggu sendirian.

Tidak lama, pintu kayu terbuka lebar dan banyak sekali petinggi besar yang keluar seperti para murid yang selesai dengan jam belajar mereka. Sehun ditemani laki-laki yang mengaku sebagai asisten Tuan Xi, menuntun Sehun memasuki ruangan beliau.

Awalnya, nyali begitu ciut padahal kesempatan emas sudah berhadapan dengannya. Mengingat ini perkara luhan, nyali yang hilang itu kembali menguat. Ketukan pintu dua kali Sehun layangkan hingga mendapatkan respon untuk masuk.

Pandangan pertama adalah Tuan Xi dengan gurat lelah dan kacamata yang menggantung di pangkal hidung. Terlihat seperti Luhan dalam versi laki-laki dan tuanya.

"Ada apa anak muda menemuiku?" beruntungnya, Tuan Xi dapat lancar berbahasa Inggris.

"Aku ingin berbicara mengenai puterimu, Tuan Xi."

"Perkara Luhan, maksudmu?" mendengar nada oktaf yang mendadak naik itu kembali membuat Sehun mengkerut di tempatnya berdiri. Tuan Xi ikut berdiri dari kursi kerjanya dan beranjak menuju sofa yang disediakan khusus tamu. Beliau mempersilahkan Sehun yang sebelumnya terlihat ragu.

"Kau bertanya tentang hilangnya kabar Luhan; begitu?"

Dan dugaan Sehun benar; pasti Luhan bersembunyi di Beijing. Buktinya, ayah Luhan tahu tentang hilangnya kabar bagi kenalan puterinya di Korea Selatan.

"Aku tahu kemana puteriku karena aku adalah orangtuanya yang pertama kali harus tahu masalah apa yang dihadapi puteriku satu-satunya. Tapi aku juga tidak ingin menutupi kalau aku ingin memberitahumu." ujar Tuan Xi seraya menyeduh teh yang dibawakan sekretarisnya.

Memberitahu Sehun?

Kenapa?

"Apa alasan anda ingin membertitahu saya? Ini pertama kali anda bertemu dengan saya, juga ada Minseok-ssi atau Yixing-ssi yang bisa anda beritahu lebih dulu."

Tuan Xi tertawa pelan. "Aku tahu mana yang terbaik untuk puteriku. Apa kau berpikir aku tidak tahu hubunganmu dengan Luhan-ku?"

Mendadak Sehun menjadi gagap. "A-ah… itu. Tuan Xi, aku–"

"Tidak apa-apa, Oh Sehun-ssi. Ngomong-ngomong, Luhan sudah menebak kau akan menemuiku atau istriku jadi dia menitipkan sesuatu untukmu padaku. Kau mau tahu keberadaannya?"


.


Dan Sehun tidak pernah setegang ini rasanya.

Jam makan siang seharusnya menjadi jam santai bagi karyawan kantor manapun. Tapi bagi Yifan, selagi dia berada di kantor, semuanya adalah jam sibuk. Hanya ketika dia menapaki lantai apartemennya disambut Zitao adalah waktu santai untuknya.

Kakinya yang panjang seperti hapal ia harus kemana tanpa otak olah lebih dulu. Pintu kaca yang gelap berpinggiran kayu mahoni yang kuat itu menjadi tujuan Yifan. Ia mengetuk pintunya dan disambut pria yang pantas disebut 'Paman'.

"Apa Tuan Yiwei ada?" sebuah formalitas baginya. Di kantor tidak ada hubungan keluarga. Ia harus bersikap profesional.

"Tunggu sebentar. Beliau mengoreksi laporan dan beberapa proposal. Kuharap sepuluh menit bukanlah waktu yang lama bagimu." ucap pria yang sudah menjadi sekretaris ayahnya saat usia beliau masih sangat muda –dan Jongdae juga sekretaris nomor keberapa untuk membantu 'Paman'. Dia tahu bagaimana Yifan dan ayahnya. Jadi lelaki ini tidak perlu repot-repot memasang topengnya lagi.

Sepuluh menunggu dihabiskan dengan duduk dan bernafas, ayahnya keluar dari ruangan laknat –yang sebentar lagi ia diami– dan mengikutinya duduk di sofa. Yifan memberi hormat singkat sebelum akhirnya ia ikut duduk.

"Kau bahas apa lagi, Yifan?"

"Sebulan ini saya tidak mendapatkan teror dari reporter tempo waktu lalu. Kurasa, anda sudah menghapus semua bukti dan juga membuat manipulasi media. benar 'bukan?" tanya Yifan.

Jangan heran. Kita hidup di jaman serba uang. Hanya hal kecil seperti uang dalam nimonal banyak untuk menyuruh media tutup mulut; apalagi bagi orang-orang besar seperti mereka.

"Ya. Ini juga dengan bantuan Sekretaris Kang. Apa kau ingin membawa pulang Luhan? Tapi aku tidak tahu perempuan itu mau injak kaki ke Seoul lagi atau tidak. Imej-ku sudah terlalu buruk di matanya."

Yifan tersenyum simpul. "Maafkan saya. Harusnya anda tidak melakukan ini demi saya."

Yiwei memiliki senyum yang serupa dengan Yifan; seperti kaca dan bayangan. Tangan tua yang berkerut itu menepuk pelan pundak putera satu-satunya. Replikanya dalam generasi berbeda.

"Kau adalah puteraku satu-satunya. Hidup terpisah delapan tahun membuatku kehilangan banyak pertumbuhanmu, Yifan. Biarkan aku menebus kesalahanku padamu dan ibumu dengan membantumu semampuku dan kesempatan yang kumiliki untuk hidup."

"Terima kasih banyak, Baba." satu lontaran yang sangat jarang Wu Yiwei dengar. Biasanya, puteranya selalu memanggilnya secara formal baik itu di perusahaan, pesta antar rekan ataupun santai saat di rumah.

Pria tua itu segera bangkit karena Sekretaris Kang sudah mengingatkan jadwal selanjutnya.

"Segera luruskan masalah ini. Aku tidak ingin ada yang dendam dan malah memunculkan konflik baru, Yifan."

Laki-laki jangkung itu berdiri dan memberi hormat. "Segera saya laksanakan. Semoga perjalanan anda menyenangkan."

"Aku pergi dulu."

Pria tua yang hanya setinggi pundaknya itu berlalu diikuti Sekretaris Kang. Yifan diam-diam sangat berterima kasih pada ayahnya.

Ponsel miliknya bergetar dan layarnya mengedipkan nama Zitao berulang kali. Senyum yang lebar tanpa sadar terkembang. Tanpa ragu lagi, Yifan memilih opsi gagang hijau.

"Halo, Zizi? … Kau ingin makan siang bersama? Oke, aku jemput sekarang."

.

.

Dua hari setelah skandal itu mencuat dan menggegerkan kaum Hawa yang memuja si penerus pimpinan perusahaan terbesar di Asia; Wu Yifan.

Ponsel Sekretaris Yifan terus dibanjiri spam e-mail yang menyuruhnya untuk memberikan alamat e-mail atau nomor telepon atasannya karena ada urusan mendesak. Tentu saja lelaki jangkung ini tidak bisa diajak bermain. Dengan teknologi canggih, si pelaku spam akhirnya diketahui seorang reporter di surat media cetak yang cukup tersohor di Korea Selatan.

Bukti yang ditunjukkan serta hasil dari penyelidikan masa lalu Yifan dengan perempuan yang terpotret itu –Xi Luhan. Seperti tahu bagaimana masa lalu Yifan; mengancam akan menyebarkan berita jika dia ada imbalan yang memuaskan.

Percuma saja. Yifan tahu otak para reporter jika kehabisan uang imbalannya. Mereka akan tetap menyiarkannya seberapa besar imbalan yang pihak korban berikan.

Yifan tidak bisa mendekati Luhan, menghubunginya lewat perantara apapun adalah hal percuma. Ditambah cacatan bahwa Luhan si keras kepala ulung membuat Yifan kerap kali mengurungkan niatnya.

"Aku akan membantumu, Yifan." itulah kata ayahnya saat pria tua itu masuk ke ruangannya untuk berbicara masalah yang bisa berimbas dalam perusahaan dan nilai saham mereka juga. Yifan tidak bisa berkata apapun dan ia kira ide dari ayahnya lumayan juga.

"Kalian tidak bisa bersembunyi. Aku tahu segala jenis tempat persembunyian para pelaku skandal karena aku sudah menjadi reporter selama tujuh belas tahun." ejek yang reporter kala itu saat Yifan menahan emosinya untuk tidak memberi bogeman mentah di rahang pria paruh baya tersebut.

Ya, Luhan harus keluar dari Korea Selatan. Kalau bisa menghindar dari Beijing karena kota itu tempat pertama yang didatangi jika di Korea Selatan tidak ditemukan sama sekali jejaknya. Luhan harus menghilang sementara demi menghindarinya kehadirannya yang akan menambah bukti lainnya. Ketika Luhan sudah keluar dari Korea Selatan, para bawahan ayahnya melacak semua bukti dan hal sekecil apapun menyangkut tentang Yifan atau Luhan.

Jikapun reporter itu tahu hasil penyelidikannya dihilangkan, ketika akan mengumpulkan bukti lagi pun tidak bisa. Pelaku utama tidak ada di Korea Selatan, bukti nyata semuanya tersegel rapi dan sebagian terhapus secara permanen. Narasumber dari masa lalu mereka pun sudah melakukan negosiasi untuk melakukan perlindungan korban dan menjadi narasumber yang berasaskan hukum –yang tidak sepatutnya mengumbar secara gamblang pada wartawan asing selain jaksa atau pengacara.

Yifan tidak bisa membayangkan bilamana Luhan masih di Korea Selatan dan berita tersebut tersebar luas. Dia tidak ada masalah dengan nilai sahamnya jatuh karena beberapa waktu berikutnya bisa dibangun dari awal.

Luhan yang jadi masalah. Luhan sudah puluhan tahun menetap disini, seharusnya dia tahu bagaimana komentar nettizen. Meskipun Yifan bukan publik figure, posisinya dan anugerah yang terdapat padanya itu menarik perhatian kaum Hawa di Asia.

Tidak hanya komentar netizen, media lokal yang terkadang memberi 'bumbu yang salah' pada artikel mereka pun mungkin akan menambah daftar runyam.

Ia tidak masalah jika itu terjadi dan ia akan segera mengambil jalur hukum.

Tapi, berita buruk akan selamanya tertanam di hati yang mengetahuinya.

Selamanya pun Xi Luhan dicap sebagai penggoda atasan sekaligus mantan kekasih yang tidak tahu diri dan Yifan akan mendapatkan imbasnya sebagai lelaki brengsek.

Lebih baik mencegah sebelum terjadi. Itulah yang dilakukan Yifan saat ini. Tanpa memberitahu kelima temannya yang lain –terutama Sehun. Lagipula, dia ingin sedikit bermain dengan Sehun. Untuk mengelabui musuh, kita juga harus mengelabui orang teman.

Yifan hanya ingin tahu; seberapa seriusnya anak itu hanya untuk sekedar bermain atau lebih berpikir jauh lagi.

Yah, dunia tidak mengerti bagaimana jalan pikir pasangan Ayah-Anak yang selalu saja menemukan solusi rumit. Seperti apa yang Wu Yiwei katakan; sebentar lagi Yifan harus melepas pakaian pertunjukkannya untuk berganti pakaian yang lebih menjadi dirinya lagi. Semuanya agar tidak terjadi kesalah pahaman.

"Halo, Joonmyeon? Bisa nanti malam kita bertemu; membahas tentang Luhan? … Ya, semuanya. Kita berkumpul di apartemenmu lagi saja. Aku akan bersama Zitao …. Oke."

.

.

xx

.

Tentu saja, malam itu semuanya berkumpul. Mendengarkan cerita dan rencana Yifan dari awal sampai akhir. Minseok dan Yixing tidak ingin percaya, tetapi selanjutnya ketika mereka mendnegar alasan Yifan melakukan semuanya dibalik ketidak tahuan mereka, barulah mereka ingin percaya sekaligus memberi Yifan sedikit kepercayaan untuk menanggung semua akibat.

"Brengsek kau, Yifan! Andai saja dari semula kau mengatakan ini pada kami, tentu sebulan ini kami tidak panik. Sialan!" umpat Minseok. tetapi ia harus mengakui rencana Yifan cukup matang dan minimal resiko bahwa skandal itu akan dibawa kembali di lain waktu.

"Maaf. Aku harus menyembunyikan semuanya sampai benar-benar bersih. Bahkan sampai catatan visa Luhan. Aku tahu, diawal hari dia menghilang memang dia sempat mengatakan akan ke Beijing selama 3 hari. Seterusnya pun aku tidak tahu." aku Yifan.

"Jadi, intinya Luhan masih belum ditemukan? Tidak ada yang tahu sama sekali termasuk kau, Yifan Hyung?" tanya Jongdae dramastis.

Semuanya diam.

Sehrausnya jika masalah sudah mereda dan akarnya sudah dicabut, Luhan bisa memberikan kabar untuk mereka. Setidaknya biarkan mereka tahu Luhan memiliki hari menyenangkan.

"Ngomong-ngomong, aku tidak tahu kemana Sehun sampai tidak ada disini. Dia belum tahu kan?" tanya Minseok.

"Oh. Aku dengar dia terbang ke Beijing dari Jonghyun Hyung." celutuk Jongdae sebagai jawaban atas pertanyaan Minseok.

Semuanya diam lalu menatap penuh ke arah Jongdae. Terutama Minseok; dia ingin sekali mencincang tubuh Jongdae.

Sedangkan si korban hanya menaikkan sebelah alisnya sembari memasang wajah tak berdosa. "Apa?"

"DASAR BODOH!" teriak semuanya –tak terkecuali Yifan.


.


Hamparan langit biru bersama gumpalan kapas putih dari uap air adalah objek pertama saat Luhan membuka kelopaknya dan disuguhi pemandangan di balik jendela.

"Tidur nyenyak?" suara laki-laki yang duduk di sebelahnya membuat Luhan sedikit berjengit kaget.

"Henry-ge!" dan laki-laki yang namanya disebut hanya terkekeh kecil.

"Kau tidur nyenyak sekali. Menurut jadwal, pesawat kita mendarat satu jam lagi, lho." Henry mengingatkan dan perempuan itu mengangguk mengerti.

Selama ini, ia tidak mengerti kenapa ia harus mengikuti permainan Yiwei. Kasus Ayahnya jelas karena murni dari anggota partai lawan ayahnya –bukan sebuah kejadian yang sengaja dibuat.

Dan pertanyaan besarnya terjawab ketika salah satu e-mail dari tangan kanan Wu Yiwei masuk dalam inbox-nya.

Sebentar lagi… sebentar lagi dia punya alasan untuk kembali–

–untuk kembali ke hadapan Oh Sehun dan memberitahukan lelaki itu bahwa ia sangat merindukannya.

Bagaimana tentang Oh Sehun sekaligus teman-temannya? Akankah Sehun benar-benar mencarinya yang hilang? Menjadi gila dalam sehari karena tidak menemukannya?

Akankah… Sehun memiliki sandaran yang lebih baik lagi hingga melupakannya? Ada banyak pertanyaan kecil tentang Sehun disamping pertanyaannya tentang rencana Wu Yiwei.

Luhan tidak menyesal mengikuti alur permainan Oh Sehun. Cara ini bahkan lebih ampuh daripada harus berdekatan dengan pria manapun hingga membuat lelakinya cemburu.

Tetapi yang sangat ia takutkan seteah kembali ke Seoul, Sehun memiliki sandaran lain; memiliki seseorang yang membuat ia lebih nyaman lagi ketimbang Luhan.

Ia tidak mau itu.

Lagu yang terus saja terputar tiada henti semenjak penerbangan mereka lepas landas. Hamparan langit biru dan dibawah sana hijau daun pepohonan hutan menambah kesejukan tersendiri untuk hatinya yang sedang tidak menentu.

.

Fly the ocean in a silver plane
See the jungle when its wet with rains
Just remember till you're home again
Or until I come home to you
You belong to me...

[Carla Baruni – You Belong to Me]

.

.

xx

.

Henry tengah sibuk berdiskusi bersama wanita Perancis mengenai gedung yang akan dijadikan pameran potret hasil karyanya yang menakjubkan.

Sedang Luhan menunggu gelisah. Sesekali melirik ke arah pintu. Apakah akan datang? Apakah akan ada yang mengenalinya? Wajar saja, semenjak dirinya pergi, perempuan Tiongkok ini sengaja mengganti warna rambutnya dengan blonde platina dan juga memakai bingkai kacamata. Sangat bukan dirinya sekali.

Tidak lama, pria bertubuh tegap dan serba berpakaian hitam itu masuk lalu berjalan mendekatinya. Luhan sudah antisipasi. Sedang Henry yang kebetulan saja melihat pria serba hitam itu mendekati Luhan malah menjadi waswas.

"Xi Luhan-ssi?"

"Ya, itu namaku."

"Bisakah kita berbincang di tempat lain? Yang lebih privasi."

Luhan berpikir panjang setelahnya mengangguk setuju. "Boleh. Dimana itu?"

Dan Henry hanya bisa melihat Luhan meninggalkan gedung pameran bersama pria kekar itu. Dia tidak mencoba menahan Luhan ataupun menyuruh pria itu untuk segera pergi.

Luhan jauh lebih rapuh dari perkiaraannya. Saat mereka masih remaja, dia bisa melihat ekspresi Luhan yang menggebu-gebu karena akan berkelana ke negeri orang tanpa bantuan orangtua di umur yang dini.

"Ini akan jadi pengalaman yang terbaik seumur hidup, Henry. Kau juga harus memiliki mimpi yang menakjubkan!" Kalimat Luhan sebelum terbang ke Korea Selatan memberinya inspirasi untuk terus menjadi fotografer handal. Luhan juga yang mengajarinya bahasa Korea dengan baik meskipun hanya menginjakkan kaki sebentar di Negeri Ginseng untuk urusan pekerjaan. Sangat jarang untuk bertemu Luhan.

Kira-kira lima tahun yang lalu, Luhan bukan lagi gadis remaja yang penuh impian dan harapan. Dia hanya perempuan dewasa yang mencoba berpikir logis akan dunia juga melepas rasa sakitnya akibat kematian Puteri dan ditinggalkan lelaki yang dipercayainya. Henry tahu masa lalu Luhan, karena memang dia sempat mendengar berita Luhan melahirkan puterinya tanpa ayah.

Dan sekarang, sebulan lalu saat dirinya baru selesai menggelar pameran koleksi fotonya di Beijing, Luhan datang ke rumahnya. Bersama koper dan juga segudang cerita untuk dibagi. Seperti mereka masih kanak-kanak, Luhan akan merengek untuk diikutkan dalam Tur Pameran fotonya keliling Negara Eropa.

Mungkin saja, pria itu adalah informan yang bisa memberi tahu Luhan apakah dia bisa kembali ke Seoul atau tidaknya. Semoga saja, lelaki yang didamba Luhan mampu bersikap jantan.

"Permisi, Tuan Lau. Anda harus mengoreksi bagian timur gedung untuk kecocokan penempatan foto."

"Baiklah, tunggu sebentar."

.

.

Perempuan asli Beijing ini beberapa kali membuka halaman kertas yang dijadikan satu dengan klip kertas. Ya, dia sudah mendengarkan rencana Yifan dan ayahnya dibalik keperegiannya ke Beijing. Mulai dari masalah skandal hingga disangkut pautkan dengan alasan pribadi Yifan sendiri.

Cangkir Latte yang hampir habis dan lagu French Pop menggema di seluruh sudut café yang mereka kunjungi. Pria kekar itu bernama asli Jung Yunho –tangan kanan sekaligus orang keperayaan Wu Yiwei dalam mengatur perusahaan– menerima amplop coklat yang diberikan kembali padanya.

"Kenapa Tuan sampai repot mengatakannya padaku. Padahal, pria itu bisa menyuruh bawahan yang lain; maksudku, posisinya lebih bawah dari Tuan."

Yunho malah tersenyum tipis setelah mendengar pertanyaan Luhan. "Karena masih rahasia. Karena aku tangan kanannya, maka aku yang diberi amanat untuk menyampaikannya padamu."

Luhan kembali memasukkan semua dokumen bukti yang akan diajukan ke pengadilan sebagai kasus pencemaran nama baik kepada wartawan yang mencoba menggali bukti demi turunnya saham Perusahaan Keluarga dan juga nama baik Luhan yang ikut tercemar.

"Padahal yang tahu saya pergi ke London dan sekarang ada di Perancis hanya orangtua dan sepupu saya. Anda hebat juga menggali informasi." entah ini berupa sindiran atau pujian, Luhan hanya tidak menyangka teknologi benar-benar secanggih itu. Padahal dia juga sudah mengganti ponselnya dan juga menghapus semua media yang bisa menunjukkan keberadaannya.

"Tidak juga. Wartawan itu masih keukeuh untuk melaporkan penyelidikannya, padahal bukti sudah kami hapus –baik yang secara permanen maupun masih kami simpan untuk jaga-jaga. Wartawan itu hanya menggongongg saja karena ketahuan buktinya sudah lenyap. Kita tinggal menunggu waktu saja sampai pengadilan memanggilnya untuk sidang atas kasus pencemaran nama baik dan saya sebagai wakil untuk pihak Nona dan Tuan Yifan. Sebelum itu, Anda tidak boleh pulang terlebih dulu ke Seoul sampai masalah ini tuntas."

Dia sudah merasa senang akan bisa kembali ke Seoul, bertemu teman-temannya. Dan juga satu orang lagi yang setiap kalinya menjadi objek utama dari semua kecemasannya; Oh Sehun.

"Untuk berjaga-jaga saja. Sebaiknya anda membuat e-mail baru lagi dan tolong hubungi saya segera agar Anda bisa tahu kelanjutan sidang besok."

.

.

xx

.

Luhan mengeluh; kenapa Henry suka sekali mie instant dan bir kalengan? Padahal lebih mudah jika dia membelikan makanan dari restoran untuk take away.

"Masakan Perancis tidak terlalu cocok untuk lidahku." komentar lelaki berpipi tembam itu setelah mendengar usulannya

Dia harus repot-repot ke minimarket dekat sini hanya untuk membelikan yang sepupunya pinta. Dasar, kalau sudah bersama pekerjaannya, Henry susah sekali untuk mengerjakan pekerjaan lain seperti mengisi perutnya sendiri.

"Aish, kenapa pakai jatuh segala?!" Luhan memberenggut saat ada seseorang yang menabraknya dan kantung belanjaannya jatuh berserta isinya berserakan.

"Pardon," ucap si pelaku lalu segera berlalu tanpa berniat membantunya.

"Dasar! Tidak tahu orang kesusahan apa?!" gerutunya. Setelah selesai, Luhan buru-buru pergi. Henry pasti marah Luhan terlalu lama membeli mie instant.

.

.

Sehun hanya mengikuti petunjuk Ayah Luhan. Dia nekat mengambil cuti panjang yang berarti itu akan merepotkan Yongguk dan lainnya untuk mengambil alih pekerjaannya.

Setiba di Bandara, ia langsung menuju hotel yang sudah ia pesan terlebih dulu untuk menyisakan kamar kosong untuknya.

"Kau tahu Negara dimana kau terdengar seksi?" itulah petunjuk Ayah Luhan. Dia menduga mungkin saja anak perempuan Tuan Xi tengah berkeliaran di kota Paris.

Baegitu sampai di hotel, lelaki ini hanya sekedar check in dan meletakkan kopernya ke kamar lalu menghilang mengelilingi kota Paris.

Kota malam Paris sangat menakjubkan. Cahaya lampu bersama gemerlap bintang di atas menambah kesan tersendiri bagi Sehun. Apalagi keramaian dari para pejalan kaki yang memenuhi trotoar. Setiap kali Sehun melewati café atau restoran, pasti akan tercium bau makanan yang lezat.

Tidak ada waktu untuk sekedar berjalan kaki menikmati pemandangan menara Eiffel yang penuh cahaya atau sekedar mampir di restoran untuk wisata kuliner. Tujuannya disini adalah mencari Luhan; meskipun dengan cara ini kemungkinannya sangat kecil. Setidaknya dia sudah berusaha.

Sehun berniat menyebrang dan mengantri bersama puluhan orang lainnya. Perhatiannya yang tadi hanya terfokus pada lampu jalanan, teralihkan pada bunyi benda jatuh bersama pekikan kecil seseorang. Nyatanya hanya sebuah tubrukan saja. Tetapi, fokus Sehun masih terpaku pada perempuan yang memungut barangnya yang jatuh.

Dia terlihat familiar. Sehun merasa sedang melihat Luhan. Hanya memastikan wajahnya saja untuk tahu apakah itu benar-benar Luhan atau bukan. Tapi, dia ingat Luhan memiliki rambut cokelat madu, bukan blonde platina.

Sehun semakin mempertajam penglihatannya tatkala perempuan itu mencoba menyingkirkan rambut yang menghalau wajahnya.

Mata Sehun membulat sepurna begitu tahu gadis itu mirip dengan Luhan. Ah, bukan mirip. Tetapi itu memang benar Xi Luhan!

Luhan kembali pergi bersama kantung barang bawaannya bertepatan dengan lampu hijau penyebrang jalan.

"Luhan!" serunya tidak peduli beberapa orang terganggu oleh seruannya.

"Xi Luhan!" sekali lagi dia berteriak sekaligus mencoba mlewati segerombolan orang yang ingin menyebrang jalan. Sayangnya, Sehun terlambat. Begitu sampai pertigaan, dia sama sekali tidak menemukan Luhan; berambut blonde platina yang tengah mengenakan black coat.

Dengan nafas yang masih tersengal-sengal karena dia berlari mengejar, Sehun malah tersenyum tipis. Sekali lagi ia menertawai kebodohannya.

"Ah, bisa saja dia hanya mirip Luhan? Aku benar kan?"

.

.

|| bersambung ||

.

.


.


A/N: Haloo~ semuanya~. Meskipun bulan Syawal udah lewat, tapi nggak ada kata terlambat untuk minta maaf. Aku minta maaf sebesar-besarnya kalau selama ini aku banyak salah baik disengaja atau tidak, baik itu melalui ucapan atau secara tidak langsung lewat fanfic ini/balesan PM. Aku juga sudah menyapa readers di fanfic-ku 'Summer Flu'. Maaf banget telat, bahkan readers-nim ada yg nagih, haghagahag... :v

Ada banyak halangan aku ngelanjutin SLCCM ini. Mulai dari WB's sampe akhirnya kena cedera. Ya, aku berunding sama beta readers-ku sebelum awal puasa itu untuk tentuin gimana endingnya. Sampe akhirnya kena WB's dan kurang feel buat ngelanjutin SLCCM. Baru-baru ini aku kecelakaan pas pulang dari Upacara 17an, cedera pergelangan kaki, seminggu harus di gips. Alhamdulillah, Senin kemarin gipsnya udah boleh dilepas meskipun lukanya masih perlu diperban. Mohon doanya biar cepet sembuh ya. Mohon maaf juga kalo ada typo, fic ini begitu selesai langsung aku publish nggak pake koreksi.

Tinggal 2 chapter lagi nih. Insya Allah, aku bakal cepetin kalo tugas sekolah nggak marathon :D
Kalo udah nyampe 50 stories di docs, saya harus apa? Ada yang tahu nggak? Saya masi awam di FFnet

Thanks to my beloved readers: Re-Panda68 | tiehanhun9094 | Silver Orange | nidahunhan7941 | yehetohorat794 | jdcchan | rikha-chan | Shin jemun21 (Alo Lolo. Ayo bacok aja :v) | KiranMelodi | niasw3ty | ariviavina6 | | NESkyu | khalidasalsa | Lisasa Luhan | younlaycious88 | Oh Juna93 | MeriskaLu | Kim YeHyun | JSS131816 | HunHanCherry1220 | MinGyuTae00 | artiosh | BeibiEXOl | luhannieka | hunrinlu | ramyoon | kimyori95 | HUNsayHAN | chenma | SyiSehun | Hohoho61 | Guest(1) | Guest(2) | lupa login - MugZ | deva94bubletea | RereYunjae Pegaxue | LuluOh | dear deer lulu | dindahe | anisa2000 | whirlwindgirl

See you!