AU, OOC, ANEH, KACAU, BERANTAKAN DAN GAK ENAK DI BACA. (Mengandung kadar sinetron lebih tinggi.)

Naruto © Masashi Kishimoto. Sejelek dan senistanya fic ini tolong jangan benci Pair/Chara di dalamnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Seorang gadis kecil berambut hitam dengan kaca mata kotak bertengger manis di hidungnya yang mancung berjalan melewati gerbang sekolah. Tatapan matanya tanpa eskpresi, sangat berbeda dengan anak kecil pada umumnya. Seragam TK merah dengan bawahan rok kotak-kotak coklat, tas kecil merah muda, dan botol minum merah muda berbentuk kelinci bertengger manis di bahu kanannya membuatnya terlihat semakin imut dan menggemaskan. Sarada Uchiha, nama gadis kecil manis itu. Dia adalah cucu pertama Fugaku dan Mikoto, putri dari Uchiha Sasuke putra bungsu Fugaku dan Mikoto. Gadis kecil kebangaan Sasuke, Fugaku, Mikoto dan semua anggota Uchiha. Dia adalah sosok gadis kecil yang pintar, mungkin karena dia Uchiha. Diusia dua tahun, Sarada sudah bisa mengeja huruf. Diusia yang ketiga tahun, gadis kecil itu bisa membaca dengan lancar, empat tahun, dia sudah bisa bahasa asing walaupun baru bahasa inggris. Diusianya yang kelima tahun, Sarada duduk di bangku TK, sekalipun Sarada pintar, Sarada tetaplah masih anak-anak. Semua anggota Uchiha setuju memasukan Sarada yang ingin cepet sekolah ke Tk, biar gadis kecil itu bisa bermain selayaknya anak-anak pada umumnya. Dia berdiri di luar gerbang sekolah dalam diam, sesekali gadis kecil itu melihat teman-temannya yang dijemput ibu mereka. Mereka tertawa, berlari, dan diomeli ibu mereka. Pemandangan yang membuatnya iri. Kapan dia dijemput ibu seperti mereka? Mungkin tidak akan pernah. Papa bilang, Mama ada di langit. Mengawasi Sarada dari balik awan. Kepala kecil gadis itu mendongak menatap langit, kemudian menunduk menatap ujung sepatunya. Dia bukan gadis kecil cengeng yang suka menangis, tapi... ada saatnya dia merasa...

"Sarada-chan, belum pulang." Kepala kecilnya reflek menengok ke sumber suara. Karin Uzumaki, salah satu guru yang mengajar di Tk Oto, gurunya Sarada. Menatapnya dengan senyum manis dan ramah. Sarada menatap guru cantik berambut merah itu sekilas lalu kembali menatap ujung sepatunya. "Belum."

"Mau ibu antar?" Tanya guru cantik itu dengan suara merdu nan ramah.

"Tidak. Terimakasih sense." Sarada menatap mata merah secantik batu ruby Karin tanpa senyum.

Karin tersenyum canggung dengan reaksi dingin muridnya satu ini, dia mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh gadis kecil usia lima tahun itu lalu mengusap pucuk kepalanya lembut. Sarada diam, tidak merespon sedikitpun kebaikan Karin. Gadis kecil itu menoleh saat didengarnya deru mesin mobil yang tidak asing di telingannya. Karin menolehkan kepala ke arah yang sama. Sebuah mobil Audi Q7, SUV mewah, berhenti tidak jauh dari mereka. Karin sudah dengar tentang papanya Sarada yang sangat, sangat, sangat tampan. Tapi baru ini dia melihatnya secara langsung, tak heran kalau guru-guru bergender wanita di sekolah ini begitu baik dan perhatian pada Sarada, si gadis kecil dingin dan datar. Papanya saja setampan itu. Karin bersikap baik dan perhatian pada Sarada bukan karena itu, tapi karena kabar tentang gadis kecil itu tidak punya mama, dia kasihan. Tapi... kalo papanya Sarada setampan ini, Karin tidak akan menolak bila ditawarkan menjadi mama kedua untuk Sarada. Hei, jangan melihat Karin seperti itu, wanita mana yang tidak tergiur pada laki-laki muda, tampan, kaya pula. Punya anak sepuluh pun bukan masalah. Karin berdehem pelan guna menghilangkan pikiran tidak-tidaknya.

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang baru keluar dari mobil SUV mewah bersetejan jas mahal itu mendekati Sarada yang menatapnya dengan tatapan tanpa eskpresi. Si kecil Sarada hanya mengerjap saat sang papa berdiri tepat di hadapannya.

"Pagi Uchiha-san." Sapa Karin seraya menunduk sedikit rendah.

"Hn." Melirik Karin sekilas Sasuke bergumam. Tatapan matanya kini kembali fokos pada putrinya yang terlihat tidak senang. "Ada apa? Apa ada sesuatu?" Sasuke menepuk pucuk kepala Sarada pelan lalu menoleh ke arah Karin.

Karin tersenyum. "Mungkin Sarada-chan sedikit kesal karena menunggu, Uchiha-san." Ucap Karin tanpa menghilangkan senyum.

"Kenapa Papa yang jemput,"

"Kenapa? Ini hari keenam Sarada sekolah, apa salahnya papa jemput Sarada." Sasuke berjongkok di depan putrinya, mengusap rambut pendek Sarada seraya menatap mata hitamnya. Sarada enggan membalas tatapan Sasuke, dia membuang tatapannya pada anak-anak lain yang pulang bersama ibu mereka. Hampir semua anak pulang dengan ibu mereka, ada juga yang pulang dengan nenek atau babysitter, bukan dengan ayahnya. Sarada iri. Sarada ingin seperti mereka yang pulang bersama Mama, diomeli Mama dan diusap pucuk kepalanya oleh Mama. Sarada ingin Mama yang menjemput, bukan Papa. Ingin rasanya gadis kecil itu mengatakan itu pada Papanya, tapi dia tidak bisa. Sasuke mengikuti arah pandangan Sarada, hatinya tercubit saat menyadari kemana mata hitam bulat itu memandang. Tidak tahu harus melakukan apa, Sasuke menghela napas pendek lalu menatap putrinya yang kini menunduk menatap ujung sepatu mungil miliknya.

Tangan kecil Sarada menggenggam tangan besar Sasuke. Gadis kecil itu menarik tangan ayahnya dengan kepala menunduk menatap tanah yang di pijaknya. "Papa, ayo pulang."

Sasuke menurut. Pria tampan bungsu Uchiha itu berdiri dari jongkoknya. Dia menoleh ke arah Karin dan sedikit menundukkan kepala, pamit pergi, yang dibalas sama oleh Karin. Sasuke tidak mudah bicara, segala sesuatunya dia lakukan dengan tindakan bukan dengan kata.

Sepanjang dalam perjalan pulang Sarada diam menatap luar jendela, membuat Sasuke merasa tidak nyaman. Sasuke tahu, Sarada sama sepertinya, pendiam. Tapi entah kenapa dia tidak suka melihat Sarada seperti ini. Mendekati Sarada, Sasuke mencium pucuk kepala Sarada sayang lalu berbisik. "Mau pergi ke suatu tempat?"

Sarada mendongak menatap Sasuke yang menyandarkan dagu di pucuk kepalanya. "Bukankah papa ada metting?" Gadis kecil itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap Sasuke dengan mata hitamnya yang polos tapi menyiratkan kesedihan.

"Papa bisa mengundur jadwalnya kalau Sarada mau?" Sasuke memberikan senyum terbaiknya untuk Sarada, tapi yang muncul di bibirnya hanya lengkungan tipis.

"Tidak ah, Sarada mau pulang saja." Senyum tipis mengembang di bibir mungil gadis kecil itu. Sarada kembali mengalihkan tatapannya ke luar jendela, menatap hampa berbagai jenis kendaraan yang berjalan di samping mobilnya. Sasuke ikut tersenyum tipis melihat senyum Sarada lalu memeluk tubuh gadis itu dengan dagu bersandar di kepala Sarada. "Ganti baju, nonton kartoon, makan siang, lalu tidur. Biar gemuk seperti kakek Madara." Kata Sarada mencoba membuat lelucon tanpa menoleh menatap Sasuke.

Sasuke terkekeh pelan. "Kakek dengar, kau bisa dicubitnya." Sasuke mencubit pinggang mungil Sarada main-main. Gadis kecil itu tertawa geli, sejenak melupakan rasa rindu dan penasarannya pada sang Mama. "Siapa bilang kakek gemuk? Kakek kurus seperti itu." Sasuke balas membuat lelucon. Sarada kembali tertawa membayangkan kakeknya yang awet muda itu berbadan kurus kering. Pasti lucu. Apa lagi kalau giginya ada dua di depan seperti kelinci. Sarada membayangkan Madara yang kurus tersenyum memamerkan giginya yang hanya tinggal dua di depan, lalu kembali tertawa. Gadis kecil itu membalikkan tubuh memamerkan senyum pada sang Papa. Hati Sasuke menghangat melihat senyum Sarada, tangan pria itu mencubit kecil pipi Sarada membuat gadis kecil itu protes pura-pura tidak suka. Mobil yang semula sunyi kini ramai dengan kekehan geli dan tawa. Ayah dan anak itu mulai menggosipkan Madara, Uchiha paling dingin. Mulai dari mereka berdua membicarakan Madara dan nenek Chiyo, membayangkan nenek kakek itu berkencan, dan membincangkan banyak hal yang membuat mereka satu pemikiran dan menjadi lebih dekat. Sasuke yang dingin bisa menjadi hangat bila bersama Sarada, juga sebaliknya, Sarada pun begitu. Tapi ada saatnya keduanya menjadi muram dan diam saat merindukan satu orang yang sama.

Izuna Uchiha, salah satu Uchiha kembar kakaknya Sasuke. Dia baru pulang dari kantor, hari ini dia pulang cepat, jam empat sore, tidak seperti biasa yang selalu pulang jam delapan malam. Dia berjalan menaiki anak tangga saat ingat pesan Sasuke yang menitipkan Sarada padanya, Sasuke bilang Sarada dalam mood buruk. Pria itu ingin menemani putrinya tapi pekerjaan masih menumpuk, kemungkinan dia akan pulang malam. Izuna membuka perlahan pintu kamar Sarada yang tidak tertutup sepenuhnya. Pria dua puluh tujuh tahun itu memeluk gemas Sarada yang sedang membaca buku di meja belajar dari belakang. Gadis kecil itu sedikit terkejut, lalu menatap malas paman yang sangat usil satu ini. Izuna memamerkan senyum menawannya lalu duduk di bibir tempat tidur, memperhatikan Sarada yang membuka lembar demi lembar buku. Wajahnya kaku sama seperti Sasuke. Batin adik Uchiha Itachi itu geli. "Sara-chan membaca apa?" Sarada menoleh menatap Izuna dengan mata hitam sayu, tidak tajam seperti biasa. "Sara-chan sakit?" Izuna menempelkan punggung tangannya di kening Sarada. Tidak panas. Kening Izuna berkerut bingung, kenapa dengan anak ini?

Sarada mengerjap lalu menjauhkan tangan Izuna dari keningnya. "Tidak paman." Gumamnya seraya menumpuk buku yang tadi dibacanya. Gadis kecil itu mengubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Izuna, menatap Izuna dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. "Seperti apa mama?" Tanya gadis kecil itu tiba-tiba.

Izuna mengusap kepala Sarada, dia tahu Sarada merindukan Sakura. Diapun sama merindukan wanita merah muda itu. "Tidak terlalu tinggi, tidak kurus dan gendut, memiliki rambut merah muda seharum bunga sakura, ramah, murah senyum, menyukai semua makanan manis, dan yang terpenting semua yang mengenalnya menyukai dirinya. Dia wanita paling ramah dan baik yang aku kenal." Izuna mengambil bingkai foto di samping lampu tidur lalu memberikannya pada Sarada. Sarada memperhatikan potret sang papa yang sedang mencium pipi wanita berambut merah muda berperut buncit. Dia tersenyum lalu mengusap foto itu sebelum menatap Izuna yang menatapnya dengan senyuman lembut penuh kasih sayang. Tangan Izuna tidak berhenti mengusap rambut Sarada, rasanya dia ingin menangis bila ingat kejadian itu. "Aku jadi ingin mewarnai rambutku jadi merah muda." Sarada terkikik tanpa melepas pandangan dari foto di tangannya, menatap foto itu dengan tatapan rindu. Uchiha kecil itu lalu mengusap sudut matanya. Kalau boleh, dia ingin sekali di peluk Mama, satu kali saja.

Izuna berdehem rendah saat dirasanya suaranya mulai parau dan bergetar. "Tidak bosan di rumah," Sarada mendongak. "Mau jalan-jalan?" Kemudian mengangguk semangat, menyembunyikan perasaan itu dari Izuna. "Tapi naik motor ya paman?"

Izuna langsung menggeleng. "Tidak boleh, nanti motor paman disita kakek Fugaku, juga diomeli nenek Mikoto." Pria Uchiha tampan itu bergidik ngeri membayangkan wajah murka Fugaku dan Mikoto kalau tau dia mengajak Sarada naik motor. FugaMiko bisa sangat menyeramkan kalau menyangkut soal Sarada, Fugaku akan jadi pria paruh baya tidak berperasaan yang akan menyita semua miliknya, dan Mikoto tidak mungkin berhenti mengomel dua hari tiga malam kalau terjadi sesuatu pada Sarada. Wajar, namanya juga cucu pertama. Cucu kesayangan.

Selama perjalanan tidak henti-hentinya Izuna menghela napas, dia memang tidak berbakat menolak keinginan keponakannya. Mungkin tidak jadi beban pikiran kalau Sarada duduk di depan, bukan di belakang seperti koala kecil yang memeluk pohon besar. Bagaimana kalau Sarada jatuh, dia pasti akan diomeli Mikoto dan motor besarnya bisa dihancurkan Fugaku. Haahh... tak apa kalau motor ini tidak menyimpan kenangan masa SMA, itu bukan masalah, tapi motor ini. "Ah sial!" Umpat Izuna saat motornya berhenti tiba-tiba.

"Ada apa paman?" Kepala Sarada menyembul dari balik punggung Izuna.

"Bensinnya habis." Izuna menengok kanan-kiri mencari pom bensin. Izuna turun lebih dulu lalu mengangkat tubuh Sarada. "Di sana ada pom bensin, kita ke sana." Izuna menatap Sarada dan motornya bergantian, Sarada memakai T-shirt polkadot dengan jeans pendek sebagai bawahan, kemudian menghela napas. Ditatapnya Sarada dengan tatapan bersalah. "Sara-chan tidak apa-apa kan jalan kaki?"

Sarada mengangguk. "Tidak apa-apa paman."

Izuna mengusap rambut Sarada seraya tersenyum. "Hn. Ayo."

Sarada memperhatikan sekitarnya, ini pertama kalinya dia berjalan di trotoan jalan, rasanya menyenangkan. Perhatian gadis itu teralih saat mendengar suara ribut di dekat lampu lalu lintas. Karena penasaran tanpa sadar dia mendekati jalan besar ramai kendaraan, melihat lebih jelas lampu lalu lintas di sebrang jalan meninggalkan Izuna yang sedang mengisi full teng motornya. Mata hitam gadis kecil itu terpaku pada sekumpulan orang di sebrang jalan, lebih tepatnya pada warna rambut mencolok seorang wanita yang sedang membasuh luka di lutut seorang bocah laki-laki dengan air kemasan. Bibirnya terbuka ingin berteriak memanggil mama, tapi tidak bisa. Lidahnya kelu, mata hitamnya memerah dengan senyum mengambang di bibirnya yang mungil. "Sara-chan!" Izuna memeluk Sarada erat dari belakang. Napas pria itu terengah-engah karena habis berlari mendekati Sarada yang sudah menginjakan kaki ke jalan besar. Dia sangat terkejut saat melihat Sarada akan melewati jalan yang ramai hilir mudik kendaraan. "Untung kau baik-baik saja." Helanya lega dengan dagu bersadar di kepala Sarada dan kedua mata terpejam. "Huuft... hampir saja." Gumamnya lagi. Izuna membalik tubuh Sarada menghadap dirinya saat setetes air menitik di lengannya. Sarada menangis tanpa suara, entah karena apa. Cepat-cepat Izuna mengusap pipi chabi gadis kecil itu, dan menatap penuh rasa bersalah tanpa tahu apa yang membuat Sarada menangis. "Sudah, jangan menangis. Maafkan paman." Izuna menggendong Sarada yang menangis, membawa gadis itu mendekati motornya. Lewat bahu lebar Izuna, Sarada mengintip kesekumpulan orang-orang tadi, tapi sudah tidak ada. Mereka sudah pergi, begitu juga dengan wanita berambut merah muda itu. Air mata kembali menitik di pipinya yang pucat.

Sasuke membuka pintu kamarnya malas, penampilan pria itu sudah tidak serapih pagi tadi saat menjemput Sarada. Jas dan dasiya hilang entah kemana, kemeja putihnya kusut dengan tiga kancing atas terbuka. Terlihat jelas lelah dan letih dari wajahnya yang sedikit kusam, pria itu menghela napas lelah sembari berjalan masuk lebih dalam ke dalam kamarnya yang besar. Sejenak, Sasuke memperhatikan Sarada yang duduk memeluk lutut memegang romote TV di atas tempat tidurnya, lalu melihat layar telivisi yang sedang menampilkan film seorang wanita dan laki-laki sedang beradu argumen. "Dia juga putriku! Aku yang mengandung dan melahirkannya!" Pekik wanita dalam film itu sembari memeluk seorang gadis kecil yang menangis. Lawan mainnya mendengus. "Kau meninggalkannya saat dia bayi, pergi dengan laki-laki lain, kau tidak pantas disebut ibu." Ucap sinis laki-laki itu menarik gadis kecil yang menangis tadi. Sasuke ingin menyuruh Sarada mematikan atau mengganti chanelnya, tapi melihat Sarada Yang begitu serius dan seperti menikmati film itu membuatnya tidak tega. Film itu tidak pantas untuk Sarada. Pikirnya. Pria Uchiha itu mendekati tempat tidur, tanpa sengaja matanya melihat album foto berserakan di tempat tidur menampilkan potret bayi mungil yang di rawat Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Sasuke melepas sepatu dan kaus kakinya kemudian naik ke tempat tidur, memeluk seluruh tubuh mungil Sarada. Sarada tidak merespon, gadis kecil itu hanya menatap datar Sasuke sebentar lalu kembali menonton televisi. Sarada berfikir, mungkin hidupnya jauh lebih baik bila Sasuke berbohong tentang Ibunya, ibunya tidak mati. Dia pergi dengan laki-laki lain meninggalkannya dan Sasuke, seperti dalam film. Setidaknya bila seperti itu, dia memiliki sedikit harapan bertemu sang mama. Dipeluk dan dicium.

Sasuke mencium pucuk kepala Sarada dalam pelukkannya, melepaskan rasa rindu pada putrinya yang manis. "Maaf karena pulang terlambat." Bisik Sasuke di pucuk kepala Sarada.

Sarada mendongak menatap Sasuke dengan tatapan tidak terbaca lalu menyandarkan kepala di dada bidang Sasuke. "Papa bohong sama Sarada." Gumam gadis kecil itu.

"Bohong?" Kening Sasuke berkerut bingung.

"Mama masih ada, kan?" Sarada semakin menyusupkan kepala di dada bidang Sasuke.

Sasuke terpaku, memejamkan mata Sasuke menghela napas pelan. Ini pasti pengaruh film itu. Sasuke mengusap kepala Sarada serta mencium pucuk kepalanya, dapat dia rasakan kemejanya basah oleh air mata Sarada. Gadis kecilnya menangis. "Besok, kalau Sarada mau, kita kunjungi Mama."

Sarada menggeleng. "Mama belum pergi, sore tadi Sarada bertemu Mama. Mama masih ada, Papa."

Sasuke hanya bisa memeluk putrinya, membisikkan kata penenang hingga tidak sadar dia pun ikut menitikkan air mata. Sasuke memeluk Sarada lama, menenangkan gadis kecilnya yang menangis merindukan istrinya, sampai gadis kecil itu terlelap dalam pelukkannya. "Papa akan menjagamu, tidurlah." Dia membisikkan kata yang sama saat Sakura pergi untuk selamanya meninggalkannya dan juga Sarada yang baru berusia tujuh bulan. Sarada lahir prematur, dia lahir saat usia kandungannya baru berusia tujuh bulan melalui meja operasi.

TBC...

Izuna Shisui di sini mereka kembar, adiknya Uchiha Itachi, Sasuke bungsu. Madara jadi kakaknya Mikoto (dipelototin). Hashirama, Tsunade, Tobirama kakak adik, Tobirama bungsu.

Ugghh jelek. Lama gak buat Fic, jadinya kaku. Kadar sinetron dalam Fic ini juga sepertinya bertambah. Maaf kak Kuromi, cuma ini yang bisa aku buat. Ultahnya tanggal sebelas, aku publish lebih awal gak papakan? Hehe... nyengir kaku.