Hinata menarik nafas panjang dan juga membalikkan badannya. Naruto tengah menunggu Hinata namun ternyata Naruto harus menahan nafas. Karena kini Naruto tengah melihat Hinata melepaskan satu per satu pakaiannya dari cermin yang ada di depannya. Nafas Naruto tiba-tiba saja memburu.

Pasalnya melihat Hinata melepaskan pakaiannya menimbulkan sensasi lain, walaupun hanya bagian punggung Hinata saja yang kelihatan. Naruto bisa melihat punggung mulus Hinata dan juga bokong Hinata. Semuanya seolah diperlambat apa lagi saat Hinata membuka celana dalamnya. Ini sungguh aneh, apa lagi celana Naruto tiba-tiba menjadi sesak lagi.

"Hinata! Ini semua salahmu!" jerit Naruto dalam hatinya.

.

.

.

.

Peringatan!

Naruto hanya milik om Masashi Kishimoto, aku hanya meminjam karakternya saja.

Pairing NARUHINA

Berhubung Nana baru update, Nana minta maaf kalau readers sekalian menunggu terlalu lama. Bisa jadi dalam fic ini ada typos, ooc yang berlebihan, serta pencampuran Bahasa Indonesia dan Jepang yang tidak beraturan.

.

.

.

Peringatan tambahan, di chapter ini akan bergelimpangan lemon. Bagi yang tidak suka atau merasa di bawah umur silahkan di skip sampai peringatan selanjutnya berakhir.

.

.

.

.

"Sial!" umpat Naruto dalam hatinya.

Naruto melihat semuanya seolah diperlambat. Terutama saat Hinata membuka celana dalamnya. Kewanitaan Hinata terlihat jelas di mata rubah Naruto. Entah apa yang merasuki Naruto sehingga membayangkan ia sedang memasuki Hinata dari belakang. Posisi yang seolah menantangnya untuk melakukan itu.

Penasaran.

Naruto kembali penasaran.

Apa dia bisa memasuki Hinata dari belakang?

Tadinya ia berencana ingin mengerjai Hinata dengan menggodanya. Namun, naasnya malah dia yang menderita karena tergoda kemolekan tubuh Hinata. Padahal tadi ia hanya melihat sebentar karena Hinata dengan cepat menutupinya namun sampai kini masih terbayang.

Hinata segera melilitkan handuk di tubuhnya setelah selesai membuka seluruh bajunya. Dengan gugup ia mendekati Naruto yang sejak tadi merona. Naruto yang melihat Hinata mendekat kini berusaha menetralkan debaran dadanya dan bersikap seolah tidak melihat apapun. Wajahnya pun dibuat bosan.

"Na-Naruto-kun, sekarang bisa berbalik." cicit Hinata memberitahu.

"Hm." balas Naruto membalikkan badannya. Kembali lagi Naruto menahan nafasnya karena Hinata benar-benar menggodanya. Bayangkan saja pipi merona itu dan juga tangannya yang sibuk bermain di depan dadanya yang tertutup handuk.

"Hinata-chan?"

"Iya?" Hinata berhenti beberapa langkah dari Naruto berharap apa yang akan dikatakan Naruto bisa mengulur waktunya untuk berhadapan dengan Naruto.

"Bisa kah kau sekalian mengisi bak mandi dengan air hangat dan menyalakan shower tapi pastikan suhu airnya juga hangat?"

"Baik." Hinata bersyukur karena dengan begini ia bisa menghindari Naruto sedikit lebih lama.

Ah, kau saja yang tidak tahu Hinata. Itu hanya akal Naruto saja agar bisa melihatmu berbalut handuk sedikit lebih lama juga. Buktinya saja mata Naruto terus mengikuti kemanapun Hinata pergi tanpa berkedip.

Pertama Hinata menyalakan keran dan menunggu agar air di bak penuh serta memastikan suhunya hangat. Setelah itu Hinata menyalakan shower dan mengatur suhunya sesuai dengan permintaan Naruto. Lalu dengan kikuk Hinata mendekati Naruto yang kini sedikit merona.

"Um, Naruto-kun buka pakaian du..dulu." Hinata mengingatkan.

Bagaimanapun ini tetap memalukan. Belum pernah Hinata berada berdua di kamar mandi dengan seorang laki-laki. Meskipun laki-laki itu suaminya sendiri. Membayangkannya saja tidak pernah.

"Mumpung kau di sini, bagaimana jika kau yang membukakan pakaianku?"

BLUSH.

Meskipun tergoda Naruto tetaplah Naruto. Ia tetap melanjutkan kejahilannya yang kini membuat pipi Hinata semakin merah.

"Ta..tapi.." lirih Hinata mencoba membantah.

.

.

.

PERINGATAN! ADA LEMON, YANG DI BAWAH UMUR MOHON DISKIP.

.

.

.

"Pokoknya aku tidak mau tahu. Harus istriku yang membuka pakaianku." Naruto menggembungkan pipinya dan melipat tangannya di dada. Hinata menghela nafas panjang. Ia tahu kalau sudah begini Naruto tidak mau dibantah. Dengan berat hati Hinata mengangguk dan disambut cengiran kemenangan Naruto.

Dengan perlahan dan tangan gemetaran Hinata memegang ujung kaos Naruto dan membukanya.

DEG.

Jantung Hinata berdebar lebih kencang. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus.

DEG.

Jantung Naruto juga berdebar lebih kencang. Tangan halus Hinata masih memegangi ujung kaosnya. Desiran aneh mendera kulit Naruto. Dia menjadi lebih sensitif terhadap sentuhan Hinata. Dan entah mengapa hal itu membuatnya panas.

Hinata memantapkan dirinya dan dengan cepat membuka kaos Naruto. Satu hal yang Naruto syukuri ia tidak menderita lebih lama lagi.

Satu detik.

Sepuluh detik.

Tiga puluh detik.

Satu menit.

Baik Naruto maupun Hinata hanya saling diam.

"Hinata-chan?" panggil Naruto.

"I-iya?" jawab Hinata gugup.

"Celanaku."

"Iya?" tanya Hinata tidak mengerti.

"Celanaku belum terbuka. Bagaimana aku mandi?" jelas Naruto.

"Ah, iya." jawab Hinata cepat. Namun ia masih diam dan menunduk. Membuat Naruto gemas dan meraih dagu Hinata menganggkatnya agar Hinata melihatnya.

"Hime, celanaku."

"Ke-kenapa celanamu Naruto-kun?" Naruto tersenyum gemas. Dilihatnya wajah Hinata dengan bibir kecil dan tipis milik gadis itu. Uh, membuat Naruto ingin merasakan bibir itu lagi.

"Kau belum melepaskannya Hime."

BLUS!

Wajah Hinata kembali merona.

"Ta-tapi kan, k-kau bilang tadi ..."

"Aku bilang tadi harus istriku yang melepas pakaianku Hime. Itu artinya semuanya. Bukan hanya bajuku." ucap Naruto cepat memotong ucapan Hinata.

"A-a .." Hinata kehabisan stok kata-kata jadi dia melepaskan pegangan Naruto dari dagunya. Otaknya berfikir mencari-cari alasan yang tepat untuk menghindari masalah ini.

Dengan gemetar Hinata memegang celana Naruto. Perlahan ia membuka kancingnya sampai-,

"Haduk!" ujar Hinata tiba-tiba.

"Handuk? Kenapa dengan handuk Hime?"

"A-ano, Naruto-kun tidak membawa handuk." dengan sorak kemenangan dalam hati Hinata bersyukur tidak jadi melepas celana Naruto.

"Kau benar Hinata-chan. Tapi, handukku di luar."

"Biar aku ambilkan yang baru."

Hinata beranjak menjauh dari Naruto menuju lemari gantung yang berada di sebelah kanan pintu kamar mandi. Dengan sekali gerakan Hinata menggeser pintu lemari gantung itu dan berupaya mengambil handuk yang tersipan di rak paling atas.

"Kenapa tinggi sekali sih." gerutu Hinata dalam hati.

Naruto terkekeh melihat perjuangan Hinata. Hinata berjinjit dan memegang salah satu rak lemari itu. Karena memang tinggi Hinata mencoba meraih handuk itu dengan melompat. Hinata masih berusaha sampai tidak menyadari bahwa lilitan handuknya sudah longgar.

Satu lompatan lagi membuat handuk itu terbebas sepenuhnya dari tubuh Hinata. Membuat Naruto kembali menahan nafas dengan wajah memerah.

"Yes!" seru Hinata berhasil mendapat handuk itu.

Namun sayangnya lantai kamar mandi yang licin dan tidak sigapnya kaki Hinata menapak membuatnya tergelincir. Naruto dengan segara menangkap istrinya sebelum membentur lantai.

Menangkap tubuh mungil istrinya dan tidak sengaja tangan kirinya mendarat tepat di dada kanan Hinata.

BLUSH.

Wajah Hinata merona karena Naruto menangkapnya hingga wajah mereka berpandangan. Sedang nafas Naruto makin memburu karena melihat Hinata dan menyentuh benda kenyal ini.

"Enghh.." desah Hinata saat Naruto meremas dadanya.

1

2

3

4

5

"KYAA!" jerit Hinata saat menyadari ternyata handuk yang tadi melilit tubuhnya ternyata terlepas saat melompat tadi.

Dengan cepat Hinata melepaskan diri dari Naruto dan meraih handuknya untuk kembali memakainya. Ini sungguh memalukan bagi Hinata. Namun, baru saja ia melilitkan handuk tangan Naruto menahan gerakannya.

"Tidak usah dipakai kembali aku sudah melihatnya." ujar Naruto dan melepaskan handuk itu.

"Na-Naruto-kun .."

CUP.

Naruto benar-benar tidak tahan lagi. Sekarang hasrat ingin menjahili Hinata sudah hilang digantikan hasratnya yang menggebu-gebu sejak tadi. Dan tentu saja untuk menghilangkan rasa sesak di celananya yang mendera sejak tadi.

Naruto memagut bibir Hinata dengan panas. Tangannya menarik bahu Hinata agar lebih medekat padanya. Ciuman mereka makin dalam, apa lagi Hinata mengalungkan tangannya di leher Naruto. Sampai kebutuhan oksigen membuat mereka menghentikan aksi panas itu.

Hinata bernafas dengan terengah-engah. Membuat dadanya naik turun terlihat menggiurkan bagi Naruto. Naruto sungguh tidak kuat melihat pemandangan Hinata yang begitu er, menggoda mungkin? Dengan wajah yang merona dan bibir yang basah.

Seringai Naruto keluar.

Kembali Naruto mengulum bibir Hinata dengan ganas. Sampai Hinata sendiri kewalahan. Rasa dingin sedikit menyadarkan Naruto bahwa mereka tidak berpakaian.

Ditariknya Hinata menuju shower. Hinata hanya bisa pasrah dan mengikuti Naruto.

Tes. Tes. Tes.

Air yang keluar dari shower dengan cepat membasahi tubuh mereka. Hangatnya membuat tubuh mereka makin memerah. Naruto menghimpit tubuh mungil Hinata ke tembok untuk mengeliminasi jarak di antara mereka.

Naruto kembali menghabisi bibir Hinata. Menjilat dan menghisapnya dengan pengalaman beberapa jam yang lalu didapatkannya. Mencoba mengaplilkasikannya kembali saat ini.

"Mmmm..." desah Hinata saat merasakan dadanya disentuh oleh Naruto.

Naruto menghentikan ciumannya dan lebih memilih melihat reaksi Hinata yang sedang menikmati pijatan di dadanya. Naruto meremas dada Hinata dengan lembut. Menyentuh seluruh bagian tubuh yang begitu kenyal itu dan terakhir fokus pada tonjolan kecil di puncak payudara Hinata dan menggodanya.

"Ahn.." desah Hinata saat bagian sensitifnya dimainkan oleh jemari Naruto. Ditekan, dipelintir, pokoknya digoda habis-habisan oleh Naruto.

"Kau basah lagi Hinata-chan." ujar Naruto setelah mengecek bagian bawah Hinata.

"Ti-tidak! Aku tidak mungkin ... Hya!" bantahan Hinata berubah menjadi jeritan saat Naruto memasuki Hinata dengan jarinya dan juga menikmati payudara Hinata dengan mulutnya.

"Na..ru...to... Ahn..." desah Hinata dengan kedua tangannya menjambak rambut Naruto. Entah apa tujuannya, mungkin untuk menyalurkan rasa nikmat yang menderanya atau juga sebagai kode agar Naruto melakukan lebih.

Jemari Naruto semakin mudah memasuki Hinata yang basah dan licin. Siraman air hangat dari shower menambah sensasi permainan yang mereka tidak tahu apa itu. Semakin lama cairan Hinata semakin banyak keluar dan Hinata bersyukur karena Naruto tiba-tiba menghentikan siksaannya.

"Hinata-chan?" panggil Naruto pada gadis yang seperti sudah lari berkilo-kilo di depannya.

"I-iya?" jawab Hinata dengan terputus-putus.

"Tolong kau menghadap tembok." Pinta Naruto.

"A..Apa?"

"Menghadaplah ke tembok."

"Ta-tapi untuk apa?" tanya Hinata tidak mengerti.

"Sudah lakukan saja."

Hinata menuruti permintaan Naruto dan menghadap ke tembok walaupun tidak mengerti maksud suaminya itu.

"Sekarang bungkukkan badanmu sedikit."

"Tapi untuk apa?" Hinata memberanikan diri bertanya.

"Aku ingin memastikan sesuatu." Mendengar jawaban Naruto membuat Hinata mengerutkan alisnya. Memastikan apa sampai harus menyuruh Hinata membungkuk.

"Begini?" tanya Hinata membukukkan sedikit badannya.

"Kurang, sedikit lagi." ujar Naruto sambil membuka celananya dan membuangnya jauh ke dekat pintu.

"Begini?" tanya Hinata lagi.

"Masih kurang Hime. Begini." Naruto lalu menekan punggung Hinata hingga mendapatkan pose yang pas.

"Tapi untuk apa aku ha- Ahhhn!" pertanyaan Hinata kembali berubah menjadi desahan saat merasakan Naruto memasuki tubuhnya dengan perlahan.

"Aku hanya i-ingin tahu apakah aku bisa memasukimu dari be-lakang." jawab Naruto terbata-bata karena menahan geraman akibat memasuki Hinata.

"Ta-tapi, ugh, a-aku lelah MPH!" lagi, Hinata mengganti protesnya dengan jeritan saat seluruh milik Naruto sudah memasukinya.

"Tenang Hime. Kau hanya diam dan menikmati sedang aku yang akan melakukan sisanya." bisik Naruto tepat di telinga Hinata. Kemudian dengan jahil Naruto kembali menggoda kedua aset Hinata secara intens.

"Ahnn.. Ka-kau ... Ahh.." protes Hinata disela desahannya.

Karena payudaranya diremas dengan intens oleh Naruto otomatis kewaniataan Hinata bereaksi dengan berkedut. Kenikmatan lebih bagi Hinata karena penis Naruto kini ada di dalamnya. Namun juga kenikmatan tersendiri bagi Naruto yang merasakan penisnya dipijat oleh dinding vagina Hinata yang hangat dan basah.

"Aku kenapa Hime?" goda Naruto yang sudah bersiap memulai aksinya.

"Kau akan ku laporkan pada kaa- HIYAHH!"

Belum sempat Hinata menyelesaikan kalimatnya Naruto langsung bergerak di dalam Hinata.

"Ini menyenangkan Hime. Silahkan lapor jika kau mau. Tapi, aku tidak akan berhenti melakukan ini padamu." guman Naruto sambil terus bergerak.

"Mmphh.. Ahnn.. Na-Naru..." desah Hinata, sekuat tenaga ia menumpukan berat badannya pada tembok agar tidak tergelincir dengan Naruto yang bergerak semakin cepat.

"Tunggu sebentar Hime." Naruto menghentikan gerakannya dan mengeluarkan miliknya dari Hinata. Kemudian Naruto menarik Hinata menghadapnya dan dengan perlahan membaringkan Hinata di lantai kamar mandi yang dingin. Setelah itu dengan cepat Naruto melebarkan kaki Hinata lagi dan memasukinya kembali.

"Auhnn..." lirih Hinata menahan kenikmatan ini. Otaknya sama sekali tidak bisa berfikir jernih. Saat ini ia hanya mengikuti kemauan tubuhnya dan bergerak bersama Naruto. Tidak lupa juga tangannya bergerak ke segala arah untuk menyalurkan perasaanya.

Sementara Naruto sesekali mencuri ciuman dari Hinata sembari bergerak. Menyatukan bibir mereka kembali dan saling menyalurkan hasrat. Sampai akhirnya mereka sampai di puncak kenikmatan mereka masing-masing. Dengan penis Naruto masuk lebih dalam di dalam Hinata dan mengeluarkan semua benihnya di sana untuk kedua kalinya di hari itu.

"Um, Hime. Bagaimana kalau kita melakukannya lagi?" tanya Naruto setelah beberapa menit setelah orgasmenya. Sementara wajah Hinata memerah mendengar permintaan Naruto.

Dan kalian sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya bukan?

.

.

.

.

.

Kushina bersorak riang saat hujan mulai reda. Dengan senyum cerah di wajahnya ia menghampiri ketiga pria yang sedang asyik bermain catur itu.

"Hujan sudah reda, ayo pulang." ajak Kushina pada suami dan besannya itu.

"Hm." respon Minato singkat. Kini ia sedang fokus menonton permainan catur antara Hiashi melawan Kakashi yang semakin memanas. Sejak tadi Kakashi masih menjadi juara bertahan melawan Minato dan juga Hiashi.

"Minato, anak-anak sudah menunggu kita." ujar Kushina tidak menyerah.

"Hm."

"Hiashi, bagaimana kalau Naruto dan Hinata belum makan?" kini Kushina mencoba peruntungannya pada Hiashi.

"Hinata bisa memasak." Jawab Hiashi singkat kemudian menjalankan pionnya memakan salah satu pion Kakashi.

"Bisakah kalian menghentikan permainan kalian?" pinta Kushina dengan lembut.

"Tunggu sebentar sayang."

Perempatan siku kini muncul di kepala Kushina.

"Kita harus pulang sekarang atau hujan akan turun lagi!" kini Kushina menaikkan suaranya beberapa oktaf. Namun ketiga pria itu masih tidak bergeming dan melanjutkan permainan mereka. Mau tidak mau membuat aura hitam dari Kushina keluar.

"Sayang, anak-anak di rumah pasti baik-baik saja. Kau tidak usah kahwatir." Minato berkata sekenanya agar istrinya berhenti kahwatir.

Para pria yang malang. Mereka tidak tahu kalau sudah membangunkan iblis yang tertidur. Dengan gerakan cepat Kushina mengambil papan catur dan menghaburkan semua isinya.

"PULANG SEKARANG ATAU KALIAN KU HAJAR?!" guman Kushina sambil melayangkan tatapan membunuhnya pada Minato dan Hiashi yang seketika menciut karena takut.

"I-iya." jawab kedua pria itu kompak.

"Ne, Kakashi maaf tapi sepertinya kami tidak jadi menginap." Sekarang Kushina menatap Kakashi dengan senyum manis yang entah mengapa malah membuat Kakashi bergidik ngeri.

"Ah, iya." jawab Kakashi sekenanya.

"Kakashi, kami pulang dulu." Minato pamit buru-buru sambil menggandeng Hiashi menuju pintu.

"Minato, kunci mobil mana?" tanya Hinashi gelapan. Ia mencari diseluruh tubuhnya.

"Bukannya di kantongmu?" Minato mengingatkan.

"Tidak! Bukannya ada padamu?!" Hiashi mulai panik.

"Tidak ada juga! Bagaimana ini?!" Minato ikut panik karena tidak menemukan kunci mobil.

BLETAK!

Jitakan maut bersarang di kepala Minato dan Hiashi.

"CEPAT GANTI PAKAIAN KALIAN! KUNCI MOBIL ADA PADAKU!" teriak Kushina pada kedua pria itu karena mereka berdua masih menggunakan kimono rumah milik Kakashi.

"Ba-baik." lirih kedua pria itu serempak dan langsung kabur dari hadapan Kushina.

.

.

.

"Kushina benar-benar menyeramkan." Hiashi bergidik ngeri melepas kimono rumah milik Kakashi hal yang sama juga dilakukan Minato.

"Ssttt, sebaiknya kita cepat. Kau tahu kalau pendengaran Kushina sangat tajam." Minato menatap Hiashi dengan tantapan penuh arti. Seolah berkata.

"Kalau mau selamat bergegaslah."

Hiashi mengangguk seolah mengerti kode mata Minato. Mereka mempercepat pergerakan mereka.

.

.

.

.

Lima menit kemudian Minato dan Hiashi sudah siap di ruang tamu dengan pakaian mereka. Kushina lalu menyambar tasnya dan berdiri menyambut kedua pria itu dengan senyuman mengembang. Sementara Kakashi melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepala.

"Ayo pulang." Kushina lalu beranjak menuju pintu yang terbuka diantar oleh Kakashi.

"Nah, Kakashi permainan catur tadi menyenangkan. Lain kali aku pasti menang darimu." ujar Minato menjabat tangan Kakashi.

"Maaf kami tidak jadi menginap. Lain kali kami pasti akan menginap." Kushina ikut menjabat tangan Kakashi dengan semangat karena akan pulang.

"Aku juga tidak akan kalah lagi darimu Kakashi. Kami pasti bisa mengalahkanmu nanti." Hiashi ikut berbicara sambil menjabat tangan Kakashi.

"Ya, silahkan datang kapan saja. Aku pasti akan menerima kalian dengan senang hati." respon Kakashi dengan senyum dibalik maskernya.

"Seandainya tadi Kushina-chan tidak mengganggu pasti aku sudah menang darimu." Hiashi menyayangkan hal tadi.

"Kita bisa mengulanginya lagi nanti." Kakashi memberikan semangat pada Hiashi yang sedikit kecewa.

"Benar Hiashi, kita akan mengalahkan Kakashi nanti!"

"Sudah, ayo kita pulang anak-anak pasti sudah menunggu." Kushina tidak sabar menunggu para pria itu mengucapkan salam perpisahan yang begitu lama.

"Ia sayang, baiklah Kakashi kami pulang dulu." Minato pamit mewakili Hiashi dan juga Kushina.

"Hati-hati di jalan." kata Kakashi mengingatkan.

"Iya, kami akan hati-hati." jawab Kushina buru-buru ingin pulang.

BLARRRR!

Baru satu langkah Kushina keluar dari teras Kakashi, bunyi halilintar terdengar menggema. Sesaat kemudian hujan turun dengan derasnya membuat Kushina kembali merapat di teras Kakashi dan mematung menatap hujan.

"Ah, sepertinya anda semua akan menginap. Mengingat hujan di saat petang biasanya lama redanya." Kakashi angkat bicara melihat Kushina yang mematung.

"Kita bisa melanjutkan permainan yang tadi." guman Minato bersemangat.

"Benar!" Hiashi ikut bersemangat.

"Silahkan masuk kembali. Saya akan membuatkan makan malam dan menyiapkan kamar untuk kalian." Kakashi kembali mengajak para tamunya masuk.

Kushina masih mematung memandang hujan yang mengguyur dengan derasnya. Membuat Kushina dengan kecewa kembali masuk ke dalam rumah Kakashi berbeda dengan Minato dan Hiashi yang dengan senang hati.

"Maafkan kami Hinata-chan." lirih Kushina kahwatir.

"Sudahlah sayang, mereka pasti akan baik-baik saja." Minato menenangkan Kushina dan mengajak sang istri masuk.

.

.

.

.

.

.

Hinata menatap ponselnya dengan was-was. Sudah setengah tujuh dan belum ada kabar dari Kushina. Hinata sudah menduga jika mungkin orang tuanya tidak akan pulang karena hujan turun dengan derasnya. Padahal tadi hujan sempat berhenti dan Hinata berharap orang tuanya pulang, namun sayangnya hujan kembali mengguyur dengan deras.

"Hinata-chan?"

"Hm?" Hinata mengalihkan perhatianya pada Naruto.

"Kau kenapa?" tanya Naruto yang risih karena sejak tadi Hinata hanya mengaduk-aduk ramennya tanpa memakannya.

"Ah, tidak apa. Ada apa Naruto-kun?"

"Sebenarnya aku ingin tambah lagi." Naruto menyerahkan mangkuk kosongnya pada Hinata.

"Baik. Tunggu sebentar." Hinata beranjak dan menambahkan ramen kembali pada mangkuk Naruto dengan cepat.

"Ini." Hinata menyerahkan kembali mangkuk Naruto yang sudah terisi ramen.

"Terimakasih Hinata-chan." Naruto menerima ramennya dengan semangat. Mereka kembali memakan ramen karena didesak keinginan Naruto yang masih mau menikmati ramem buatan Hinata.

¤ Itsu made doko made nante

Seijo ka ijo ka nante ¤

Ponsel Hinata berdering dan secepat kilat meraih ponselnya dan menekan tombol angkat begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Kushina memanggil.

"Halo." ucap Hinata memulai percakapan. Naruto yang penasaran memberikan isyarat bibir pada Hinata.

"Siapa?" tanya Naruto dalam diam.

"Kaa-san." setelah melihat jawaban Hinata, Naruto kembali fokus pada ramennya.

"Hinata, apa kalian baik-baik saja?" tanya Kushina kahwatir.

"Iya kaa-san, kami baik-baik saja."

"Kalian sudah makan malam?"

"Saat ini kami sedang makan."

"Hinata, kaa-san minta maaf karena kami tidak bisa pulang karena hujan." Hinata mematung. Berita ini sungguh akan membuatnya dikerjai habis-habisan oleh Naruto.

Dari sudut pandangnya Naruto keheranan mengapa Hinata terlihat memucat. Ada kabar apa?

"Apa kalian akan baik-baik saja berdua? Kami akan pulang besok pagi." sambung Kushina.

"Um, kami akan baik-baik saja kaa-san." jawab Hinata berusaha menenangkan Kushina. Meskipun dirinya tahu bahwa ia tidak akan baik-baik saja malam ini.

"Hinata-chan, bisa tolong berikan ponselnya pada Naruto Kaa-san ingin bicara padanya."

Hinata langsung memberikan ponselnya yang diterima oleh Naruto dengan tanda tanya.

"Ada apa?" bisik Naruto.

"Kaa-san ingin bicara padamu." jelas Hinata. Naruto mengangguk mengerti.

"Halo kaa-san, ada apa?" tanya Naruto menempelkan ponsel Hinata ke telinganya.

"Naruto semua baik-baik saja bukan? Kau tidak melakukan hal aneh pada Hinata? Kau tidak mengerjai Hinata dengan permainan konyolmu?" tanya Kushina beruntun.

"Tenang saja kaa-san, aku tidak melakukan apapun yang membuat Hinata kesal." balas Naruto sembari melirik Hinata. Sayangnya yang dilirik hanya mendengus menolak perkataan Naruto. Mengerjai Hinata di kamar mandi juga sesuatu yang membuat Hinata kesal, mungkin Naruto amnesia mendadak.

"Naruto dengar baik-baik. Kami tidak bisa pulang hari ini. Hujan membuat ayahmu tidak mau menyetir. Kau harus menjaga Hinata. Awas jika kami pulang Hinata tidak dalam keadaan baik." Kushina mengancam serius. Naruto malah mengembangkan senyumnya yang membuat Hinata bergidik.

"Tenang saja kaa-san. Aku akan menjaganya. Hinata-chan kan istriku." balas Naruto bangga desertai seringai tipis.

Entah mengapa, Hinata bergidik ngeri melihat seringai Naruto. Sedikit meratapi nasib berdua bersama Naruto.

"Naruto, awas jika sampai kami pulang keadaan tidak baik. Kami berharap padamu."

"Iya, aku janji."

"Baiklah, besok pagi kami akan pulang. Kalian berdua jaga diri baik-baik."

"Iya, kaa-san." dan setelah itu telepon diputuskan sepihak oleh Kushina. Naruto mengembalikan ponsel Hinata disertai senyuman aneh.

Perasaan Hinata makin tidak enak. Dalam hati Hinata menguatkan tekad untuk bisa mengendalikan Naruto.

.

.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul sembilan dan hujan deras masih setia mengguyur. Hinata sedang asyik membaca novel yang baru dibelinya minggu lalu sedang Naruto memainkan smartphonenya. Keadaan mereka hening karena sibuk dengan urusan masing-masing. Hening masih terus berlangsung sampai Naruto merasa kesal dengan keadaan ini.

Mendengus pelan, Naruto meletakkan ponselnya dan menatap Hinata yang masih sibuk dengan buku disebelahnya.

"Hinata-chan." panggil Naruto manja.

"Hm." balas Hinata tanpa mengalihkan perhatiannya.

"Hinata-chan..." Naruto kembali memanggil Hinata mencoba menarik atensi sang istri.

"Apa?" kini Hinata menjawab namun belum menatap Naruto.

"Apa buku ini lebih penting dari pada aku, suamimu?" Naruto merampas buku Hinata. Ia kesal karena sejak tadi mendapat respon yang tidak diinginkannya.

"Baiklah, kau mau apa?" Hinata mengalah. Ia menjawab dengan sedikit malas.

"Ayo bermain." ajakan Naruto membuat Hinata waspada.

"Um, sudah jam sembilan malam. Sebaiknya kita tidur dulu." Hinata mencari alasan dan langsung menutupi dirinya dengan selimut.

Naruto tersenyum kecil melihat tingkah istrinya. Ia lalu beranjak meletakkan ponselnya dan juga novel Hinata di atas meja belajar Hinata. Agar kedua benda itu tidak mengganggunya kelak. Kembali ke tempat tidur, Naruto lalu membuka paksa selimut Hinata hingga terjadi tarik-menarik.

"Naruto-kun, aku mau tidur."

"Tidak sebelum kita bermain."

"Aku tidak mau main!"

SREKK.

Akhirnya lomba tarik-menarik selimut itu dimenangkan oleh Naruto yang kini mengambil tempat di atas Hinata.

"Jika kau tidak mau mengikutinya, kau akan ku paksa untuk melakukan hal seperti yang kita lakukan di kamar mandi tadi. Ingat?" Naruto memulai rencana liciknya.

Hinata merinding, tentu ia tidak ingin melakukan hal seperti itu. Meski sebenarnya ia suka, tapi sungguh tubuhnya lelah.

"Baiklah, aku akan ikut main." Hinata kembali mengalah.

"Permainannya mudah. Jika kau bisa menahan suaramu agar tidak keluar selama lima menit, kita akan tidur." Hinata bersyukur syarat yang diajukan Naruto cukup mudah untuk dilakukan.

"Tapi, jika kau tidak berhasil. Kita akan melakukan hal seperti tadi." Hinata menimbang-nimbang tawaran Naruto. Meski dirinya sendiri kurang yakin dengan wajah sok polos Naruto.

"Hanya lima menit bukan? Aku setuju." dan Naruto makin melebarkan seringainya.

"Sudah jam sembilan lewat lima. Ingat kau harus menahan suaramu agar tidak keluar. Tidak boleh meski hanya sedikit. Dan setelah lewat sepuluh permainan kita berakhir." Hinata mengangguk mengiyakan. Meski setelah itu ia baru sadar bahwa dirinya tidak akan bisa menang dalam pertandingan ini.

.

.

.

.

.

.

Naruto memulai dengan membelai pipi gempil Hinata dan memberikan kecupan ringan di sana.

"Kau tahu sayang? Bibirmu ini sangat manis."

Kemudian Naruto mengecup bibir kecil Hinata. Menjilatnya sensual lalu menghisapnya rakus.

Sungguh saat itu Hinata menyesal tidak bertanya apa yang akan Naruto lakukan untuk membuatnya bersuara. Kalau seperti ini sudah pasti dirinya akan kalah dan dihajar habis-habisan lagi.

Naruto mencoba memperdalam ciumannya. Memberikan sedikit gigitan yang hampir saja membuat Hinata bersuara. Melanjutkan mengabsen semua gigi Hinata dan merasakan manisnya bibir itu.

Naruto terkekeh melihat raut protes Hinata dengan wajah memerah di bawahnya. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya karena tadi pasokan udaranya dicuri oleh Naruto.

"Ingat loh, kau tidak boleh bersuara Hinata-chan. Jadi, kau tidak boleh protes. Ikuti saja permainanku." dan Hinata hanya bisa membalasnya dengan tatapan tajam.

Naruto melanjutkan misinya untuk membuat Hinata bersuara. Ia mulai menghirup aroma harum Hinata dari ceruk leher yang begitu menggoda. Mengecupinya sebelum menjilat dengan rakus untuk merasakan keringat Hinata yang terasa manis dilidahnya. Oh, ayolah keringat itu asin. Enta mengapa menurut Naruto itu manis.

Hinata menahan nafasnya dengan susah payah. Bertahan agar suaranya tidak keluar. Meski godaan Naruto sangat kuat. Sesering mungkin ia melirik jam dinding berharap waktu segera berakhir dan mereka tidur dengan tenang. Sayangnya baru dua menit berlalu dan Naruto masih melancarkan serangannya.

Naruto kembali menjelajahi tubuh istrinya dengan tangan. Perlahan tapi pasti tangannya menyusup ke dalam baju lengan panjang tebal milik Hinata. Mengelus perut rata wanitanya dan masih terus naik sementara bibirnya kembali melahap bibir Hinata.

Melepaskan pagutannya, Naruto menantikan keluarnya suara Hinata. Jadi, ia hanya menampilkan cengiran aneh ketikan tangannya meremas payudara Hinata dari balik bra. Memperhatikan gadis itu menggigit bibir rasanya ingin menghabisi bibir itu lagi.

Dan ketika tangan Naruto menyingkap bra Hinata ke atas Hinata menahan nafas dalam. Berdoa semoga ia bisa menjalani cobaan ini.

Naruto makin melebarkan senyumannya untuk merayakan kemenangan yang sudah di depan mata. Dengan tidak sabar ia kembali mengecup bibir Hinata dan jemarinya mulai memainkan puncak dada Hinata. Memastikan bagian itu makin keras dan menonjol.

"Hmm..." dan seketika suaran yang ditunggu Naruto sejak tadi mengalun dengan merdunya.

"Hinata-chan, kau kalah. Berarti kita akan melakukan hal seperti tadi." ujar Naruto semangat. Hinata menciut, melirik jam. Padahal kurang sedikit lagi. Sekitar beberapa puluh detik. Tapi, Naruto tahu letak kelemahan Hinata. Hingga ia berhasil memenangkan lomba ini.

.

.

.

.

.

Naruto tidak membuka pakaian Hinata. Ia hanya menyingkap baju itu beserta branya untuk menikmati dada Hinata. Aroma dan rasanya sungguh menggugah selera Naruto untuk terus menikmati payudara Hinata dengan mulutnya. Apa lagi ia mendapatkan bonus suara Hinata. Lengkaplah sudah.

"Narhuto-kun churang!" protes Hinata disela kegiatan menyusu Naruto.

Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Hinata jahil.

"Aku tidak curang Hinata-chan." balas Naruto tanpa menghentikan permainan tangannya. Karena kini jemarinya sedang mempermainkan puncak payudara kanan Hinata. Bagian itu kini basah penuh liur Naruto karena sejak tadi ia menghisapnya.

"Aku hanya bermain." air liur itulah yang makin memudahkan gerakan jemari Naruto menggoda dada Hinata.

"Uhhnn..." desah Hinata tanpa sadar.

"Dan ku rasa kau juga menyukainya Hime." setelah berujar begitu Naruto lalu kembali melahap dada Hinata dengan gemas. Menjilat kemudian menghisap tanpa ampun. Membuat Hinata kewalahan menahan nikmat.

.

.

.

.

.

"Naru... Hmmm..." Hinata meremas apa saja yang bisa diremasnya. Rambut Naruto dan seprei miliknya adalah korban dari tangan Hinata yang mencoba menyalurkan rasa nikmat.

Hujan masih setia mengguyur di luar. Seharusnya rasa dingin yang mereka rasakan. Namun aktivitas mereka membuatnya tidak terasa. Malah panas yang mendominasi.

"Ahhhhnnn, hmmm,,"

Hinata masih berusaha menahan dirinya meski susah. Ia kalah bahkan sangat kalah karena Naruto sudah berhasil melepaskan celananya bahkan jemari Naruto sudah keluar masuk kewanitaannya. Cairan kewanitaan Hinata makin lama keluar makin banyak dan itu membuat pergerakan Naruto makin mudah.

"Ugh, Naruu.." Hinata kembali mendesah takkala Naruto kembali menyusu padanya. Kombinasi godaan Naruto membuat Hinata serasa ingin meledak. Otaknya kian kosong tanpa perlindungan. Dan gerakan Naruto yang makin cepat membuat Hinata makin melayang.

"Hiyaaahhhh!" Hinata menjerit penuh kenikmatan. Melengkungkan tubuhnya ke atas untuk meresapi gelombang kenikmatan yang diberikan Naruto.

Sebelum kedutan menyenangkan itu berakhir, Hinata sama sekali tidak menyadari gerakan cepat Naruto lainnya. Bahkan, Hinata tidak menyadari jika Naruto sudah membukan celananya dan menunjukkan juniornya yang kini merengek minta dipuaskan. Hinata baru menyadarinya ketika Naruto memasukinya dengan cepat.

"Nguhhhh..." Hinata hanya bisa melenguh kecil. Nafasnya baru saja teratur dan kini kembali memburu.

"Uh, ini enak sekali Hinata-chan." seru Naruto jujur. Miliknya serasa dijepit nikmat.

"Tapi, lebih enak lagi jika seperti ini." kemudian Naruto menggerakkan pinggulnya.

"Naruto-kun, akhu lelah. Ahnn.." mohon Hinata dalam desahannya.

Naruto tersenyum dan menulikan telinganya. Ia tetap bergerak dan sesekali melumat bibir Hinata atau menggoda payudara Hinata. Menggerakkan pinggulnya dengan konstan kemudian makin cepat dan liar.

"Auhnn, Naruuu!" jerit Hinata panjang. Jeritan itu mengantarkan Hinata pada gelombang kenikmatannya lagi.

"Ssshhhh, sempit sekali." entah itu gerutuan atau pujian penuh nikmat. Yang pasti, Naruto masih terus bergerak mengabaikan Hinata yang baru mencapai puncak kenikmatannya. Naruto masih terus bergerak untuk mengejar puncaknya.

Setelah mencapai puncak, Naruto menggeram nikmat dan menumpahkan seluruh benihnya kembali di dalam Hinata. Dan Hinata menerimanya dengan kedutan menyenangkan di kewanitaannya.

.

.

.

.

.

Naruto masih mempertahankan posisinya di atas Hinata. Hinata masih mengangkang sambil mengatur nafasnya yang habis. Mereka juga masih menyatu.

"Hime, bagaimana jika sekali lagi?" tawar Naruto berisikan janji penuh kenikmatan.

"Tidak, aku lelah Naruto-kun." tolak Hinata. Tubuhnya benar-benar butuh istirahat.

"Kau tidak perlu melakukan apapun Hime. Kau hanya perlu diam dan menikmati. Aku yang akan berkerja."

"Nghhh, Naru..." Hinata hanya bisa melayangkan protes penuh nikmat pada suaminya. Hari ini ia menyesali keputusannya mengiyakan ajakan Naruto untuk bermain.

Naruto masih melanjutkan permainannya entah berapa kali. Hinata tidak tahu berapa kali gelombang kenikmatan menjalari tubuhnya. Yang ia tahu Naruto terus bergerak sampai dirinya benar-benar kelelahan.

Oh, Naruto yang polos. Ia tidak tahu jika perbuatannya itu akan membuat kehebohan esok.

.

.

.

.

Pagi menyapa, burung-burung sudah bangun dan berkicau riang. Hujan sudah berhenti, kini Kushina sudah berada di perjalanan pulang. Rasa kahwatirnya membuat ia membangunkan Minato dan Hiashi pukul lima pagi. Kalian bisa melihat wajah mengantuk para ayah yang diganggu tidurnya.

"Huaa, aku tidak sabar. Mereka pasti menunggu kita pulang." ujar Kushina riang.

"Sayang, kau terlalu berisik. Hinata dan Naruto pasti baik-baik saja." balas Minato yang sedang menyetir.

"Sudah percepat saja mengemudinya. Aku sudah tidak sabar lagi."

Keheningan kembali menyelimuti mobil itu. Minato fokus mengemudi, Kushina sendiri sibuk dengan pikiran yang berkecamuk di otaknya, sedang Hiashi. Oh, hanya dia yang melanjutkan tidurnya. Sungguh Minato iri pada Hiashi.

.

.

.

.

Hinata yang terbiasa bangun pagi membuka matanya pukul enam. Ia merasa ada yang aneh. Tubuhnya serasa remuk namun ia mencoba bergerak. Hinata membuka selimut dan mendapati bajunya berantakan. Ia kemudian menurunkan branya yang tersingkap dan membenahi bajunya.

Hinata menoleh pada Naruto yang masih terlelap di sebelahnya. Pria itu tidur seperti bayi. Sangat berbanding jika ia bangun. Hinata tersenyum mengelus pipi Naruto. Setelah itu ia mencoba untuk bangun. Namun, ada yang salah dengan tubuhnya.

"Sshhh, kenapa perih sekali?" bisik Hinata.

Seingatnya kemarin kewanitaannya tidak seperih ini. Memang kemarin perih tapi ia masih bisa bergerak dan berjalan. Namun, kini bahkan untuk bangun ia tidak bisa. Kewanitaannya benar-benar sakit.

"Naruto-kun." Hinata mencoba membangunkan Naruto dengan menggoyangkan badan sang suami. Namun nihil, Naruto masih tertidur pulas.

"Naruto-kun.." Hinata menambahakan sedikit volume suaranya.

"Ng?" balas Naruto belum sadar dari tidurnya. Ia hanya membuka sebelah matanya kemudian kembali tidur.

"Naruto-kun, bangunlah. Tolong aku." pinta Hinata.

"Kau kenapa Hime?" kini Naruto menghadap Hinata namun masih menutup matanya.

"Aku tidak bisa bergerak. Rasanya perih sekali di sini." adu Hinata.

"Di mana?" tanya Naruto tanpa ingin tahu.

"Vaginaku." setelah mendengar itu Naruto tersadar seketika. Ia refleks terduduk dan menatap Hinata cemas.

"Apa?! Kenapa bisa?" tanya Naruto kahwatir.

"Tidak tahu. Rasanya sakit kalau aku bergerak. Sepertinya aku juga tidak bisa berjalan." Hinata menatap Naruto dengan wajah memelas.

"Hinata-chan, aku akan memeriksanya dulu."

Naruto lalu memutuskan memeriksan kewanitaan Hinata yang tidak tertutup apapun. Ia menggeser sedikit kaki Hinata untuk bisa melihatnya meski ia mendengar lenguhan sakit Hinata. Dan Naruto kaget melihat kewanitaan memerah. Tidak dalam keadaan seperti kemarin. Tidak ada darah tapi tampak bagian itu merah karena lecet.

Tin! Tin!

Mendengar suara itu Naruto dan Hinata menegang seketika. Terutama Naruto.

Tin! Tin!

"Kaa-san dan tou-san." cicit Hinata takut.

Bulu kuduk Naruto meremang seketika. Ia membayangkan ibunya akan mengamuk melihat kondisi Hinata yang seperti ini.

Tin! Tin!

Suara klakson kembali terdengar.

"Matilah aku."

.

.

.

.

TBC...

.

.

.

Balasan review bagi yang tidak login.

Guest1: Hua, aku mencintaimu juga. Ada kehidupan sekolahnya. Tenang aja konfliknya beda. Akan ada hurt tapi tetap humornya jalan.

white kitsune: Um, kalo itu masih rahasia. Silahkan tunggu sampai waktunya. Btw, Nana gak tahu K-movie yang kamu maksud. Maklum, Nana kurang update soal Korea.

virgo24: Silahkan dinikmati.

novakk: Ada kok, tapi bukan sekarang.

Guest2: Iya, Hime bakal hamil. Terus Naru bakal selingkuh. Naru emang baka pake banget. Tapi, dia cuman baka kok gak jahat.

anonim: Terima kasih pengertiannya. Semoga kamu menikmati karya mesum Nana lainnya.

Jang nara: Memang sengaja buat mereka polos. Nanti akan ada bagian hurtnya tapi tenang aja akhirnya bahagia kok.

Kemikal Kompon: Hua, ternyata kau yang selama ini menghantuiku. Pantas saja tidurku tidak tenang setahun ini. Makasih bilang cerita Nana bagus. Btw, ane cewek gan bukan cowok jangan dipanggil bang dong. :'v

uchiha: Terima kasih, memang sengaja buat mereka polos. Kalau terlalu dewasa gak ada lucunya.

DA: Terima kasih telah bersedia menantikan fic nista Nana. Semoga chapter ini menghiburmu.

Lucifer: Sebenarnya bahasa yang Nana cukup vulgar. Di chapter ini baru Nana perhalus lagi. Namun, memang tidak terlalu panas. Kalau mau yang benar-benar panas bisa coba baca Eh? Astaga!

gina: Yosh, Nana tetap semangat kok. Makasih semangatnya.

L: Sarannya Nana pikirkan dulu gan. Soalnya, bukan perkara mudah membuat lemon yang benar-benar asem. Btw Nana kagak tahu film H yang kamu maksud. :'v

Hinata-centric 8: Eh? Apanya yang copot?

Lope-qyuubi-kun: Apanya yang copot?

Lope - qyuubii - kun: Sankyu.

Guest3: Sankyu gan.

Guest4: Mereka memang polos dan romantis. Selanjutnya, bisa baca sendiri di chap ini.

Guest5: Ya, karena Nana maunya NaruHina masih polos. Hm, bagaimana ya? Pikirkan sendiri saja ya? Nana gak mampu bayanginnya.

namikazenal uzu: Terima kasih, silahkan dinikmati chapter ini.

the warior: Iya, mereka menikah di umur lima.

Guest6: Heh? Kurang erotis? Ano, mereka masih polos. Masih lima belas tahun. Kalo Nana bikin mereka erotis berarti mereka sudah pengalaman dong? Untuk permintaan kamu, maaf Nana tidak bisa menurutinya. Bisa-bisa Naruto akan habis dihajar Kushina XD

tara: Sudah.

tetap kalem: Ini lanjutannya.

Guest7: Laptop Nana rusak. Tahun lalu belom punya smartphone. Tahun ini baru beli, terus rasa malas mendera karena harus buat konsep baru lagi. Semoga puas dengan chapter ini.

Nameaysha kun: Ini lanjutannya. Ditunggu saja, sepertinya iya karena ada di summary.

Lipobas: Iya Nana lanjutin. Kagak bakal discontinue kok.

Namedira: Ini udah lanjut.

Guest8: Kalau Hime hamil terus kasihan dong. Tenang aja, hamilnya cuman sekali. Jadi, bisa kayak emak-emak gaul.

farina: Masih dong. Ini buktinya.

ciel: Mereka udah nikah beneran kok. Tinggal didaftarin aja.

Baka mesum: Kemarin belom diupdate karena laptopku rusak. Semoga suka chapter ini.

Horan: Terima kasih telah sabar menantikan Small Bride. Tenang aja, Nana tidak akan menelantarkan Small Bride kok. Nana masih semangat buat ngelanjutin.

Tanaka Haruko: Ini lanjutannya.

TOBI THE GOOD BOY: Ada dong, ini buktinya lanjut. Soal itu silahkan cek summary.

NH12: Ini dah lanjut.

cindy yamanaka: Gomen, Nana sendiri tidak bisa memprediksi kapan update. Yang pasti, fic inintidak akan doscontinue.

NaruNata: Hoho, aku kembali :)

Guest9: Terima kasih telah bersabar menunggu Nana. Semoga suka chapter ini.

Narukaze: Hinata kan istri terbaik diseluruh dunia *lebayy.

Gues THE Goes: Akan tetap dilanjut kok. Hanya saja updatenya akan lama.

ane chan: Ini sudah update.

.

.

.

*bungkukkan badan

Nana minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah setahun membiarkan Small Bride terbengkalai. Sejujurnya, Nana sudah membuatnya setengah jalan. Namun, berhubung laptop Nana rusak membuat fic ini sempat kandas. Di chapter ini Nana membuat bonus untuk para readers sekalian. Lemonnya ada banyak.

Terima kasih bagi kalian yang telah mereview Small Bride. Terima kasih juga bagi yang telah follow maupun favorit-kan Small Bride di akunnya. Bagi yang review login, seperti biasa akan Nana kabari kapan updatenya. Bagi yang tidak login reviewnya Nana balas di fic. Dan bagi yang mereview satu kata saja yaitu 'lanjut' atau 'next' Nana tidak akan ladeni lagi. Sekalipun login.

Terakhir, Nana mohon maaf jika update selanjutnya akan lama. Namun, Nana janji tidak akan selama ini. Semoga readers sekalian suka chapter ini. Jangan lupa review.

Sampai jumpa chapter depan.

Nana permisi ^^