UAS. Ujian Akhir Semester.
Mungkin merupakan salah satu diksi terhorror dalam kamus besar seorang pelajar. Membuat keringat dingin mengalir bagai sungai, dan terserang stress level dewa.
Itu adalah saat di mana otakmu dikuras, mengeluarkan segala data yang ada di dalamnya, demi menghindari serangan sang tinta merah.
Salah satu poin penting dalam naik-tidaknya pelajar ke kelas, atau jenjang yang lebih tinggi, apalagi yang sudah menginjak tingkatan kelas tinggi, seperti kelas 6 SD, atau kelas 3 SMP-SMA.
Namun bagi beberapa orang, di balik horrornya ujian akhir semester tersebut, ada juga keuntungan yang dapat mereka tarik darinya, yaitu…
.
"Anu, senpai, ini caranya bagaimana, ya?"
"Ah, kalau ini samakan saja salah satu variabelnya, dengan begitu akan lebih mudah,"
.
…Kesempatan untuk lebih dekat dengan senior idaman.
DokiDoki-Exam Time!
.
A Kuroko no Basuke fanfiction
.
Disclaimer:
Kuroko no Basuke (c) Fujimaki Tadatoshi
Story (c) Kiyoha
.
Pair:
Nijimura Shuuzou x Akashi Seijuurou
.
Warning (s):
Author mabok UAS, diksi merdeka, maybe OOC? Humor gagal! Teiko!Akashi version, Nijimura belum kenal Akashi, Akashi berdokidoki ria bagai heroine manga shoujo, desain kelas seperti desain kelas Indonesia (duduk berdua-dua), peraturan ujian seperti di Indonesia, cerita berdasarkan pengalaman beberapa orang. DLDR!
"Sial, tempat duduk anak kelas 1-3 semuanya di shuffle! Tetsuuuu! Bagaimana aku bisa mengerjakan kalau nggak duduk di dekatmu?! Atau setidaknya biarkan aku duduk dekat Akashi! Absennya kan dekat!" Aomine berteriak galau. Maklum, di ujian kali ini kepala sekolah menetapkan aturan baru, yaitu dari kelas 1-3, tak peduli sekelas maupun tidak, semuanya di acak, jadi kesempatan mereka untuk menyontek berkurang beberapa persen.
"Berisik, Aomine," Akashi melirik makhluk gelap itu dengan ketus. "Dan walaupun kau di dekatku, aku takkan membiarkanmu menyontek."
"Diamlah sedikit, Aomine-kun. Lagipula ini kan ujian, ganba desu." Kuroko malah mengajaknya melakukan brofist. Tapi Aomine, partnernya itu, mau mau saja sih.
"Berisik nodayo,"
.
"Hei, hei, Kurokocchi! Semuanya! Ini kartu ujian kalian-ssu! Tadi guru bimbingan menyuruhku untuk membagikannya ke teman-teman sekelas~" ujar Kise dengan ceria. Ia membagikan satu persatu kartu ujian ke rekan-rekan setimnya.
"Jadi? Midochiiin~ Kau dapat ruangan berapa?" Tanya Murasakibara dengan malas. Mulutnya masih setia mengunyah maiubo yang entah kenapa tak habis-habis di tangan Murasakibara.
"Fuh, aku ruang 10."
"Yaah, aku terpisah dari Midochin~ aku ruang 21. Jauhnyaa~~"
"Tetsu, kau dapat ruang berapa?" Aomine melirik kartu ujian milik Kuroko. Alisnya mengernyit melihat tulisan yang ada di kertas itu. "Ruang 15, ya? Akh, beda denganku, pasrah saja lah…"
"Yay! Aku ruang 16! Tepat di sebelah ruanganmu, Tetsu-kun!" Momoi memeluk Kuroko dengan senang. Kalau begini ia bisa langsung bertemu dengan pujaan hatinya saat bel istirahat berdering. Selamat! Selamat!
Kuroko tersenyum lembut. "Syukurlah, ya, Momoi-san," dan disahut dengan anggukan gadis manis itu.
"Sial, tidak ada yang ruang 4 apa? Aku bisa mati melihat ujian sosial dan kanji…" keluh Aomine, ia memang benar-benar kacau dalam mengingat kanji. Dan juga mengingat seperti harus menghafal macam-macam batuan seperti sedimen atau menghafal tahun-tahun terjadinya perang.
"Gomenne Aominecchi, aku dapat ruang 7-ssu~"
"Ah, aku ruang 4…" ujar Akashi sambil memandang kartu ujian miliknya. 4. 4. Ini tidak salah cetak, kan? Empat.
"Benarkah?! Syukurlah, ada Akashi! Semoga kau duduk di dekatku~!" Aomine melompat-lompat bahagia. Selamat tinggal nilai merah! Begitulah yang tertulis di wajahnya. Jelas sekali.
Akashi memberikan smirk terbaiknya sambil mencubit pipi Aomine, melebarkannya seperti sedang bermain plastisin. "Tenang saja, Aomine. Aku tidak akan memberikanmu jawaban satu pun,"
Senin pagi, hari pertama ujian.
Akashi menaruh tasnya di kursi sambil menghela nafas. Aomine duduk di meja yang berjarak 2 meja darinya. Sungguh jarak yang sial, begitu pikirnya. Pasti Aomine akan melemparkan kertas kepadanya, memberi kode atau hal-hal aneh lainnya. Ia sudah lelah.
"Maaf, bisa bergeser? Tempatku di sebelah kanan tempatmu," Suara bariton seseorang menyadarkan Akashi dari diamnya. Akashi pun menoleh, melihat siapa yang duduk di sebelahnya—
Surai hitam itu. Tatapan tajam itu. Bentuk bibir itu. Wristband berwarna pelangi itu.
-Senior idamannya, Nijimura Shuuzou. Kapten klub basket SMP Teiko. Seseorang yang tidak begitu tinggi, namun caranya bermain basket sungguh menarik hati. Ia juga baik pada junior-juniornya, kecuali kalau mereka membuat kesalahan sih, ya.
Lelaki berkepala merah itu gelagapan, lalu segera menggeser kursinya supaya seniornya itu bisa lewat. Sial, hanya di depan Nijimura ia begini. Semoga yang lain tidak melihat.
"Silakan, Nijimura-senpai…"
"Ou,"
Nijimura duduk tegap lalu membuka buku cetak Matematikanya, belajar tentang grafik-grafik dan kemiringan. Akashi melirik sedikit-sedikit, ia sudah lumayan mengerti tentang itu. Wajar saja, kalau dengan otak superiornya itu.
"Oh, ya."
Akashi terkejut, takut kepergok sedang memerhatikan seniornya yang terbilang lumayan kece tersebut.
"Y-Ya? A-Ada apa, Nijimura-senpai?"
"Kau ini… Akashi Seijuurou, ya? Yang nilainya paling tinggi seangkatan?"
Dia mengenaliku.
"I, iya, saya Akashi Seijuurou."
"Kau ada di klub basket kan, ya? Mainmu juga baik,"
"Ya…senpai."
Nijimura memiringkan kepalanya, lalu menutup buku cetak yang membuat pikirannya lelah. Fokus matanya kembali ke Akashi. "Tidak usah formal sekali, panggil saja Nijimura-san,"
"Nijimura-san…"
"Begitu lebih baik. Yah, mohon bantuannya untuk seminggu ini,"
"Sa-Aku juga begitu, Nijimura-san,"
Pelajaran pertama. Bahasa Jepang.
Akashi sudah mengerjakan 30 dari 40 soal pilihan ganda beroption 6. Sejauh ini tak ada masalah. Soal-soal semacam ini masih mudah baginya.
Sang kouhai mencuri pandang kearah senior pujaannya itu, sepertinya tidak ada masalah juga, tapi…
Nijimura-saaan! Nomor 9 jawabannya bukan (3), tapi (4)!
Mana mungkin Akashi bisa mengatakan itu di tengah ujian. Itu namanya curang.
Namun demi keselamatan angka-angka rapor senior tersayangnya…
Tidak apa, kan?
.
"Nijimura-san, kurasa jawaban no. 9 itu (4), bukan (3)." Bisiknya gugup. Takut terdengar oleh yang lain.
"Ah, begitu? Oh, ya! Yang (3) kanjinya kekurangan satu goresan," Nijimura segera mengambil karet penghapus, menghapusnya lalu menggoreskan pensil di jawaban yang tepat.
"Terima kasih ya, Akashi. Kalau tidak kau ingatkan, aku pasti salah." Nijimura menmberikan senyum lembutnya, tangannya menepuk punggung kecil Akashi. Pemiliknya hanya bisa menunduk malu.
"Sa-sama-sama, Nijimura-san,"
"Kalau ada yang kau tak mengerti, tanyakan saja padaku, ya? Senior itu kan ada untuk membantu junior apa yang tidak ia mengerti. Oke?"
Akashi mengangguk cepat, lalu langsung menyembunyikan wajahnya dengan tangan, supaya rona merahnya tak terlihat oleh senpai yang ia kagumi. Nijimura Shuuzou.
Oh my God! Senpai noticed me!
Bel istirahat berbunyi.
"Aaah, akhirnya bahasa Jepang selesai~!" Aomine merenggangkan punggungnya seperti kucing. Maklum, selama 120 menit melihat huruf-huruf kanji di kertas ujian itu melelahkan! "Oi, Akashi! Kenapa kau nggak membalas kode-kodeku tadi?!"
Anak bersurai merah itu hanya membuang muka. Malas rasanya kalau sudah berhadapan dengan Aomine. Dia sulit sekali dibilangin yang benar. Midorima menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara Kuroko (dan Momoi yang memeluknya) menghela nafas.
"Aomine! Sudah kubilang kerjakan dengan kemampuanmu sendiri-nodayo!" marah Midorima sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Sou, yo~ Aomine-kun, kalau begini caranya gimana otakmu mau berkembang?" Satu-satunya gadis di antara mereka berkacak pinggang, ikut menceramahi teman masa kecilnya, Aomine Daiki.
"Aomine-kun, kasihan Akashi-kun kalau begini." Tambah Kuroko.
"Uwah! Tetsu, kau juga?! Kenapa semua menceramahiku?!" teriakan ngambek Aomine menggema di lorong kelas. Bahkan sampai anak-anak perempuan kelas 8 menghentikan ritual makan siang bersama-nya demi melindungi gendang telinga dari getaran super Aomine. Siap-siap saja dia ditatar kalau begini caranya.
"Berisik, Aomine," ujar Akashi singkat, lalu kembali fokus ke buku cetak sains yang sedang ia baca. Membuat perempatan siku-siku muncul di dahi ace kurang terangnya.
Kise mengulurkan tangannya di antara Aomine dan Akashi, mencoba melerai. Karena kalau mereka bertengkar, maka pertumpahan darah bisa terjadi (dan pelakunya biasanya -gunting- Akashi).
"Maa, maa, Aominecchi, Akashicchi, jangan bertengkar dong-ssu~"
.
"Aomine," panggil Akashi. Yang dipanggil hanya menyahut kasar,
"Apaan, sih?!"
"Kemampuan otak setiap manusia tidaklah sama. Tapi aku mengetahuinya. Otakmu cermat dan sehat, makanya kau juga bisa bermain basket dengan baik (?) Karena koordinasi otakmu juga baik,"
"M-Maksudnya?"
"Akashicchi, sepertinya belajar dan main basket tak ada hub—"
Memotong kalimat model kuning di sebelahnya, Akashi melanjutkan, "Karena itu pasti ujian seperti ini hanyalah perkara mudah bagimu. Pasti menghafal seperti ini seperti berkedip saja, sangat mudah dan tanpa kau sadari. Oleh karena itu, kalau kau belajar serius sedikit saja pasti ujian ini akan terlewat dengan mudah,"
"Menurutmu begitu, Akashi?!" Kini Aomine mulai memandangnya dengan mata berbinar. Percaya juga dia.
"Jebakan-ssu…" bisik Kise supaya tak terdengar oleh Sang raja gunting merah.
"Ya. Itu benar sekali."
"Yosh! Kalau begitu aku akan baca buku cetak sekali lagi! Ujian akan ku taklukkan, yuhuuuuu~~~" Aomine ngibrit ke kelasnya untuk belajar lagi. Yah, habisnya dia barusan mendengar Akashi: golden ways, jadinya ia termotivasi untuk belajar—Menghindari tinta merah, tentunya.
"Itu kan sudah pasti jebakan, Aomine benar-benar bodoh-nodayo,"
"Yah, menurutku kalau mencoba pasti lama kelamaan bisa, Midorima. Lagipula, nilai Aomine di pelajaran sains tidak terlalu buruk. Kalau setelah belajar ternyata ia dapat mengerjakannya dengan lancar, maka akan berpengaruh pada hidupnya dan mungkin ia akan belajar terus, kan? Hari-harinya untuk menggangguku akan berkurang," Jelas Akashi panjang lebar.
Efeknya jangka lama, toh. Sasuga raja gunting merah.
Lelaki hijau berkacamata itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui pernyataan Akashi. "Hm, itu mungkin benar-nodayo,"
"Akashi-kun benar-benar licik, ya."
"Mulut itu pemberian Tuhan. Pemberian Tuhan harus di gunakan sebaik-baiknya. Ya kan, Kuroko?"
"Terserah saja..."
"Bytheway Midochiin~ Sebentar lagi istirahat selesai, temani aku ke kantin dong~ Aku mau beli maiubo~" Titan-Murid raksasa itu, Murasakibara Atsushi, mengalungkan tangan panjangnya ke leher Midorima dari belakang.
"Haaah. Ya sudahlah. Toh kelasku juga di dekat kantin-nodayo. Ayo,"
"Yaay~"
"Aku juga ikut-ssu! Aku mau beli susu stroberi dari mesin minuman! Dah, Akashicchi, Kurokocchi, Momocchi!"
.
Akashi melambaikan tangannya pelan. "Nah, sudah, ya. Aku juga mau kembali ke ruangan—"
"Nee, Akashi-kun,"
"Ada apa, Momoi?"
"Yang duduk di sebelahmu itu… Nijimura-san, ya?" Tanya Momoi tapi dengan nada penasaran di dalamnya. "Akashi-kun… Senang, dong?"
Lelaki berkepala merah itu kaget, memandang manajernya dengan tidak percaya.
"Jangan-jangan… Kau tahu, Momoi?"
"Haah, Akashi-kun. Siapapun juga tahu kalau melihatmu di klub basket. Akashi-kun selalu memerhatikan Nijimura-san, mungkin Akashi-kun hanya tidak sadar," Momoi menggeleng-gelengkan kepala. "Seperti heroine di shoujo manga saja!"
"E-Eh? Serius?" Akashi memastikan dengan nada tak yakin. Wajahnya menunduk dan merona merah, hampir seperti warna rambutnya.
"Yo! Raja yang terserang virus merah jambu!" Momoi menepuk-nepuk punggung Akashi dengan semangat. Semangat fujoshinya bangkit, sepertinya. "Bisa dekat dengan senior yang di kagumi, selama seminggu, lagi. Bukannya itu hebat?"
"Momoi-san benar, Akashi-kun. Saatnya untuk merebutnya. Toh kalian akan sebelahan selama seminggu."
"A-Apa sih, Kuroko." Akashi mulai salting, tangannya memainkan poninya yang sudah panjang. "Tapi mungkin kau benar. Ini kesempatanku."
"Yaa! Berjuanglah, Akashi-kuun!" Momoi bersorak senang. Toh kalau Akashi sama Nijimura dekat, yang bahagia dia juga, kan? Benar-benar fujoshi. Mencari-cari kesempatan.
.
Akashi tersenyum lalu menepuk bahu kedua temannya. "Terima kasih, kalian berdua. Bel sudah berbunyi, aku akan masuk ke ruang ujian, ya."
"Yaa! Akashi-kun, ganba desu yo~!"
"Akashi-kun, semoga di notis, ya."
"Ya."
.
Akashi melangkahkan kakinya kembali ke ruang ujiannya. Akashi memikirkan perkataan Momoi dan Kuroko tadi. Suatu kesempatan, eh?
Sekarang baru hari pertama! Masih ada 5 hari lagi untuk duduk di sampingnya. Dan saat itu juga…
-Aku akan mendapatkan perhatiannya!
.
.
TBC
A/N
Yo, minna! Kiyoha di sini!
Yaah, sudah musim-musim ujian, ya. Gimana ujian kalian? Sudah? Atau belum?
Kali ini Kiyoha nyoba nulis fic seasonal theme ujian, nih~ Gimana? Tadinya sih mau dibuat oneshot aja, tapi karena ficnya bakal panjang, yaah... Jadi multichap deh! Tepuk tangaaan!
(Akashi: apaan sih lu thor)
Btw itu judulnya absurd banget, aduh maapin author nista ini. *sungkem*
Um, jangan ketipu ya, ini bukan humor, kok. Humornya gagal, huhuhu. Ya iya sih wong Kiyoha biasa nulis fic surams. *lirikficsebelah*
Jadi di sini, Akashi udah masuk klub basket, tapi belum dekat sama Nijimura gitu. Baru sedikit-sedikit ngelirik deh. Lirikan mataamuu menaariik hatiii *nyanyi* ini bisa disebut fic curhat juga sih, soalnya Kiyoha ga dinutis senpai... *sobs* Tapi udah nggak peduli, kok! Tehe!
.
Oke, mind to RnR?
Ada yang mau beri saran tentang cara Akashi pedekate? Atau malah tentang Nijimura?
Saran akan sangat membantu, hohoho~
.
kiyoha