Disclaimer: All character belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: AU, miss-typo, OOC, another NaruSaku fic. M just for safe.

And for all anti-NS, if you DON'T LIKE, I know you'll smart enough to DON'T READ

.

Come Hell or High Water

by LastMelodya

.

.

"what bring me joy;

you,

of course.

always you."

.

.

Chapter 14

"Sakura-cha—"

"—astaga, Naruto!"

Tubuh Naruto hampir ambruk, kalau saja Sakura tak segera menangkapnya gegas. Uaran itu tercium begitu menyengat, alkohol, dan Sakura hampir saja memuntahkan emosinya kalau saja tak ingat kondisi Naruto saat ini. Dengan susah payah, dan tekanan emosi yang lebih dari sekadar ringan, gadis itu melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh besar Naruto.

"Sakura-chan,"

Gumaman itu terus berepetisi, ketika pintu ditutup, ketika Naruto diseret hingga kaki-kakinya terpeleset, atau, tersandung karpet-karpet, bahkan ketika mereka sampai ranjang dan Sakura merebahkannya dengan osilasi di rongga-rongga dada. Naruto masih menggumamkan namanya.

Sakura-chan, Sakura-chan, Sakura-chan.

Dan Sakura menghela napas, matanya mengatensi dengan lelah. Bibirnya bergerak, membisik, "Kau mabuk."

Ini terasa familier. Seperti ketika, di mana mereka berada di kubikel kamar apartemen. Di mana Sakura mendengar pintu kamarnya diketuk, diujarkan namanya dengan suara rendah yang sangat ia kenal, berujar pelan, pelan, dan semakin pelan setiap detiknya; Sakura-chan, Sakura-chan—terus-menerus seperti itu—hingga akhirnya pintu kamar dibuka dan Sakura menemukannya merapat di dinding, dengan mata hampir tertutup, tangan-tangan kekar yang meraup. "Ibu dan Ayah akan datang besok, aku perlu menginap di kamarmu supaya ada yang membangunkan", atau "Aku harus bangun pagi, Sakura-chan. Aku pusing, aku harus menginap denganmu", dan hal-hal lain yang semacam itu. Di mana yang Sakura lakukan adalah memarahi, dengan satu-dua dengus atau cubitan kecil, namun ia akan tetap membopongnya, hingga sofa (atau bahkan ranjangnya), mengambilkan air hangat, membuka baju-bajunya, mengompresnya, Sakura selalu melakukan. Gadis itu selalu melakukannya.

Maka malam ini, ia pun begitu. Mengompres Naruto meski matanya panas dan ingin menangis. Mengusap pelan helai-helai pirangnya meski ia ingin meneriaki lelaki ini, yang membuatnya hampir mati karena menderita semalaman, menunggunya, tak jelas rasanya. Tapi Sakura tetap melakukannya.

Ia ingat kata-kata Kushina, Bibi percaya kalian sudah dewasa, jangan pernah lari dari masalah. Dan meski Sakura ingin sekali menghajar Naruto saat ini juga, memberondongnya dengan sejuta tanya dan tuntut-tuntut kecewa, ia harus bersikap dewasa. Sebab waktunya belum memungkinkan.

Di ranjangnya, Naruto tak berkata apa-apa lagi. Dengkurannya terdengar kecil, tapi Sakura tahu itu bukan dengkuran khas orang tidur. Jadi, Naruto tidak tidur. Karena kelopaknya bergetar dalam netra yang tertutup, dan ia tidak lelap. Napasnya masih menguarkan bau alkohol, sepertinya ia minum banyak, ujar Sakura dalam hati. Sebanyak apa? Dan mengapa? Mengapa ia mabuk? Adalah sekelumit pertanyaan yang tak akan pernah akan Sakura dapat jawabannya. Meski sudah sekian tahun, Sakura mengerti tipikal Naruto, pribadi yang sembrono, tak dapat menahan diri, tapi hangover-nya kali ini entah bagaimana bisa telah mengiris-iris hatinya.

"Kubuatkan teh, ya?" Sakura menunduk sejenak, berkata pelan, dekat dengan telinga si pirang. Mata Naruto terbuka kecil, ada genangan di sana—entah pengaruh alkohol, atau yang lain, Sakura tak ingin memerhatikan lebih jauh. Karena satu anggukan pelan yang diberikan Naruto sudah cukup untuk memaksanya berdiri dan menuju pantry untuk membuatkan teh hangat.

Pagi sudah terlampau larut, dan matahari sudah mengintip di pusatnya.

Tapi hangat di sini masih belum ingin menghampiri.

Naruto sadar betul, ada kekhawatiran yang tergambar dari netra giok itu. Ada kekecewaan, juga penuntutan. Naruto terlalu sadar untuk sekadar mengerti setiap arti tatapan Sakura. Mereka sudah lama hidup bersama, maka dalam keadaan setidak sadar apa pun, Naruto tetap paham. Benar-benar paham.

Suara air mendidih disusul dengan desisan antara dinding-dinding cangkir dan air panas yang baru saja dituang. Sakura ada di pantry, meninggalkannya yang setengah sadar, meninggalkan aroma khasnya yang memabukkan, dan kini disubtitusi oleh harum chamomile dalam larutan teh yang ia janjikan. Naruto ingin sekali membuka lebar-lebar matanya, tetapi ia tak bisa. Matanya seperti ditempeli lem dan berat di kepalanya masih begitu terasa.

Rasa sakit di kepalanya bercampur dengan desakan mengesalkan di dadanya. Segalanya tumpang-tindih menjadi satu. Kalau saja tubuhnya tak kacau begini, mungkin ia sudah teriak. Meneriaki Sakura atau bahkan menuntut gadis itu. Lagi pula, mana Shikamaru? Apa yang telah mereka lakukan selama tak ada dirinya? Mengapa semuanya terasa begitu kacau dan sialan di mata Naruto.

"Bisa bangun?"

Suara Sakura terdengar dan Naruto kembali memaksa melebarkan pandangannya lagi. Sebuah cangkir di tangannya, mengepulkan asap yang menebar aroma menenangkan. Hanya saja, segalanya masih begitu tak simetris.

"Tolong," balasnya kecil. Dengan suara bisik yang hampir tak Sakura kenali.

Sakura menaruh cangkirnya, menghela napas kecil untuk kemudian membantu Naruto untuk mendudukkan diri di ranjang, bersandar pada kepala ranjang dan bantal-bantal di belakangnya. Kain kompres di keningnya terjatuh, tapi Sakura tak memedulikan. Yang ia pedulikan adalah suhu Naruto yang kembali memanas dengan normal. Bajunya kini mulai dirembesi keringat, dan seharusnya, seharusnya ia menggantinya dulu. Sekarang.

Tapi … melakukan itu sudah tak semudah dulu. Rasanya, ada yang berbeda. Maka Sakura membiarkan dan memilih menyodorkan cangkir pada sahabatnya tersebut.

"Terima kasih banyak." Naruto mengujar dalam serak. Sesapannya lamat dan lagi-lagi begitu tak familier. Naruto hanya terdiam ketika cangkirnya diturunkan, ia lingkupi permukaan badannya dengan jari-jemarinya. Safirnya masih tak ingin mendongak, masih sibuk mengatensi sprei-sprei kusut di bawah tubuhnya. Ia … masih tak ingin menatap Sakura.

"Apa yang … terjadi?" Suara Sakura kembali terdengar. "Maksudku, kau … kau tidak pulang semalaman dan …" Sakura menghentikannya dan terkekeh pelan, bukan jenis kekehan akrab yang mampu mencairkan suasana. Melainkan kekehan penuh sinisme, di mana Naruto bisa merasakan atmosfer yang melingkupi mereka semakin kaku. "Dan berakhir dengan seperti ini?" katanya meneruskan.

Naruto, pada akhirnya, mendongak. Menangkap pandangan Sakura yang tetiba rapuh. Emerald-nya tak bersinar, dan rautnya … ini adalah raut yang tak akan ingin Naruto lihat dari wajah Sakura.

"Maaf, Sakura-chan, aku—"

"—stop with that sorry thing!" Gadis itu melempar suara tingginya, gusar. Tapi kemudian, suaranya kembali melemah. Seperti menahan isakan. "Kau juga mengatakannya malam itu, Naruto. Ingat? Kau meminta maaf untuk kemudian pergi. Kau meminta maaf setelah apa yang kau lakukan. Dan sekarang … ketika akhirnya kau kembali, lagi-lagi kata itu yang kau katakan?"

"Sakura-chan …."

"Katakan, Naruto." Kali ini, wajah Sakura mengeras. Matanya menyalang dengan genangan likuid di permukaannya. "Katakan, kau posisikan aku di mana?"

Ada banyak hal yang akhirnya menghampiri otak Naruto. Banyak sekali. Seperti ketika malam itu, di mana ia melihat Sakura tepat di mata, ketika akhirnya ia mendekat dan menyentuhkan bibirnya pada diri Sakura, ketika ia mendekap hingga rasanya tak ingin lepas. Ada banyak sekali komplikasi. Namun, kali ini, mereka berdiri dengan kesadaran yang hampir penuh. Yang sebagaimana seharusnya. Bukan dengan kesadaran yang hampir hilang karena kegilaan dari diri satu sama lain.

Tangan Sakura terulur, menyentuh wajah Naruto yang pias. Mata safir itu memejam merasakan jemari Sakura yang bergerak, menyentuhnya hingga pada rahang, untuk kemudian melepaskan dan menatap nyalang lagi. "Katakan, Naruto."

Safir itu, pada akhirnya punya kekuatan untuk menatap, untuk menaut emerald yang selalu menjadi pusat perhatiannya bertahun-tahun ini. Berusaha memakunya, sebagaimana netra itu memakunya di malam kemarin. Memakunya seperti tak ingin melepas. Naruto melakukannya. Melakukannya.

"Bagaimana aku mengatakannya?"

Dada Naruto bergetar hebat, seiring dengan tatapannya yang semakin memikat. Ia melihat Sakura dalam bayang-bayang taksanya, di matanya, Sakura yang menahan likuid di netra terlihat begitu rapuh sekaligus berbahaya dalam satu waktu. Apa yang sedang gadis itu lakukan? Apa ini berarti … Sakura tengah menanyakan perasaannya?

"Bagaimana aku mengatakannya, Sakura-chan?"

Masih ada banyak sekali benang-benang yang kusut di pikirannya. Ketika Sakura bertanya seperti ini, seperti memiliki kecenderungan padanya, Naruto belum bisa lega begitu saja, sebab masih ada fragmen-fragmen yang tercecer. Tidak utuh. Pecah. Dan pecahan itu perlu Naruto cari dengan cepat, untuk kemudian kembali direkatkan agar pada akhirnya ia mengerti segala sesuatunya secara utuh.

Dan Sakura yang menanyakan tentang posisinya …

Naruto menunduk, sekejap menutup netra dan berlari dari tatapan gadis di hadapannya. Ia mendengar isakan halus yang kemudian terdengar, dan ketika ia melihat, wajah Sakura pun sudah berpaling darinya.

Semuanya tak penting lagi. Ia harus merekatkan pecahan ini.

Maka Naruto mengulurkan tangannya, jemarinya bergerak menjangkau jemari Sakura yang terkepal. Ia tautkan di sana, merasakan kerapuhan Sakura yang selama ini tak pernah ia rasakan. "Aku tak pernah memikirkannya, memang, kalau Sakura-chan mau tahu." Ia menarik Sakura mendekat, merapatkan tubuhnya, menyentuhkan kening panasnya kepada kening milik Sakura. "Tapi ketika aku tersadar, hanya Sakura-chan yang mampu mendominasi pikiranku." Naruto melanjutkan dengan bisikan kecil, napasnya berembus pelan. "Hanya Sakura-chan yang mampu membuatku merasa hampir gila, hanya Sakura-chan yang membuatku kehilangan kendali, hanya Sakura-chan yang bertahan dalam bayang-bayang masa depan, hanya Sakura-chan yang muncul bahkan ketika aku menyentuh gadis lain ... Hanya Sakura-chan."

"Naruto …"

"Maka katakan padaku, apakah itu sudah cukup untuk membuat orang lain menempati posisi pertama pada kehidupanku, sedangkan Sakura-chan yang selalu ada di sana? Selalu di sana. Tak pernah menghilang."

"Naruto …"

Naruto mengurvakan bibirnya, kering. "Mungkin aku memang tak akan pernah menempati posisi yang pertama untukmu, tapi, Sakura-chan, dengan kurang ajarnya kau selalu menempati posisi itu."

Ada yang bergerak lebih cepat sesaat kemudian. Tangan Sakura yang menyambar Naruto dan merapatkan pada pelukannya. Ia benamkan wajahnya di leher Naruto, yang hangat, yang selalu menguarkan aroma kenyamanan familier. Sakura tak lagi menahan tangisannya. "Bodoh." Ia mengumpat kecil. "Kau bodoh, bodoh, bodoh."

Naruto mengerti ia memang bodoh. Maka ia tak ingin membalasnya hanya untuk sekadar mencari pembelaan. Sebab ia memang bodoh. Sangat bodoh sampai-sampai mengatakan hal-hal bodoh barusan. Lelaki itu hanya balas memeluk, merasakan tubuh mungil Sakura yang hangat begitu nyaman dalam dekapnya. Berharap-harap bahwa tubuh ini hanya untuknya seorang, tidak untuk yang lain, meski Naruto tahu itu sangat tidak mungkin. Sangat-sangat tidak mungkin.

Aku memang bodoh, Sakura-chan. Terlalu bodoh untuk berani mencintaimu.

"Kau tahu, Naruto, dari dulu, sampai sekarang, apa yang membuatku bahagia? Apa yang membuatku selalu tersenyum hingga aku merasa dunia ini tidak sesialan yang aku pikirkan?" Dalam dekapannya, Sakura bertanya pelan.

Naruto menggeleng pelan, bersiap untuk merasakan satu lagi kesakitan yang akan dialami hatinya saat ini. "Apa?"

Apa pun itu, ia pasti sangat beruntung. Bisiknya dalam hati.

Tapi kemudian Naruto merasakan Sakura mengeratkan pelukannya. Ia membenamkan wajahnya semakin dalam, merengkuhnya lebih jauh, seolah ketika itu, hanya Naruto lah pegangan yang Sakura percayakan untuk kehidupannya. Hanya Naruto, hanya Naruto …

Dan ketika Sakura melontar, "You, of course. Always you."

Naruto kehilangan kata-katanya.

"It's always been you, Naruto."

Ada yang berbeda di hari terakhir mereka di London.

Ketika Naruto menyadari, ia bangun dengan rengkuh-rengkuh hangat di seputar pinggangnya. Ada napas yang berembus pelan dan teratur di sampingnya. Tubuh mereka berkonversi seolah tak ingin melepas lagi. Pagi itu, untuk pertama kalinya Naruto bangun lebih dulu dengan segala perasaan yang jauh lebih ringan dari hari-hari kasualnya.

Ia memerhatikan wajah Sakura lamat-lamat. Wajah yang sudah sangat ia hafal konturnya, segala detailnya, kefamilierannya. Wajah yang selalu marah ketika ia bertindak bodoh, yang selalu tersenyum ketika mereka saling mengerti, dan selalu tertawa saat Naruto melontar hal-hal bersifat humorisme. Sakura selalu di sana, tak peduli bahwa di masing-masing mereka memiliki teman kencan, tak peduli bahwa mereka selalu diretas dalam satu jarak tipis yang entah mengapa terasa begitu jauh, Sakura selalu di sana. Selalu menempati posisi pertama di hidupnya.

"Apakah kita mengambil jalan yang benar, Sakura-chan?"

Naruto berbisik pelan, jemarinya terangkat untuk menyentuh helai-helai poni Sakura yang menutupi wajahnya. Ia bergerak sedikit, merasa terganggu, namun sepersekian detik kemudian kembali bernapas dengan nyaman.

"Bisakah aku mengatakannya setelah ini? Bolehkah? Benarkah?"

Memang belum ada kata cinta terucap. Dari semua kata yang mereka ungkap semalam, semuanya belum terasa lengkap. Tapi Naruto mengerti bahwa perasaannya kali ini tidaklah sendiri. Bahwa bukan hanya ia yang merasakan segalanya. Bahwa Sakura juga merasakan perasaan mengganggu itu, yang membuat dadanya berosilasi, yang membuat segala sesuatunya mampu menyulut emosi.

Naruto menyadari bahwa selama ini ia selalu terbawa emosinya yang bodoh. Bagaimana ia tak bisa mengontrol perasaannya sendiri dan melampiaskan pada hal-hal yang tak menyenangkan. Bagaimana hari kemarin ia pergi begitu saja setelah melakukan hal kurang ajar yang membuat Sakura bertanya-tanya.

Apakah ia harus menyalahkan cinta?

Sebab cintalah yang membuatnya menjadi entitas nirlogis. Tak bisa memikirkan hal-hal logis. Padahal Naruto termasuk lelaki yang tak banyak memakai perasaan. Ia selalu begitu dalam bertindak, kepada gadis-gadis dan wanita-wanitanya yang lain. Ia selalu menjadikan logika tameng akan kehidupannya.

Namun, dengan Sakura, segalanya hancur begitu saja.

"It's not just you, Sakura-chan." Naruto berdesis lagi. Bibirnya ia dekatkan pada bibir Sakura yang bernapas teratur. "About what bring me joy, of course you. Always you."

Ia kecup bibir Sakura diam-diam.

"Aku tidak pernah tahu Shikamaru punya hubungan dengan saudara perempuannya Gaara."

Naruto menghentikan langkahnya, menyandarkan tubuh pada dinding-dinding tepian Sungai Thames, menatap jauh pada dua objek yang tertangkap netra di depan sana;

Menara Big Ben dan London Eye.

"Yah, memang hubungan mereka cuma sekadar sahabat. Seperti kita." Sakura ikut mengstagnasikan langkahnya, bersandar di samping Naruto. "Aku ingat mereka sering bertemu ketika aku masih dengan Gaara dulu." Gadis itu menghela napas kecil. "Tapi, saat itu Temari masih menjalin hubungan dengan pria lain."

"Menahannya selama itu?" Naruto mengerutkan kening.

Ada sela sepersekian menit yang diisi dengan hening ketika itu. Sakura menatap Naruto, menaut safirnya dalam-dalam. Tangannya terulur menyentuh helai poni Naruto yang jatuh di atas matanya, dan melesapkan satu senyuman penuh arti dari bibirnya. "Ya, selama itu."

Ketika itu, langit semakin menggelap, rona merah menguar dan mampir di sekitar belah-belah pipi Sakura. Naruto melihatnya, mencoba menjangkau dengan jari-jemarinya yang ia luncurkan di sana. Mengelusnya pelan, membiarkan Sakura menutup mata bersamaan dengan angin petang yang membaur sana-sini.

"Mungkin, memang tidak semua orang tahu, bahwa hal-hal paling berarti untuknya di dunia ini, terkadang berada tak sejauh perkirannya." Naruto melontar. "Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadarinya. Dan dari sekian banyak tahun yang telah mereka lewati, ia selalu ada di sana. Bersamanya. Selalu bersamanya."

Sakura tak menjawab. Gioknya terpaku pada tautan mata Naruto yang menggelap, segelap langit petang yang disubtitusi malam. Ada rentetan spektrum cahaya warna-warni yang kemudian tertangkap sekitar, begitu terang, benderang. Namun safir Naruto yang menghangat begitu mendistraksi Sakura dalam tatap-tatap tanpa batas.

Sepersekian menit, semuanya terasa gamang, namun nyaman. Semuanya berpusat di sana, di mata Naruto. Bahwa seluruh hal yang Sakura inginkan ada di sana. Terangkum dalam tatap-tatap nyaman yang menjebak perasaannya di sini.

Ketika tangan Naruto di pipinya terlepas, barulah Sakura mampu menginjak bumi dalam batas kesadaran penuh lagi.

"Kita naik London Eye, yuk!"

Naruto menarik tangannya, membawanya menyusur sungai Thames bersamaan dengan beberapa orang-orang lain. Sakura menutup mata sesaat, menciptakan senyum yang tak terdefinisi ketika tangannya balas menggenggam jemari Naruto.

Mereka memasuki area permainan tak lama kemudian, masih dengan tangan ditaut, dan senyum yang dikulum samar. Ini begitu klise. Entah bagaimana Naruto dan Sakura dapat merasakannya. Mereka sudah terlalu tua untuk dikatakan berpengalaman dalam hal berkencan, bahwa sekadar menggandeng tangan bukanlah salah satunya. Naruto tahu biasanya ia akan lebih menuntut dari ini, mendekap pinggul dengan satu-dua kecup di pipi (dan bibir, seringnya). Dan Sakura juga akan lebih seduktif dari ini. Ia membiarkan pria-pria yang mengencaninya berlaku lebih. Maka ini adalah klise. Hanya saja, Naruto dan Sakura nyaman dengan semua ini. Mereka tak memerlukan hal-hal berlebihan itu saat dengan saling menautkan jemari pun segalanya sudah terasa lengkap.

Area taman bermain terhitung sesak, dan mereka harus mengantre untuk membeli tiket London Eye. Namun tak lama, sebab sepuluh menit kemudian mereka telah mendapatkan tiket dan bersiap-siap untuk menaiki kapsul berukuran besar itu.

"Senang keinginanmu terwujud?" Naruto menggoda di antara perjalanan mereka menuju kapsul. Sakura hanya menyenggol pundaknya, membiarkan dirinya tersenyum begitu lebar sebab malam ini, ia benar-benar akan naik London Eye!

Tak lama kemudian, satu kapsul berhenti dan petugas mempersilakan mereka berdua untuk masuk. Sakura meneliti sekitar kapsul, kemudian mengerutkan kening saat menyadari mereka mendapatkan kapsul dengan tipe cupid capsule—yang kubikelnya memang khusus didesain untuk para pasangan. Diam-diam ia meneguk ludah, berapa uang yang Naruto keluarkan untuk membeli tiket kapsul ini?

Mereka diberikan minuman di dalam, dan diberi aba-aba sekali lagi oleh petugas ketika beberapa saat kapsul akan segera berputar. Emerald Sakura berbinar cerah ketika akhirnya kubikel itu mulai meluncur—berjalan dengan pelan menuju puncak.

"Astaga, Naruto, ini indah sekali!"

Sakura merapatkan diri pada kaca-kaca kubikel. Tangannya ia tempelkan di sana. Jutaan lampu terlihat membauri penglihatannya. City lights London, rasanya segalanya terlihat lebih indah dibanding bintang.

Naruto tersenyum kecil, mendekat pada Sakura yang masih terpaku pada keindahan di bawah sana. Tangannya menelusup pelan, merangkul Sakura di pinggang dan membawanya mendekat. Membiarkan tubuh mereka berdiri bersisian dengan nyaman.

"Hei, Naruto, itu Royal Opera House, kan?"

Naruto mengikuti arah pandang Sakura, mendapati salah satu landmark London berdiri di sana. Ia tersenyum mengiyakan. Ikut menautkan pandangan ke arah utara, di mana British Museum dan Alexandra Palace juga terlihat dari sana.

Ada begitu banyak keindahan yang mereka lihat, di antara kelam malam yang mendominasi—tapi terang begitu bersinar di bawah sana, di sekitar mereka. Tawa hangat dan decak kagum membaur bersama bangunan-bangunan megah yang terlihat jauh jauh jauh lebih menawan di atas sini; Big Ben, Westminster Bridge, Istana Buckingham, Trafalgar Square, House of Common, hingga Stasiun Waterloo.

Naruto terdistraksi lagi ketika Sakura memekik pelan, melayangkan jeratan pada jas semiformal Naruto di sampingnya, sembari ber-wah berkali-kali, dengan mata berbinar dan wajah mengembang.

Lelaki itu tidak tahan, maka ia terkekeh pelan, dan mengecup pipi Sakura dengan cepat.

Sakura melebarkan matanya, kini teralihkan atensinya pada lelaki di sebelahnya. Bibirnya ia rengutkan, pertanda bahwa ia tak suka perlakuan tiba-tiba Naruto. Tapi kemudian. Naruto tersenyum lembut, mengacak rambut Sakura pelan dan kembali membawanya terpaku pada safirnya.

London Eye masih berputar ketika Naruto berbicara tenang.

"Kadang aku bertanya-tanya, jika yang menjadi sahabatku selama ini bukan Sakura-chan, apakah rasanya akan tetap sama?"

Sakura merasakan angin menembus permukaan kapsul dan mengelus-elus belah pipinya pelan.

"Aku ingat, ketika itu, aku baru sembilan belas tahun. Saat kita sama-sama menerima pemberitahuan diterima kuliah di Konoha, saat aku menyadari akan ada banyak sekali waktu yang tersita hanya untuk kita berdua."

Sakura kini hanya mendengar Naruto, seolah lupa dengan segala keindahan di sekitarnya.

"Dan ketika itu, aku sudah menyadari, bahwa yang kurasakan, esksitensimu tidak hanya sebagai sahabatku … tapi juga kebutuhan hidupku. Aku tak pernah bisa menggantungkan hidupku tanpamu, Sakura-chan. Seberapa sering aku pergi dan memegang tangan wanita-wanita lain, aku selalu mencarimu di sana, mengharapkanmu, menjadikanmu rumah yang kemudian bisa membawaku pulang dengan segala kenyamanannya."

"… Naruto."

Lelaki itu tersenyum, menggantikan angin-angin yang berembus untuk membelai pipi Sakura. "Tapi hidup ternyata lebih jahil, ia membawaku berputar pada kesesatannya sebelum aku—kita, benar-benar bisa menyadari apa yang sebenarnya kita inginkan, sekaligus kita butuhkan di dunia ini."

Mata biru Naruto berpendar seterang ribuan bintang, di sana, Sakura melihat hal yang lebih indah dibanding city lights London yang memakunya. Ia melihat sesuatu yang infiniti, yang membawanya masuk untuk kemudian menjebak dalam ruam-ruam kenyamanan, yang absolut.

"Aku tahu harusnya ini sudah terlontar sejak dulu," Naruto memberikan satu senyum pada Sakura, menarik tangannya, mengonversikan tubuhnya. "Tapi, setidaknya, aku masih bisa mengatakannya, walau sedikit terlambat."

Sakura, terjerat sepenuhnya, ketika Naruto sekali lagi membawanya ke dalam jerat bibir hangatnya. Menciumnya, dalam lumat-lumat hangat yang membuat gadis itu memejam dan merasakan tremor di seluruh tubuhnya.

"Aku mencintaimu, Sakura-chan."

Konvesi itu akhirnya terujar.

"Aku mencintaimu."

Bibir Sakura bergerak ingin menjawab, tapi Naruto tak membiarkannya lepas. Lelaki itu mengisapnya dengan pelan, bergantian, atas dan bawah. Menarik Sakura semakin erat, meretaskan jarak yang sudah rapat. Membawa tangannya terangkat dan menyentuh tengkuk Sakura, membawa ciumannya semakin dalam.

Naruto meninggalkan kata cintanya lesap pada ciuman dalam malam itu, di kapsul London Eye, di antara spektrum terang yang menghias sekelilingnya, di atas ketinggian yang lebih dari 130 meter, di dalam sentuh-sentuh memabukkan yang kemudian Sakura lampiaskan.

Aku juga mencintaimu, Naruto.

Aku mencintaimu.

Sakura mengucapkannya dalam hati, membuat Naruto dapat mendengar lewat ciumannya yang tak kalah dalam. Tanpa kata-kata, hanya perasaan.

Mungkin butuh ribuan hari untuk menyadari, ribuan sakit untuk melempar pahit, dan ribuan kecup untuk mengujar cinta yang tak akan pernah cukup.

Tapi, inilah cinta.

Ia tak akan pernah mau datang dengan cara yang terlampau biasa.

.

.

To be Continued

.

.

a/n: tons of thaaaaaanks untuk semua pembaca yang masih setia sampai sini; yang nggak pernah bosan menunggu saya update; yang nggak pernah lelah menagih saya entah di mana pun itu; yang masih dan masih bersedia mereview dan memfavoritkan cerita ini; i have nothing but thanks, thanks, thaaaaank you so much.

maaf atas segala keterlambatan yang ada, juga untuk kekecewaan yang kadang terbersit di hati kalian karena sudah terlalu lama menunggu (i hate waiting too, really). dan chapter empat belas ini, khusus untuk kalian semua, tanpa terkecuali :) terima kasih selalu membuat saya tersenyum!

see you on the last chapter, ya! ;)