Berjalan tergesa menelusuri koridor rumah sakit, pemuda berambut hitam kebiruan dengan style unik itu pun akhirnya menghentikan langkahnya tepat pada pintu ruangan VVIP bernomor 409. Meraih knop pintu perlahan dengan tangan yang tampak bergetar, pemuda berusia dua puluh enam tahun itu pun akhirnya membuka pintu tersebut.

Menganggukan kepalanya pelan saat seorang dokter berkacamata bulat berjalan menghampirinya dan menepuk pundaknya pelan, Sasuke Uchiha pun kembali melangkahkan kakinya masuk lebih jauh ke dalam ruangan tersebut.

"Sa—Sasuke ... itu 'kah kau?" Seorang pemuda berwajah hampir serupa dengannya yang tengah terbaring dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan langsung menyapa Sasuke begitu menangkap kedatangannya.

"Hn." Sasuke meraih dan menggeser kursi tunggu pasien, kemudian mendudukan dirinya di kursi tersebut, tepat di dekat tempat tidur pasien.

Tersenyum lirih, sosok tersebut mengangkat tangannya yang berbalut perban dan tertancap jarum infus— menggerakannya menuju wajah sang Uchiha bungsu. "Syukurlah, akhirnya kau datang juga." Ucapnya begitu lirih seraya mengelus wajah sang adik. "A-Aku hampir ra-ragu k-kau akan da-tang."

"Itachi no baka." Dengus sang adik, namun terdengar ada kegetiran dalam suaranya. "Itu tidak mungkin, 'kan?"

Menjentikan jari telunjuknya pada kening Sasuke, Itachi kembali mengulas senyum. "Ya, a-aku se-lalu percaya padamu."

Menutup kedua matanya sejenak saat telapak tangan sang Uchiha sulung menelusuri lekuk wajahnya, setetes air mata nampak lolos dari matanya tanpa bisa tertahankan lagi.

Menghentikan kegiatannya sejenak, Itachi sebisa mungkin mencoba tekekeh mengejek— namun rasa sakit semakin mendominasi dirinya. "H-Hey ... ada apa de-ngan adikku? K-Kau mena-ngis? Sa-Sangat ti-dak Uchiha seka-li."

Menghapus air matanya yang mengalir semakin banyak secara kasar dengan punggung tangannya, Sasuke tersenyum miring. "Bodoh. Ini air mata bahagia karena aku bisa melihat keadaanmu yang sangat menyedihkan. Aku sudah tertawa dengan begitu puasnya sepanjang perjalanan."

"Tsk ... kau me-mang adik kurang a-jar." Menyimpan kedua tangannya di atas perut, Itachi menatap lurus ke atas langit-langit ruangan tersebut. Mengatur napasnya yang terasa semakin susah, pemuda tersebut kemudian kembali menatap sang adik. "S-Sa-suke, Kaa-san se-makin terlihat cantik. Ka-Kau pasti iri kare-na a-aku akan se-gera di-jemput olehnya."

"..."

"A-Aku be-nar-benar ti-dak sabar. Uhuk ... "

Meraih tisu yang ada di atas lemari kecil yang berada di samping tempat tidur, Sasuke bangkit dan mengusap aliran darah yang mengalir dari mulut sang kakak. "B-Baka ... jangan ba-nyak bi-bicara."

"Uhuk ... uhuk... " terbatuk semakin keras dengan aliran darah yang keluar semakin banyak, Itachi menahan tangan sang adik yang tengah membersihkan darah di mulutnya dengan tangan gemetaran. "M-Maaf me-repotkanmu, Sasuke. Se-mua i-ni men-jiji-kan."

Melangkah mundur, Sasuke membalikan badannya dan menutup matanya dengan sebelah tangan. Menangis tanpa suara, kedua bahunya bergetar dengan begitu hebat. "Kenapa kau begitu ceroboh, Itachi? Bagaimana bisa tabrakan itu terjadi?"

"Uhuk ... uhuk ... ugh ..." Itachi menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tersenyum miris ketika melihat gumpalan darah yang menempel pada telapak tangannya, "Kau pas-ti akan terkesan saat tu-buhku terpental-pental ke- jalanan. Rasanya be-nar-benar luar bi-asa. Sa—"

"Urusaii..." Berbalik, Sasuke menatap Itachi nyalang dengan mata memerah. "Tutup mulut berisikmu, Itachi. Cepat katakan apa yang sebenarnya kau inginkan dariku."

Diam. Itachi kembali menatap lurus ke atas. Mengatur napasnya di tengah-tengah batuk darah yang terus mendominasi dirinya, Itachi tersenyum getir. "Pa-dahal sebentar la-gi a-ku akan menikah dan menjadi a-yah." Itachi menatap Sasuke dan tersenyum tipis. "Tapi ... rupanya Tuhan tak mengijinkan i-tu ter-jadi."

Sasuke diam, menunggu sang kakak menyelesaikan ucapannya.

"D-Dia sa-ngat rapuh, Sa-suke. Begitu haus a-kan per-hatian. Terlalu bergantung pa-padaku," Senyum getir menghiasi wajahnya, "D-Dia pasti a-akan bertindak nekad bi-la tak dijaga de-ngan ba-ik. A-Aku mo-hon Suke, jaga dia dan anak ka-mi." Menutup matanya saat sakit di dalam dada dan sekujur tubuhnya semakin terasa menyiksa, Itachi pun mulai mengatur napasnya dengan begitu keras.

"I-Itachi?" Sasuke mendekat ke arah Itachi dan menatap sang kakak dengan kalut. "Kau baik-baik saja 'kan?"

"Ugh ... " Itachi menutupi mulutnya begitu erat dengan kedua tangannya. Aliran darah mengalir di sela-sela bagian yang tak tertutupi. Sasuke bahkan dengan begitu jelas melihat darah tampak membasahi bantal yang ditiduri kakaknya.

"Aku akan panggil dokte—"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Sasuke merasakan cengkraman erat pada tangan kanannya. Air mata mengalir kembali saat melihat senyum pada wajah Itachi.

"A-Aku ba-ik ... ja-ngan kha-watir."

"..."

"B-Berjanji-lah ... Sa-suke." Mata beriris onyx-nya menghujam tepat ke arah mata di atasnya, "A-Aku mo-hon."

Menutup matanya, Sasuke menggigit bibir bawahnya keras hingga berdarah. "Kenapa?" membuka matanya kembali, Sasuke menatap kakaknya nanar. "Tidak 'kah kau yakin akan sembuh, Itachi?"

"..."

"Itach—"

"Semuanya mu-lai gelap, Su-ke. A-aku me-ngan-tuk."

Sasuke pun kembali menangis dalam diam ketika cengkraman pada tangannya terlepas dan saat suara alat pengitung detak jantung yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah bunyi yang panjang.

Mendudukan dirinya dengan lemas pada kursi, Sasuke akhirnya hanya bisa menatap nanar tubuh kakaknya yang terbaring di hadapannya dengan mata tertutup, tertidur dengan begitu tenangnya.

Bruk...

Sama sekali tak menolehkan kepalanya ke belakang saat suara bedebam pintu yang dibanting secara kasar dan ketika beberapa langkah kaki yang nampak melangkah tergesa ke arahnya terdengar pada indera pendengarannya, pemuda berambut hitam kebiruan tersebut hanya diam terpaku.

"I-Ini bercanda 'kan?" Seorang wanita berambut pirang pucat menatap nanar jasad Itachi, air mata kemudian segera menerobos dan membasahi pipi putihnya. "I-Itachi ... ? Ti-dak mungkin." Dan wanita tersebut pun kemudian langsung ambruk, jatuh pingsan dalam dekapan sang Uchiha senior yang dengan sigap menangkap tubuh lemahnya sebelum benar-benar jatuh menghantam lantai.

.

.

.

.

.


BROKEN HEART?

Chara selalu milik Masashi Kishimoto Sensei, tapi fict ini tulisan Sao.

Warning : AU, OOC, FemNaru, Typo's yang selalu nyelip dengan bandelnya, cerita monoton, alur cepat dan maju mundur , dll.

Pairing : SasuFemNaru, slight other.

Fict ini Sao dedikasikan untuk my birthday dan semua yang berkenan dengan fict ini. Tak ada keuntungan materil yang Sao peroleh dari fict ini. Adapun chara yang OOC, itu hanya untuk berjalannya cerita dan sama sekali tidak ada niat untuk menyinggung fihak manapun, serta sama sekali tak ada niatan untuk membuat jelek suatu chara atau karya aslinya.

Don't like, don't read. Pilihlah bahan bacaan dengan bijak. Flame dipersilakan selama membangun.

Happy reading and happy birthday to me...

.

.

.

.

.

Menggenggam kedua tangan gadis pirang beriris sapphire yang duduk di sampingnya dengan begitu eratnya, Shion tersenyum dengan begitu bahagia. "Astaga ... kau harus tahu betapa senangnya aku bisa bertemu dengan novelis idolaku." Shion mendesah, "Ini benar-benar terasa seperti mimpi."

Menatap dalam diam wanita hamil yang baru saja dikenalnya kurang dari sepuluh menit yang lalu, pandangan Naruto pun tiba-tiba jatuh pada permukaan perut wanita tersebut yang tampak tak rata. "Kau sedang hamil?" Tanya Naruto pelan, pandangan matanya nampak tak terartikan.

Mengannguk, Shion segera mengelus-elus perutnya dengan penuh sayang. "Ini lah yang membuatku datang kemari. Aku dan calon suamiku akan memeriksakan kandunganku pada dokter."

"Calon suami?"

"Hu-um ... " Menggaruk pipinya yang tak gatal, "Aku baru sekedar bertunangan dengan 'Ayah' calon anakku. Tapi aku akan segera menikah dengan 'Papanya'."

Sama sekali tak menyadari keganjilan dari ucapan wanita bernama Shion— wanita yang beberapa menit lalu menjeritkan namanya dan menarik dirinya untuk duduk bersama di kursi secara paksa, seraya mengajaknya berkenalan dengan mengaku sebagai fans dan pelanggang setia setiap novel karyanya— Naruto pun mencoba menyunggingkan senyum tipis. "Aku harap pernikahan kalian lancar dan kalian akan menjadi keluarga yang bahagia." Ucapnya tulus.

"Arigatou, Naru-chan." Shion kembali meraih tangan Naruto, "Aku benar-benar beruntung karena Sasuke-kun meninggalkanku di sini sehingga bisa bertemu dengan dirimu."

Sasuke?

Mendengar nama tersebut, seketika membuat Naruto tertegun. Rasa sakit kembali menyerang dadanya, membuatnya sesak dan ingin menangis.

"Kenapa?" Tanya Shion khawatir saat melihat Naruto yang nampak tersakiti. "Ada yang salah dengan ucapanku? Aku min—"

"Tidak, aku tidak apa-apa." Nama Sasuke tidak hanya ada satu di dunia, bukan?

Ikut tersenyum saat gadis cantik di hadapannya menyunggingkan senyuman— yang Shion sadari sangat dipaksakan— dan balas menggenggam tangan Shion. Mengalihkan tatapannya pada pergelangan tangan Naruto yang nampak diperban, wanita hamil itu tersenyum jeri. Bukankah itu—

"Ini hanya terkena pecahan kaca," Naruto segera memberi penjelasan saat menyadari ke mana tatapan mata beriris lavender tersebut berarah. "aku terlalu ceroboh, hingga terkena luka sayatan."

'Benarkah? Tapi kenapa begitu serupa dengan keadaan tanganku yang dulu? Apakah dia juga baru saja melakukan percobaan bunuh diri sepertiku dulu?' Shion membatin miris.

"Sepertinya sudah saatnya aku pergi," Penuturan Naruto membuat wanita hamil di hadapannya tersadar dari pemikirannya. "aku rasa sudah terlalu lama aku meninggalkan kamarku tanpa izin."

Shion ikut bangkit saat sang novelis tersebut bangkit dari tempat duduknya. "Aku antar?"

Menggelengkan kepalanya, Naruto mengulum senyum. "Tidak usah. Aku yakin calon suamimu akan mengkhawatirkanmu saat dia tak bisa menemukan keberadaanmu di sini."

"Kau benar." Shion tersenyum kecut. "Padahal aku ingin sekali mengantarmu."

"Terima kasih." Naruto menatap ke arah perut Shion kembali, "Boleh aku menyentuhnya?" dan menunjuk tepat ke sana ketika mengutarakan keinginannya.

Tersenyum lebar, Shion tanpa ragu meraih tangan kanan Naruto dan meletakannya tepat pada permukaan perutnya. "Kau merasakannya?"

Mengangguk, Naruto entah kenapa tiba-tiba merasa matanya memanas. "Ada kehidupan di sana. Kuyakin dia akan menjadi lelaki yang hebat di masa depan."

Mengangkat alisnya heran, iris lavendernya memancarkan keingin-tahuan.

"Hanya firasat dan intuisi seorang wanita." Dan karena aku pun juga tengah mengalaminya.

"Semoga saja jenis kelaminnya benar-benar lelaki." Senyum getir nampak untuk sejenak pada wajahnya, lepas dari tangkapan mata Naruto yang tengah terpusat pada permukaan perut yang tengah dielusnya sayang. "Dan aku harap dia akan mirip dengan Ayahnya."

"Sudah saat aku pergi. Sampai jumpa, Shion." Ucap Naruto seraya mulai melangkahkan kakinya melewati Shion.

Melangkah maju dengan masih merambati dinding, Naruto terus berjalan. Namun—

"Apa aku lama?"

—sebuah suara familliar membuat langkahnya terhenti seketika dengan kedua mata yang membola lebar. Menolehkan pandangannya ke belakang, gadis berambut pirang tersebut membeku. Di sana—

'Sasuke?'

—sesosok pemuda raven berkemeja putih tengah berdiri dengan wajah datar tanpa ekspresi dan nampak sama sekali tidak berminat menanggapi lawan bicaranya yang tengah mengomelinya panjang lebar.

"—kau benar-benar menyebalkan, untung saja aku bertemu dengan novelis idolaku. Aku bo—"

Dan tak lama kemudian, kedua iris mata berlainan warna tersebut saling beradu dalam keterkejutan yang tampak nyata. Sama-sama membeku dalam keterpakuan dan detik waktu pun terasa ikut berhenti.

.

.

.

.


"Kau mengenalnya?" Akhirnya setelah lama berdiam diri dalam keheningan yang menggantung, Shion pun melontarkan pertanyaan yang sedari tadi menggeluti pemikirannya. Sementara sang lawan bicara nampak seperti tak berminat sama sekali untuk menanggapi pertanyaannya dan lebih memilih untuk terus fokus pada kegiatannya yang tengah menyetir.

Menghembuskan napasnya secara kasar, Shion mengalihkan pandangannya pada kaca jendela pintu mobil— yang semula terarah pada pemuda di sampingnya. Memainkan jari telunjuknya di kaca mobil dan bergerak membentuk beberapa pola abstrak, Shion kemudian memfokuskan pandangannya pada bayangan Sasuke yang terpantul di kaca mobil. Senyum getir pun terukir pada wajahnya.

Wanita berambut pirang pucat tersebut sama sekali tidak bodoh, justru cukup jenius. Bahkan tak perlu untuk menjadi jenius hanya untuk menerka segala sesuatu yang sebenarnya ada dan tengah terjadi. Shion menyadari dengan jelas kejanggalan yang ada.

Masih terbayang jelas dalam benaknya, ekspresi sang Uchiha bungsu. Ekspresi wajah yang cukup membuat Shion tertegun. Dan saat itu untuk kedua kalinya Shion merasakan sesak di dalam dadanya, namun rasa takutlah yang lebih mendominasi dirinya. Shion takut, sangat takut. Wanita berambut pirang pucat tersebut sangat tidak ingin ditinggalkan untuk kedua kalinya. Ya, Shion merasa begitu takut akan kehilangan dan ditinggalkan pemuda berambut hitam kebiruan tersebut.

"Aku tak akan melepaskanmu, Sasuke-kun." Bergetar, wanita yang tengah hamil itu mengucapkan hal tersebut dengan suara bergetar. Mengalihkan pandangannya, Shion tersenyum getir pada pemuda di sampingnya yang nampak tertegun. "Sebut aku egois, tapi aku tidak bisa dan tidak mau kehilanganmu."

"Kau ini bicara apa?" Tanya Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari fokusnya menatap ke depan, "Aku tidak akan kemana-mana."

Wanita tersebut menggigit bibir bawahnya, "Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya, Sasuke-kun."

.

.

.

.


Memeluk kedua kakinya erat dengan wajah yang ditenggelamkan pada lutut, Naruto menangis tanpa suara. Air mata mengalir begitu derasnya.

Naruto terluka. Hatinya begitu sakit dan hancur berkeping-keping.

Demi Tuhan, kenapa nasibnya begitu malang? Kenapa dia harus mengalami semua ini? Kenapa kekasih yang begitu dia cintai dan percayai sepenuh jiwa juga hatinya bisa begitu kejam padanya? Naruto tak hanya hancur dan terluka, dia pun benar-benar merasa begitu bodoh dan hina. Semua yang dimilikinya telah diserahkan sepenuhnya pada sang terkasih. Tapi—

"Kenapa?" Gadis berambut pirang panjang tersebut menengadahkan kepalanya, isakan pun terdengar lolos dari bibirnya. "Kenapa Suke? Kenapa kau begitu kejam padaku? Kau yang berjanji akan selalu mencintai dan menjagaku, tapi kenapa justru kau yang melukaiku?"

Mengintip melalui pintu yang dibuka sedikit, Sasori menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. Sasori sama sekali tak tahu menahu apa yang telah terjadi pada sang adik sepupu. Yang dia ingat, keadaan Naruto yang semula sempat tampak membaik tiba-tiba kembali memburuk. Mendesah lelah, pemuda itu pun menutup pintu tersebut rapat.

"Kau tidak jadi masuk, Sasori?"

Menggelengkan kepalanya, Sasori menatap pemuda berambut pirang panjang di hadapannya nanar. "Kurasa dia akan lebih baik untuk dibiarkan sendirian untuk beberapa waktu. Kita tunggu Naruto tenang."

Menggigit bibir, pemuda berambut pirang bermata aquamarine itu pun mengangguk. "Ya, kurasa kau benar."

"Bersabarlah, Dei." Tersenyum tipis, Sasori melangkah mendekati pemuda tersebut dan mengusap puncak kepala bersurai pirangnya. "Kita akan membawa Naruto secepatnya kembali ke Uzu."

"Kau benar." Deidara— nama pemuda berambut pirang ponytail tersebut— ikut mengulas senyum tipis. "Arigatou, kau benar-benar telah menjaga adikku dengan baik. Aku tak akan pernah sanggup membayangkan keadaan Naruto tanpa adanya dirimu yang selalu menjaganya."

"Kau terlalu berlebihan, Dei." Sasori mendudukan dirinya di kursi yang tersedia, "Lagipula, sudah kewajibanku untuk selalu menjaganya."

"..." Menundukan kepalanya, Deidara tersenyum getir. "Tapi seharusnya itu adalah kewajibanku. Seandainya aku berani melawan Tou-san."

"Yang lalu biarkan berlalu. Yang terpenting ... setelah Naruto diizinkan keluar dari rumah sakit, kita segera membawanya kembali ke Uzushio."

.

.

.

.

.


Dua minggu kemudian...

Mematut dirinya di depan cermin, wanita bergaun putih khas pengantin tersebut menatap bayangan dirinya yang terpantul di dalam cermin dengan tatapan sendu. Tersenyum getir, wanita yang beberapa saat lagi akan melangsungkan acara pernikahannya tersebut meremat bagian dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Setetes air mata lolos dari matanya tanpa bisa ditahankan lagi.

"Kenapa? Bukankah ini yang kau inginkan Shion?" Terkekeh tertahan, diusapnya kasar jejak basah pada pipinya. Senyum yang tak jelas apa artinya pun disunggingkannya pada wajah yang dirias sedemikian rupa, riasan yang membuat dirinya tampak terlihat begitu semakin cantik. "Kau harus bahagia, Shion. Ini yang terbaik. Tak ada jalan untuk mundur, karena pilihan ini akan menentukan segalanya."

"Shion—"

Menoleh ke arah belakang, Shion menemukan sang Ibu yang tengah berdiri di ambang pintu dengan senyum hangat yang terpatri pada wajah cantiknya.

"—sudah waktunya kita berangkat."

Mengangguk pelan dan kemudian bangkit dari tempatnya duduk, wanita itu pun dengan perlahan mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut bersama sang Ibu. Berjalan dengan begitu mantap menuju lantai dasar kediamannya, di mana seorang supir telah menunggu mereka berdua di depan mobil yang akan mengantarkan mereka menuju tempat pemberkatan berlangsung.

.

.

.

.

.


"Kau yakin tak berubah pikiran, Naru-chan?"

Menatap datar pemuda pirang yang tengah menatapnya khawatir, Naruto menghembuskan napasnya pelan dan kemudian menarik resleting kopernya. "Berhentilah bertanya hal yang tidak berguna, Nii-chan. Kau sudah bertanya hampir dua puluh kali dalam kurun waktu sejam ini." Sahut Naruto jengah.

Terkekeh kaku, Deidara menggaruk bawah hidungnya. "Aku hanya memastikan saja. Lagipula apa ini tidak terlalu cepat? Apa tidak sebaiknya kita mengikuti rencana awal?"

Bangkit dari posisi duduknya di pinggir tempat tidur, gadis beriris sapphire tersebut mendengus. "Terlalu lama bila harus menunggu satu minggu lagi. Dan bukankah Nii-chan harusnya merasa senang bila aku merasa antusias untuk kembali ke Uzu?"

"Tapi kondisimu belum pulih be—"

"Urusaii, Nii-chan." Sela Naruto tajam, "Yang tahu kondisiku Naru dengan baik di sini adalah Naru sendiri. Jadi berhentilah mengkhawatirkan yang tidak perlu."

Mengepalkan kedua tangannya erat, Deidara menatap Naruto tajam. "Kau yang seharusnya berhenti keras kepala, Naruto!" Pemuda pirang tersebut dapat melihat sang adik yang sangat terkejut mendengar bentakan darinya. "Ingat kandungan di dalam perutmu. Kau tidak boleh egois dan bertindak gegabah." Ucapnya dengan nada yang sudah kembali stabil.

Menundukan kepalanya, Naruto pun terisak pelan. "Kenapa kau harus mengingatkan tentang hal itu. Aku benci mengakui fakta itu. Aku tidak menginginkan keberadaannya."

"Naruto ..." Panggilnya begitu lirih saat melihat sang adik yang kembali terpuruk.

"Aku benar-benar hancur, Nii-chan. Bukan hanya hatiku saja, semuanya sudah hancur." Gadis tersebut menggigit bibir, menahan isakannya semakin mengeras. "Aku mohon bawa aku secepatnya ke Uzu. Aku benar-benar sudah tak tahan berada di sini."

Berjalan mendekati sang adik, Deidara memeluk tubuh yang tampak begitu lemah tersebut dan mengelus surai pirang sang adik penuh sayang. "Maafkan aku, Naruto. Jika itu memang yang kau inginkan, baiklah. Kita akan kembali ke Uzu sekarang juga."

"Arigatou, Nii-chan."

Tersenyum pahit, pemuda berusia dua puluh tujuh tahun tersebut menatap ke arah luar jendela. Deidara pun merasakan kesakitan yang sama. Betapa hancurnya hatinya saat dua minggu lalu menerima laporan kesehatan sang adik dari dokter yang menangani keadaannya. Deidara harus kembali menelan pil pahit saat mengetahui bahwa adik bungsunya tengah mengandung selama tiga bulan. Rasa amarah pun ikut menyeruak di dalam dirinya, ingin sekali pemuda yang berprofesi sebagai pilot tersebut untuk menghabisi bajingan yang dengan begitu kejamnya telah mencampakan sang adik tercinta. Deidara juga ikut merasa menyesal karena dulu sempat menerima pemuda berambut hitam kebiruan tersebut sebagai kekasih sang adik dan bahkan mendukung keputusan Naruto untuk memilih meninggalkan kediaman Namikaze karena hubungan mereka yang tak direstui.

Namun nasi telah menjadi bubur. Deidara tak mungkin memutar ulang waktu yang telah berlalu. Kini dirinya hanya bisa menjaga sang adik agar tak semakin terluka. Dalam tekadnya pun terukir janji untuk membahagiakan sang adik dengan berbagai macam cara apapun. Dan kembali ke Uzu adalah cara pertama yang harus dijalankannya.

"Mereka sudah menyiapkan penerbangan kita." Ucap Sasori tiba-tiba, yang baru saja masuk tanpa mereka berdua sadari.

Melepaskan pelukan sang kakak, Naruto segera menghapus jejak basah di pipinya. "Jadi bisakah kita segera berangkat?"

"Belum." Sasori mendengus pelan saat menangkap raut wajah kecewa sang gadis pirang tersebut, "Ada beberapa hal yang masih harus aku dan Dei urus sebelum kita benar-benar berangkat, Naruto." Jelasnya menjawab pertanyaan yang tak terucap dari Naruto.

"Lalu kapan?"

"Sekitar satu setengah jam lagi."

Mendesah pelan, Naruto pun menganggukan kepalanya pelan. "Aku akan bersabar."

"Anak pintar." Sahut Deidara seraya mengacak rambut sang adik, sama sekali tak mengindahkan tatapan protes yang dilayangkan terhadap dirinya.

"Sebaiknya kita bergerak cepat, Dei." Peringat Sasori.

Mengangguk, Deidara pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut, diikuti Sasori yang menyusul kemudian.

Sepeninggal dua sosok kakaknya tersebut, Naruto melangkahkan kakinya ke balkon luar kamarnya. Menatap nanar awan putih yang nampak berarak di atas langit tersebut, kemudian dengan ragu Naruto mengelus permukaan perutnya yang mulai tampak sedikit membuncit. Gadis yang sebenarnya bukan gadis itu pun menggigit bibir bawahnya, "Aku belum siap menerima keberadaanmu, tapi ... haruskah aku mengingkari keberadaanmu untuk lebih lama lagi? Bukankah aku begitu kejam?" Menarik napas berat dan kemudian menghembuskannya, Naruto tersenyum miris. "Lalu aku harus bagaimana?"

.

.

.

.


Meraih sebelah tangan mempelai wanitanya, Sasuke menyunggingkan senyum tipis. Namun senyum tersebut begitu jelas nampak dipaksakan bagi sang mempelai wanita yang juga ikut memaksakan dirinya untuk mengulas senyum tipis.

"Aku percayakan keponakanku padamu." Ucap seorang pria yang telah mengantarkan Shion menuju altar.

Sasuke pun menganggukan kepalanya secara perlahan, sementara pria tersebut segera berlalu menuju tempat duduknya.

Melangkahkan kakinya lebih maju, pasangan calon pengantin tersebut itu pun menatap lurus ke arah sang pastur yang akan memberkati pernikahan mereka. Suasana gereja pun seketika menjadi hening.

"Baiklah, kita akan segera memulai acara pernikahan yang suci ini." Sang pastur mulai membuka suaranya. "Tapi sebelum itu, adakah diantara kalian yang merasa keberatan dan ingin mengungkapkan keberatannya akan upacara pengikatan pernikahan ini?"

Hening.

Sama sekali tak ada yang membuka suara.

"Baiklah," Sang pastur kembali membuka suara setelah beberapa menit menunggu. "kita akan segera memulai acara pemberkatan ini." Menarik napas sejenak, pria berumur itu pun kembali bersuara. "Sa—"

"Saya keberatan."

Suara bernada lirih itu pun membungkam sang pastur dan sontak membuat beberapa orang menahan napas serta menjadi pemicu dimulainya desas-desus dari para tamu undangan.

.

.

.

.


"Kita berangkat sekarang." Ucap Sasori singkat seraya mulai melajukan mobil putihnya, yang dihadiahi anggukan dari dua kepala pirang yang telah duduk manis di dalam mobil.

"Apa Kaa-san dan Tou-san sudah tahu kita akan pulang, Nii-chan?" Tanya Naruto dengan nada yang terdengar khawatir.

Tersenyum, Deidara mengangguk. "Kau jangan khawatir, Naruto. Mereka justru sangat ingin sekali segera bertemu kembali denganmu."

"Lalu ... " Naruto menggigit bibirnya pelan, "bagaimana dengan kandunganku?"

Menghela napasnya pelan saat sang adik tampak tak berani langsung menatapnya, pemuda pirang itu pun mengulurkan tangannya ke belakang untuk menepuk puncak kepala Naruto. "Mereka pun sudah tahu, Naruto. Dan mereka bilang akan ikut merawatnya bersamamu bila kau akhirnya memutuskan untuk mempertahankan keberadaannya."

Terhenyak.

Naruto mengangkat kepalanya dan menatap sang kakak dengan mata yang nampak berkaca-kaca. "Nii-chan serius?"

"Tentu saja." Senyum lebar disunggingkannya, "Bukankah itu anakmu? Di dalam darahnya ikut mengalir darah dari Namikaze-Uzumaki. Karena tak ada alasan untuk kami menolak keberadaannya."

Dan seketika Naruto pun menangis tersedu. Betapa Naruto merasa rendah dan begitu hina karena telah berpikir untuk menolak keberadaan janin dalam kandungannya. Betapa kejamnya dirinya. Naruto pun meragukan dirinya adalah seorang wanita dan bahkan seorang manusia.

"Demi Tuhan, aku begitu kejam." Ucapnya parau disela isak tangisnya.

.

.

.

.


Semua orang menatap tak percaya ke arah wanita yang baru saja menyatakan keberatannya, sementara wanita tersebut hanya menundukan kepalanya.

"Apa maksudmu?" Tanya Sasuke begitu datar, sedatar tatapan mata dan ekspresi pada wajahnya.

"Pernikahan ini tidak seharusnya ada." Jawabnya begitu lirih.

"Jelaskan." Titah sang pastur yang kemudian ikut kembali membuka suara.

"Tidak ada cinta dalam pernikahan ini. Pernikahan ini hanya akan menimbulkan luka untuk kedua pihak. Aku ... " Menggigit bibir, wanita tersebut mengangkat kepalanya dan menatap sang pastur. "ingin pernikahan kami dibatalkan."

"Shion?" Miroku bangkit dari tempat duduknya dan menatap nanar sang puteri. "Apa maksudmu yang sebenarnya, Nak?"

Ya, wanita berambut pirang pucat itu sendiri lah yang mengungkapkan keberatan.

Mengelus perutnya, wanita itu menatap calon suaminya sendu. "Ternyata aku tidak sanggup, Sasuke-kun. Aku tidak bisa untuk menjadi egois lebih lama lagi," Menggelengkan kepalanya perlahan, air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya menerobos jatuh dari pelupuk matanya. "aku tidak bisa untuk menahanmu lebih lama lagi. Kau bertindak terlalu jauh, Sasuke-kun."

"..."

"Pergilah, aku akan baik-baik saja. Pernikahan ini hanya akan mengekang kita pada akhirnya. Kita jangan terlalu memaksakan diri, sudah cukup semuanya."

"Shi—"

"Cukup!" Mengangkat tangannya dan menutupi kedua telinganya, "Aku tak ingin kau mengatakan penolakan apa pun. Kau terlalu bersikeras dengan semua ini, aku terlalu bodoh sehingga membuatmu harus terlibat dalam semua ini. Aku minta maaf karena telah membuatmu harus berkorban dengan begitu besar, kau sampai meninggalkannya untukku."

Naruto.

Gadis itu kembali memenuhi pemikirannya. Sasuke tersenyum kecut, "Sudah terlambat, Shion. Aku sudah terlalu dalam menorehkan luka padanya."

"Sasuke-kun..."

"Tak ada gunanya untuk kita mundur sekarang, Shion." Pemuda bermata onyx tersebut mengedarkan pandangannya pada para tamu undangan dan akhirnya terhenti tepat pada ayahnya. "Kita ti—"

"Kau berhentilah bersikap bodoh, Sasuke-kun!" Berseru, Shion membuat sang raven terdiam. "Semenjak awal kau Itachi tidak pernah memintamu untuk menikahiku, dia hanya menitipkan kami padamu." Wanita hamil tersebut memalingkan wajahnya, "Aku waktu itu terlalu labil sehingga berkali-kali berupaya untuk bunuh diri. Dan saat aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu, rasa egois membutakanku. Dengan bodohnya, aku pun mengekangmu dan tak pernah mau melepasmu." Shion kembali menatap tepat ke arah mata sang calon suami. "Maafkan aku yang telah memaksamu untuk menikahiku dengan ancaman akan kembali bunuh diri. Aku benar-benar egois."

"..."

"..."

Suasana kembali hening, orang-orang nampak masih terpaku pada pasangan yang entah tiada kejelasan akan kelangsungannya tersebut. Ikut terhanyut suasana yang diciptakan dua insan yang seharusnya sudah resmi menjadi pasangan suami-isteri dalam beberapa waktu yang lalu.

"Pergilah, Sasuke-kun." Shion menyunggingkan segaris senyum pada wajahnya, "Raih kebahagiaan yang kau inginkan. Aku melepaskanmu. Semoga kau bahagia."

"Shion?"

Mengangguk, Shion menghapus air matanya dengan jemari tangannya. Mengepalkan sebelah tangan dan menggerakannya untuk memberi semangat pada pemuda yang telah resmi menjadi mantan calon suaminya. "Ganbatte ne ... "

"Arigatou." Ucap Sasuke singkat, namun penuh rasa terima kasih. Berbalik, Sasuke pun melangkahkan kakinya cepat menuju pintu keluar.

Dan Shion pun menangis tergugu setelah sang raven benar-benar pergi dan menghilang dari pandangan matanya.

Sementara itu Fugaku hanya bisa menggermetakan giginya saat pergerakannya untuk menyusul sang putera ditahan oleh wanita yang duduk tepat di sampingnya.

"Kau jangan membuat malu para leluhurmu, Fugaku. " Wanita berambut emas kecoklatan tersebut mengulas senyum simpul. "Lapangkanlah hatimu. Biarkan anakmu mnggapai kehidupan yang diinginkannya. Jangan sampai kau menyesalinya setelah dia benar-benar menghilang dari hidupmu. Cukup Itachi untuk saat ini."

"Tsk ... aku tidak tahu kau bisa berkata semacam ini?"

"Hanya sekedar ingin mendukung keinginan puteriku saja." Jawabnya ringan. 'Karena aku merasa bangga akan keputusannya saat ini.'

.

.

.

.


"Ini?" Naruto menatap pemuda berambut merah di hadapannya bingung. "Apa maksudmu?"

"Terima lah." Pintanya dengan wajah yang nampak memerah.

Menatap kotak kecil berwarna biru yang tengah disodorkan sang kakak sepupu, Naruto menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak bisa."

"Apakah karena aku bertindak terlalu cepat?"

"Sebagian memang karena itu." Naruto memandang Deidara yang hanya diam menyaksikan mereka berdua. Senyum tipis tersungging pada wajah cantiknya. "Ada orang lain yang akan lebih pantas untukmu. Seseorang yang sejatinya sangat mencintai dirimu, tidak seperti diriku yang membutakan hatiku dengan berpura-pura tak pernah menyadari perasaanmu yang sebenarnya untukku." Ungkapnya panjang lebar.

Ya, selama ini gadis pirang tersebut telah mengetahui fakta tersebut. Sehingga saat tiba-tiba Sasori menghentikan laju mobilnya dengan alasan mengajak mereka untuk makan terlebih dahulu, Naruto tidak merasa sepenuhnya terkejut ketika pada akhirnya Sang kakak sepupu melamarnya secara tiba-tiba dan terkesan terburu-buru.

Tak mengacuhkan ucapan Naruto sepenuhnya, pemuda bermata hazel itu menatap Naruto penuh harap. "Apa kau perlu waktu dan pendekatan secara pribadi agar kau akhirnya mau menerimaku?"

"Aku tak mudah untuk menyembuhkan luka hatiku. Aku tak ingin memberikan harapan kosong pada siapa pun, terlebih dirimu yang sudah sangat setara kedudukannya di hatiku seperti halnya Dei-nii." Menghela napasdalam, Naruto menggelengkan kepalanya pelan. "Selamanya Sasori-nii akan selalu sama posisinya di dalam hati dan hidupku. Aku akan selalu mencintaimu sebagai kakakku."

Tertawa miris, Sasori meremat kotak kecil yang ada dalam genggamannya. "Aku memang seharusnya tidak pernah berharap. Dan lihatlah, betapa bodohnya aku yang akhirnya mengungkapkan semuanya. Terlebih lagi dalam situasi seperti ini." Pemuda tersebut bangkit dari tempat duduknya, "Kalian berdua habiskanlah, aku akan menunggu di luar restoran." Dan Sasori pun berlalu pergi meninggalkan Deidara dan Naruto yang hanya terpaku.

"Well, boleh kukatakan kau terlalu ... " Deidara nampak tengah menimang-nimang apa yang akan diucapkannya. "Kau kejam karena selama ini telah berpura-pura tidak tahu."

"Akan lebih kejam bila aku mengakui ketahuanku akan semuanya." Naruto tersenyum getir, "Lagipula aku selalu berharap akan ada seseorang yang mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Sasori-nii."

"Hoo~ dan aku cukup tahu apa arti tatapanmu."

Mendengus pelan, Naruto pun meraih minumannya dan meminumnya secara perlahan.

.

.

.

.

.


Sasuke melajukan mobilnya secepat mungkin, berharap agar bisa segera sampai pada tempat tujuannya. Jantung berdetak begitu cepat. Segala macam perasaan berkecamuk dalam dirinya.

Kebebasan.

Berlebihan memang untuk dijadikan pendeskripsian akan keadaannya yang sekarang ini. Karena semua hal memang terjadi atas dasar keputusannya sendiri, tepatnya kebodohannya sendiri. Sebut Sasuke idiot. Karena jujur dirinya pun berpikiran demikian. Sasuke terlalu naif, sehingga berpikiran apa yang dipilih dan ditempuhnya akan menjadi yang terbaik. Sasuke lebih memilih mengorbankan hubungannya dengan orang yang sangat dicintainya untuk bisa menjalankan permintaan mendiang kakaknya. Berawal dari sebuah janji, Sasuke pada akhirnya terjebak dalam jerat permintaan ibu dari calon keponakannya.

Sasuke tentunya masih sangat ingat ketika wanita berambut pirang pucat itu hampir benar-benar tewas pada usaha bunuh dirinya yang keenam. Pemuda berambut raven itu pun dengan gamblangnya menyatakan akan menuruti permintaan apapun yang ditujukan pada dirinya, pernyataan yang membuatnya harus melepaskan impiannya sendiri untuk merajut rumah tangga dengan sang kekasih hati yang kala itu baru dilamarnya seminggu sebelum janji tersebut terikrar.

"Nikahi aku, Sasuke-kun. Berikan aku alasan kuat untuk hidup. Karena tanpa adanya Itachi keberadaanku dan calon anakku di dunia ini sama sekali tak ada artinya." Shion menatapnya lekat, "Jadilah pengganti Itachi untuk kami berdua. Lindungi dan jagalah kami selamanya."

Terus terlarut dalam pemikirannya sendiri, Sasuke pun terlambat menyadari keberadaan sebuah truk kontainer yang melaju dengan oleng tepat di belakangnya. Dan—

Bruak...

Sasuke hanya bisa membelalakan matanya ketika merasakan hantaman pada bagian belakang mobilnya, sebelum akhirnya kehilangan kendali dan mobilnya terguling terbalik serta kemudian terhempas beberapa meter ke samping dalam kurun waktu persekian menit.

"Na-ru-to..." Dan kemudian, semuanya pun menjadi terasa samar. Yang dapat ditangkapnya hanya suara teriakan yang bersahutan, sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kesadarannya secara penuh.

.

.

.

.


Merasakan firasat buruk secara tiba-tiba, Naruto hanya bisa menghembuskan napasnya berat. Entah yang sedang atau mungkin akan terjadi, Naruto sama sekali tidak tahu.

"Kau kenapa, Naruto?" Tanya Deidara yang menangkap keganjalan pada adiknya, sementara Sasori hanya bisa mengintip Naruto dari balik kaca spion mobil.

"Entahlah, Nii-chan. Perasaanku benar-benar tidak enak." Jawabnya lirih.

"Mungkin itu efek yang ditimbulkan kandunganmu. Bayimu mungkin sudah tidak sabar ingin segera sampai di kampung halaman Mamanya."

Mendengus pelan, Naruto memutar bola matanya bosan. "Kau terlalu mengada-ada, Nii-chan. Apa coba hubungannya?"

"Aku setuju dengan Naruto. Ucapanmu sama sekali tak nyambung."

"Aisssh ... tidak usah ikut-ikutan." Deidara mendelik tidak suka pada pemuda berambut merah yang berada di sampingnya. "Ngomong-ngomong," Deidara menatap ke arah luar jendela, di mana terdapat kerumunan orang-orang yang nampak mengelilingi sebuah truk kontainer yang nampak penyok bagian depannya, "apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa macet seperti ini?"

"Ck, jelas-jelas telah terjadi kecelakaan." Sahut Sasori, kemudian jari telunjuknya menunjuk sebuah mobil yang nampak hancur dalam posisi terbalik. "Sepertinya truk itu menabrak mobil itu hingga jatuh terguling dan menabrak mini market itu."

Deidara dan Naruto mengalihkan tatapannya pada mobil bernasib naas yang berada lumayan jauh dari truk kontainer tersebut. Bergidik ngeri, Deidara tersenyum jeri. "Sungguh malang nasib sang pengemudi. Aku harap dia baik-baik saja."

"Bodoh," Dengus Sasori pelan, "tentu saja pemilik mobil itu pasti mati di tempat atau cidera serius, tidak mungkin baik-baik saja."

Naruto menatap lekat mobil tersebut, 'Mungkin hanya perasaanku saja. Itu tidak mungkin, 'kan?' Batinnya.

"Sudahlah, Sas. Sebaiknya kita cepat bergegas." Ucap Deidara.

"Hmp ... kau benar." Pemuda berambut merah tersebut nampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, dan senyum pun tersungging kemudian. "Aku akan mengambil jalan pintas menuju Bandara."

'Semuanya akan berjalan dengan baik, bukan? Semoga hati dan diriku bisa membaik dengan kepergianku dari Konoha.' Naruto membatin penuh harap di tengah sisa-sisa perjalanannya menuju Bandara.

.

.

.

.


.

.

.

.


"Kau melamun?"

Tersentak pelan saat pria paruh baya tersebut menyapanya seraya meletakan secangkir teh hangat di hadapannya, Naruto tersenyum tipis. "Tidak, hanya sedikit teringat kejadian sebulan lalu."

Mengerutkan keningnya, Minato pun kemudian tersenyum. "Ya, Tou-san masih ingat saat akhirnya kau pulang bersama Deidara dan Sasori." Pria berambut pirang tersebut mendudukan dirinya tepat di samping sang puteri, "Kaa-sanmu langsung berteriak heboh dan memelukmu erat sampai kau hampir pingsan dibuatnya."

Tertawa pelan, Naruto kembali mengingat kejadian tersebut. Masih sangat jelas kejadian yang hampir berlalu satu setengah bulan tersebut adalah salah satu moment berharga baginya. Setelah bertahun-tahun meninggalkan rumah, akhirnya Naruto kembali ke kediamannya, walau memang dalam keadaan hatinya yang hancur berkeping-keping. Namun saat itu baru lah dirinya sadari, betapa beruntungnya dia karena memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Dan Naruto pun dengan perlahan bangkit dari keterpurukannya.

"Oh ... iya, bagaimana dengan pekerjaanmu di Suna?" Minato kembali membuka suara, "Tou-san benar-benar bahagia karena kau tidak jadi untuk tinggal di sana dalam kurun waktu yang lama."

"Aku rasa aku harus menunda semuanya, Tou-san. Persis seperti yang Tou-san anjurkan, aku akan menetap di sana setelah bayiku lahir nanti."

"Karena itu lah Tou-san sangat bahagia, Naru-chan. Kau harus tahu kami masih sangat merindukanmu."

"Aku minta maaf karena telah bersikeras membantah Tou-san dan Kaa-san. Maaf karena telah tergiur dengan tawaran Sabaku Publishing dengan begitu mudah."

Mengusap puncak kepala sang puteri, Minato tersenyum lebar. "Aku yakin Kushina dan Deidara akan berteriak histeris saat melihat keberadaanmu di sini."

"Aku tidak sabar menunggu reaksi mereka." Tersenyum jenaka, Naruto menatap Foto sang kakak yang tengah tersenyum lebar, "Lagipula ada yang ingin kuhadiahkan pada Nii-chan yang baru saja resmi berhubungan dengan Saso-nii."

Mendecakan lidahnya pelan, Minato menggelengkan kepalanya. "Ingat kau sedang hamil, Naru-chan. Kau bisa-bisa menularkan kejahilanmu pada anakmu kelak."

"Ehehe ... kurasa tidak terlalu buruk."

"Ya, terserah kau saja lah." Ungkap Minato lelah.

Mengusap permukaan perutnya dengan penuh kasih sayang, Naruto tersenyum lembut.

'Kaa-san memang masih hancur, tapi keberadaanmu adalah keberuntungan yang sangat tak ternilai harganya. Kaa-san menantimu, sayang. Cepatlah lahir ke dunia dan warnailah hari-hari Kaa-san dengan celotehan dan tingkah lakumu. Dan selamanya Kaa-san akan menjagamu. Tak akan Kaa-san biarkan kebahagiaan kita terusik. Tidak siapa pun, bahkan dia sekali pun.'

.

.

.

.

.

Fin.

.

.

.

.


A/N.

Huaaa... akhirnya tamat juga. Maafkan Sao yang telat banget updatenya.

Wkwk... aku tahu endingnya gantung dan terkesan ... ya, begitu lah.

Ehehe... please jangan bantai Sao yang udah buat Itachi-nii berakhir tragis. Kalau ada yang nanya Itachi kenapa, bayangin aja Itachi yang naik motor dan tiba-tiba tabrakan sehingga tubuhnya jatuh terpental dan berguling-guling di jalanan serta berakhir dengan luka luar juga luka dalam. Ya ampun... kejamnya Sao.

Lalu Sasuke, hmp... ayo ditebak bagaimana nasibnya? Ehehe...

.

.


Balasan review :

Riena. Okazaki89 : Ehehe... apa ini termasuk sad ending? Gomen ne...

Uzumaki Prince Dobe-Nii : ehehe... Sao emang suka fict yang rumit sudah dilanjut.

Alta0sapphire : ini endingnya jadi seperti ini. Tapi gak jadi nangis 'kan? Gomen nee... hmp... Sao anak perempuan yang sporty, wkwk...

Arnygs : panggil aja Sao. Ini chap terakhir. Mungkin kalau jadi akan ada sequelnya, tergantung kesempatan yang ada. Arigatou gozaimassu. Ugh... Sao makin tuwir, euy.

Hanazawa kay : Arigatou. Semoga hasilnya tidak terlalu mengecewakan.

Aichan14 : iya, kasihan. Abis si pantat ayam mah aneh. #Sasuke : Hmp, ini yang bikin aku begini siapa, ya? # sudah dilanjut.

Michhazz : wah, arigatou sudah mereview dari chap satu. Sudah dilanjut.

Mifta cinya : wkwk, lagi belajar di balasan review. Kalau lewat PM, Sao terkadang suka malu sendiri. Yang review udah review, Saonya belum balas review kemarin. Hmp... bukan typo kok, maksudnya 'SakuraHinata'. Kan sering gitu Sao jadiin mereka pihak ketiga. Arigatou, Mifta-san.

Harpaairiry : sudah dinext, arigatou.

Wawatvxq : hmp... I'm sorry coz me make Sasuke bad character. And finally, Naruto move on and will find her happiness with her pregnant. Sorry for my bad language, I can to read english but no smart to speaking english. So, I'm hope you will apologize to my bad reply.

Guest : wkwk... betul, tapi sayangnya Sao jamnya terbatas. Arigatou...

Guest1 : hu-um, si anak ayam itu bener-bener deh. Masa milih Shion untuk diselamatin.

Guest2 : belum. Wah, kenapa bisa sensi? Jangan dong, masih banyak hal indah di dunia ini. Arigatou, senengnya banyak yang ngucapin.

Alyazala : wah, arigatou sudah menunggu. Maaf karena mengecewakan dan juga lama.

Uzumakinamikazehaki : Sudah dilanjut.

Aiko Michishige : wah, aku dipanggil kakak. #NangisTerharu arigatou, tatakae. Sudah dilanjut.

Ollanara511 : Wah, doanya manjur. Itu si Sasu kecelakaan, wkwk...

NaruCacu CukaCuka : Wkwk, iya nih. Sasu polos, ugh. Shion masih belum bisa egois sepenuhnya, dia akhirnya lepasin Sasu. Arigatou. Tatakae...

Mizu : Wah, Naru centric ya? Sama, Sao juga selalu begitu. Selalu ingin Naru bahagia klo baca fict, tapi anehnya sering buat fict yang Narunya teraniaya. Sao, hidoi-ssu. Arigatou, Sao udah sembuh, Cuma tinggal sariawan sama sakit kaki kanan aja sedikit.

All : arigatou minna-san. Maaf untuk endingnya yang kurang memuaskan dan updatenya yang sangat terlambat. Maaf juga untuk reviewer yang terlewatkan atau mengalami salah penulisan.

Arigatou gozaimassu untuk reader, silent reader, reviewer, guest, follower, yang memfav fict ini dan semua yang telah berkenan dengan fict ini. Maaf atas segala kekurangan yang ada. Sao selalu memohon bimbingan dan kerja samanya. #ojigi

.

.

.

.


Omake...

Menatap keadaan sang putera yang masih saja terbaring lemah tak berdaya dengan mata yang tertutup rapat, Fugaku mengelus rambut hitam kebiruan yang nampak keluar dari celah-celah perban yang menutupi sebagian besar kepala puteranya. "Kapan kau akan sadar, Nak? Kapan kau merasa cukup untuk menghukum Tou-sanmu yang egois ini?" Senyum getir disunggingkannya, "Tolong jangan tinggalkan Tou-san sendiri. Cukup Kaa-san dan Anikimu saja, Sasuke."

Sementara itu di ambang pintu, Shion hanya bisa diam menyaksikan seperti selama sebulan lebih belakangan ini. Berdoa dan berharap agar sang pemuda raven tersebut segera membuka matanya.

"Bangunlah, Sasuke-kun." Ucapnya begitu lirih. Menerawang ke arah jendela yang gordennya nampak berkibar tertiup angin, wanita berambut pirang pucat tersebut menerawang. 'Kau di mana, Naru-chan? Sasuke-kun sangat membutuhkan keberadaanmu. Tapi aku selalu berharap di mana pun kau berada, semoga kau bahagia, Naruto.' Batinnya.

.

.

.

.


Berkenan kembali untuk mereview?

Arigatou, minna-san.