Hello, Stranger!
by GwendyMary
with SasoSakuSasu
NARUTO belongs to Masashi Kishimoto
WARNING: Sulit dimengerti, alur acak, AU, typos, dan ketidaknyamanan lainnya
Chapter ini aku persembahkan untuk orang-orang hebat ini: Prince'ss218, HM, Stanlic, permen lemon, aksuna mainy, protect Sakura, Mako-chan, AkasunaSs, sakura imoet, AjpBlank, Paok Aho-Chan, Annseptiana
HOPE YOU LIKE IT!
Dedicated to the readers,
I hope whatever you love, loves you back
CHAPTER 6: 'BEST JASHINIST EVER'
.
.
"The female of the species is more deadly than the male." -Anonymous
Hidan menghela nafasnya. Entah mengapa akhir-akhir ini ia kerap kali melakukan hal itu. Aku baru saja menikah dan seharusnya aku tengah menikmati puncak kehidupanku, bukan malah seperti ini umpatnya dalam hati. Kedua bola matanya menatap sengit sekilas pada sebuah pintu kaca transparan yang berada di seberang cubiclenya. Tampak seorang pria—entahlah, Hidan selalu yakin kalau boss-nya sebenarnya adalah seorang wanita—tua yang tengah tersenyum-senyum sendiri menatap layar komputer berlogo buah apel miliknya. Pasti ia sedang melihat stock foto-foto lelaki seksi-nya umpat Hidan sekali lagi dalam pikirannya.
Sasori tidak masuk kerja hari ini—entah karena apa, ia tidak tahu karena 'sahabat baiknya' itu tidak repot-repot memberitahunya—setelah pergi ke Thailand selama seminggu dan Hidan rasanya sudah ingin sekali menyeret sahabatnya itu ke kantor agar ia tidak menderita sendirian di bawah kaki Orochimaru—atau Orochi-chan. Laki-laki penyembah setia dewa Jashin itu memijit pelipisnya. Kantor rasanya tidak terlalu menyenangkan tanpa Sasori, meski ia akui bahwa kadang ia menikmati permainan 'Ayo-Umpat-Orochimaru-Dengan-Lebih-Jahat-Setiap-Hari' dalam hatinya. Ia berusaha kembali memfokuskan perhatiannya ke layar komputer miliknya sendiri. Masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan dan hari masih baru saja dimulai, namun ia sudah sangat ingin kembali pulang ke pelukan istrinya dan menikmati hari itu dengan tenang tanpa melihat Orochimaru. Ah, rasanya ia perlu bulan madu tambahan.
Suara heels yang beradu dengan lantai marmer kantornya seketika membuat dirinya—dan seluruh pegawai lain di kantornya—menoleh ke arah suara. Suara itu tentu saja aneh, mengingat mayoritas pegawai di kantor milik Orochimaru adalah kaum Adam. Satu-satunya pegawai perempuan di kantor mereka hanyalah Ayako baa-san dan wanita itu TIDAK PERNAH menggunakan heels dikarenakan usianya yang sudah kelewat tua melainkan menggunakan sebuah sepatu yang selalu mengeluarkan bunyi seperti balon kempes setiap ia berjalan. Hidan sama sekali tak menyesal telah mengabaikan pekerjaannya lagi meski pekerjaannya menumpuk ketika melihat sumber suara itu. Sesosok perempuan dengan rambut—tunggu, apakah itu rambut merah muda?—berjalan dengan penuh percaya diri, tampaknya menuju ruangan Orochimaru. Iris emeraldnya yang indah menyapu ruangan kantor yang penuh dengan cubicle tersebut, tersenyum pada setiap pegawai yang tampaknya kelihatan tak sanggup berkata-kata. Lalu, tanpa Hidan sadari, kedua bola matanya itu terpaku ke arah dirinya dan Hidan tersentak dengan perasaan familiar yang seketika membanjiri pikirannya. Rasa-rasanya ia mengenal perempuan ini. Namun, dimana?
Selang beberapa detik, perempuan cantik itu telah berada di hadapannya. Ia menjulurkan tangannya yang seputih susu ke arah Hidan, lalu masih dengan senyumannya yang mampu membuat satu kantor terpana, ia berkata, "Konnichiwa. Aku Haruno Sakura, tunangan Akasuna Sasori. Kau Hidan, bukan? Kita sempat bertemu di pesta pernikahanmu."
Seketika rengekan kecewa terdengar jelas di ruangan itu, begitu pula suara berbisik-bisik yang riuh. Hidan merasa bahwa dirinya pasti terlihat amat tolol sekarang. Tentu saja ia familiar dengan sosok perempuan ini! Oh demi Dewa Jashin, perempuan ini adalah tunangan sahabatnya!
Dengan kikuk, Hidan balas menjulurkan tangannya dan menjabat tangan Sakura. Ia hanya meringis-ringis sendiri. Keinginan untuk menanyakan dimana Sasori sudah berada di ujung lidahnya, namun Sakura buru-buru menginterupsi.
"Aku kesini untuk memberitahu bahwa Sasori tiba-tiba jatuh sakit kemarin saat kami baru sampai ke Tokyo. Aku rasa aku harus memberitahumu, mengingat kau adalah sahabat baiknya." katanya ramah. Hidan tampak mengangguk-angguk menanggapi, merasa sedikit tidak enak akibat pandangan para teman-teman kantornya yang sengit.
Ia berdehem, lalu berkata, "Kau sebaiknya langsung saja memberikan surat sakitnya ke Orochimaru, perem—ah, laki-laki yang ada di dalam ruangan kaca itu." Jari telunjuk Hidan mengarah ke ruangan Orochimaru yang terpisah dengan ruangan lainnya oleh 4 sisi kaca tebal.
Sakura mengangguk mengerti dan sebelum ia pamit untuk mengantar surat sakit, ia berkata "Kita harus makan malam bersama kapan-kapan. Aku sangat tertarik untuk jauh lebih mengenal teman-teman Sasori."
Hidan yakin kalau tatapan dapat membunuh, maka ia pasti sudah meninggal di tempat sekarang mengingat satu kantor terlihat sangat ingin mendorongnya keluar jendela.
.
.
.
Suara gaduh yang keras dari arah dapur membuat Sasori semakin meringkuk di bean bag miliknya, mencoba memfokuskan kembali pikirannya pada tontonan di hadapannya. Itu pasti berasal dari Sakura yang tengah memasak makan malam untuk mereka berdua. Laki-laki maroon itu baru sadar kalau ia telah berbuat hal memalukan tadi siang dengan langsung menghampiri Sakura bersama dengan Hidan di restoran Chicken Grunt hanya untuk mendapati bahwa tunangannya itu tidak tengah makan siang dengan boss-nya, melainkan dengan seorang perempuan cantik—tidak secantik Sakura tentunya—berambut pirang bernama Yamanaka Ino.
Sakura memutuskan untuk pulang lebih awal dari pekerjaannya hari ini dan buru-buru menyeret Sasori pulang. Ia tidak tahu kalau perempuan mungil itu memiliki kekuatan yang cukup besar sehingga dapat menyeretnya ke arah mobil dan memasangkan—atau lebih tepatnya, mengikat—dirinya dengan seat belt. Ia mengira bahwa mungkin tunangannya itu akan mengomel sepanjang perjalanan pulang, namun nyatanya tidak ada kalimat sedikitpun yang keluar dari bibir pink Sakura. Gadis itu mengunci mulutnya rapat-rapat dan hal itu justru membuat Sasori semakin frustasi.
Baiklah, ia sadar bahwa ia memang bertindak bodoh. Tetapi akan lebih baik baginya kalau Sakura mengumpatnya, mengeluarkan seluruh emosinya, dibandingkan memberikannya silent treatment karena ia tidak pernah menghadapi perempuan seperti ini sebelumnya. Beberapa perempuan yang dahulu pernah ia kencani tidak pernah memberikannya silent treatment seperti Sakura. Dan mereka jelas tidak pernah memasak dengan suara seperti ingin membunuh pikirnya ngeri, berusaha tidak menghiraukan suara pisau yang beradu dengan papan pemotong yang kelewat besar untuk biasanya.
Setelah 20 menit yang diisi dengan berusaha menonton terlewat, pintu kamar miliknya terbuka dan tampak Sakura yang membawakan nampan berisi makan malam miliknya. Gadis itu masih diam, hanya menaruh nampan itu disamping Sasori tanpa repot-repot berbicara lalu kembali melengos pergi, menutup pintu kamar mereka dengan tenaga yang lebih besar dibanding biasanya.
"Oh…, baiklah. Tidak ada makan malam di meja makan malam ini." gumamnya, pada dirinya sendiri.
"My soul chose yours,
.
.
and a soul doesn't just forget that." –b.m
Aneh adalah perasaan yang dirasakan oleh Sasori di hari pertamanya ia kembali ke kantor. Ketika pemuda itu memutuskan bahwa ia baik-baik saja untuk pergi ke kantor, ia tidak membayangkan bahwa setengah dari pegawa di kantor akan menatapnya dengan tatapan sengit. Entah telah berbuat kesalahan apa dirinya sampai dihadiahi sikap seperti itu. Ia berusaha untuk mengabaikan beberapa sikap teman-teman sekantornya yang tampaknya tengah tidak dalam suasana yang baik secara bersamaan.
"Ah, jangan dihiraukan. Mereka hanya orang-orang bodoh yang delusional." ujar Hidan dengan santai sambal menyesap kopinya di pantry. Gelas berwarna hitamnya yang mencolok dengan tulisan 'BEST JASHINIST EVER' kuning terang dan print wajahnya sendiri miliknya terlihat mengolok Sasori yang tengah kebingungan sendiri.
"Tapi ini sangat aneh. Kau tahu? Tidak ada lagi guyonan milik Furuki yang kuakui di hari biasa pasti akan sangat terdengar menyebalkan karena sesungguhnya guyonan miliknya amat sangat tidak lucu."
"Yah…" kedua bola mata Hidan berusaha untuk tidak menatap Sasori. Jujur saja, ia sendiri bingung sendiri untuk menjelaskannya. Semua memang terasa berbeda sejak Sakura mampir.
"Apa?"
"Eng…, aku tidak tahu cara menjelaskannya."
"Jelaskan." kata Sasori dengan nada mengancam.
Hidan mengusap bagian belakang lehernya, suatu kebiasaan yang ia lakukan kala ia tengah kebingungan. "Well, sepertinya mereka semua iri denganmu."
"Karena apa? Liburan mendadak ku ke Thailand? Astaga! Itu semua kan karena lotere aneh yang dimenangkan Sakura!"
"Lebih tepatnya karena siapa. Ya Tuhan, Sasori! Kau benar-benar tidak tahu seberapa beruntungnya dirimu!" Hidan kembali meminum kopinya yang agaknya mulai mendingin akibat pembicaraannya dengan Sasori. "Dan kau dengar barusan? Aku bahkan menyebut 'demi Tuhan' bukan 'demi Dewa Jashin'."
Sasori mengernyit, jelas tidak paham dengan kemana arah pembicaraan ini. Ia lalu menghela nafasnya, "Bisakah kau langsung saja to-the-point? Kita tidak punya waktu seharian untuk duduk-duduk manis sambil mengopi di pantry."
Menyadari bahwa sahabatnya mungkin memang tidak sepintar ketika mereka masih duduk di bangku kuliah dahulu, Hidan akhirnya mengalah. "Tidak tahukah kau siapa sesungguhnya tunanganmu itu?"
"Haruno Sakura, tentu saja? Lalu? Apa kau akan mengatakan bahwa ia mantan kriminal?" tanya Sasori setengah bergidik. Mengingat kekuatan Sakura kemarin dalam memotong dengan pisau di dapur membuatnya ngeri.
"Astaga, kau ini benar-benar jadi bodoh ya sekarang." Laki-laki bersurai abu-abu di hadapannya menggeleng prihatin. "Tunanganmu itu adalah sahabat dari Uchiha Sasuke dan Uzumaki Naruto. Dua tentara terbaik kita yang pernah dikirim ke medan perang lalu. Konon katanya, tunanganmu ini dulu selalu dijodoh-jodohkan dengan si bungsu Uchiha itu. Namun setelah dua laki-laki itu pulang dari medan perang dengan Uzumaki yang meninggal, tampaknya membuat renggang hubungan tunanganmu itu dengan Uchiha."
Bagaikan disiram air dingin di hari yang terik, iris kacang milik Sasori membulat. Ia tidak pernah tahu kalau calon isterinya itu memiliki masa lalu yang cukup dikenal seantero negeri kecuali dirinya. Tentu saja ia pernah melihat berita tentang kematian Uzumaki Naruto. Berita itu disiarkan selama seminggu penuh dan Jepang berduka atas salah satu prajurit paling pemberaninya yang tewas karena ingin menyelamatkan prajurit-prajurit lainnya. Bahkan prosesi pemakamannya dihadiri oleh ribuan orang dan disiarkan langsung di televisi. Bodohnya, seorang Akasuna Sasori tak pernah terlalu cermat dalam menonton berita.
"Aku tahu kau ini hebat, Sasori. Tapi sebagai sahabat, aku rasa aku harus jujur. Apabila Uchiha bungsu itu kembali mencoba memperbaiki hubungannya dengan Sakura, maka semua pertunangan yang tidak kau inginkan ini pasti akan hancur dan kau bisa bebas kembali."
Entah mengapa, bayangan 'bebas kembali' tidak tampak begitu mengenakkan di pikiran Sasori saat ini.
.
.
.
Sepanjang perjalanan pulang, Sasori kembali tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Cerita singkat Hidan mengenai dua sahabat Sakura di masa lalu itu jujur saja memicu rasa tertariknya. Setelah selesai coffee break bersama Hidan siang tadi, ia menghabiskan waktunya untuk sesekali mencari-cari artikel mengenai tiga sahabat yang rupanya terkenal di Jepang—Haruno Sakura, karena kejeniusannya dalam dunia medis dan sebagai penemu teknologi yang dapat menghentikan pendarahan seketika; Uchiha Sasuke, karena prestasinya di bidang militer dan latar belakang keluarganya yang amat sangat disegani; dan terakhir Uzumaki Naruto, yang ternyata bisa dikatakan saudara angkat Uchiha Sasuke karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia ketika usianya masih sangat muda dan terkenal karena charity yang selalu dilakukannya untuk anak-anak korban perang di seluruh dunia selain bekerja di bidang militer.
Rasa-rasanya kalau dibandingkan dengan kedua sahabat Sakura di masa lalu, Sasori merasa dirinya sangat kecil sekali. Ia bukanlah orang terkenal layaknya mereka bertiga, kariernya cukup bagus namun tetap tidak dapat menandingi karier milik Uchiha Sasuke yang berjasa terhadap negara, dan ia sadar meskipun ia merasa lebih dalam bidang finansial akan tetapi semua kekayaannya tidak dapat menandingi kekayaan milik Uchiha Sasuke, lagi. Ia kalah dalam segala hal dari Sasuke, kecuali fakta bahwa seorang Uchiha Sasuke kini tidak memiliki kedua kakinya lagi sementara Sasori masih lengkap.
Rasa penasarannya membuatnya mengklik bagian 'images' dalam mesin pencarian, dan ia tidak dapat berhenti menyesal setelah melihat itu. Layar komputernya kini penuh dengan foto mereka bertiga yang terlihat amat dekat dan terselip beberapa diantaranya foto-foto berdua milik Sakura dan Sasuke yang tampak bahagia. Ketika Sasori meng-klik salah satu foto berdua itu, terbaca olehnya judul berita yang bertajuk "Apakah Haruno akan Berubah Menjadi Uchiha dalam Waktu Dekat?". Bohong rasanya kalau Sasori mengatakan bahwa judul berita itu tidak mempengaruhinya. Ada sedikit perasaan gelisah di hatinya, teringat kalimat Hidan siang tadi.
"Apabila Uchiha bungsu itu kembali mencoba memperbaiki hubungannya dengan Sakura, maka semua pertunangan yang tidak kau inginkan ini pasti akan hancur dan kau bisa bebas kembali."
Setelah melihat foto-foto ini yang memperlihatkan kebahagiaan Sakura yang memancar terang, rasanya semua omongan Hidan itu masuk akal. Bisa apa ia kalau disandingkan dengan seorang Uchiha Sasuke?
Laki-laki bersurai maroon itu mengigit bibir bawahnya, menatap sengit lampu merah yang mewajibkannya untuk berhenti. Ia baru saja menyadari bahwa ia menyukai keberadaan Sakura dengan sangat saat mereka berdua tengah berada di Thailand. Uchiha Sasuke mungkin memang memiliki tempat spesial di hati gadis musim semi itu, namun entah mengapa Sasori meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah sampai gadis itu mengatakan secara langsung bahwa ia ingin bersama dengan Sasuke.
Dengan cepat Sasori memutar mobilnya, mengambil rute menuju rumah sakit tempat Sakura bekerja. Mungkin menjemput Sakura pulang dapat meredakan kekesalan milik calon isterinya tersebut.
"In the space, the pause, between this breath and the one that follows,
.
.
you have made a home inside me." -Tyler Knott Gregson
"Kau sudah bekerja dengan sangat keras hari ini, Sakura. Pulanglah." ucap seorang wanita paruh baya bersurai pirang kepada seorang gadis yang tengah menunduk. Ekspresi milik gadis itu tidak terlihat, namun bahunya yang bergetar menunjukkan bahwa pertahanan miliknya sudah hancur dan ia menangis hebat tanpa suara. Senjuu Tsunade menghela nafas, meletakkan salah satu tangannya di pundak milik muridnya. Sakura kehilangan pasiennya untuk pertama kalinya saat ini. Meski Tsunade sudah mengatakan bahwa operasi yang dilakukan pada seorang kakek-kakek tua itu memang berisiko tinggi dan diperparah dengan kondisi pasien tersebut yang kurang fit lah yang menyebabkan kehilangan tersebut, Sakura tampaknya tetap bersikukuh bahwa hal tersebut adalah salahnya.
Gadis musim semi itu tetap menolak untuk memandang wajah gurunya. Ia merasa gagal sebagai seorang dokter, merasa bahwa apapun yang ia pelajari selama ini masihlah kurang dikarenakan kegagalannya hari ini. Bagaimana mungkin ia dapat mencari cara untuk menyembuhkan Sasuke apabila ia bahkan tidak bisa melakukan hal ini?
"Sakura, kalau ada hal yang seharusnya aku tekankan kepadamu sebelum kau memulai ini semua maka itu adalah kenyataan bahwa kita tidak bisa mencegah Tuhan mengambil apa yang menjadi hak-Nya. Suka atau tidak, seharusnya kau tahu itu dan aku menyesal tidak menekankannya dengan cukup kepadamu,"
Tangan Tsunade mulai beranjak ke pucuk kepala Sakura, mengusapnya dengan penuh sayang. Kondisi hidupnya yang tidak memiliki anak satupun membuatnya menganggap bahwa Sakura sudah seperti anaknya sendiri. Hatinya ikut hancur melihat kondisi muridnya seperti ini.
"Kita tidak bisa melawan takdir, Sakura. Kita telah berusaha semampu kita dan Tuhan telah memberikan jawaban yang lain. Aku tahu ini sulit bagimu, namun perjalanan kariermu masih panjang. Coba renungkan perkataanku tadi dan pulanglah dengan kekasih merahmu yang tampan itu. Ia sudah menunggu sejak tadi." kata Tsunade sambil berbisik di akhirnya. Wanita paruh baya itu mengangguk kepada Sasori, memberikan tanda bahwa ia menyadari kehadiran pemuda itu sebelum pada akhirnya beranjak pergi.
Akasuna Sasori tidak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Kedua bola matanya sedari tadi tertuju kepada Sakura yang masih menunjuk. Helai-helai merah muda miliknya seolah-olah menutup ekspresinya dari dunia, memberikan gadis itu sedikit privasi untuk mengeluarkan luapan emosinya. Perlahan namun pasti, kaki-kaki panjang milik Sasori berjalan ke arah calon isterinya lalu ia berlutut sembari menunduk sekedar untuk melihat ekspresi Sakura dari bawah. Apa yang dilihatnya membuat Sasori merasa seolah-olah ada seseorang yang memukul ulu hatinya. Iris Emerald milik Sakura yang biasanya terlihat cerah kini tampak memerah dan bengkak sehabis menangis lama. Sementara ekspresi milik calon isterinya itu pun tidak dapat dikatakan sebagai ekspresi favorit Sasori.
"Hai." bisiknya pelan. Salah satu tangannya berinisiatif untuk menghapus beberapa bulir air mata yang siap jatuh lalu ia menemukan bahwa tangannya tak ingin beranjak dari pipi milik Sakura. Sasori merasa lega ketika Sakura terlihat tidak menolak gesturenya dan membiarkan tangan besar Sasori memberikan kehangatan di pipinya yang mulai dingin.
Sakura ingin sekali membalas sapaan Sasori, ingin berusaha tersenyum agar pemuda itu tidak terlihat kebingungan. Namun ketika ia ingin mencoba mengeluarkan suaranya, air matanya kembali membanjiri pelupuk matanya dan Sakura hanya kembali terisak. Gadis musim semi itu melingkarkan tangannya di leher Sasori, memeluk pemuda itu sambil terus menangis—berusaha menyalurkan semua kesedihannya agar pemuda itu tahu betapa hancurnya hatinya saat ini. Gerakan tangan Sasori yang mengusap-usap punggungnya tidak membuat tangisannya berkurang, akan tetapi malah membuatnya semakin tersedu-sedu.
Laki-laki maroon itu mengeratkan pelukannya. Ia benci sekali mendengar suara tangisan Sakura—bukan karena ia menganggap bahwa gadis musim semi itu lemah, tetapi sebaliknya. Dia lah yang lemah karena tidak bisa menenangkan hati Sakura. Setelah dirasanya tangisan Sakura mulai melemah, Sasori mencoba memanggil gadis itu pelan, berusaha untuk tidak membuatnya lebih hancur lagi. "Sakura,..." panggilnya.
Meski posisi Sakura masih di pelukannya, ia dapat merasakan bahwa gadis itu mengangguk, menandakan bahwa ia mendengar suaranya. Kedua tangan milik Sasori yang sebelumnya melingkar di pinggang dokter muda itu beranjak ke kedua pipinya yang terasa sangat basah karena air mata. Ia memegang kedua sisi wajah Sakura dengan lembut, membuat Sakura terpaksa melihatnya dan menatap bola mata Emerald di bawahnya yang memancarkan aura kesedihan yang teramat sangat. Ah, betapa ia sangat ingin kembali memeluk gadis itu lagi. Namun ia tahu bahwa tunangannya itu sudah lelah dan bagaimanapun juga, Sakura harus beristirahat.
"Kita pulang?" tanyanya lembut, masih memegang kedua sisi wajah gadis musim semi.
Satu anggukan dari Sakura dan Sasori dengan mantap menggenggam tangannya sembari menuntunnya ke area parkir mobil rumah sakit.
.
.
.
Seminggu sudah berlalu sejak insiden Sakura menangis di rumah sakit. Selama beberapa hari setelahnya, Sakura menolak untuk kembali ke rumah sakit. Otak jeniusnya mencoba merenungkan kalimat-kalimat dari gurunya yang terasa masuk akal saat ini tatkala pikirannya mulai jernih dari kesedihan. Ia masih sedih, tentu saja, namun kesedihan itu tidak boleh menghentikannya dari melakukan hal yang selama ini selalu ia inginkan—membantu orang lain.
"Tadaima"
Iris giok milik Sakura seketika melihat ke arah sumber suara. Tampak Sasori yang tersenyum kepadanya sembari meletakkan plastik-plastik berisi makan malam mereka. Tidak hanya menolak kembali ke rumah sakit, gadis musim semi itu seolah-olah berhenti berfungsi seperti biasanya. Ia tidak lagi menjadi orang pertama yang beranjak dari tempat tidur di pagi hari dan lebih memilih untuk meringkuk di dalam selimutnya hampir sepanjang hari. Ia tidak lagi tertawa atau mengomel ketika Sasori melakukan sesuatu yang menurutnya salah dan lebih banyak termenung sendiri. Ia tidak lagi memasak, atau pergi ke supermarket, atau pergi berbelanja dengan Ino dan beberapa kawan-kawannya lain. Haruno Sakura berhenti melakukan segalanya dan hanya memilih mengurung diri di dalam rumahnya dan Sasori.
"Okaeri" ujar gadis musim semi itu pelan sebelum kembali termenung menatap ke arah taman dengan tatapan sendu.
Ia nyaris tersentak ketika merasakan dua tangan di bahu-bahunya, lalu mulai rileks ketika Sasori mengusapnya pelan dengan ibu jarinya, seolah berusaha mengerti dengan perasaan milik tunangannya itu. Semenjak laki-laki maroon itu menjemputnya di rumah sakit, sikapnya menjadi jauh lebih lembut ke Sakura. Bukan berarti selama ini ia kasar, namun Sakura dapat merasakan bahwa Sasori berusaha membuatnya merasa nyaman. Contohnya, ketika mereka berdua akan tidur maka Sasori tidak akan lupa untuk menarik tubuhnya agar mendekat ke tubuh pemuda itu sehingga kedua lengannya dapat memeluk tubuh mungil Sakura. Sadar atau tidak, ketika matahari sudah beranjak dan Sakura tidak menemukan Sasori di tempat tidur mereka, perasaan kosong kembali menyelimutinya dan ia akan meringkuk kembali ke dalam selimutnya.
"Sudah makan?" tanya Sasori dengan suara baritonenya yang khas sembari membenamkan wajahnya di helaian merah muda milik Sakura. Balasan gelengan dari calon isterinya membuat Sasori menghela nafas. Sudah seminggu Sakura seperti ini dan tampaknya tidak ada kemajuan. Atau mungkin ada, namun rasa egois di dalam dirinya ingin sekali Sakura bersikap seperti dulu lagi. Apakah yang ia lakukan selama seminggu ini salah?
"Kau ingin sendiri?" tanya Sasori lagi. Mungkin saja dirinya yang selalu menempel membuat Sakura enggan membuka dirinya. Keheningan yang diberikan Sakura ia anggap sebagai jawaban 'iya' sehingga ia mulai beranjak. Ia sudah ingin masuk ke kamar untuk mengganti kemeja kantornya ketika ia mendengar Sakura setengah berbicara setengah menggumam,
"Aku ingin makan dango."
Sebuah senyuman terpatri di wajah tampan Sasori. Dengan gerakan cepat ia menghampiri Sakura, membuat gadis itu tersentak dengan semua gerakannya yang seketika tampak terburu-buru.
"Kalau begitu ayo kita makan dango, Hime!"
"I know there are pieces you don't love,
I know your hands have a mind all their own, and sometimes
wish those pieces covered, hidden from my eyes.
I know I find them perfect, I know they are what
I've waited all this time to find.
Nothing on you needs fixing, nothing in you should you change.
All I want is for you to be gentle with yourself,
to love you as you are,
as I love you." -Tyler Knott Gregson
Haruno Sakura tengah menikmati waktunya bersantai ketika ia mendengar suara deringan ponsel miliknya. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh kekesalan dan keheranan. Kesal—karena suara itu menganggu waktunya sekaligus heran karena nomor itu tampaknya tidak ada di salah satu kontaknya.
"Siapa?" tanya Sasori dengan suara seraknya. Matanya masih menyipit dan rambutnya terlihat mencuat kesana-kemari membuat Sakura mendengus geli. Laki-laki itu benar-benar menikmati waktu Sabtu sorenya dengan Sakura, bermalas-malasan di tempat tidur sambil menemani tunangannya itu menonton serial televisi favoritnya.
"Entahlah, sebuah nomor yang tak ku kenal." jawab Sakura sambil menekan tombol 'decline'. Perasaan sedih miliknya belum hilang sepenuhnya, namun berkat bantuan Sasori dan Ino yang entah bagaimana caranya tahu, ia mulai kembali ke rumah sakit dan berusaha beradaptasi dengan kehidupan lamanya.
Gadis merah muda itu hendak menghambur ke pelukan Sasori yang tampak nyaman ketika ia mendengar ponselnya kembali berdering.
Nomor yang sama.
Dengan sedikit kesal karena kegigihan orang asing ini untuk menghubunginya, Sakura memutuskan untuk mengangkat. Ia akan menyeret Yoko ke ruangannya besok kalau ternyata ini adalah perempuan itu. Yoko adalah asisten milik Sakura yang sudah cukup dekat dengannya. Hanya saja gadis yang berusia 2 tahun di bawahnya itu cenderung sering gugup dan mudah panik apabila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Pernah suatu ketika Sakura dihubunginya di malam hari hanya untuk menanyakan apakah salah seorang pasien diperbolehkan untuk makan roti. Sakura mengerang, berusaha untuk tidak terdengar kasar ketika ia mengatakan bahwa data-data itu tentu saja pasti telah ia tulis di data keterangan pasien dan Yoko seharusnya bisa melihat data itu kalau saja gadis itu mencoba untuk berpikir sebelum membiarkan panik menyelimuti pikirannya.
"Moshi-mo—"
"Sakura, sayang! Ini nomor baru okaa-san. Kapan kau akan pulang ke Kyoto?"
Oh, tidak.
.
.
.
"And you loved me like i was and had always been the answer,
.
.
and the question did not
and would never matter." -Tyler Knott Gregson
A/N:
Astaga, baru sadar aku nulis ini pas SMP dan sekarang baru berani aku lanjutin lagi pas kuliah hahaha yaampun, maafkan aku. Aku harap udah banyak improvementnya ya dalam penulisan aku di chapter ini dibanding di chapter-chapter sebelumnya hehe. Rasanya pengen teriak di dalem tanah kalo baca hasil imajinasiku di SMP, lol. Semoga di chapter ini jauh lebih dewasa dan realistik. Jujur aja, yang bikin aku pengen lanjutin ini lagi ada review-review kalian.
Besok kebetulan aku presentasi dua matkul yang dua-duanya dosennya sadis kalo komentar haha, tapi karena udah ngebet mau nulis fanfic lagi yaudah aku ngotot nulis xD
Semoga kalian puas ya dengan chapter ini dan doain semoga aku ngga berhenti nulis lagi^^
Mohon maaf sebesar-besarnya buat kalian yang udah nunggu fic ini update dan maaf juga kalo ini singkat. Tapi aku janji chapter berikutnya bakal panjangggg banget.
Semua komentar, pendapat, kritik dan saran kalian sangat berarti banget buat aku jadi tolong disempatkan ya buat leave review biar aku tau hasil pemikiran kalian tentang chapter ini gimana dan apa yang kalian mau di chapter-chapter berikutnya.
Much love,
GwendyMary.