Title : Daisy

Author : chanbaekonlyy

Casts :

Byun Baekhyun EXO

Park Chanyeol EXO

Xi Luhan EXO

Oh Sehun EXO

Others

Genre : Romance, Angst ._.

Rate : T

.

.

.

.

.

Bucheon, 5 Januari 1967

Seluruh daerah Bucheon putih berselimut salju. Satu dua orang berjalan dengan pakaian tebal. Seolah belum cukup, dari langit masihlah berjatuhan salju kecil-kecil yang kemudian menumpuk bersama salju yang lain.

Baekhyun benci salju karena ia benci dingin. Bahkan sore ini saat ia berjalan kaki menuju rumah dengan jaket dan mantel berlapis-lapis, bibirnya tetap biru bergetar. Di samping kirinya seorang lelaki bermata rusa terkikik pelan mendengar gemelutuk gigi Baekhyun sementara di sebelah kanannya seorang namja yang paling tinggi di antara mereka semua tersenyum lebar sambil mengelus pucuk kepala cokelat Baekhyun.

Mereka tetap berjalan sambil berbincang tentang rencana mereka melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi—universitas. Walau sudah pernah mengatakannya beberapa kali, lelaki berpostur tinggi di sebelah kanan Baekhyun tetap mengulanginya sore itu.

"Aku akan melanjut ke Seoul."

Baekhyun harus mengangkat kepalanya untuk dapat bertatapan dengan bola mata cokelat Chanyeol—lelaki berpostur tinggi. Ia juga sebenarnya ingin mengucapkan respon yang sama seperti saat dulu, tapi ia urung. Kepalanya kembali ditekuk, menatap salju yang mereka pijak.

Baekhyun juga ingin melanjutkan sekolahnya ke Seoul, sama seperti Chanyeol. Ia juga punya cita-cita yang ingin ia capai. Namun setiap ia membicarakan ini dengan ibunya, ia akan berdalih bahwa udara di Seoul tidak bagus untuk paru-paru Baekhyun.

Baekhyun melambai pada dua lelaki yang berjalan bersamanya tadi begitu mereka sampai di depan rumah sederhana Baekhyun. Rumah itu tak terlalu besar, namun pekarangannya ditumbuhi tanaman-tanaman cantik yang terawat.

Seorang wanita paruh baya menyambut kepulangannya dengan uap sup mandu yang memang telah dijanjikan ibunya itu atas kelulusannya beberapa minggu yang lalu. Baekhyun berinisiatif untuk langsung menghampiri ibunya di dapur. Sore itu Baekhyun menghangatkan diri dengan sup mandu sambil memikirkan keberangkatan Chanyeol tiga hari lagi.

.

.

.

.

Bucheon, 8 Januari 1967

Nyonya Byun bertanya ketiga kalinya apakah Baekhyun baik-baik saja mengantarkan Chanyeol ke stasiun kereta untuk keberangkatannya ke Seoul dan lelaki berwajah manis itu kembali mengangguk di balik masker yang menutupi setengah wajahnya. Satu lagi alasan Baekhyun membenci musim dingin; ia terlalu mudah diserang flu.

Di stasiun, Chanyeol, ibu, ayah, dan kakak perempuannya sedang duduk menunggu kereta menuju Seoul. Baekhyun dan ibunya berjalan mendekat dan begitu dalam jarak dekat, Chanyeol dan keluarganya bangkit dari bangku stasiun.

"Baekhyun!"

Baekhyun berpaling ke arah suara memanggil namanya. Itu Luhan, sahabatnya yang cantik bermata rusa. Ia melambai dengan mata berbinar lalu berjalan cepat ke arah Baekhyun. Mereka berpelukan begitu saja dan Luhan mengutarakan bahwa ia diizinkan orang tuanya melanjutkan sekolah ke Seoul, sama seperti Chanyeol. Suara anak itu terdengar sangat bahagia dan Baekhyun pun tersenyum, ikut bahagia jika sahabatnya juga bahagia.

Nyonya Byun mengingatkan Chanyeol dan Luhan untuk hati-hati di jalan. Ia memeluk dua anak yang sering berkunjung ke rumahnya tersebut sama erat seperti saat ia memeluk anak kandungnya sendiri.

Saat Chanyeol maju selangkah ke depan Baekhyun, lelaki itu menekuk wajahnya yang tertutupi masker. Chanyeol tersenyum lalu memeluk Baekhyun erat. "Aku akan kembali sebagai dokter spesialis paru-paru." Bisik Chanyeol dengan suara beratnya. Baekhyun mengeratkan genggamannya pada punggung Chanyeol dengan mata berair.

"Kau akan menungguku kan?"

Baekhyun mengangguk. Air matanya membasahi masker.

"Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu."

.

.

.

.

Bucheon, 16 Juni 1965

Lapangan penuh dengan sorak sorai siswa kelas sepuluh yang sedang bermain volli. Tim yang mencetak skor bersorak girang sementara lawan mainnya mendesah kecewa.

"Kalian menyerah huh?" seorang lelaki tinggi yang sedang memegang bola di garis penyervis memandang remeh lawannya di seberang net. Yang lain mendengus, sementara teman-temannya ikut tersenyum remeh. "Kita pasti menang." Timpal lelaki berkulit tan.

Lelaki tinggi yang memegang bola tadi mengangkat sebelah sudut bibirnya—tersenyum miring—lalu mulai mengayunkan kepalan tangan kanan ke arah bola yang ia pegang di tangan kiri. Sedetik setelah kepalan tangannya bertemu permukaan bola, bola itu melayang tinggi di udara melewati net. Jika lawan mereka tidak bisa menangkap bola servis-annya itu, maka satu skor kembali mereka dapatkan.

"AKHHH.."

Sepersekian detik setelah bola jatuh di tanah, suasana lapangan berubah heboh. Pasalnya, bola itu mendarat pada dada seorang anak yang kebetulan lewat di tepi lapangan sebelum akhirnya jatuh di tanah. Yang semakin membuat heboh, anak itu menyusul bolanya terjatuh di tanah.

Lelaki bermata rusa yang berjalan bersamanya itu panik sendiri melihat temannya hilang kesadaran. Ia berjongkok, berusaha membangunkan temannya itu walau percuma. Kemudian ia mendongak, menatap beberapa pemain volli dan murid lain yang mengerumuni mereka. "Siapa yang melempar bolanya?!" tanyanya sangar dan takut-takut seorang lelaki berpostur sangat tinggi muncul dari balik kerumunan.

"A-Aku tidak sengaja."

"Dia bermasalah dengan paru-parunya bodoh! Cepat bawa dia ke ruang kesehatan!"

Beruntung lelaki yang tak sadarkan diri itu mungil hingga si pelaku pelempar bola cukup mudah menaruhnya di punggung untuk dibawa berjalan cepat ke ruang kesehatan. Permainan vollinya berakhir, karena dia lebih sudi mempertanggung jawabkan kesalahannya walau tak sengaja.

"Park Chanyeol." Ucap anak tinggi itu pada anak yang baru sadarkan diri di atas kasur ruang kesehatan.

"Byun Baekhyun.."

.

.

.

.

Bucheon, 30 Juni 1965

"Daisy lagi?"

Baekhyun tersenyum menatap wajah jengah teman terbaiknya itu—Xi Luhan. "Daisy itu cantik Lu."

Ia memutar matanya bosan. "Ya ya ya, terserah. Jauh lebih penting dibanding D-a-i-s-y mu itu, cepat ceritakan apa yang terjadi. Kau pacaran dengan anak bernama Park Chanyeol itu?"

Baekhyun menahan senyum di balik masker. Wajahnya disembunyikan dari jangkau pandang sahabatnya sementara kesepuluh jarinya masih sibuk dengan Daisy. Ia mengangguk samar direspon dengan gebrakan meja tiba-tiba.

"JINJJA? Wah, chukkahae…." Luhan menerjang Baekhyun dengan sebuah pelukan erat. Badannya bergoyang ke kanan ke kiri saking bahagianya melihat sang sahabat benar-benar mendapat pacar pertamanya.

Luhan melepas pelukan mereka. "Bagaimana dia mengatakannya? Apa dia romantis? Kalian berciuman?"

Walau tertutup masker, Luhan masih bisa melihat pipi temannya itu merona. "Tidak. Kami belum berciuman."

"Belum? Berarti akan kan?" goda Luhan sambil mencolek dagu Baekhyun. Yang dicolek hanya menepis lalu kembali sibuk dengan Daisy nya.

.

.

.

.

Bucheon, 7 Februari 1968

Baekhyun lebih sering menjaga toko bunga mereka sejak Chanyeol dan Luhan berangkat ke Seoul. Ia tidak punya teman lain yang seakrab Luhan, dan ia tidak punya lagi lelaki yang paling ia cintai selain Chanyeol, maka ia menghabiskan hampir seluruh siangnya untuk merawat bunga.

Hari ini pun begitu. Ia sedang memangkas daun-daun bunga dengan masker menutupi sebagian wajahnya. Ibunya bilang itu untuk menjaga-jaga, siapa tau serbuk bunga juga tidak bagus untuk paru-paru Baekhyun.

Baekhyun menoleh ke jam dinding lama yang tergantung di sudut toko. Jarum panjang sudah berpindah ke angka tiga tapi Baekhyun masih terlihat tidak sabar. Sesungguhnya ia menunggu jarum jam itu segera berpindah ke angka dua belas, karena ia tau, saat itu terjadi, maka kotak surat di depan rumahnya akan diisi oleh surat balasan dari Chanyeol—seperti halnya setahun terakhir ini.

Baekhyun meletakkan gunting tanamannya di dekat jejeran pot lalu berjalan ke arah pintu. Kepalanya melongok keluar, melihat apakah Jongin sudah datang untuk menggantikannya menjaga toko karena jujur sekali ia sangat tidak sabar pulang ke rumah untuk menunggu surat Chanyeol.

Surat pertamanya tertanggal 14 Januari 1967 berisi kesan Chanyeol dalam melihat Seoul untuk pertama kalinya. Lelaki itu menceritakan bagaimana keadaannya dan Luhan sesampainya merka di Seoul, bagaimana mereka menyewa apartemen dengan uang sewa yang dibagi dua, serta lampiran foto hitam putih Chanyeol dan Luhan di tempat tinggal baru mereka.

Baekhyun membalasnya dengan semangat. Dia menuliskan pertanyaan-pertanyaan untuk lelaki itu, seperti; apakah sungai han seindah bayangan mereka dulu, apakah udara Seoul buruk, apakah Seoul National University bagus, dan masih banyak apakah-apakah dari Baekhyun yang dijawab Chanyeol pada suratnya yang kedua tertanggal 26 Januari pada tahun yang sama.

Baekhyun bahagia sekali membaca surat Chanyeol yang menjelaskan betapa Seoul lebih indah daripada yang dijelaskan semua buku yang pernah mereka baca. Ia bisa membayangkan sungai han yang jernih berbentang jembatan di atasnya. Lampu kerlap-kerlip yang sangat indah di malam hari serta berbagai bunga-bungaan yang tumbuh di sekitarnya.

Terlalu banyak hal yang indah yang dijelaskan Chanyeol pada Baekhyun selama setahun ini membuat keinginan melihat Seoul secara langsung semakin menggebu-gebu dalam benak lelaki yang kerap kali memakai masker itu.

"Ah, Jongin kenapa lama sekali?"

"Maaf hyung, tadi aku ada sedikit urusan."

"Oke, tidak apa. Sekarang kau jaga toko ya, aku pulang dulu."

Anak lelaki bernama Jongin itu mengangguk dan Baekhyun segera meninggalkan toko tanpa membereskan beberapa kekacauan yang dibuatnya setelah memangkasi tanaman.

"Hati-hati hyung!" teriak Jongin dari dalam toko melihat Baekhyun yang berlari terburu-buru. Lelaki mungil itu tetap berlari, bahkan setelah ia mendengar teriakan Jongin, ia hanya mengangkat tangannya ke atas dan dilambaikan tanpa menoleh ke belakang.

Jarak toko bunga dengan rumah Baekhyun memang tidak terlalu jauh. Namun karena kecepatan berlarinya yang sedikit berlebihan, Baekhyun berakhir dengan keringat bercucuran sambil memegangi kedua lutut dengan nafas memburu. Dadanya terasa sesak. Sesaat ia membuka maskernya untuk mengambil udara bebas sambil menekan dadanya yang sakit.

Baekhyun mengambil satu langkah maju memasuki pagar kayu rumahnya yang dicat putih. Ia mendekat ke kotak surat lalu membuka pintu kecilnya. Baekhyun masih mengatur nafasnya yang sangat susah kembali ke keadaan normal sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam kotak surat. Tidak ada apa-apa di sana.

Baekhyun berjalan masuk ke dalam rumah. Ibunya sedang merajut di ruang tamu. "Eomeoni, pak pos belum datang?" Baekhyun kemudian melirik jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul empat lewat sepuluh sore, sedangkan pak pos seharusnya sudah datang sepuluh menit yang lalu.

"Tadi kalau tidak salah sudah datang, tapi sepertinya tidak ada surat ke alamat kita hari ini."

Bahu Baekhyun melemas. Nafasnya masih belum normal betul dan di kepalanya muncul berbagai pertanyaan; kenapa bahkan setelah enam hari Chanyeol belum membalas suratnya? Apa Chanyeol sibuk? Atau dia kehabisan perangko untuk mengirim surat balasan? Atau suratnya tak terkirim?

Malam ini Baekhyun menulis surat lagi untuk Chanyeol. Mungkin saja surat yang sebelumnya benar-benar tidak terkirim.

.

.

.

.

Bucheon, 5 Juli 1965

"Cantik kan?"

Chanyeol menatapi bunga di pot kecil yang sedang disemprot Baekhyun dengan air. "Daisy?"

Baekhyun mengangguk. "Bagaimana kau tau? Bahkan Luhan tidak tau nama bunga ini sebelum kuberitahu."

"Aku pernah membacanya di buku." Chanyeol menopang wajah dengan kedua tangannya. "Kau suka Daisy?"

Baekhyun mengangguk terlalu bersemangat. "Sebenarnya bunga khas bulan Mei itu Lily of valley, tapi daripada Lily of valley, aku jauh lebih suka Daisy."

"Kenapa?"

"Apa kau tau, bunga Daisy itu melambangkan kepolosan, kemurnian, kesucian, kesetiaan, kelembutan, dan kesederhanaan? Sama seperti bentuknya yang sederhana, warnanya yang suci, mahkotanya yang putih polos, bagian tengah kuningnya yang murni, wanginya yang lembut, dan pertumbuhannya yang sepanjang tahun. Aku ingin menjadi seperti bunga Daisy, polos, murni, suci, setia, lembut, dan sederhana."

"Apa bedanya dengan Lily of valley? Lily of valley juga putih, melambangkan kemurnian, kesederhanaan, dan pesona. Bahkan bentuknya juga lebih sederhana dibanding Daisy."

"Tapi Lily of valley tidak tumbuh sepanjang tahun Chanyeol-ah. Apa kau tidak tau bahwa Lily of valley sering disebut May Lily? May Lily maksudnya karena Lily of valley hanya tumbuh di musim semi, di bulan Mei. Tumbuh hanya di satu waktu tidak melambangkan kesetiaan Park Chanyeol."

"Kalau begitu, setialah padaku. Aku akan membuatkan padang Daisy sebagai hadiah pernikahan kita nanti."

"Mwo? Pernikahan? Umurku baru 16 Park Chanyeol!" Baekhyun memajukan bibirnya yang tak ditutupi masker hari ini.

"Lalu kenapa hm?" Chanyeol mencubit gemas pipi tembam Baekhyun lalu menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

"Sakit!" Baekhyun mengelus kedua permukaan pipinya setelah menepis tangan Chanyeol. "Jangan bermimpi untuk menikahiku sebelum kau jadi orang sukses."

"Dokter spesialis paru-paru, tenang saja." Chanyeol menepuk dadanya bangga.

Baekhyun mendengus lalu membawa pot berisi bunga Daisy ke arah rak kaca dengan berbagai pot di atasnya. Ia menatap Chanyeol yang sedang duduk bergantian dengan bunga Daisy di atas rak kaca. Ia menghela nafas sejenak kemudian mengambil kembali pot orange yang baru saja ia letakkan. Ia mendekati Chanyeol, duduk di depannya, kemudian meletakkan pot berisi bunga Daisy di atas meja. "Untukmu."

Dahi Chanyeol mengerut samar. "Untukku?"

Baekhyun mengangguk. "Kau tidak mau merawatnya untukku?"

Chanyeol bingung sendiri. Matanya mengerjap dua kali mencoba memikirkan maksud sebenarnya dari ucapan Baekhyun namun pada akhirnya ia hanya merespon, "Kenapa tidak?"

"Mungkin kau tidak benar-benar mencintaiku?"

"MWO?!"

Baekhyun tersentak di tempat duduknya mendengar suara berat Chanyeol yang berteriak tiba-tiba. "Bicara apa kau ini? Sudah, sini bunganya, aku akan menumbuhkan bunga ini sampai bisa membuka toko lebih besar daripada toko ibumu ini!" Chanyeol mengambil bunga di atas meja lalu memindahkannya ke samping tubuhnya—di atas kursi.

Baekhyun tersenyum puas. "Daisy harus disiram setiap hari Park Chanyeol. Kalau bunganya semakin banyak, kau harus memindahkannya ke pot yang lebih besar."

"Iya, dasar cerewet."

"Kau tidak ikhlas kusuruh merawatnya? Yasudah, sini kembalikan. Aku bisa merawatnya sendiri.."

"Kalau kau cium sekali, aku akan ikhlas."

Baekhyun memutar matanya. "Justru itu yang namanya tidak ikhlas Park Chanyeol!"

"Ikhlas atau tidak ikhlas, pokoknya cium dulu."

"Tidak mau!" Baekhyun meledek Chanyeol dengan ujung lidahnya.

"Tidakk mau?"

Baekhyun mengangguk.

"Oke, kalau begitu aku saja yang cium."

.

.

.

.

Seoul, 1 Februari 1968

Chanyeol menghela nafas menatap luar jendela kamarnya. Sudah larut malam, dan surat balasan Baekhyun benar-benar tidak datang.

Chanyeol mengambil kertas dan pena lalu menulis surat baru untuk Baekhyun.

Dear, ByunDaisyBaek

Kenapa kau tidak membalas suratku? Aku menunggu sepanjang hari, kau tau? Apa kau sibuk dengan Daisy-Daisy-mu? Atau kau menemukan laki-laki lain di Bucheon eoh? Awas saja kalau sampai benar begitu!

Baek, aku sudah sangat merindukanmu. Kau mau tidak mengunjungiku ke Seoul tanggal 14 Februari nanti? Aku ingin merayakan valentine paling hebat denganmu. Menanam Daisy di sekitar sungai han tidak terdengar buruk kan? Kkkk~~ Banyak tempat yang ingin kutunjukkan padamu, karena itu datang ya ^^

Kau tau, karena suratmu tidak datang hari ini, aku kembali teringat ciuman pertama kita di toko bunga saat kau menyuruhku merawat bunga Daisy. Kkkk~ seharusnya kau tidak perlu mencap-ku tidak ikhlas, karena aku yakin dari awal kau sudah tahu bahwa Park Chanyeol pasti menyukai apa yang disukai Byun Baekhyun. Coba saja datang ke belakang rumahku, Daisy pemberianmu sudah jadi taman..

Kalau Byun Baekhyun menyukai Daisy, maka Park Chanyeol akan menyukainya. Kalau Byun Baekhyun suka sungai han, maka Park Chanyeol akan menyukai sungai han kkkkkk~ Kau mengerti itu kan ByunDaisyBaek?

Lagi-lagi karena suratmu tidak datang hari ini, aku mulai berpikir bahwa kau kehabisan perangko untuk mengirimnya. Karena itu, aku menyertakan stok perangko untukmu. Kalau sudah begini kau tetap tidak membalas suratku juga, itu berarti kau sedang selingkuh di sana. Lihat saja, ada hukuman untuk anak nakal, hahahahaha…

Sincerely, ParkDaisyYeol

Chanyeol mengucek matanya yang terasa perih kemudian melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop.

Pintu di belakang Chanyeol terbuka. Ia menoleh ke belakang dan mendapati teman sekamarnya Luhan sedang menutup pintu. "Kau sudah pulang?"

"Eum. Kau sedang apa? Menulis surat?"

Chanyeol mengangguk lesu. "Baekhyun tidak membalas suratku, jadi kurasa aku harus menulisnya sekali lagi."

"Baiklah. Kirim surat itu besok pagi, sekarang kau harus tidur."

Chanyeol mengangguk lalu meletakkan amplop berisi suratnya di atas meja belajar.

"Chanyeol?"

Chanyeol menoleh ke arah Luhan yang sudah terbaring di atas kasurnya di balik selimut.

"Besok kau bisa menemaniku ke perpustakaan?"

"Tentu saja."

.

.

.

.

Seoul 2 Februari 1968

Chanyeol adalah lelaki yang selalu memegang janjinya. Maka dari itu, hari ini ia menemani Luhan ke perpustakaan. Ia menemani sahabatnya itu dari pukul dua siang sampai pukul lima sore. Setelahnya ia pulang lebih dulu karena dia masih ada urusan sementara Luhan sepertinya belum selesai dengan tugas-tugas nya yang lumayan banyak untuk mahasiswa baru.

Luhan tinggal di perpustakaan hingga satu persatu pengunjung pergi. Ia melirik jam dinding di dalam ruangan itu dan menemukan waktu telah sampai pada tengah malam. Ia menggerutu dan segera mengemasi buku-buku tebal yang terbuka di atas meja dan memutuskan untuk membawanya pulang saja.

Luhan berjalan di trotoar yang sepi akan pejalan kaki. Kendaraan yang melintas juga tinggal satu dua. Ia memeluk dirinya sendiri untuk menghalau udara malam yang kian menusuk dari menit ke menit kemudian memutuskan mengambil jalan pintas dari gang sempit yang hanya mengandalkan lampu jalan. Setidaknya jika ia melewati jalan ini, ia akan semakin cepat sampai di apartemennya.

Langkah Luhan terhenti di kaki kanannya saat melihat di ujung gang ada beberapa laki-laki memegang botol sambil tertawa keras-keras. Tanpa melihat dari dekat pun Luhan tau bahwa botol yang dipegang oleh mereka itu adalah botol minuman keras. Dan sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa sekumpulan pria di ujung sana adalah pria-pria berandal yang sedang mabuk-mabukan.

Luhan menggeram merasa sial. Padahal dia dan Chanyeol sudah beberapa kali melewati gang ini, namun belum pernah sekali pun mereka menemukan sejenis berandal seperti yang di sana itu.

Luhan menarik nafas dan berjalan lurus tak mempedulikan pri-pria mabuk itu. Salah satu dari mereka memanggil Luhan, namun Luhan tetap menundukkan kepalanya dan lewat begitu saja. Dia sungguh tidak mau berurusan dengan pria berandal!

"Heh, sombong sekali dia!" seru salah satu pria yang memakai jeans belel dengan satu botol minuman keras di tangannya.

Luhan dihadang oleh pria lain yang lengannya dipenuhi tatto. "Kau tidak dengar dia memanggilmu hah?!"

"Maaf, aku sedang terburu-buru." Luhan enggan mengangkat kepalanya.

Pria-pria yang lain di belakang Luhan tertawa keras. Mereka begerak mengerumuni Luhan membuat laki-laki yang berasal dari Bucheon itu semakin ciut. Dia takut pria-pria ini berbuat yang tidak-tidak padanya. Dia datang ke Seoul untuk belajar, bukan untuk dirusak.

"Maaf, biarkan aku pergi.." suara Luhan lemah bergetar.

"Permisi tuan-tuan!"

Pria-pria berandal itu dan Luhan sendiri menoleh ke arah sumber suara. Di sana, ada Chanyeol— yang entah datang dari mana—membuat Luhan tidak bisa menyembunyikan kelegaannya.

"Siapa kau?!"

"Aku? Aku orang yang ditugaskan ayah anak ini untuk menangkapnya."

Para pria berandal itu mengerutkan dahi bingung.

"Maksudku, ayah tiri anak ini." Chanyeol menunjuk Luhan. "Sebaiknya kalian lepaskan dia. Ayahnya itu seorang mafia yang tak akan segan-segan membunuh kalian. Sedangkan anak ini saja selalu dihajar setiap hari, apalagi kalian.."

Salah satu pria berandal itu maju. "Kau pikir kami sebodoh yang kau kira? Kalau memang ayah anak ini menghajarnya setiap hari, itu artinya dia juga tidak akan keberatan jika kami bermain sedikit dengannya." Pria yang lain menyeringai.

Chanyeol melipat tangan di depan dada. "Sepertinya kalian tidak mengerti apa yang kumaksud. Ayah anak ini menjualnya pada siapa saja yang bisa membayar mahal. Jika kalian menyentuh anak ini, itu sama saja kalian menyentuh harta ayahnya. Kalau kalian masih bersikeras, silahkan. Aku tinggal menyeret kalian ke hadapan ayahnya."

Pria lain di belakang pria yang di depan berdeham. Mereka saling berpandangan lalu mundur menjauhi Luhan.

Chanyeol segera mendekati Luhan dan menarik tangannya menjauh dari gang sempit itu. "Kenapa kau lewat dari gang sempit itu tengah malam?" tanyanya pelan takut-takut kalau para pria berandal itu akan mendengar mereka.

"Aku hanya mencari jalan pintas. Dan apa-apaan itu tadi? Ayahku menjualku?"

Chanyeol tersenyum lebar. "Maaf. Hanya itu yang muncul di benakku tadi."

Luhan ikut tersenyum. "Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa ada di sini juga?"

"Entahlah. Aku hanya merasa harus menyusulmu setelah hampir tengah malam tidak pulang juga. Nanti bisa-bisa aku dibunuh Baekhyun kalau membiarkanmu celaka."

Luhan tertawa bahagia. Jemarinya yang dingin semakin mengerat di telapak tangan Chanyeol. Dan mereka berjalan pulang ke apartemen bersama-sama.

"Chanyeol?"

Chanyeol menoleh ke samping dan Luhan berjinjit mencium pipinya. "Terima kasih."

.

.

.

.

Seoul, 14 Februari 1968

Dua belas hari sejak Chanyeol mengirim suratnya yang terakhir dan tidak juga ada balasan. Tadi siang sehabis jam kuliah, Chanyeol buru-buru pergi ke sungai han untuk menunggu Baekhyun, berharap lelaki mungil itu mengindahkan ajakannya dan datang ke Seoul. Chanyeol datang setelah membeli bibit bunga Daisy untuk mereka tanam nantinya.

Chanyeol menunggu seperti orang bodoh hingga langit membiaskan warna jingga pada seluruh permukaan air sungai han. Ia meremas bibit Daisy di tangannya sembari menatap lurus. Baekhyun tidak kunjung datang bahkan setelah langit menghitam sempurna. Kata orang, bila kita menunggu, pasti ia akan datang. Tapi sepertinya itu hanyalah omong kosong. Chanyeol sudah menunggu namun dia tidak juga datang.

Chanyeol mendesah putus asa. Ia bangkit berdiri dan meninggalkan sungai han menuju kantor pos. Ia bertanya pada petugas di sana apakah suratnya benar-benar terkirim ke alamat yang benar dan ia hanya bisa kembali mendesah saat petugas kantor pos menunjukkan bahwa surat itu benar-benar sampai ke alamat Baekhyun di Bucheon. Lalu kenapa tidak ada balasan? Chanyeol sudah menyertakan perangko kalau-kalau kekasihnya itu tidak memilikinya lagi, suratnya juga terkirim ke alamat yang benar, lalu apa masalahnya? Baekhyun sudah jenuh berkirim-kirim surat begini?

Chanyeol memutuskan berjalan kaki untuk pulang ke apartemennya. Begitu sampai, Chanyeol menulis surat lagi dan besoknya langsung ia antar ke kantor pos.

.

.

.

.

30 April 1968

Setiap surat yang dikirim Chanyeol tak pernah mendapat balas. Lelaki tinggi itu sudah seperti mayat hidup menulis dan mengirim surat tiap minggu, tugas kuliahnya berantakan, dan nilainya yang selalu A kini turun menjadi C. Chanyeol sudah sering menghabiskan malamnya dengan berbotol-botol minuman keras sambil menangisi Baekhyun.

Chanyeol mengambil pena kemudian kembali menulis surat untuk ulang tahun Baekhyun enam hari lagi. Ia menulis dengan mata kosong, tulisannya yang rapi berantakan karena Chanyeol tidak benar-benar memperhatikan surat yang ia buat.

Setelah memasukkan suratnya ke dalam amplop, Chanyeol berjalan kaki menuju kantor pos.

.

.

.

.

Bucheon, 1 April 1968

"Eomeoni, tidak ada surat?"

Rasanya Baekhyun lelah sekali mengajukan pertanyaan ini setiap hari. Rasanya Baekhyun hampir putus asa saja karena Chanyeol tidak pernah membalas satu pun suratnya sejak bulan Februari yang lalu.

Apa kabar Chanyeol di Seoul? Apa kuliahnya baik-baik saja? Apa Chanyeol sibuk sehingga tidak sempat membalas suratnya? Apa Chanyeol tidak mau diganggu? Atau Chanyeol sudah lupa padanya?

"Baekhyun kau mau kemana?"

"Eomeoni, apa benar tidak ada surat?" mata sipit Baekhyun berkaca-kaca menatap ibunya berharap wanita berkepala lima itu mengatakan 'ada' kali ini. Namun yang didapatnya hanya gelengan. Baekhyun mendesah kecewa. Ia duduk dengan dagu yang bertumpu di lutut menatap keluar rumah berharap tiba-tiba pak pos berhenti di depan rumahnya untuk meninggalkan surat dari Chanyeol.

"Eomeoni, kenapa Chanyeol tidak pernah membalas suratku lagi?" tanya Baekhyun.

"Mungkin dia sibuk. Mengertilah.."

Baekhyun menenggelamkan wajahnya di antara lutut kemudian menghela nafas panjang. Sibuk? Sesibuk apa sampai-sampai tanpa kabar sama sekali begini?

.

.

.

.

Bucheon, 6 Mei 1968

"Selamat ulang tahun sayang.."

Ibunya mencium pipi Baekhyun sayang. Ia menghidangkan sup rumput laut di atas meja makan pagi itu dan berdoa semoga umur anaknya panjang. Ia juga memberi syal merah rajutan sebagai hadiah walau saat ini adalah musim semi.

"Eomeoni, ada surat hari ini?"

Air muka ibunya berubah. Ia mengelus rambut anaknya yang semakin panjang sampai ke telinganya kemudian menggeleng pelan. Baekhyun menunduk menatap sup rumput laut di atas meja dan bergumam pelan, "Apa mungkin Chanyeol sudah lupa padaku eomeoni?"

Ibunya menghela nafas. Pertanyaan seperti ini sudah diajukan Baekhyun berkali-kali dalam seminggu terakhir. "Tidak mungkin Baek. Chanyeol mungkin sedang sangat sibuk dan tidak sempat menulis surat. Dia pasti akan kembali padamu seperti janjinya."

Baekhyun mengaduk-aduk sup rumput laut buatan ibunya sama sekali tidak berminat. Baekhyun merasa semakin aneh dengan Chanyeol. Kenapa bahkan di hari ulang tahunnya Chanyeol tidak mengirim surat?

Kaki kursi berderit saat Baekhyun bangkit berdiri. Ibunya mendongak bingung kemudian bertanya mau kemana gerangan putra satu-satunya tersebut.

"Aku mau menunggu surat Chanyeol."

Ibunya mendesah nafas kasihan. Ia menatap punggung Baekhyun yang berjalan semakin menjauh kemudian melirik sup rumput laut yang seharusnya spesial hari ini.

Seoul, 10 Mei 1968

Chanyeol berjalan terhuyung-huyung di sepanjang jalan menuju apartmennya. Pipinya merah padam dan matanya setengah terpejam. Ia bergumam tak jelas saat beberapa kali hampir jatuh terjerembab.

Kakinya hilang kekuatan saat ia ingin bangkit seolah semua saraf kakinya sudah lumpuh. Ia mengumpat kemudian meringis. Mencoba berdiri lagi kemudian bergumam. Ia tidak ingat berapa botol minuman keras yang ditenggaknya malam ini, tapi ia masih ingat dengan apa yang berusaha ia lupakan sejak menenggak botol pertama. Lalu kenapa dia harus susah-susah menyiksa dirinya dengan alkohol jika sampai begini pun ia masih teringat Baekhyun?

Ia mengetuk pintu dengan telapak tangannya. Dahinya bersandar pada badan pintu dan tangannya terus mengetuk random. "Baekhyun!" ia meracau terus mengetuk pintu. "Byun Baekhyun!" Chanyeol mengetuk semakin keras. "ByunDaisyBaek!" Chanyeol meringis saat lagi-lagi tak ada jawaban. Tubuhnya yang kehilangan tenaga merosot kemudian disandarkan sepenuhnya pada pintu bernomor 456 itu. "Baekhyun!" kali ini panggilannya lirih. Tangannya mengetuk pintu tanpa tenaga. "Baekhyun!"

Pintu terbuka.

Chanyeol terjerembab.

"ASTAGA CHANYEOL!" Luhan memekik kaget begitu ia membuka pintu, tubuh Chanyeol tiba-tiba saja ambruk di lantai. Ia memang mendengar suara Chanyeol sejak tadi, hanya saja tadi ia masih berada di kamar mandi.

Luhan berjongkok di depan Chanyeol kemudian membantu teman sekamarnya itu untuk duduk. "Ya! Park Chanyeol!" Luhan menepuk pipi Chanyeol yang memejamkan matanya. "Ya, kau kenapa? Ya, Park Chanyeol!"

Chanyeol membuka matanya yang terasa amat berat kemudian menatap Luhan sayu. "Baekhyun?" lirihnya kemudian ia menangis.

"Ya! Ada apa?"

"Baekhyun?" Chanyeol mengelus pipi Luhan lembut. "Aku sangat merindukanmu Baekhyun." Chanyeol memeluk punggung telanjang Luhan erat. Dagunya disandarkan di pundak lelaki itu. Ia masih menangis. "Baekhyun, kenapa tidak pernah membalas suratku lagi? Aku merindukanmu." Suara Chanyeol serak.

"Chanyeol-ah, tunggu.." Luhan melepaskan diri dari pelukan Chanyeol kemudian bangkit berdiri. Ia menutup pintu apartemen mereka yang sejak tadi terbuka lebar kemudian kembali mendekati Chanyeol yang duduk di lantai bersandar pada dinding.

"Aku di sini." Ucap Luhan membuat kepala Chanyeol mendongak menatapnya. Mata rusanya dan mata bulat Chanyeol bertemu dalam suasana yang hening. Luhan mendekat, pun Chanyeol begitu. Saat mata mereka redup bersamaan, bibir Chanyeol menyentuh milik Luhan. Luhan mengurung Chanyeol dengan kedua lengannya agar namja tinggi itu tidak melepas ciuman mereka.

Luhan bangkit berdiri kemudian menuntun Chanyeol berjalan mendekati kasur. Handuk putih yang seharusnya menutup bagian bawahnya tercecer di lantai dan Luhan tidak peduli dengan itu.

Luhan di bawah dan Chanyeol di atasnya. Keadaan Chanyeol sudah tak jauh beda dengan Luhan—polos tanpa kain. Ia menyentuh semua bagian tubuh Luhan yang bisa ia jangkau. Ia membalas desahan halus namja itu dengan geraman berat dari bibirnya. Tubuhnya naik turun di atas Luhan. Mereka berdua bermandikan peluh. Chanyeol membawa mereka berdua sampai pada puncak bersamaan. Luhan yang masih belum bisa mengatur nafasnya berbisik di depan telinga Chanyeol, "Aku mencintaimu. Lupakan Baekhyun."

.

.

.

.

12 Mei 1968

Seperti biasanya, pada jam dua siang Chanyeol selalu ada kesibukan dengan urusan kuliahnya sehingga siang itu Luhan sendirian di apartemen. Dia tidak bisa pergi kuliah hari ini karena tubuh bagian bawahnya masih sakit. Namun begitu, Luhan tetap berjalan—walau sedikit mengangkang—menuju kotak surat yang ada di halaman gedung apartemen yang mereka sewa.

Luhan mengeluarkan semua amplop yang ada di dalam kotak surat itu. Mata rusanya mengamati satu persatu alamat yang tertera di depan amplop untuk kemudian mengambil dua amplop dan memasukkan kembali sisanya ke dalam kotak surat.

Luhan melihat surat pertama yang berasal dari Bucheon. Ia membuka amplopnya dan membaca isi surat itu dengan ekspresi dingin.

Dear, ParkDaisyYeol

Mwoya… kenapa tidak ada kabar sama sekali? Bahkan saat aku ulang tahun kau tidak memberi kabar apa-apa. Apakah menjadi mahasiswa kedokteran sangat menyita waktumu?

Ya, Park Chanyeol! Kau tidak melupakanku kan? Ini aku, yang katamu paling kau cintai di seluruh dunia. Yang katamu lebih kau sayangi daripada dirimu. Aku merindukanmu Park Chanyeol, balaslah suratku sekali saja, hm?

Kau tau, sekarang paru-paruku lebih sering sesak di malam hari daripada sebelumnya. Huh, kapan kau menjadi dokter dan memeriksaku? Tak lama lagi kan? Iya kan? Kau akan segera pulang ke Bucheon dan mengobatiku kan? Aku percaya padamu Park Chanyeol, saranghae ^^

ByunDaisyBaek

Luhan rasanya muak membaca surat yang hampir sama isinya begini selama beberapa bulan terakhir. Ia mengambil pemantik dari saku celananya kemudian menyulut api dari sudut amplop surat Baekhyun dan membuangnya ke tempat sampah yang terletak dua meter dari kotak surat.

Luhan kemudian membuka surat kedua yang juga datang dari Bucheon. Surat itu dikirim oleh temannya saat di Sekolah Menengah Atas Minseok yang sekarang sudah bekerja sebagai pegawai di kantor pos Bucheon.

Xi Luhan

Apa kabarmu kawan? Kapan kau pulang ke Bucheon? Aku dan yang lain merindukan tendanganmu saat bermain sepak bola. Kkkk~~

Ngomong-ngomong mengenai surat yang kau suruh kusimpan, apa sekarang dia menyuruh anak TK menuliskan untuknya? Tulisannya berantakan sekali! Hehe, maaf lancang membacanya. Aku hanya penasaran kenapa kau menyuruhku menyimpan surat itu tanpa mengirimnya pada seseorang yang di surat disebutkan bernama Baekhyun itu.

Apa aku harus tetap tidak mengirim surat itu ke alamat Baekhyun? Sampai kapan hm? Kau harus membayarku atas ini sekembalinya kau ke Bucheon, arasseo?

Luhan berjalan kembali setelah menyimpat surat yang baru ia baca setengah itu. Kakinya berjalan mengangkang pelan-pelan mengambil jalan kembali ke apartemen.

Bersyukurnya Luhan karena Minseok yang adalah sahabat terbaiknya selain Baekhyun itu bekerja di kantor pos Bucheon sejak Januari lalu sehingga ia bisa dibantu mengamankan surat Chanyeol untuk Baekhyun, sementara ia di Seoul mengamankan surat Baekhyun untuk Chanyeol.

.

.

.

.

Bucheon, 12 Desember 1966

Baekhyun mengajak Chanyeol berhenti pada sebuah stand yang dijaga oleh seorang paman bertubuh gemuk. Chanyeol melihat-lihat barang dagangan paman itu sementara Baekhyun sibuk mewawancarainya. Ia bertanya ini itu, dan si paman balik menanyainya ini itu. Ia bertanya apa hubungannya dengan Chanyeol, dan sebagainya hingga Baekhyun tidak sadar sendiri sudah menceritakan hampir semua tentangnya dan Chanyeol.

Pembicaraan Baekhyun dan paman itu berakhir dengan penawaran sepasang kalung. Chanyeol hanya memutar mata melihat bagaimana Baekhyun dengan mudahnya ditipu oleh trik penjual itu. Awalnya dia bertanya ini itu dan ujung-ujungnya pasti menawarkan barang dagangan.

Chanyeol tersenyum geli melihat mata berbinar Baekhyun saat ia dengan serius mendengarkan penjelasan si paman. Liontin kalung itu berbentuk bunga Daisy. Di bagian tengah ada sepasang orang-orangan berpegangan tangan. Warnanya putih, sangat bersinar ditimpa sinar matahari.

Paman itu mengompori Baekhyun habis-habisan. Ia mengatakan bahwa kalung berbentuk Daisy itu akan membawa keberuntungan dalam hubungan sepasang kekasih. Ia bilang kalung itu membuat hati sepasang yang memakainya akan terikat. Baekhyun merengek minta dibelikan, dan Chanyeol hanya mengangguk mengiyakan. Bukan karena ia percaya dengan ucapan penjual—yang jelas-jelas hanya trik agar barangnya laku—tapi lebih karena ia yang berikrar pada dirinya sendiri bahwa ia menyukai semua apa yang disukai Baekhyun. Jika Baekhyun suka kalung itu, maka ia pun begitu.

Chanyeol tersenyum senang saja saat Baekhyun terus melontarkan berbagai kekagumannya pada kalung itu. Matanya berbinar, mata Chanyeol tak pernah bisa lepas dari lengkung matanya yang indah seperti bulan sabit.

"Chanyeol, kau percaya kalung ini akan selalu mengikat hati kita kan? Kita akan selamanya bersama kan? Kau akan menjaga kalung ini kan?"

Chanyeol mengangguk dengan senyum melengkung. Tentu saja, jika Baekhyun beranggapan begitu, maka Chanyeol juga. Apa pun Baekhyun, maka Chanyeol juga.

.

.

.

.

Seoul, 5 Agustus 1969

"Buang!"

Chanyeol mendongak menatap Luhan yang sedang berdiri di depannya.

"Kubilang buang Park Chanyeol!"

Chanyeol menatap seuntai kalung berliontin Daisy di telapak tangannya. Ia sendiri bingung kenapa dia masih mempertahankan kalung itu bersamanya. Sekarang ia milik Luhan, untuk apa lagi kalung ini? Baekhyun sendiri belum tentu masih menyimpannya.

Walau berpikir begitu, Chanyeol tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab Luhan hingga kemudian ia kembali mendongak saat lelaki bermata rusa itu kembali buka suara, "Kau sekarang milikku, kenapa masih menyimpan kalung itu? Kau menyakitiku Park Chanyeol! Kau yang meniduriku dulu, sekarang kau menyesal? Setelah kau puas meniduriku berkali-kali kau ingin kembali pada Baekhyun?"

Chanyeol tersenyum pahit. Benar. Dia sudah terlalu sering meniduri laki-laki di depannya ini. Dia tidak seharusnya menyakiti Luhan. Ia seharusnya menjaga perasaan laki-laki itu. Menyimpan kalung ini bukan cara untuk menjaga perasaannya.

Chanyeol bangkit dari kursi belajarnya lalu membuang kalung berliontin Daisy itu ke tempat sampah di dekat meja belajarnya. Ya, semua yang berhubungan dengan Baekhyun tak boleh dimilikinya lagi. Hanya boleh ada Luhan.

.

.

.

.

Bucheon, 1 Mei 1973

Mungkin sekarang bisa dibilang Baekhyun sudah menyerah atas Chanyeol. Sudah lima tahun, dan dua tahun belakangan ia tidak lagi menulis surat. Namun diam-diam jika Baekhyun sedang merawat bunga di toko atau saat malam hari di kamarnya, Baekhyun terkadang masih mengharapkan Chanyeol kembali.

Pintu kaca tokonya dibuka kasar. Di sana, Jongin berdiri memegangi lutut dengan nafas terengah-engah. Baekhyun meletakkan peralatan di tangan serta membuka sarung tangannya untuk kemudian mendekati Jongin. Ia bertanya ada apa, namun lelaki berkulit tan itu hanya menunjuk ke luar toko membuat Baekhyun tak mengerti sama sekali. "Chanhh-Chanyeol hyung.."

TBC

*sembunyi takut dihajar massa*