ANYEONG YEOROBEUN

HOPE YOU ENJOY TO READ IT

NO FLAME | NO BASHING | PLEASE COMMENT

.

Title

Fifty Shade of Grey 11

Length

N - chapter

Rating

PG-18 (M)

Genre

ROMANCE, ANGST, SMUT, YAOI, BOYXBOY

(DON'T LIKE, DON'T READ)

Author

RUKA17

Main Cast

JUNG DAEHYUN, YOO YOUNGJAE

Disclaimer

THIS FANFICTION IS MINE!

Warning

DIRTY TALK! CURSING! Tidak patut dicontoh!

Bukan bacaan untuk bocah. Ini serius! Under 18 must be not read it!

.

.

.

.

.

Backsound: Blood, Sweat and Tears - BTS

.

.

.

Aku berbaring meringkuk dalam lengan kokohnya di seprai yang lengket. Tubuh bangian depannya menempel dipunggungku, hidungnya menempel dirambutku. "Apa yang aku rasakan terhadapmu ini membuatku takut," bisikku.

Dia terdiam. "Aku juga, sayang," katanya lirih.

"Bagaimana jika kau meninggalkanku?" Pikiran yang mengerikan. "Aku tidak akan kemana-mana. Aku yakin aku tak akan pernah merasa puas denganmu, Youngjae."

Aku berputar, menatapnya. Ekpresi wajahnya serius, tulus. Aku mendekat dan mencium lembut bibirnya. Dia tersenyum dan menyelipkan poniku yang basah karena keringat kebelakang telingaku. "Aku belum pernah merasakan perasaan seperti saat kau meninggalkanku, Youngjae. Aku akan memindahkan surga dan neraka untuk menghindari merasakan perasaan seperti itu lagi." Dia terdengar sedih, bahkan bingung. Aku menciumnya lagi, ingin meringankan suasana hatinya bagaimanapun caranya.

"Apakah kau mau datang ke pesta musim panas ayahku besok? Sebuah acara amal tahunan, aku bilang padanya bahwa aku akan pergi," ujarnya kembali.

Aku tersenyum, tiba-tiba merasa malu. "Tentu saja aku akan datang." Oh sial. Aku tidak punya baju untuk dipakai.

"Ada apa sayang?"

"Tidak ada apa-apa."

"Beritahu aku," Dia memaksa seperti biasa.

"Aku tidak punya baju untuk dipakai." Daehyun tiba-tiba merasa tidak nyaman. "Jangan marah, tapi aku masih punya semua pakaian yang aku beli untukmu di rumah. Aku yakin ada beberapa setel pakaian resmi yang bisa kau pakai."

Aku mengerutkan bibirku. "Benarkah?" Gerutuku, suaraku terdengar sinis. Aku tidak mau bertengkar dengannya malam ini dan aku butuh mandi. Tapi sial, bokong dan badanku terasa sakit semua. Daehyun tersenyum, mengerti akan keresahanku, lalu membawaku kedalam gendongannya dan berjalan ke kamar mandi.

.

.

.

Seorang gadis yang terlihat mirip denganku berdiri diluar gedung tempatku bekerja. Tunggu dulu, apakah dia kembaranku? Dia terlihat pucat dan belum mandi, dan semua pakaiannya kebesaran. Aku menatap kearahnya dan dia menatapku balik.

"Apa yang kau miliki yang tidak aku miliki?"

Aku bertanya padanya. "Siapa kau?"

"Aku bukan siapa-siapa." jawabnya

Jadi siapa kau? Apakah aku juga bukan siapa-siapa?

"Kita berdua sama. Jangan beritahu siapa-siapa, atau mereka akan membuang kita berdua, kau tahu." Dia tersenyum, sebuah seringai jahat yang lebar terpampang diseluruh wajahnya yang sangat dingin sehingga membuatku langsung menjerit.

.

.

.

"Youngjae!" Daehyun menguncang tubuhku supaya aku terbangun. Aku sangat bingung. Aku berada dirumah sekarang... dalam ruang gelap yang disinari oleh lampu temaram dari luar jendela...dan aku berada ditempat tidur saat ini... bersama Daehyun. Aku mengelengkan kepalaku, berusaha menjernihkan pikiranku. "Sayang, kau baik-baik saja? Kau bermimpi buruk?"

"Oh, hyung." Aku terkesiap. Dia menghidupkan lampu sehingga kami berdua bermandikan cahaya redup. Dia menatapku, wajahnya terlihat cemas. "Seorang Gadis," Bisikku.

"Ada apa, gadis siapa?" dia bertanya dengan lembut.

"Ada seorang gadis di luar gedung kantorku ketika aku keluar sore tadi. Dia mirip sepertiku...tapi tidak terlalu." Daehyun terdiam, dan saat cahaya dari lampu meja memanas, aku melihat wajahnya memucat.

"Kapan kejadiannya?" Bisiknya cemas. Dia lalu duduk dan menatapku. "Ketika aku keluar tadi sore. Apakah kau tahu siapa dia?"

"Ya." Dia menjalankan tangannya ke rambutnya.

"Siapa?" Mulutnya terkatup rapat seperti garis, tidak berkata apa-apa. "Siapa?" Desakku.

"Dia Baekhyun." Aku menelan ludah. Seorang bekas submisif. Aku ingat Daehyun pernah bercerita tentang dia sekali. Tiba-tiba, dia berubah menjadi tegang. Ada sesuatu yang terjadi.

"Apa dia gadis yang memasukkan 'Toxic' dalam iPod-mu?" Dia menatapku dengan gugup.

"Ya," Katanya. "Apakah dia mengatakan sesuatu?"

"Dia mengatakan, 'Apa yang kau miliki yang tidak aku miliki?' dan ketika aku bertanya siapa dia, dia bilang, 'Aku bukan siapa-siapa.' "

Daehyun menutup matanya seperti sedang berada dalam kesakitan. Oh tidak. Apa yang terjadi? Apa arti gadis itu baginya? Kepalaku terasa seperti terhantam batu ketika adrenalin mengalir dalam tubuhku. Bagaimana jika dia sangat penting baginya? Apa mungkin dia merindukannya? Aku tahu sedikit tentang masa lalu...emmm hubungannya. Dia pasti sudah pernah berhubungan dengannya dan dia pasti pernah melakukan apa yang dia minta, memberikan apa yang dia butuhkan dengan senang hati. Oh tidak! Ketika aku berpikir tentang aku yang tidak bisa memberikan apa yang dia butuhkan, itu membuatku mual.

Daehyun turun dari tempat tidurku, memakai kembali celana denimnya dan keluar menuju ruang depan. Sebuah lirikan ke jam bekerku menunjukan sekarang tepat jam 5 pagi. Aku berguling turun dari tempat tidur, memakaikan kemeja putih milik daehyun ditubuhku, lalu mengikutinya keluar. Aku melihatnya sedang menelepon seseorang.

"Ya, diluar gedung kantor Youngjae, kemarin menjelang senja," dia berkata pelan. Dia berputar kearahku saat aku berjalan menuju dapur dan langsung bertanya padaku, "Jam berapa tepatnya?"

"Sekitar jam 6 kurang 10 menit?" ujarku ragu. Siapa sebenarnya yang dia hubungi pada jam seperti ini? Dan apa yang dilakukan Baekhyun? Dia menyampaikan berita kepada siapapun yang berada ada diujung sana, tanpa melepaskan pandangannya dariku, ekspresinya kelam dan bersungguh-sungguh. "Cari tahu bagaimanapun caranya . . . ya . . . aku tidak mengatakan seperti itu, tapi aku tidak pernah berpikir dia akan melakukan hal ini."

Dia menutup matanya seperti sedang kesakitan. "Aku tidak tahu kenapa itu terjadi . . . Ya, aku akan bicara padanya . . . Ya . . . Aku tahu . . . lanjutkan dan beritahu aku kabar selanjutnya. Temukan dia."

Daehyun menutup teleponnya. "Kau mau teh atau kopi?" Tanyaku.

Aku mengisi ketel dengan air. "Sebenarnya, aku ingin kembali ketempat tidur." Tatapannya menunjukan bahwa maksudnya bukan ingin tidur. "Yes, a cup of tea please" Dia menjalankan tangannya ke seluruh rambutnya dengan jengkel. Aku tahu dia kesal.

Aku meletakan ketel di kompor dan menyibukkan diriku dengan cangkir dan teko. Tingkat kegelisahanku naik. Apakah dia akan memberitahukanku tentang masalahnya? Atau aku harus mengoreknya? Aku merasakan pandangan matanya ke arahku, merasakan ketidakpastiannya dan kemarahannya yang jelas terlihat. Aku melirik dan matanya berbinar dengan kebimbangan. "Ada apa?" tanyaku lembut. Dia menggelengkan kepala.

"Kau tidak akan memberitahukannya padaku, hyung?" Dia mendesah dan menutup matanya. "Tidak."

"Kenapa tidak?"

"Karena ini seharusnya tak ada kaitannya denganmu. Aku tidak mau kau terlibat dalam masalah ini." "Masalah ini memang sebenarnya tidak ada kaitannya denganku, tapi aku jadi terlibat juga. Dia mencariku dan mendatangiku diluar kantorku. Bagaimana dia bisa tahu tentangku? Bagaimana dia tahu dimana tempatku bekerja? Aku rasa aku punya hak untuk tahu ada apa sebenarnya." Dia menjalankan tangannya ke rambutnya lagi, memancarkan frustasi seperti berperang dalam diri sendiri.

"Please?" Tanyaku lembut. Mulutnya terkatup rapat, lalu memutar bola matanya padaku. "Oke," katanya pasrah.

"Aku tidak tahu kenapa dia bisa menemukanmu. Mungkin foto kita berdua saat kita berada di Busan, aku juga tidak tahu." Dia menghela napas lagi, aku rasa kekecewaannya ditujukan pada dirinya sendiri. Aku menunggu dengan sabar, menuangkan air mendidih ke teko saat dia berjalan mondar-mandir. Beberapa saat kemudian dia melanjutkan. "Ketika aku sedang bersamamu di apartemen lamamu, Baekhyun muncul di apartemenku secara tiba-tiba dan membuat kekacauan."

"Membuat kekacauan? Apa maksudmu?" Dia melotot padaku, menilai. "Katakan padaku. Kau menyimpan sesuatu?" Nada suaraku lebih memaksa daripada yang kurasakan. Dia berkedip padaku, terkejut.

"Youngjae...aku..." dia terdiam.

"Please?"

Dia mendesah, merasa kalah. " Dia dengan gilanya mencoba memotong urat nadi tangannya."

"Astaga!" Itu menjelaskan kenapa ada perban dipergelangan tangannya. "Jongin yang melihatnya langsung membawanya ke rumah sakit. Tapi Baekhyun melarikan diri sebelum aku sampai kesana."

Apa artinya semua ini? Percobaan bunuh diri? Kenapa?

"Pskiater yang memeriksanya menyebutkan bahwa itu adalah caranya untuk memohon bantuan. Dia tidak sadar bahwa dia berada dalam bahaya. Dia menyebutkan bahwa itu adalah langkah untuk bunuh diri. Tapi aku tidak percaya, aku berusaha melacak keberadaannya sampai saat ini untuk membantunya."

"Apa dia mengatakan sesuatu pada Jongin?" Dia menatapku. Dia kelihatan sangat tidak nyaman. "Tidak banyak," akhirnya dia berkata, tapi aku tahu dia tidak memberitahuku semuanya. Aku menyibukkan diriku dengan menuang teh ke cangkir. Jadi Baekhyun ingin kembali ke dalam kehidupan Daehyun dan memilih cara bunuh diri untuk menarik perhatiannya? Wah, sangat mengerikan. Tapi dia berhasil. Daehyun pergi untuk melihat keadaanya, tapi dia menghilang sebelum daehyun sampai kesana? Aneh sekali.

"Kau tidak bisa menemukannya? Bagaimana dengan keluarganya?"

"Mereka juga tidak tahu dimana dia. Suaminya juga tidak tahu."

"Suami?"

"Ya," dia berkata dengan bingung, "Dia sudah menikah kira-kira 2 tahun."

What?

"Jadi dia bersamamu selama dia menikah?" Ya ampun. Dia benar-benar tidak punya batasan. "Tidak! Demi Tuhan, Tidak. Dia bersama denganku hampir 3 tahun yang lalu. Kemudian dia pergi dan menikah dengan pria itu tidak lama kemudian."

Oh. Aku menganggukan kepalaku.

"Lalu kenapa dia mencoba menarik perhatianmu sekarang?"

Dia menggoyangkan kepalanya dengan sedih. "Aku tidak tahu, yang aku tahu dia kabur dari suaminya sekitar 4 bulan yang lalu."

"Biar aku luruskan ini. Dia telah jadi submisifmu selama 3 tahun?"

"Sekitar 2 tahun setengah."

"Dan dia ingin lebih."

"Ya."

"Tapi kau tidak mau?"

"Kau tahu itu."

"Jadi dia meninggalkanmu."

"Ya."

"Tapi kenapa dia mencarimu sekarang?"

"Aku tidak tahu." Dan dari nada bicaranya memberitahuku bahwa setidaknya dia punya satu teori. "Tapi aku menduga . . ." Matanya jelas meyipit karena amarah. "Aku menduga ini ada hubungannya denganmu."

Aku? Apa yang diinginkannya dariku?

"Apa yang kau miliki yang tidak aku miliki?"

Aku menatap Daehyun telanjang sempurna dari pinggang ke atas. Aku punya dia. Dia milikku. Itulah yang aku miliki. Tapi gadis itu sangat mirip denganku, rambut gelap dan juga kulit pucat. Aku tidak suka pemikiran ini. Lalu . . . apa yang aku miliki yang tidak dia miliki?

"Kenapa kau tidak memberitahuku semalam?" Tanyanya lembut. "Aku lupa tentang dia." aku mengangkat bahu minta maaf. "Kau tahu, minum-minum setelah kerja, pada akhir minggu pertamaku. Lalu kau muncul di bar dan hormon testosterone-mu yang tiba-tiba meninggi, dan kemudian kita berada disini. Hal itu jadi terselip dipikiranku. Kau punya suatu kebiasaan yang bisa membuatku lupa berbagai hal."

"Testosterone?" Bibirnya mengencang.

"Ya. Kontes buang air kencingmu dengan Chanyeol."

Daehyun menyeringai. "Akan kutunjukan padamu hormon testosterone yang sesungguhnya."

Aku menggigit bibirku. "Apa kau tidak mau minum secangkir teh saja?"

"Tidak, Youngjae, Aku tidak mau." Matanya membara menatapku, membakarku dengan tatapan 'Aku menginginkanmu-sekarang-juga". Sial . . . itu terdengar panas. "Lupakan dia. Ayo." Dia mengulurkan tangannya dan aku meraihnya.

.

.

.

Aku terbangun, merasa hangat dan aku menyadari, aku berada dalam pelukan Daehyun yang telanjang. Walaupun dia tidur nyenyak, dia memelukku dengan kuat. Cahaya lembut pagi hari masuk melewati celah-celah jendela kamar. Kepalaku menempel didadanya, kakiku bersilangan dengan kakinya, dan tanganku ada di perutnya. Aku mengangkat kepalaku sedikit, takut akan membangunkannya. Dia terlihat sangat muda, tenang, dan sangat tampan. Aku tidak percaya bahwa Adonis ini milikku, sepenuhnya milikku. Aku menjulurkan tanganku, membelai dadanya, menjalankan ujung jariku melewati dada bidangnya, dan dia tidak bergerak sama sekali. Ya Ampun, Aku tidak percaya ini, dia benar-benar milikku. Aku bersandar sedikit dan dengan lembut mengecup salah satu bekas lukanya yang terlihat. Dia mengerang pelan tapi tidak terbangun, dan aku tersenyum. Aku mencium lagi yang lain, dan matanya terbuka.

"Hai." Aku terseyum, nyengir padanya, merasa bersalah.

"Hai," Dia menjawab hati-hati. "Apa yang kau lakukan?"

"Melihat dirimu." Aku menggerakkan jariku di antara tulang belikatnya. Dia menangkap tanganku, menyipitkan matanya, kemudian tersenyum. Sebuah senyuman teduh dan aku menjadi rileks. Sentuhan rahasiaku akan tetap menjadi rahasia. Oh . . . kenapa kau tidak membiarkan aku menyentuhmu? Tiba-tiba dia pindah keatas tubuhku, menekanku ke ranjang empuk, tangannya mengunci kedua tanganku, memperingatkanku. Dia menggosok hidungku dengan hidungnya. "Aku rasa kau punya niat tidak baik padaku, Tuan Yoo," Tuduhnya, tapi senyumnya tetap tersisa.

"Aku sering punya niat tidak baik saat berada didekatmu."

"Benarkah?" Dia bertanya dan mencium ringan bibirku. "Seks atau sarapan?" Tanyanya, matanya kelam tapi penuh humor. Ereksinya menusuk ke dalam holeku, dan aku mengangkat pinggulku untuk bergabung dengannya. "Pilihan yang bagus," Bisiknya dileherku, saat ciumannya turun ke pundakku.

.

.

.

Aku berdiri didepan lemari, menatap cermin, mencoba membujuk rambutku agar mau diatur lebih bergaya, ternyata ambutku sudah terlalu panjang hingga aku merasakan poniku menutup pandanganku. Aku memakai jeans dan T-shirt dan Daehyun yang terlihat segar sehabis mandi sedang berpakaian dibelakangku. Aku menatap tubuhnya dengan bernafsu.

"Seberapa sering kau berolahraga?" Tanyaku.

"Setiap hari kerja," Katanya, mengancingkan celananya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku lagi

"Lari, angkat beban, kickboxing." Dia mengangkat bahu.

"Kickboxing?"

"Ya, aku punya pelatih pribadi, seorang bekas atlet olimpiade. Namanya Jackson. Dia sangat hebat. Kau akan menyukainya." Aku berputar untuk menatapnya saat dia mulai mengancing baju kemeja putihnya.

"Apa maksudmu aku akan menyukainya?"

"Kau akan menyukai dia sebagai pelatih."

"Kenapa aku perlu seorang pelatih pribadi? Aku punya kau untuk tetap sehat." Aku nyengir padanya. Dia berjalan mendekat dan melingkarkan lengannya di sekeliling pinggangku, matanya yang menggelap bertemu mataku di cermin. "Tapi aku ingin kau tetap bugar, sayang, Aku butuh kau supaya tetap bisa bertahan."

Wajahku memerah saat memori di playroom membanjiri pikiranku. Ya . . . Red Room of Pain memang melelahkan. Apakah dia akan membiarku kembali kesana? Apakah aku mau kembali? Tentu saja kau mau! Jiwaku menjerit.

Aku menatap kedalam mata hazelnya yang memikat dan tidak terduga. "Aku tahu kau mau," Dia berkata padaku. Aku kembali memerah, dan pikiran yang tak diinginkan bahwa Baekhyun mungkin bisa bertahan disana muncul dipikiranku.

Aku mengatupkan bibirku dan Daehyun mengerutkan dahinya padaku. "Ada apa?" Katanya khawatir.

"Tidak." Aku mengeleng padanya dan tersenyum "Oke, aku akan bertemu Jackson."

"Kau mau?" Wajah Daehyun langsung cerah dengan ketidakpercayaan. Ekpresinya membuatku tersenyum. Dia seperti baru saja memenangkan lotre, walaupun mungkin daehyun belum pernah membeli satu tiket pun - dia tidak mempunyai kebutuhan itu.

"Ya, jika itu membuatmu bahagia," Ejekku. Dia mengencangkan lengannya padaku dan menciumi pipiku. "Kau tidak akan mengerti," bisiknya. "Jadi...apa yang ingin kau lakukan hari ini?" Dia mengelus pipiku, mengirim sensasi nikmat diseluruh tubuhku.

"Aku mau potong rambut dan mmm . . . aku ingin mencairkan cek dan membeli mobil."

"Ah," Dia langsung paham dan menggigit bibirnya. Menarik satu tangannya dariku, dia meraih saku jeansnya dan memegang kunci mobil Audiku. "Ada disini," katanya pelan, ekpresinya ragu-ragu.

"Apa maksudnya, ada disini?" aku terdengar marah. Sial. Aku memang marah. Beraninya dia! "Jongup membawanya kembali kemarin." Aku membuka mulutku lalu menutupnya kembali dan mengulanginya lagi sampai dua kali, tapi aku tetap tak bisa berkata-kata. Dia mengembalikan padaku lagi mobil itu. Sial. Kenapa aku tidak menduga hal ini?

Aku merogoh saku belakang jeansku dan menarik amplop berisi cek. "Ini, ini milikmu." Daehyun melihatku dengan pandangan aneh, lalu mengenali amplop itu, mengangkat kedua tangannya dan menjauh dariku. "Oh tidak, itu uangmu."

"Tidak, bukan punyaku. Aku mau membeli mobil itu darimu." Ekpresinya berubah sepenuhnya. Kemarahan, ya kemarahan memenuhi seluruh wajahnya. "Tidak, Youngjae. Uangmu, mobilmu," dia membentakku.

"Tidak Daehyun. Uangku, mobilmu. Aku akan membelinya darimu."

"Aku memberikanmu mobil itu untuk hadiah kelulusanmu."

"Jika kau memberiku sebuah pena, itu akan cocok sebagai hadiah kelulusan. Kau memberiku sebuah Audi, hyung.. Audi."

"Apakah kau memang ingin berdebat tentang ini?"

Aku menghela nafas "Tidak."

"Bagus, ini kuncinya." Dia meletakkannya di atas nakas.

"Bukan itu maksudku!"

"Pembicaraan selesai, Youngjae. Jangan memaksaku." Aku cemberut padanya, dan kemudian sebuah ide terlintas dipikiranku. Aku mengangkat amplop itu, merobeknya menjadi dua, lalu dua lagi dan menjatuhkan isinya ke dalam tong sampah. Oh, ini terasa menyenangkan. Daehyun menatapku tak bergerak, menggosok dagunya. "Kau, seperti biasanya selalu menantang, Youngjae," katanya datar. Dia memutar tumitnya dan berjalan menuju ruangan lain. Ini bukan reaksi yang aku perkirakan. Aku mengantisipasi kemarahan seperti ledakan bom nuklir di Nagasaki, Jepang. Tapi dia sama sekali tidak marah padaku? Ini sebuah keajaiban. Aku menatap diriku kembali dicermin dan mengangkat bahuku. Keingintahuanku tiba-tiba muncul. Apa yang daehyun lakukan? Aku mengikutinya keluar ruangan, dan dia sedang menelepon.

"Ya, dua puluh lima ribu dolar. Langsung." Dia melirik kearahku, masih terdiam. "Bagus . . . Tidak, itu saja Himchan." Dia menutup telponnya. "Sudah disimpan dalam rekening bankmu. Jangan main-main denganku." Ternyata dia sangat marah.

"Dua puluh lima ribu dolar?!" Aku hampir menjerit. "Dan, bagaimana kau bisa tahu nomor rekeningku, hyung?" Kemarahanku mengejutkan Daehyun. "Aku tahu segalanya tentangmu, Youngjae," Katanya lirih. "Tidak mungkin mobilku berharga sampai dua puluh lima ribu dolar."

"Aku setuju denganmu, tapi ini tentang bagaimana mengetahui cara pemasaran yang terjadi dalam dunia nyata, apakah kau ingin membeli atau menjualnya. Seseorang yang gila di luar sana terjebak dalam jebakan yang telah dibuat dan rela membayar dengan uang sebanyak itu. Rupanya mobil itu barang langka. Tanya Jongup jika kau tidak percaya padaku."

Aku menggeram padanya dan dia menggeram balik padaku, dua orang bodoh, pemarah dan keras kepala saling melotot satu sama lain. Dan kemudian aku merasakan itu, energi listrik diantara kami sangat nyata, menarik kami berdua. Tiba-tiba dia menarikku dan mendorongku ke pintu, bibirnya berada dibibirku, menciumku dengan bernafsu, satu tangannya meremas bokongku, menekanku ke pangkal pahanya, dan tangannya yang lain berada di tengkukku, menarik kepalaku kebelakang. Jari-jariku menjalar di rambutnya, memutar kuat, menahannya ke tubuhku. Dia menggosokkan tubuhnya ke tubuhku, memenjarakanku, dan nafasnya tersengal-sengal. Aku merasakannya, dia menginginkanku. Aku mabuk dan terjerat dalam rangsangannya.

"Kenapa? Kenapa kau menentangku?" Dia bergumam diantara ciuman panas kami. Darahku berdesir hebat di dalam urat nadiku. Apakah dia akan selalu berefek seperti ini padaku? Dan aku padanya? "Karena aku bisa."

Aku tidak bernafas. Aku merasakannya, melihat senyumnya dileherku, dan dia menempelkan keningnya di keningku. "Oh God, aku mau melakukannya sekarang, tapi aku tidak punya banyak waktu. Aku tidak akan pernah puas denganmu. Kau adalah seseorang yang menjengkelkan," ujarnya

"Kau juga membuatku marah," Bisikku. "Di setiap saat."

Dia menggelengkan kepalanya. "Ayo, kita cari sarapan, dan aku tahu tempat dimana kau bisa memotong rambutmu."

"Oke," Aku setuju dan hanya seperti itu, pertengkaran kecil kami berakhir. Lucu sekali.

.

.

.

"Aku yang membayar ini." Aku mengambil tagihan sarapan kami sebelum dia melakukannya. Dia cemberut padaku. "Kau harus lebih cepat disini, tuan Jung."

"Kau benar, Aku harus," Katanya masam, walaupun aku pikir dia bercanda. "Jangan terlihat begitu kesal padaku. Aku sekarang lebih kaya dua puluh lima ribu dolar. Aku mampu membayar untuk semua sarapan hari ini" aku melirik kertas tagihan ditanganku

"Terima kasih." Katanya enggan. Oh, anak kecil yang suka merajuk muncul lagi. "Kemana sekarang? Apakah kau benar mau potong rambut?"

"Ya, lihat ini." Ujarku seraya memperlihatkan poniku yang menjulur panjang

"Kau terlihat cantik menurutku, selalu." Aku memerah dan menatap ke bawah jari-jariku yang terangkai di pangkuanku.

"Akan ada acara ayahmu malam ini,hyung."

"Ah, aku ingat, itu acara resmi."

Oh astaga. "Dimana?"

"Di rumah orang tuaku. Mereka membangun tenda besar dihalaman."

"Acara amal apa?" Daehyun menggosokkan tangannya dipahanya.

"Itu program rehabilitasi obat-obatan bagi orang tua yang mempunyai anak kecil."

"Kedengarannya suatu acara yang menarik," Kataku lembut. "Ayo, kita pergi." Dia berdiri, dengan efektif menghentikan topik pembicaraan kami dan mengulurkan tangannya. Saat aku menyambutnya, dia mengencangkan jari-jarinya dijari-jariku. Ini aneh. Dia sangat demonstratif dalam beberapa hal tapi tertutup di hal-hal lain. Dia mengarahkanku keluar restoran, dan kami berjalan menuju jalanan. Pagi yang indah dan cerah. Matahari bersinar dan udara beraroma kopi dan roti segar yang baru dibakar tercium dipenginderaan.

"Kemana kita akan pergi?"

"Kejutan." Oh,oke. Aku tidak terlalu suka kejutan. Kami sudah berjalan dua blok dan toko-tokonya semakin terlihat lebih eksklusif. Aku belum mendapat kesempatan untuk berjalan-jalan, walaupun ini benar-benar hanya disekitar tempat tinggalku. Kyungsoo pasti akan senang. Ada beberapa butik kecil untuk memuaskan kegemaran fashionnya. Sebenarnya, aku juga perlu membeli beberapa celana dan kemeja untuk dipakai bekerja.

Daehyun berhenti di luar sebuah bangunan besar, sebuah salon yang terlihat rapi dan nyaman. Ia membukakan pintu untukku. Aku berjalan masuk. Bagian Interior ruangan ini semuanya terlihat bernuansa putih. Di meja putih resepsionis duduk seorang wanita muda pirang memakai seragam putih pendek. Dia melirik sekilas saat kami masuk. "Selamat pagi, tuan Jung," katanya ceria, pipinya memerah saat dia mengedipkan bulu matanya pada Daehyun.

Ini adalah 'Efek dari seorang Jung Daehyun', dan dia mengenalnya! Bagaimana bisa?

"Selamat pagi, Joy." Dan daehyun juga mengenalnya. Apaan ini?

"Apakah ini yang biasa, tuan?" Tanyanya. Dia memakai lipstick sangat pink.

"Tidak," katanya cepat, dengan pandangan gugup padaku. Yang Biasa? Apa maksudnya? Ya ampun! Aku ingat. Ini Aturan no.6. Salon Kecantikan Terkutuk. Semua waxing yang tak masuk akal . . .ah sial! Disinikah dia membawa semua subnya? Mungkin Baekhyun juga? Apa yang seharusnya aku lakukan?

"Tuan Yoo akan memberitahumu apa yang diinginkannya." Aku melotot padanya. Dia memperkenalkan aturan kepadaku dengan diam-diam. Aku telah setuju dengan pelatih pribadi dan sekarang?

"Kenapa disini?" Aku mendesis padanya. "Aku pemilik tempat ini, dan tiga tempat lainnya."

"Kau memilikinya?" Aku terkesiap kaget. Yah, ini tidak terduga. "Ya, ini sampingan. Ngomong-ngomong apapun yang kau inginkan, akan bisa kau dapatkan disini, di dalam ruangan. Segala macam pijat, shiatsu, batu panas, refleksi. Semua hal bisa dilakukan disini." Dia melambaikan tangan berjari panjangnya dengan acuh tak acuh.

"Waxing?"

Dia tertawa. "Ya, waxing juga. Di seluruh tubuh." Dia berbisik konspiratif, menikmati ketidaknyamananku. Aku memerah dan melirik Joy, yang melihat padaku dengan penuh harap.

"Tolong, Aku mau potong rambut."

"Tentu, Tuan Yoo." Joy, wanita dengan lipstik pink itu bergegas mengecek layar computer. "Jin tidak masuk hari ini, sepertinya Nona Hani yang akan menggantikannya."

"Hani? Ok.. pilihan yang bagus," kata Daehyun meyakinkanku. Aku berusaha mencerna masalah ini di dalam kepalaku. CEO Jung Daehyun memiliki sebuah jaringan salon kecantikan? Aku mengintipnya, dan tiba-tiba dia menjadi pucat, sesuatu atau seseorang telah menarik perhatiannya. Aku berbalik untuk melihat kearah tatapannya dan tepat dibelakang salon muncul seorang wanita berambut ash grey yang berpakaian rapi, menutup pintu dibelakangnya dan berbicara dengan salah seorang penata rambut lainnya. Rambut ash grey, tinggi, kulit putih, cantik, di usia 20 atau 30-an, susah ditebak. Dia memakai seragam sama seperti Joy, tapi hitam. Dia terlihat menawan. Rambutnya bersinar seperti sebuah lengkungan cahaya, dan dipotong model bob sebahu. Ketika dia berputar, dia menangkap pandangan Daehyun dan tersenyum kepadanya, suatu senyuman hangat.

"Permisi," Daehyun menggumam dengan cepat. Dia melangkah cepat menuju wanita itu, melewati para penata rambut berseragam serba hitam, melewati para pekerja magang di bak cuci, terlalu jauh bagiku untuk mendengar percakapan mereka. Wanita berambut ash grey itu menyambutnya dengan kasih sayang yang jelas, mencium kedua pipinya, tangannya dilingkarkan di lengan atas Daehyun, dan mereka terlihat asyik berbicara berdua.

"Tuan Yoo?" Joy si resepsionis berusaha menarik perhatianku. "Tolong tunggu sebentar," Aku menonton Daehyun, kagum. Wanita berambut ash grey itu berputar dan melihatku, dan memberiku senyum mempesona yang sama, seperti dia mengenalku. Aku membalas dengan senyum sopan lalu membungkukkan badanku. Daehyun terlihat marah tentang sesuatu. Dia memberi alasan padanya dan dia setuju, mengangkat tangannya dan tersenyum padanya. Daehyun tersenyum padanya, jelas mereka sangat mengenal satu sama lain. Mungkin mereka telah lama bekerjasama? Mungkin dia menjalankan tempat ini, lagipula dia jelas terlihat berwibawa. Dan ini menghantamku seperti sebuah batu yang menghancurkan kepalaku, dan aku tahu, jauh didalam hatiku yang terdalam, aku tahu siapa dia. Itu dia. Wanita mempesona, lebih tua dan cantik.

"Itu Nona Hani," ujar Joy disampingku, seakan mengerti apa yang ada dipikiranku.

.

.

.

"Kau biasa mengajak subs-mu kesana?" tanyaku ragu.

"Beberapa dari mereka, ya," katanya pelan, nadanya terpotong.

"Baekhyun?"

"Ya."

"Tempat itu sepertinya masih sangat baru."

"Karena belum lama direnovasi."

"Aku paham. Jadi, apa Hani-nuna bertemu dengan semua subs-mu?"

"Ya."

Aku kembali bertanya dengan hati-hati. "Apa dia juga salah satu mantanmu?"

"Ya."

"Apakah mereka tahu dia?"

"Tidak, Tidak satu pun dari mereka tahu. Hanya kau."

"Tapi aku bukan sub-mu."

"Tidak, Kau jelas-jelas bukan." Aku berhenti dan menatapnya. Matanya melebar, takut. Bibirnya ditekan menjadi garis keras tanpa kompromi. "Bisakah kau melihat bagaimana kacaunya ini?" Aku silau menatapnya, suaraku pelan.

"Ya. Aku minta maaf." Dan ia terlihat sangat menyesal. "Aku ingin memotong rambutku, sebaiknya di suatu tempat di mana kau tidak meniduri baik itu staf atau pelanggannya." Dia tersentak. "Sekarang, jika kau mengijinkanku."

"Kau tidak akan pergi dariku kan?" Tanyanya.

Aku mendesah. "Tidak, aku hanya ingin memotong rambut sialan ini. Di suatu tempat dimana aku bisa menutup mataku dan melupakan semua masalahku." Dia mengacak-acak rambutnya. "Aku bisa meminta Hani datang ke apartemenku atau tempatmu," katanya pelan.

"Dia sangat menarik." Dia meyakinkanku.

Aku menghela nafas, malas bertengkar dengannya. "Baiklah." Aku menjeda. "Apakah dia sudah menikah?"

"Ya.. maksudku tidak. Dia sudah bercerai sekitar lima tahun yang lalu."

"Apa kau masih bersamanya?"

Tiba-tiba alisnya berkerut. "hubungan di antara kami sudah berakhir, Youngjae."

Daehyun merasakan ponselnya bergetar. Ia mengambil Iphone dari saku jaketnya dan mengangkat teleponya. Kami berdiri di pinggir sungai kecil dan aku memandang ke arah anakan pohon pinus di depanku, daunnya berwarna hijau masih baru tumbuh. Keramaian orang-orang melewati kami, tenggelam didalam kegiatan mereka pada Sabtu pagi. Tidak diragukan sedang merenungi kehidupan pribadi mereka sendiri.

"Tewas dalam kecelakaan mobil? Kapan?" Daehyun memotong lamunanku. Oh tidak. Siapa? Aku mendengarkan lebih dekat. "Apa si brengsek itu tidak datang lagi? Dia harus tahu. Apa dia sama sekali tidak punya perasaan padanya?" Daehyun menggeleng dengan muak. "Ini mulai masuk akal. . . tidak. . . jelaskan mengapa, bukan di mana."

Daehyun melirik sekeliling kami seakan mencari sesuatu, dan aku mengikuti seperti tindakannya. Tidak ada yang menarik perhatianku. Hanya ada orang yang berbelanja, lalu lintas, dan pohon. "Dia berada di sini," lanjut Daehyun. "Dia sedang mengawasi kita. . . Ya. . . Bukan. Dua atau empat. Jam 20.47. Aku belum mulai membicarakan hal itu." Secara langsung Daehyun melihat kearahku.

Mulai membicarakan apa? Aku mengerutkan kening padanya dan dia memandangku dengan hati-hati. "Aku tahu. Kapan? Baru-baru ini? Tapi bagaimana? Tidak ada pemeriksaan latar belakang? Aku mengerti. Alamat email, alamat rumah, dan foto jika kau punya. Jam 20.47 dari sore ini. Kerja sama dengan Jongup." Daehyun menutup telepon.

"Ada apa?" Tanyaku, putus asa. Apakah dia akan menceritakan padaku?

"Itu tadi Namjoon."

"Siapa Namjoon?"

"Penasihat keamananku."

"Oke. Jadi apa yang terjadi?"

"Baekhyun meninggalkan suaminya sekitar tiga bulan yang lalu dan lari dengan seorang pria yang tewas dalam kecelakaan mobil empat minggu yang lalu."

"Oh."

"Psikiater brengsek itu seharusnya tahu bahwa dia lari," katanya marah. "Menyedihkan... Ayo." Dia mengulurkan tangannya, dan secara otomatis aku menyambutnya tapi aku menariknya lagi.

"Tunggu sebentar. Kita berada di tengah-tengah diskusi tentang kita. Tentang dia, Hani-nuna-mu." Wajah Daehyun mengeras. "Kita sudah sepakat sayang. Kau ingat? Dan dia bukan Hani-nuna-ku. Kita bisa bicara tentang hal ini di tempatku."

"Aku tidak ingin ke tempatmu. Aku ingin memotong rambutku!" Aku berteriak. Jika aku hanya bisa fokus pada satu hal ini.

Daehyun mengambil Iphone dari sakunya lagi dan memanggil sebuah nomor. "Joy, ini Daehyun. Aku ingin Hani datang ke tempatku dalam waktu satu jam." Dia menutup teleponnya. "Dia akan datang satu jam lagi."

"Hyung..." Aku menyembur, putus asa.

"Youngjae, Baekhyun jelas menderita sakit jiwa. Aku tidak tahu apakah itu kau atau aku yang dia incar, atau berapa lama dia siap untuk pergi menjauh dari kita. Kita akan kembali ke tempatmu, mengambil barang-barangmu, dan kau bisa tinggal denganku sampai kita berhasil menemukannya."

"Kenapa kau ingin aku melakukan itu?"

"Karena aku bisa menjagamu disana. Supaya kau aman."

"Tapi-" Dia melotot ke arahku. "Kau akan tinggal di apartemenku meskipun aku harus menyeretmu ke sana dengan rambutmu." Aku menganga padanya. Ini sudah melampaui pemikiranku. Daehyun sudah berubah. "Aku pikir kau bereaksi terlalu berlebihan."

"Aku... tidak. Kita bisa melanjutkan kembali diskusi ini di tempatku. Ayo." Aku melipat tanganku dan membelalak padanya. Ini sudah semakin jauh. "Tidak," Kataku dengan keras kepala. Aku harus membuat pendirian.

"Kau berjalan sendiri atau aku yang akan menggendongmu. Aku tidak keberatan dengan cara manapun, Youngjae."

"Kau tidak akan berani." Aku cemberut padanya. Tentu saja dia tidak akan membuat kekacauan di tempat ramai seperti ini. Dia setengah tersenyum padaku, tapi senyumnya tak mencapai matanya. "Oh, sayang, kita berdua tahu, jika kau mengajukan tantangan, aku akan merasa sangat senang untuk mengambilnya."

Kami saling beradu pandang, tatapan tajam, dan tiba-tiba tangannya berada dibawah, mengelilingi pahaku, dan mengangkatku. Sebelum aku tahu itu, aku sudah berada di atas bahunya. "Turunkan aku!" Aku berteriak seraya memukul punggung atletisnya. Oh, rasanya lega bisa menjerit. Dia mulai melangkah sepanjang sungai, mengabaikanku. Tangannya menggenggam dengan kuat sekitar pahaku, dia memukul keras pantatku dengan tangannya yang bebas. "Daehyun!" Aku berteriak. Orang-orang melihat kami. Mungkinkah kejadian ini bisa menjadi sangat memalukan?

"Aku akan jalan! Aku akan jalan sendiri." Dia menurunkanku ke bawah, bahkan sebelum dia berdiri tegak, aku menghentakkan kakiku menuju mobil, mengabaikan dia. Tentu saja, dia di sampingku saat ini, tapi aku terus mengabaikannya. Apa yang akan aku lakukan? Aku sangat marah, tapi aku bahkan tidak yakin apa yang membuatku marah, ada begitu banyak. Aku membuat daftar dalam hati, pertama: mengangkat tubuhku diatas bahu - tidak bisa diterima untuk siapa pun yang berusia diatas enam tahun. Kedua: mengajakku ke salon yang dia miliki bersama mantan kekasihnya – bagaimana dia bisa jadi sebodoh itu? Ketiga: tempat yang sama dia mengajak semua submisif-nya - sama bodohnya dengan kejadian di tempat kerja. Keempat: bahkan ia tidak sadar bahwa ini adalah ide yang buruk dan dia seharusnya menjadi pria yang cerdas. Kelima: memiliki mantan pacar yang gila. Bisakah aku menyalahkan dia untuk itu? Karena aku sangat marah, ya, aku bisa. Keenam: Mengetahui nomor rekening bank-ku itu juga termasuk setengah penguntit. Ketujuh: Membeli perusahaan tempatku bekerja - dia mempunyai uang lebih banyak daripada akalnya. Kedelapan: bersikeras aku tinggal dengan dia - ancaman dari Baekhyun pasti lebih buruk daripada ketakutannya. Dia tidak menyinggung itu kemarin. Oh tidak, kenyataan akhirnya terungkap. Sesuatu telah berubah. Apa itu bisa? Aku berhenti dan Daehyun ikut berhenti. "Apa yang terjadi?" Kataku mendesaknya.

Dia mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

"Dengan Baekhyun."

"Aku sudah cerita padamu."

"Tidak, kau belum menceritakan. Ada sesuatu yang lain. Kemarin kau tidak memaksaku pergi ke tempatmu. Jadi apa yang terjadi?" Dia bergeser tidak nyaman. "Hyung! Katakan padaku!" Aku membentak.

"Kemarin dia berhasil memperoleh senjata berizin." Oh sial. Aku menatap dia, berkedip, dan merasakan darah mengalir dari wajahku saat aku menyerap berita ini. Mungkin aku akan pingsan. Menduga Baekhyun ingin membunuhnya? Tidak. "Itu berarti dia baru saja membeli pistol?" bisikku.

"Youngjae," katanya, suaranya penuh keprihatinan. Ia menempatkan tangannya di pundakku, menarikku mendekat dengannya. "Aku pikir dia tidak akan melakukan sesuatu hal yang bodoh, tapi aku hanya tidak ingin mengambil resiko denganmu."

"Aku tidak apa-apa. . . bagaimana denganmu?" Bisikku. Dia mengernyit ke arahku, dan aku membungkus lenganku di sekelilingnya dan memeluknya dengan keras, menyandarkan daguku dipundaknya. Dia tampaknya tidak memikirkan hal itu. "Ayo kita kembali," bisiknya, ia menoleh dan mencium rambutku, dan hanya itu. Semua kemarahanku langsung musnah, tapi masih belum terlupakan. Hilang karena beberapa ancaman bahaya yang ditujukan pada Daehyun. Sebuah pemikiran yang membuatku tidak nyaman.

.

.

.

Dengan serius aku mengemas, memasukkan bajuku ke koper kecil dan menempatkan Mac, Iphone, iPad, dan Angel-ku kedalam ransel. "Angel dibawa juga?" Tanya Daehyun. Aku mengangguk dan dia memberiku senyuman kecil yang ramah.

"Itu sudah semuanya." Dia mengambil koperku, dan kami berjalan keluar pintu. Saat kami berjalan memutar ke belakang gedung menuju tempat parkir, tanpa sadar aku melihat dari atas bahuku. Aku tidak tahu apakah perasaan paranoid telah mengambil alih atau apakah ada seseorang yang sedang mengawasiku. Daehyun membuka pintu penumpang dan menatapku dengan penuh harap. "Apakah kau mau masuk?" Tanyanya.

"Aku pikir aku yang akan mengemudi."

"Tidak aku yang akan mengemudi."

"Apa ada yang salah dengan cara mengemudiku? Jangan bilang kau sudah tahu apa aku lulus tes mengemudiku atau tidak. Aku tidak akan terkejut dengan kecenderunganmu sebagai penguntit." Mungkin dia tahu bahwa aku hanya salah sedikit pada saat tes tertulis.

"Masuk ke mobil, Youngjae," bentak dia dengan marah. "Oke." Aku buru-buru masuk kedalam.

Ada seseorang yang sedang mengawasi kami dari jauh. Ya, seseorang bermuka pucat dengan rambut cokelat gelap dan mata cokelat yang benar-benar mirip denganmu dan mungkin betul-betul bersenjata api dan dengan sembunyi-sembunyi melihatmu.

Daehyun membawa keluar Audi menuju ke jalan raya. "Apa semua submisif-mu berambut cokelat gelap?" Dia mengerutkan kening dan melirikku cepat.

"Ya," ia bergumam. Kedengarannya tidak pasti, dan aku berpendapat dia sedang berpikir, apakah Hani-nuna ada hubungannnya dengan ini?

"Aku hanya ingin tahu."

"Aku lebih suka berambut cokelat."

"Hani-nuna tidak berambut cokelat."

"Mungkin itu sebabnya," gumamnya. "Dia membuatku tidak menyukainya karena rambutnya pirang."

"Kau bercanda," Aku terkesiap. "Ya. Aku hanya bercanda," ia menjawab, kesal. Aku memandang keluar jendela tanpa ekspresi, mencari-cari orang yang berambut cokelat dimana-mana, meski tak satupun dari mereka adalah Baekhyun. Jadi, dia hanya suka berambut cokelat. Aku ingin tahu mengapa.

"Ceritakan tentang dia."

"Apa yang ingin kau ketahui?" Alis Daehyun mengkerut, dan nada suaranya mencoba untuk memperingatkanku.

"Ceritakan tentang kerja sama bisnismu dengan Hani-nuna." Dia tampak rileks, senang membicarakan masalah pekerjaan.

"Aku mitra pasif. Aku tak terlalu tertarik pada bisnis kecantikan, tapi dia membangunnya menjadi usaha yang sukses. Aku hanya berinvestasi dan membantu dia memulai usaha ini."

"Kenapa?"

"Aku berutang padanya."

"Oh."

"Saat aku di DO dari Harvard, ia meminjamkan ku seratus ribu dolar untuk memulai bisnisku." Sialan. . . dia kaya juga. Dan Kau di DO?"

"Jurusan itu bukan keinginanku. Aku bertahan kuliah hanya sampai dua tahun. Sayangnya, orang tuaku tidak begitu memahami."

Aku mengerutkan kening. Orang tua daehyun tidak menyetujui, aku tidak bisa membayangkannya.

"Tampaknya kau tidak terlalu buruk setelah DO. Kau ambil Jurusan apa?"

"Politik dan Ekonomi."

"Hmm..Jadi dia kaya?" Gumamku.

"Dia merasa bosan menjadi ibu rumah tangga. Suaminya sangat kaya. Suaminya memiliki usaha perkayuan yang sangat sukses." Dia menyeringai. "Dia tidak mengijinkan dia untuk bekerja. Kau tahu, dia suka kontrol. Sebagian besar pria seperti itu." Dia segera memberiku senyuman miring.

"Benarkah? Seorang pria yang suka mengontrol, pasti dia seorang penyihir atau semacamnya?" Kupikir aku tidak bisa menjawab dengan sindiran yang lebih lagi. Senyuman Daehyun semakin lebar. "Dia meminjamimu uang suaminya?" Dia mengangguk dan sedikit senyuman nakal muncul dibibirnya.

"Dia sudah mendapatkan uangnya kembali," kata Daehyun saat ia memasuki garasi bawah tanah apartemennya, memarkirkan Audiku di samping Audi Quattro SUV miliknya. "Ayo, Hani-nuna sebentar lagi akan tiba di sini."

.

.

.

Di dalam lift Daehyun menatap ke arahku. "Masih marah padaku?" Dia bertanya masalahnya dengan terus terang.

"Sangat." Dia mengangguk. "Oke," katanya, dan menatap lurus ke depan. Terlihat Jongup yang sedang menunggu kami saat kami melewati pintu utama. Dia mengambil koperku dan membawanya kedalam. "Apakah Namjoon sudah menghubungi?" Tanya Daehyun.

"Yes, Sir. Semuanya sudah diatur."

"Bagus. Kami menunggu Hani datang sebentar lagi."

Aku mengikuti Daehyun ke ruang besar. Penasaran. Aku melihat sekeliling. Aku tidak pernah ke sini sejak aku meninggalkannya. "Apa kau lapar?" Aku menggelengkan kepala. Daehyun menatap ke arahku sebentar dan memutuskan untuk tidak berdebat. "Aku harus menelepon beberapa orang. Anggaplah seperti di rumah sendiri."

"Oke." Daehyun menghilang ke ruang kerjanya, meninggalkan aku berdiri di dalam galeri karya seni yang sangat banyak yang dia sebut rumah dan bertanya-tanya apa yang harus kulakukan dengan diriku sendiri. Pakaian! Mengambil ranselku, aku berjalan ke lantai atas, ke kamar tidurku dan memeriksa lemari pakaian. Masih penuh dengan pakaian. Semua masih terlihat baru dengan label harga yang masih menempel. Tiga setel tuxedo, tiga setel kemeja, dan beberapa baju kasual. Semua ini pasti mahal harganya. Aku memeriksa label salah satu tuxedo, $ 2.998. Ya ampun. Aku merosot ke lantai. Ini bukan aku. Aku meletakkan kepalaku di tanganku dan mencoba untuk memproses beberapa jam sebelumnya. Sangat melelahkan. Mengapa, oh mengapa aku jatuh cinta pada seseorang yang jelas-jelas gila tapi sialan tampan dan seksi, lebih kaya dari orang yg sangat kaya. Ini gila. Apa aku juga ikut gila?

Aku mengeluarkan Iphone-ku dari ransel dan menelepon ibu. "Youngjae, Sayang! Sudah begitu lama. Bagaimana kabarmu, Sayang?"

"Oh, apa kau tahu eomma..."

"Ada apa sayang? Kau masih belum berhasil memahami Daehyun?"

"Eomma, ini sangat meyusahkan. Lebih rumit dari puluhan rubik yang aku punya. Aku pikir dia itu gila. Itulah masalah."

"Ceritakan tentang hal itu pada eomma, sayang. Kadang-kadang pria sulit dimengerti."

"Eyy... aku juga seorang pria, eomma." Terdengar suara cekikikan dari seberang.

Daehyun tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Ternyata kau di sini. Aku pikir kau sudah kabur." Jelas dia merasa lega. Aku mengangkat tanganku keatas yang mengindikasikan bahwa aku sedang menelepon. "Maaf, eomma, aku harus pergi. Nanti ku telpon lagi."

"Oke, sayang. Jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu!"

"Aku juga mencintaimu, eomma." Aku menutup telepon dan menatap daehyun. Dia mengerutkan kening, tampak canggung dan aneh. "Mengapa kau bersembunyi di sini?" Tanya dia. "Aku tidak sembunyi. Aku merasa putus asa."

"Putus asa?"

"Untuk semua ini, hyung." Aku melambaikan tanganku ke arah lemari pakaian.

Dia mengernyit lagi dan duduk dibawah karpet permadani, bersila, menghadap kearahku. "Itu hanya pakaian. Jika kau tidak menyukainya aku akan mengembalikannya."

"Kau membelinya sangat banyak, hyung, kau tahu?" Dia berkedip padaku dan mengelus dagunya. Terlihat beberapa helai kecil rambut yang mulai tumbuh di dagunya. Jari-jariku terasa gatal ingin menyentuhnya. "Aku tahu. Aku berusaha melakukan yang terbaik," bisiknya.

"Kau berusaha dengan keras."

"Seperti denganmu juga, Youngjae."

"Mengapa kau melakukan semua ini?" Matanya melebar dan kembali terlihat khawatir.

"Kau tahu kenapa?"

"Tidak, aku tidak tahu." Dia mengacak-acak rambutnya. "Kau seorang pria yang berhasil membuatku frustasi."

"Kau bahkan bisa memiliki ratusan atau bahkan ribuan submisif berambut coklat yang menyenangkan. Jadi mengapa kau memilih aku, hyung? Aku benar-benar tidak mengerti."

Sejenak dia menatap padaku, dan aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. "Kau membuatku melihat dunia dengan cara berbeda, Youngjae. Kau tidak menginginkan uangku. Kau memberiku harapan," katanya lembut. "Harapan apa?" Dia mengangkat bahu. "harapan lebih." Suaranya pelan dan tenang. "Dan kau benar. Aku terbiasa dengan wanita atau pria yang selalu melakukan apa yang kukatakan. Saat aku menyuruh, mereka melakukan persis apa yang kuinginkan. Ini membuatku cepat bosan. Ada sesuatu tentang kau, Youngjae, yang memanggilku secara mendalam yang tidak kumengerti. Seperti suara panggilan sirene. Aku tidak bisa menolakmu, tapi aku tidak ingin kehilangan dirimu." Dia mendekat dan meraih tanganku. "Tolong jangan lari, aku ingin kau memiliki sedikit kepercayaan dan sedikit kesabaran pada diriku. Kumohon."

Dia terlihat begitu rentan. Ini sangat menggangguku. Menyangga di atas lututku, aku membungkuk ke depan dan mencium lembut bibirnya. "Oke. Kepercayaan dan kesabaran, aku bisa hidup dengan itu."

Daehyun tersenyum. "Baik. Karena Hani sudah ada di sini. Mari kita lanjutkan acara – memotong rambut pria yang gampang marah ini," ujarnya humor

.

.

.

Ahn Hani, berperawakan kecil, tinggi, sexy dan punya rasa humor yang tinggi. Sepertinya aku mulai sedikit menyukainya, walaupun aku sempat marah dan gelisah mengetahui bahwa dia pernah berhubungan dengan Daehyun. "Rambut yang indah!" bicaranya penuh semangat agak berlebihan, dengan aksen Busan yang kental. Hani kembali menoleh padaku. "Baik, Apa yang akan kita lakukan dengan rambutmu, handsome?" ujarnya dengan senyum manisnya.

Daehyun duduk di sofa, meneliti lembaran kertas kerjanya. Terdengar suara lembut musik mellow klasik dari ruang keluarga. Daehyun mendongak dan tersenyum, mengalihkan perhatianku dari musik itu. "Lihat! Aku sudah bilang padamu dia akan sangat cocok dengan potongan ini," kata Hani dengan antusias.

"Kau tampak cantik, Youngjae," kata Daehyun memuji.

"Aku seorang pria, hyung," rengek Youngjae. Daehyun tertawa humor.

"Oke. Pekerjaanku disini sudah selesai," seru Hani.

Daehyun berdiri dan berjalan mendekati kami. "Terima kasih, Hani." Hani berbalik, memelukku dengan erat, dan mencium pipiku. "Jangan biarkan orang lain memotong rambutmu, Handsome!" Aku tersenyum, sedikit bingung dengan keakraban itu.

Daehyun mengantarkan dia ke pintu ruang depan dan tidak lama kembali lagi. "Aku senang rambutmu tetap terlihat panjang," katanya sambil berjalan ke arahku, matanya cerah. Dia mengambil sehelai rambutku di antara jari-jarinya.

"Begitu lembut," bisiknya, menatap ke arahku. "Apa kau masih marah padaku?" Aku mengangguk dan dia tersenyum. "Apa tepatnya yang membuatmu marah padaku?" Aku memutar mata. "Kau ingin daftarnya?"

"Ada daftarnya?"

"Ya, dan sangat panjang."

"Bisakah kita membicarakannya di tempat tidur?"

"Tidak" Aku cemberut padanya seperti anak kecil.

"Setelah selesai makan siang. Aku lapar, dan itu bukan hanya makanan," dia memberikan senyum tidak senonoh. "Aku tidak akan membiarkanmu mempengaruhiku." Dia menahan senyumnya. "Secara spesifik apa yang mengganggumu, Youngjae? Katakan saja."

"Apa yang menggangguku? Yah, kau menginvasi data-data pribadiku, bahkan kau mengajakku ke tempat di mana mantan simpananmu bekerja dan kau membawa semua kekasihmu yang ingin melakukan kau tau perawatan yang ada dalam daftarmu itu kesana, lalu kau menyeretku dan menggendongku di jalan seperti seorang anak berusia enam tahun dan untuk melengkapi semua itu, kau membiarkan Hani-nuna-mu menyentuhmu!" Suaraku meningkat menjadi lebih tinggi. Dia mengangkat alisnya, dan selera humornya langsung hilang.

"Hanya itu Daftarnya? Untuk lebih jelasnya sekali lagi dia bukan Hani-nuna-ku."

"Dia bisa menyentuhmu," aku mengulangi. Dia mengatupkan bibirnya. "Dia tahu di mana dia bisa menyentuhku."

"Apa artinya itu?" Dia mengacak-acak rambutnya dan menutup matanya sebentar, seolah dia mencari beberapa petunjuk. Dia menelan ludah. "Aku dan Kau tidak memiliki aturan. Aku tidak pernah memiliki hubungan tanpa aturan, dan aku tidak pernah tahu di mana kau akan menyentuhku. Itu membuatku gugup. Sentuhanmu benar-benar..." Dia berhenti, mencari kata-kata. "... lebih."

Lebih? Jawabannya benar-benar tak terduga, aku merasa seperti dilempar, dan ada sedikit kata dengan makna yang sangat besar menggantung diantara kami lagi. Sentuhanku berarti. . . lebih? Sialan. Bagaimana aku bisa untuk menolak ketika ia mengatakan hal ini? Mata abu-abunya mencari-cari reaksiku lewat mataku, mengawasiku dengan gelisah. Secara coba-coba aku meraihnya dan kecemasan bergeser menjadi tanda bahaya. Daehyun mundur ke belakang dan aku menjatuhkan tanganku. "Batas keras," segera dia berbisik seperti kesakitan, wajahnya terlihat panik. Aku tidak bisa tidak merasakan kekecewaan yang menekanku.

"Bagaimana perasaanmu jika kau tidak bisa menyentuhku?"

"Tidak menyenangkan dan seperti ada yang kurang," katanya segera. Oh, Daehyun-ku. Aku menggelengkan kepalaku, memberinya sedikit senyuman, senyum menenangkan kemudian dia rileks. "Suatu hari, kau harus memberitahuku persis mengapa ini adalah batas keras, kumohon."

"Suatu hari," bisiknya, dan dalam sepersekian detik sepertinya dia mulai bangkit lagi dari kerentanannya. Bagaimana dia bisa berubah begitu cepat? Dia orang yang paling tidak bisa diduga yang aku tahu. "Jadi, sisa daftarmu. Menginvasi data-data pribadimu," mulutnya digerak-gerakkan sambil merenungkan ini. "Karena aku tahu nomor rekening bankmu?"

"Ya, itu sangat keterlaluan."

"Aku memeriksa latar belakang semua submisifku. Aku akan menunjukkan padamu." Dia berbalik dan berjalan menuju ke ruang kerjanya. Dengan patuh aku mengikutinya, bingung. Dari lemari arsip yang terkunci, ia menarik sebuah map. Tulisan ketikan pada label: YOO YOUNGJAE. Sialan. Aku memelototi dia. Dia mengangkat bahu meminta maaf. "Kau bisa menyimpannya," katanya pelan.

"Ya, terima kasih," tukasku. Aku membolak-balik isinya. Dia memiliki salinan akte kelahiranku, Ya Tuhan, batas kerasku dan juga kontrak kami. Dan oh astaga nomor jaminan sosialku dan apa in? Rangkuman pengalaman kerja?

"Jadi, kau tahu aku bekerja di cafe milik orang tua Jebum?"

"Ya."

"Itu bukan suatu kebetulan? Kau tidak sekedar mampir?"

"Tidak." Aku tidak tahu apakah harus marah atau merasa tersanjung. "Ini benar-benar brengsek. Kau tahu itu?"

"Aku tidak melihatnya seperti itu. Aku melakukannya dengan hati-hati."

"Tapi ini data-data pribadi."

"Aku tidak menyalahgunakan informasi. Siapapun bisa mendapatkan itu jika mereka memiliki setengah pemikiran untuk itu, Youngjae. Untuk memiliki kontrol dan aku membutuhkan informasi. Begitulah caraku mengontrol seseorang." Dia menatap kearahku, ekspresinya ketat dan tidak terbaca. "Kau menyalahgunakan informasi. Kau memasukkan uang dua puluh lima ribu dolar yang tidak aku inginkan ke personal account-ku."

Mulutnya menekan ke dalam garis keras. "Sudah kubilang. Memang segitu Jongup berhasil menjual mobilmu. Luar biasa, aku tahu, tapi kau merobek ceknya."

"Tapi Audi. . . "

"Youngjae, apakah kau tahu berapa banyak uang yang aku dapatkan?" Mukaku memerah, tentu saja tidak. "Mengapa aku harus tahu? Aku tidak perlu tahu uang yang ada rekening bank-mu." Matanya melunak. "Aku tahu. Itulah salah satu hal yang aku sukai darimu." Aku menatap dia, terkejut. Yang dia sukai dariku?

"Youngjae, aku memperoleh uang sekitar seratus ribu dolar per jam. Dolar. Bukan Won." Tegasnya. Mulutku menganga. Itu adalah jumlah uang yang benar-benar gila. "Dua puluh lima ribu dolar bukanlah apa-apa. Mobil, buku, pakaian, itu bukan apa-apa." Suaranya lembut.

Aku menatap dia. Dia benar-benar tidak tahu. Luar Biasa. "Seandainya kau jadi aku, bagaimana perasaanmu tentang semua pemberian ini yang secara tiba-tiba datang kepadamu?" Tanyaku. Dia menatapku dengan pandangan kosong, dan itu dia, masalahnya sederhana - empati atau kurangnya empati itu. Keheningan membentang diantara kami. Akhirnya, ia mengangkat bahu. "Aku tidak tahu," katanya, dan ia tampak benar-benar bingung. Hatiku membengkak. Ini dia, tentu saja inilah inti dari dirinya. Dia tidak bisa menempatkan dirinya pada posisiku. Nah, sekarang aku tahu.

"Rasanya tidak menyenangkan. Maksudku, Kau sangat murah hati, itu membuatku tidak nyaman. Aku sudah sering mengatakan hal ini berulang kali." Dia mendesah. "Aku ingin memberikanmu seluruh dunia, Youngjae."

"tapi aku hanya menginginkanmu, Daehyun. Tidak dengan semua kekayaanmu."

"Mereka bagian dari kesepakatan. Bagian dariku." Oh, ini semakin tak jelas arahnya. "Bagaimana kalau kita makan?" Aku bertanya. Ketegangan diantara kita semakin menarik. Dia mengernyit. "Tentu."

"Aku akan memasak."

"Bagus. Karena tidak ada makanan di dalam lemari es."

"Apa koki terbaikmu sedang libur? Baiklah, kau ingin makan apa, tuan muda Jung?" Dia menyeringai. "Apapun yang nyonya masakkan untuku," katanya.

"Ck, Sudah berapa kali aku katakan. Aku ini pria bukan wanita," dan dia tersenyum menggoda.

.

.

.

Memeriksa kulkas yang isinya sungguh mengesankan, aku memutuskan untuk memasak omelet. Akan lebih cepat dan mudah jika ada ramen disini, tapi aku tahu pasti tidak akan ada. Daehyun masih sibuk di ruang kerjanya, tidak diragukan lagi sedang menginvasi data-data pribadi orang bodoh yang tidak curiga data-data pribadinya sedang dipermainkan. Suatu pemikiran tidak menyenangkan meninggalkan rasa pahit di mulutku. Pikiranku terguncang. Dia benar-benar tidak mengenal batas. Aku butuh musik ketika aku akan memasak. Aku berjalan mencari iPod dock di samping perapian dan mengambil iPod milik Daehyun. Aku yakin ada banyak pilihan lagu dari Baekhyun di sini, aku agak takut dengan gagasan ini.

Dimana dia sekarang? Aku ingin tahu, apa yang ia inginkan. Aku bergidik. Apa yang ditinggalkannya? Aku tidak bisa memahaminya. Aku mencari lagu di list ipod yang sangat panjang. Aku ingin mendengar sesuatu yang bersemangat. Hmm, Beyonce - sepertinya bukan selera Daehyun. Crazy in Love. Oh astaga! Bagaimana bisa sangat cocok dengan keadaanku. Aku menekan tombol repeat dan menyalakan dengan keras. Aku kembali ke dapur dan mengambil mangkuk, membuka lemari es, lalu mengambil telur. Aku memecahkan, menuangkannya dan mulai mengocok, sambil menari selama mengocok telur. Membuka kulkas sekali lagi, aku mengambil kimchi, tahu dan bacon dari freezer. Semua bahan ini akan ku olah nantinya. Mengambil panci, aku meletakkannya di kompor, menuangkan sedikit minyak zaitun, dan kembali mengocok. Tidak ada empati sama sekali. Aku merenung. Apakah ini memang ciri khas seorang Jung Daehyun? Aku benar-benar tidak tahu. Atau mungkin ini bukan suatu titik terang.

Aku berhenti mengocok telur. Tangan Daehyun ia selipkan di sekitar tubuhku, membuatku sedikit melompat. "Pilihan musik yang menarik," bisiknya sambil mencium telinga bawahku. "Rambutmu harum." Dia mengendus rambutku dan menghirup dalam-dalam. Perutku bergejolak. Tidak, aku mengangkat bahu dari pelukannya. "Aku masih marah padamu." Dia mengernyit. "Berapa lama kau akan begini terus?" Ia bertanya, melepas tangannya berpindah ke rambutnya.

Aku mengangkat bahu. "Setidaknya sampai aku sudah makan." Bibirnya tersenyum geli. Berbalik, dia mengambil remote control dari meja dan mematikan musiknya. "Apakah kau yang memasukkan lagu itu di iPodmu?" Aku bertanya. Dia menggelengkan kepala, ekspresinya muram, dan aku tahu itu pasti karena dia - Gadis Hantu. "Apakah menurutmu dia berusaha mengatakan ingin kembali padamu?"

"Yah, dengan melihat ke belakang, mungkin," katanya pelan. See? Tidak ada empati sama sekali. Aku melipat tanganku dan mencibir dengan muak. "Kenapa lagunya masih di situ?"

"Aku suka semua jenis lagu. Tapi jika membuatmu marah, aku akan menghapusnya."

"Tidak, tidak apa-apa kok. Aku suka memasak sambil mendengarkan musik."

"Musik apa yang ingin kau dengarkan?"

"Buatlah surprise untukku." Dia menyeringai ke arahku dan berjalan mendekati iPod dock sementara aku kembali ke kocokan telurku. Beberapa saat kemudian musik mengalun dengan merdu, musik yang bisa menggetarkan jiwaku - BTS – Blood, Sweat and Tears - memenuhi ruangan. Ini salah satu lagu favorit Kyungsoo.

.

Even my blood, sweat and tears

Even my body, heart and soul

I know that it's all yours

This is a spell thats'll punish me

.

Baby I don't care if I get drunk

I'll drink you in now

Your whiskey, deep in to my throat

.

Mukaku memerah, berbalik dan menganga pada Daehyun. Apa dia mencoba mengatakan sesuatu padaku? Sudah lama dia menanamkan mantranya padaku. Oh shit! Tatapannya berubah, keriangannya telah berganti. Matanya berubah gelap dan intens.

Aku menatapnya, perlahan-lahan terpesona, dia seperti predator, dia mendekatiku mengikuti irama pelan dari musik yang menggoda. Dia bertelanjang kaki, mengenakan kemeja putih yang tidak dimasukkan, celana jeans, dan tampak membara. Sebuah penggalan lirik terdengar saat Daehyun sudah didepanku, niatnya sangat jelas.

.

I want you a lot, a lot, a lot

I want you a lot, a lot, a lot

I want you a lot, a lot, a lot

.

"Kumohon, Daehyun," bisikku, aku menggigit bibirku.

"Mohon apa?"

"Jangan lakukan ini."

"Lakukan apa?"

"Ini."

Dia berdiri di depanku, menatap ke arahku. "Kau yakin?" Dia menarik nafas dan dia mengambil mangkuk dari tanganku dan meletakkan mangkuk berisi kocokan telur itu diatas meja. Hatiku sudah tidak selaras dengan bibirku. Aku tidak menginginkan ini tapi aku menginginkannya, sangat. Dia membuatku sangat frustasi. Begitu panas. Aku mengalihkan pandanganku dari dirinya yang terlihat sangat menggoda. Shit!

"Aku menginginkanmu, Youngjae," bisiknya. "Aku menyukaimu dan aku membenci hal itu. Aku senang berdebat denganmu. Ini sangat baru. Aku perlu tahu bahwa kita akan baik-baik saja. Ini satu-satunya cara yang aku tahu."

Aku kembali menatapnya terpaku. "Perasaanku padamu tidak pernah berubah," bisikku. Kedekatannya sangat luar biasa menggairahkan, membuat semua sistem syaraf motorikku terdorong ke arahnya. Aku kembali menggigit bibirku, tak berdaya, penuh oleh hasrat. Aku ingin merasakannya. Dia begitu dekat, tapi dia tidak menyentuhku. Panas tubuhnya terasa menghangatkan kulitku.

"Aku tak akan menyentuhmu sampai kau mengatakan ya," katanya lembut. "Tapi sekarang, setelah perdebatan kecil tadi pagi yang benar-benar sangat menyebalkan, aku ingin menenggelamkan diriku padamu dan melupakan semuanya kecuali kita." Aku mengangkat kepalaku untuk menatap wajah tampannya yang serius.

"Bolehkah aku menyentuh wajahmu?" Aku mengambil napas, dan sekilas melihatnya terkejut yang tercermin dari matanya sebelum dia menyetujui. Aku mengangkat tanganku, membelai pipinya, dan ujung jariku menyentuh helaian rambut didagunya yang mulai terlihat tumbuh. Dia menutup matanya dan menghembuskan napas, wajahnya bersandar diatas sentuhanku. Dia membungkuk perlahan, dan secara otomatis aku mengangkat bibirku untuk mendekatinya. Bibir kami sudah hampir menyentuh.

"Ya atau tidak, Youngjae?" Bisiknya. "Ya." Dengan lembut bibirnya menyentuhku, memaksa bibirku membuka saat tangannya memeluk diriku, menarikku supaya semakin mendekat padanya. Tangannya naik keatas punggungku, jarinya meremas rambut di belakang kepalaku dan menarik-narik dengan lembut, sementara tangan satunya membelai punggungku, memaksaku menempel padanya. Aku mengerang pelan. "Enghhh Daehyun"

Jongup berdeham dan Daehyun segera melepaskanku. "Jongup," katanya, suaranya dingin. Kesimbanganku masih belum sempurna aku berbalik dan melihat Jongup berdiri dengan tidak nyaman di ambang pintu ruang. Daehyun dan Jongup saling menatap, saling berkomunikasi tanpa terucapkan diantara mereka. "Ruang kerjaku. Sekarang," kata Daehyun agak keras, dan Jungup segera berjalan melintasi ruangan.

"Kita akan meneruskannya nanti," bisik Daehyun padaku sebelum mengikuti Jongup keluar dari ruangan. Aku mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan ritme jantungku. Sialan. Bisakah aku menolak dirinya untuk satu menit saja? Aku menggeleng jijik pada diriku sendiri. Aku berterima kasih pada Jongup, meskipun itu sangat memalukan. Aku ingin tahu kenapa Jongup tiba-tiba mengganggu kami tadi. Apa yang dia lihat? Aku tidak ingin untuk memikirkan masalah itu. Makan siang. Aku akan membuat makan siang. Aku menyibukkan diri mengiris tahu. Apa yang ingin Jongup sampaikan pada Daehyun? Pikiranku kacau. Apa ini ada hubungannya tentang Baekhyun? Sepuluh menit kemudian, mereka muncul, saat omeletku sudah matang. Daehyun tampak serius saat melirikku. "Aku akan melakukan briefing jam dua belas," katanya pada Jongup.

"Kami akan siap," jawab Jongup dan meninggalkan ruang keluarga. Aku meletakkan dua mangkuk berisi nasi diatas meja dapur.

"Ingin makan siang sekarang?"

"Ya," kata Daehyun saat ia duduk di salah satu kursi bar. Sekarang dia menatapku dengan hati-hati. "Ada masalah?"

"Tidak" Aku cemberut. Dia tidak memberitahuku. Aku menyajikan makan siang dan duduk sampingnya, pasrah berada dalam ketidaktahuan. "Rasanya enak," gumam Daehyun memuji sambil menggigit omelet. "Apakah kau ingin segelas jus? Atau teh?"

"Tidak, terima kasih."

Pikiranku harus tetap jernih di sekitarmu, Daehyun. Memang rasanya enak, meskipun aku tidak begitu lapar. Tapi aku harus makan. Aku tahu kalau Daehyun pasti akan berisik sepanjang hari jika aku tidak makan. Sebuah pikiran suram terlihat di wajah Daehyun, sesaat dia seperti tidak nyaman. Dia memandangku dengan hati-hati seolah-olah ia berada di wilayah yang belum terjamah. "Apakah kau sudah memutuskan apa yang akan kau kenakan nanti malam? Atau apa aku perlu membantu memilihkan pakaian untukmu?" Nadanya tiba-tiba meninggi. Whoa! Dia terdengar marah. Mengapa? Apa yang sudah kukatakan?

"Mm. . . belum. Apakah kau yang memilih semua pakaian itu?"

"Tidak, Youngjae, aku tidak melakukan itu. Aku memberikan daftar dan ukuran tubuhmu ke salah satu departement store miliku di Gangnam. Mereka yang menyesuaikan. Kau hanya perlu tahu, aku telah memerintahkan keamanan tambahan untuk malam ini dan beberapa hari mendatang. Kondisi Baekhyun sedang tidak stabil dan belum ditemukan disuatu tempat di manapun, aku berpikir itu merupakan tindakan pencegahan yang bijaksana. Aku tidak ingin kau pergi tanpa pengawasan. Oke?"

Aku berkedip padanya. "Oke."

"Bagus. Aku akan melakukan briefing untuk mereka. Aku tidak akan lama."

"Mereka sudah di sini?"

"Ya." Dimana? Daehyun mengambil mangkuk kosongnya, menempatkannya di bak cuci piring dan langsung menghilang dari ruangan. Apa itu tadi? Dia seperti beberapa orang yang berbeda dalam satu tubuh. Apakah itu gejala dari skizofrenia? Aku harus mencari tahu. Aku mengambil mangkukku dan segera mencucinya, lalu kembali ke kamar tidurku sambil membawa berkas 'YOO YOUNGJAE' ditanganku. Aku berjalan menuju lemari pakaian, mengeluarkan tiga setel jas. Nah, Sekarang yang mana? Aku bingung

.

.

.

Aku berbaring di tempat tidur, memandang Mac, iPad, dan Iphone-ku. Aku merasa kewalahan dengan teknologi. Aku menyeting transfer daftar lagu Daehyun dari iPad-ku ke Mac, kemudian membuka Google untuk berselancar. Tiba-tiba Daehyun masuk kedalam kamarku. "Apa yang sedang kau lakukan?" Ia bertanya dengan lembut. Sejenak aku merasa panik, bertanya-tanya apakah aku harus membiarkan dia melihat websiteku? – gejala kepribadian ganda.

Dia duduk disampingku, melihat halaman website yang sedang kubuka dengan geli. "Kenapa membuka situs ini?" Tanyanya acuh tak acuh. Kekasaran Daehyun telah telah hilang, berganti dengan daehyun yang bermain-main lagi. Bagaimana aku bisa mengimbangi ini? "Penelitian. Tentang kepribadian yang rumit." aku berusaha terlihat tanpa ekspresi. Bibirnya berkedut dengan senyum ditekan.

"Sebuah kepribadian yang rumit?"

"Kelinci percobaanku."

"Jadi...Aku sekarang menjadi seekor kelinci percobaan? Disaat aku berpikir aku adalah segalanya? Kau melukai hatiku, Youngjae."

"Bagaimana kau tahu itu adalah kau?"

"Hanya sebuah tebakan." Dia menyeringai.

"Ya, memang benar. Kau adalah satu-satunya orang yang terlihat kacau, bergairah, gila kontrol yang aku tahu, secara intim."

"Kupikir aku adalah satu-satunya orang yang kau kenal secara intim." Dia melengkungkan alis. Aku memerah. "Ya. Itu juga."

"Apakah kau sudah sampai pada kesimpulannya?" Aku berbalik dan menatap dia. Dia berbaring miring di sampingku dengan kepala bertumpu pada sikunya, ekspresinya lembut dan geli. "Aku pikir kau membutuhkan terapi intensif, hyung." Dengan lembut dia menyelipkan poni rambutku di belakang telinga.

"Aku pikir aku membutuhkanmu. Ini." Dia memberiku lipstik. Aku mengerutkan kening padanya, bingung. Ini warna merah seperti warna lipstik para pelacur.

"Kau ingin aku memakai ini?" Aku menjerit pelan. Menatap horor lipstick ditanganku. Dia tertawa. Duduk bersila di atas tempat tidur dan menarik bajunya ke atas kepalanya. "Aku menyukai idemu dengan memetakan daerah yang boleh disentuh." Aku menatap dengan tatapan kosong. Memetakan daerah yang boleh disentuh? "Daerah yang boleh dan tidak boleh disentuh," katanya memberi penjelasan.

"Oh. Aku hanya bercanda."

"Aku tidak."

"Kau ingin aku menggambarkannya dengan lipstick?"

"Pada akhirnya ini akan dibersihkan." Ini berarti aku bisa menyentuhnya dengan bebas. Senyum kecil keheranan tampak di bibirku, dan aku menyeringai padanya. "Bagaimana dengan sesuatu yang lebih permanen seperti spidol?"

"Aku bisa membuat tato." Matanya menyala penuh humor. Jung Daehyun bertato? Tubuhnya yang indah ditandai dengan banyak tato? Jangan sampai! "Jangan ditato!" Aku tertawa untuk menyembunyikan rasa ngeriku. "Kalau begitu pakai lipstik." Dia menyeringai. Mematikan Mac, aku mendorongnya ke samping. Rasanya sangat menyenangkan. "Ayo." Dia memegang tangannya padaku. "Duduklah diatasku." Aku menekuk kakiku, menjadi posisi duduk, dan merangkak mendekatinya. Dia berbaring di tempat tidur namun lututnya tetap ditekuk. "Bersandarlah pada kakiku." Aku merangkak di atasnya dan duduk mengangkang diatas perutnya. Matanya melebar dan hati-hati.

"Sepertinya kau sangat antusias melakukan ini," komentarnya dengan masam. "Aku selalu bersemangat untuk semua informasi, karena aku akan tahu di mana batas-batasnya." Dia menggelengkan kepalanya, seakan tak percaya bahwa dia membiarkan aku menggambar seluruh tubuhnya. "Buka lipstik itu," ia memberi perintah. Oh, dia benar-banar menjadi seorang bossy, tapi aku tidak peduli. "Ulurkan tanganmu." Aku memberikan tanganku yang lain padanya. "Tangan satunya yang memegang lipstik." Dia memutar matanya ke arahku. "Apakah kau memutar mata padaku?"

"Ya."

"Itu sangat tidak sopan, tuan Jung. Aku kenal beberapa orang yang melakukan kekerasan karena seseorang memutar matanya."

"Apakah kau sekarang..." Nadanya ironis. Aku mengulurkan tanganku yang memegang lipstik, dan tiba-tiba dia duduk jadi hidung kami saling menyentuh. "Siap?" Dia bertanya dengan lirih, mengguman pelan, itu membuat seluruh syaraf tubuhku tegang. "Ya," bisikku. Kedekatannya sangat menggoda, tubuhnya yang hangat, aroma Daehyun bercampur dengan wanginya sabun mandiku. Dia menuntun tanganku hingga lekuk bahunya. "Tekan ke bawah," dia mengambil nafas, dan mulutku menjadi kering saat ia mengarahkan tanganku turun, dari atas bahunya, kesekitar siku lengannya kemudian menuruni bagian dadanya. Lipstiknya meninggalkan jejak, garis warna merah darah di belakangnya. Dia berhenti di bagian bawah tulang rusuk ini lalu mengarahkan aku melintasi perutnya. Dia menegang dan menatapku, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi di balik pandangan kosong itu, aku melihat dia menahan diri. Keengganannya nampak ditahan dengan tegas, garis rahangnya mengencang, dan ketegangan terlihat di sekitar matanya. Saat melintas di tengah perutnya dia bergumam. "Bagian atas di sisi yang lain." Dia melepaskan tanganku. Aku meniru garis yang telah aku gambar di sebelah kirinya.

Kepercayaan yang dia berikan padaku memabukkan tapi aku marah karena faktanya aku bisa merasakan sakitnya. Ada tujuh luka bekas yang kecil berwarna putih bertebaran di dadanya, dan itu sangat dalam, terasa menyakitkan untuk melihat ini, kejahatan atas penodaan tubuh yang indah ini. Siapa yang melakukan ini terhadap seorang anak kecil? "Lihatlah, aku bisa menggambarnya," bisikku, menahan emosiku. "Tidak, kau tidak bisa," jawab dia, dan dengan jari telunjuknya menelusuri garis sekitar pangkal lehernya. Aku mengikuti garis jarinya dengan warna merah. Selesai, aku menatap ke dalam mata abu-abunya. "Sekarang punggungku," bisiknya. Dia bergeser jadi aku harus turun dari tubuhnya, kemudian ia berbalik di atas tempat tidur dan aku duduk bersila diatas punggungnya. "Ikuti garis seperti didadaku, semua garis mengelingi sisi yang lain." Suaranya lirih dan serak. Aku melakukan seperti yang dia katakan, sampai garis merah melintasi tengah punggungnya, aku menghitung bekas luka ditubuhnya yang indah. Semuanya ada sembilan. Sialan. Aku harus melawan keinginan yang sangat besar untuk mencium masing-masing bekas luka itu dan menghentikan air mata menggenang di mataku. Binatang macam apa yang melakukan hal ini?

Kepalanya sedang menunduk, dan tubuhnya tegang saat aku menyelesaikan rangkaian garis di sekeliling punggungnya. "Sekitar lehermu juga?" Bisikku. Dia mengangguk, dan aku menggambar garis lain bergabung dengan garis pertama tadi disekitar pangkal leher bawah rambutnya. "Selesai," bisikku, dia seperti mengenakan rompi kulit aneh dengan warna pelacur-merah membara. Bahunya merosot karena dia rileks, perlahan ia berbalik menghadapku lagi. "Mereka adalah batas-batasnya," katanya perlahan, matanya gelap dan matanya melebar. Apakah itu rasa takut? atau nafsu? Aku ingin memeluknya, tapi aku menahan diri dan menatap dia dengan bertanya-tanya.

"Aku sudah tahu batasanmu sekarang dan saat ini aku ingin menjatuhkan diriku padamu," bisikku. Dia memberiku senyum nakal dan mengulurkan tangannya.

"Yah, Youngjae, aku milikmu." Aku memekik dengan gembira, kekanak-kanakan dan melontarkan diriku ke tubuhnya, menjatuhkannya ke tempat tidur. Dia berputar, membiarkan dirinya tertawa gembira seperti anak-anak, penuh kelegaan bahwa cobaan itu telah berakhir. Entah bagaimana, kini aku berakhir dibawah tubuhnya di atas tempat tidur.

"Sekarang aku ingin melanjutkan yang tadi," dia mengambil nafas dan mulutnya kemballi menciumku sekali lagi.

.

.

.

TBC

.

.

.

BIG THANKS TO:

CandytoPuppy, innochanuw, peachpetals, , , daejaehah, pcy25, pibaby , Ad.W, kyuwiw , Miss Ngiweung, unknow, Jung Rae Gun,araxxi, cacacukachanhun, DaeBitchHyun, RRRRRAVEH, Chen xia yi, nuperlan, Umari, Jaehyun, GitARMY, minrichan, rmfrhn, minri, daejaeh, PensnyaRukaEon, grruVia, 235, she3nn0, dorkydaejae, jeonwow, ibu, itha, chayeon, nunaojel, GUEST dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebut satu-satu, juga untuk readers setia dan followers author

/DEEP BOW/

.

.

.

NB: Maaf kalau bahasanya sedikit kaku dan formal. Saya tidak ingin meninggalkan kesan 'Fifthy Shade'-nya karena disini bakal akan mulai sedikit rumit jalannya ceritanya dan mulai muncul persoalan-persoalan yang sebenarnya dimana nantinya persoalan-persoalan itu akan membawa hubungan daehyun dan youngjae pada suatu titik. Dan siapa disini yang tidak sabar menanti comeback BAP? *angkat tangan dan kaki/?* Saya berharap comeback mereka menjadi yang terbaik untuk mereka ditahun ini dan tahun-tahun berikutnya dan semoga kerja keras mereka selama ini terbayarkan #BAP #NOIR #ForeverwithBAP. Hmmm Melihat trailer mereka jadi terpikirkan untuk membuat FF baru dengan konsep gelap lagi tetapi dengan sedikit perbedaan genre (?) *slap* Readers: beresin FF ini dulu thor! Author: ayay kapten!