Ketika pada bibir ini tercipta senyum

…akan selalu ada air mata yang mengalir mengiringinya.

Dengan rinai hujan yang terus menghujam tubuh…

untuk pertama kali kurasakan tajam bulir itu menyayat sukma.

.

.

Kisah Tentang Hujan

.

Lembar Kedua: Gerimis

.

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Warning! shounen-ai, slightly OOC, still ore!Akashi, typo(s), a little Hurt, possibility of fast paced plot, etc.

story © Akaba Shinra

.

Don't Like Don't Read

Happy Reading~

.

.


.

.

Sadarilah. Air mata ini, serta perih yang mengiringi…

.

.

Sudah seminggu ini Tokyo diguyur hujan. Kuroko sampai hapal betul kapan hujan akan turun. Antara pukul empat sore hingga malam menjelang, langit akan mengguyur kotanya, begitu terus hingga dirinya tak perlu menyaksikan ramalan cuaca yang disiarkan tiap pagi sebelum ia sempat menyentuh sarapannya.

Koroko tak keberatan sebenarnya dengan hujan yang bahkan memiliki jadwal tugasnya dalam membasahi bumi. Hanya saja, pukul empat adalah waktu ketika latihan basketnya berakhir. Dan Kuroko benar-benar enggan harus menerjang tirai hujan setelah tubuhnya dipaksa bekerja keras dengan menu latihan sang kapten yang selalu tega menguras habis semangat dalam dirinya.

Kalau sudah seperti itu, biasanya ia akan tinggal lebih lama dalam ruang ganti. Menunggu hingga setidaknya hujan tak sederas sebelumnya. Menekan hawa keberadaannya hingga ke tingkat maksimal agar orang-orang dengan energi berlebih seperti Kise atau juga Aomine tidak memaksanya untuk menerjang bulir air yang datang bergerilya—

"KU-RO-KO-CCHI…"

—Ah, baru saja dibicarakan, sang small forward Teiko langsung melingkarkan kedua lengannya dengan erat pada tubuh mungil Kuroko.

"K-kise-kun… s-se-sesak…"

"Oi Kise! Menyingkirlah, kau bisa membunuh Tetsu!" Aomine yang sedari tadi mengikuti Kise —merasakan alarm bahaya yang akan menimpa partner basketnya— segera menarik kerah seragam sang model, memisahkannya dari pemuda yang kini tampak kesulitan bernapas.

"Mou, Aominecchi. Aku takkan melukai Kurokocchi-ssu," rengeknya, berusaha memberontak dari cengkraman rekan setimnya.

Kuroko menarik napas lega begitu tubuhnya terbebas dari pelukan maut pemuda yang kini tengah merajuk. Sungguh, jika Aomine terlambat datang semenit saja, dirinya mungkin hanya akan tinggal nama. Lain kali ingatkan Kuroko untuk langsung meng-ignite pass si kuning begitu pupil matanya menangkap sosok sang copy cat yang hendak menghampirinya.

"Ada apa, Kise-kun?"

"Ne, Kurokocchi. Aku ingin mengaja—"

"Jika Kise-kun ingin menarikku keluar dari ruangan ini untuk kemudian berlari di bawah hujan, lupakan saja. Aku tidak mau."

Belum sempat Kise menyelesaikan omongannya, Kuroko langsung memotongnya. Ya, dirinya cukup pintar untuk menebak isi pikiran pemuda bersurai kuning di depannya ini. Mendengar penuturan sang pemain bayangan, Kise hanya mengerucutkan bibirnya.

"T-tapi tapi... hanya sebentar-ssu. Kutraktir segelas jumbo vanilla shake, deh."

Kuroko terdiam sejenak. Iming-iming vanilla shake kesukaannya jelas membuat pertahanannya hampir goyah. Manik langitnya sedikit melirik Kise yang kini memasang wajah memohon padanya —dengan kedua tangan saling mengatup.

"Aku tak berminat," ujarnya kemudian —setelah melewati gejolak batin tak akan mendapat cinta sejatinya secara cuma-cuma— dan memantapkan diri begitu mengingat konsekuensi dari ajakan pemuda bersurai kuning di depannya. "Lagipula, Akashi-kun meminta kita untuk menjaga kesehatan, bukan?"

"Che, kau terlalu menurut pada Akashi, Tetsu."

Kise menatap Aomine dengan manik yang berbinar. Baru kali ini pemuda berkulit tan itu mendukungnya —meski itu hanya pemikiran pribadi. Karena dalam otak Aomine sekarang hanyalah mengajak partnernya dalam lapangan ini pulang bersama.

Kuroko menghela napas, "Aomine-kun ingin latihannya dilipat gandakan, ya?"

Aomine mendengus gusar, ikut mendudukkan dirinya di sebelah kawan sekelasnya itu. Tangannya mencoba meraih puncak kepala Kuroko untuk kemudian mengacak-acak surai langitnya. Namun sayang, belum sempat tangan itu sampai di tujuan, sang target langsung mendelikkan matanya ke arah pemuda di sampingnya —yang membuat Aomine harus mengurungkan niatnya.

"Tentu saja tidak! Kau tahu latihan ala Akashi itu adalah neraka. Tapi—"

Belum selesai kalimat Aomine terlontar, Kise langsung menimpali dengan wajah yang tampak lebih serius dari sebelumnya, "Kurokocchi… jadi terlihat seperti menyukai Akashicchi, ya?"

Dua pasang mata langsung mengarah pada pemuda bersurai kuning yang kini tengah menatap Kuroko. Pemain bayangan Teiko itu hanya bergeming, balik menatap iris madu yang tampak menghujamnya dengan beribu tanya yang tak tersuarakan.

Kuroko kemudian menunduk, membuat surai langitnya menutupi sebagian paras manisnya. Perlahan ia berdiri dengan kedua tangan yang terkepal pada sisi tubuhnya.

Glek

Aomine dan Kise dapat merasakannya. Aura kelam yang menguar dari tubuh mungil rekan setimnya —membuat kedua pemuda tadi kemudian bergerak mudur secara teratur.

"Kise-kun… belum pernah mencoba ignite pass kai baruku, ya?"

"H-HEE?! S-sumimasen, Kurokocchi…"

.

.

.

Kuroko menghela napas. Setengah jam yang lalu dirinya secara tidak langsung berhasil mengusir dua pemuda hiperaktif yang sempat memaksanya untuk ikut merasakan serunya bermain hujan diluar sana. Sebenarnya ia mau-mau saja berbasah-basahan di bawah hujan, bersenang-senang seperti ajakan kedua temannya tadi. Hanya saja daya tahan tubuhnya yang bisa dikatakan cukup lemah membuatnya harus menahan diri untuk tidak berurusan secara langsung dengan rinai hujan di luar sana. Ia tak mau jatuh sakit ketika kejuaraan nasional sudah dekat.

Ia kembali menatap jendela di depannya. Ah, sepertinya sudah cukup reda. Meski hanya gerimis, mungkin ia bisa pulang sekarang sebelum hujan kembali deras. Dirinya juga tidak mau berlama-lama di ruang loker gym sekolah. Sebab terakhir kali ia berada di sana hingga pukul tujuh malam, esoknya sudah ada rumor yang mengatakan bahwa ruangan itu berhantu.

Ah, auranya terlalu tipis untuk disadari oleh penjaga sekolah.

Kuroko meraih tas yang sedari tadi ia letakkan di depannya, kemudian bergegas meninggalkan sekolah sebelum bulir-bulir air itu kembali turun dengan lebat. Lagi diliriknya arloji yang melingkar pada lengan kirinya. Masih pukul lima. Hari ini ia pulang lebih cepat dari biasanya. Kemarin-kemarin dirinya harus pulang pukul enam atau tujuh malam karena kesalahan yang berulang kali ia lakukan.

Lupa membawa payung.

Dalam hati ia bertekad malam ini dirinya harus memastikan bahwa payung berwarna biru langit itu sudah tersimpan dalam tasnya.

.

.

.

Sepanjang gerimis yang mengiringi langkah kakinya menghindari kubangan air, pikirannya tak bisa lepas dari hal-hal yang telah terjadi sepanjang hari ini. Dari guru matematika yang tiba-tiba mengadakan kuis dadakan padahal kemarin gurunya itu mengatakan bahwa hari ini beliau tak bisa mengajar —sepanjang kuis Kuroko terus mengeluarkan aura hitam yang sukses membuat sang sensei merinding ketika melewati bangku belakang— hingga kehebohan Kise dibarengi kecerobohan Aomine yang membuat ring basket gym rusak, lagi. Sungguh, kokoro ini lelah.

"Kurokocchi… jadi terlihat seperti menyukai Akashicchi, ya?"

Langkah kakinya terhenti begitu lobus otaknya memutar kembali kalimat ambigu yang dilontarkan Kise padanya. Pipinya mulai menghangat kendati udara sekeliling sudah dapat disetarakan dengan lingkungan hidup mikroba psikrofil yang ia pelajari tadi. Ingin rasanya ia menjawab pertanyaan si kuning itu dengan kalimat "bukan sepertinya, tapi memang iya." Namun sayang, Kuroko adalah tipe kuudere. Pantang baginya menunjukkan ekspresi beserta perasaan secara terang-terangan pada orang lain meski mereka teman dekatnya.

Berhasil menjadi anggota first string berkat talentanya semenjak kecil —misdirection— sanggup menarik perhatian Akashi —yang katanya membutuhkan seseorang yang mampu mengubah aliran permainan secara tiba-tiba, sang sixth man— lantas membuat Kuroko merasa berterima kasih pada sang kapten sehingga kekagumannya pada pemain berjersey empat itu meningkat. Bahkan mungkin ke tahap yang lebih tinggi, lebih sensitif, dan terasa hangat.

Kuroko Tetsuya telah jatuh cinta pada seorang Akashi Seijuurou.

Tergabung dengan klub basket selama hampir satu setengah tahun, menuntut Kuroko untuk terus bertemu dengan sang kapten tidak hanya saat jam aktif sekolah namun juga setelah pelajaran hari itu berakhir. Pertemuan berkedok latihan. Jadi sepenuhnya bukan salah Kuroko ketika akhirnya perasaan itu tumbuh seiring interaksinya dengan sang kapten yang kian lama kian intens. Ketika akhirnya dirinya semakin jatuh dalam pesona seorang Akashi Seijuurou dengan segala sempurnanya.

.

.

.

Terlarut dalam pemikiran yang begitu kompleks membuat Kuroko tak menyadari bahwa bulir air hujan sedari tadi jatuh semakin deras. Seragamnya telah basah, membuat pori-pori kulitnya harus menutup untuk mempertahankan panas dalam tubuhnya. Kuroko menggigil, semakin mempercepat langkahnya di bawah rinai hujan yang terus mengguyur kotanya. Tak mempedulikan sekitar ketika akhirnya—

"Kalau begitu, sampai jumpa besok."

—suara baritone yang begitu dikenalnya merangsek masuk dalam gendang telinganya. Manik langit itu membola ketika dihadapannya, seorang pemuda yang sering dijumpainya berdiri membelakangi Kuroko di depan sebuah rumah berpoles warna putih dan coklat pada dindingnya.

Akashi Seijuurou, disana, tengah mengecup lembut dahi seseorang —dengan senyum terpatri pada paras rupawannya— di bawah naungan payung merah bergaris hitam.

Kuroko bergeming. Tak dapat bergerak. Seluruh otot-ototnya kehilangan koordinasi dengan kedua kakinya. Membuatnya seolah terpasung aspal jalan yang kini dipijaknya.

Pergi.

Pergi.

Pergi dari sini.

Pergi sebelum ia menyadarinya.

Nyeri, rasanya begitu perih. Siapa? Dia siapa? Kuroko tak mengenalnya. Seragam yang dikenakannya pun tampak begitu asing.

Akashi-kun, siapa dia?

Mengapa kau tampak begitu bahagia?

Apa dia adalah orang yang telah merebut hatimu?

Beribu tanya terus berputar dalam pikirannya. Berpacu dengan nyeri pada satu bagian tubuh yang tak pernah ia sangka ternyata sesensitif ini. Jantungnya berdetak liar tak terkendali semakin menambah perih.

Perlahan sesuatu yang hangat mengalir di atas pipi tirusnya. Kontras dengan rintik air yang sedari tadi mengguyur tubuh ringkihnya. Menyatu bersama bulir hujan yang seolah mendekapnya lebih erat.

Deg

Raga yang terpaku sedari tadi tersentak begitu manik delima yang begitu dikaguminya menatap lurus padanya. Terlambat. Sudah terlambat bagi pemuda bersurai langit itu untuk beranjak dari tempatnya. Akashi Seijuurou kini melangkah mendekatinya. Tiap jarak yang terhapus bagai ribuan jarum menghujam batinnya yang baru-baru ini ia ketahui ternyata begitu rapuh.

Kumohon.

Pergi.

Jangan mendekat.

Jangan melihatku seperti ini.

"Kuroko, apa yang kau lakukan di tengah hujan begini?"

Kuroko terkesiap, tak mampu menghindar dari tatapan penuh selidik sang kapten. Bahkan dirinya tak menyadari bahwa tubuhnya kini terlindung dari terpaan air hujan. Bukan langit kelabu lagi yang menaunginya, melainkan payung merah bergaris hitam milik pemuda di depannya.

Akashi menghela napas, menyadari bahwa pemuda bersurai langit itu tak akan menjawab pertanyaannya. Jas Teikonya tiba-tiba ia lepas untuk kemudian disampirkan pada pundak sang pemain bayangan. Kuroko yang terkejut sontak melangkah mundur. Namun Akashi lebih cepat. Tangannya dengan sigap meraih lengan Kuroko, mencegahnya keluar dari naungan payung merah yang melindungi mereka dari tetes hujan.

"A-akashi-kun… k-kau tidak perlu r-repot begini," suaranya bergetar akibat terlalu lama di bawah guyuran hujan.

"Sudahlah. Kuantar kau pulang."

"T-tapi—"

"Kuantar, atau latihanmu kutambah."

Kuroko terdiam, tak mampu membantah ucapan —atau perintah— sang kapten. Dirinya bahkan tak menolak ketika lengan Akashi memeluk pundaknya, berjalan beriringan.

Tak ada rona merah yang menjalar di paras manisnya. Hanya ada jantung yang terus berdetak dengan irama liar. Bukan karena terlalu gugup bersanding dengan pemuda yang telah menawan hatinya. Namun karena nyeri yang masih terasa bahkan semakin menjadi dalam dadanya.

Kuroko terus menunduk. Menyembunyikan manik langitnya yang mulai berair. Siap untuk menjatuhkan bulir bening itu kapanpun, seperti angkasa di atas sana.

Dan Akashi tetap memeluknya. Menyandarkan kepala pemuda langit itu di bahunya. Takut jika seseorang yang ia tahu memiliki daya tahan tubuh yang lemah itu akan jatuh sakit.

Namun Akashi tak tahu, bahwa sepanjang jalan Kuroko menangis.

Menangis dalam sunyi.

Menangisi cinta yang entah kapan akan meraih sang manik ruby.

Entah kapan akan meraih seorang Akashi Seijuurou.

.

.

.

…ada untuk rasa yang mungkin tak pernah pantas bersanding denganmu.

.

.

Gerimis: Fin

.

.


Doumo~

Lembar kedua selesai ^^ Gantung? Iyaaaa X'D /dicekek/ Saya ambil ini dari pengalaman pribadi yang tentu saja dengan banyak perubahan dan akhir yang berbeda. Aah, enaknya Kuroko masih dipeluk-peluk Akashi /dor/ Entah kenapa ini justru makin panjang. Mungkin karena merasa nostalgia /seketikagalau/ /nyengir/ Ah, tolong abaikan curhatan saya tadi :'D Maafkan kalau chapter ini ternyata hurt-nya kurang terasa hiks :" Juga dengan kalimat-kalimat yang amburadul gak ngerti maksudnya atau dengan typo yang merajalela XD Maafkan sayaaa /sungkem/

Terima kasih untuk arayafaiqo, Shiraumemachida, Freyja Lawliet, Saory Athena Namikaze, SHanabi, dan semua readers yang bersedia mampir dan membaca cerita ini serta memencet tombol favs dan follows. Sekali lagi terima kasih banyak :')

Saya sadar masih banyak kekurangan untuk cerita ini. Jadi, saya tunggu kritik dan sarannya di kotak review ^^

See you next rainy time X'D

-shinra-