A/N : GUE BALIIIK! YEHAAA! *Digampar*. Sebelumnya saya mau minta maaf tidak memberitahu kalau saya ganti pen name dikarenakan ada stalker busuk yang berniat jahat untuk membusukan nama saya. Sebelumnya pasti tahu dong fanfic ini buatan siapa? Haha iya, ini saya sendiri gak perlu di sebut siapa nama pen name saya sebelumnya. Oke! Ini cerita hanger cliff yang udah dinanti-nanti! Banyaaaaaaak terimakasih atas kesetiaan para pembaca yang saya cintai dan saya hormati. Partisipasi anda semua atas review, fave dan follow-nya amat sangat saya hargai! Saya senang sekali tiap bulannya yang membaca fanfic saya ini semakin bertambah! Dan kini pembaca dan pengunjung sudah mencapai 2000! Terimakasih banyak! Walau ada yang suka atau pun tidak dengan fanfic saya ini, tetapi saya bersyukur dengan para readers yang senantiasa menyempatkan waktunya untuk membaca fic saya ini. dan mohon maaf atas kecerobohan saya, chapter kemarin banyak sekali typo dan saya masih belum bisa perbaiki, mungkin ke depannya akan saya perbaiki. Ok mari di lanjut ficnya!


The Eden's Calling

WARNING : Blood, gore and mild swearing, OOC, Alternate Universe

Lightning and Noctis belongs to Square Enix

Chapter 12 : Showdown


Darah segar menetesi kening, mengotori wajah pucat pemuda dengan surai hitamnya. Pening yang menggerogoti kepalanya tak kian singgah, kepalanya hampir dibuat pecah karena hantaman keras yang diberikan setan itu kepadanya.

Tawa yang sedari tadi bergema memenuhi ruangan gelap, kini harus menjadi sebuah Lullaby untuk telingannya.

'Muak'

Satu kata yang mewakili seluruh gundah dalam benaknya. Noctis benci menjadi lemah, ia mengakui itu, namun tak sedikit pun tenaga yang bisa keluar lewat raganya. Entah apa yang tengah merubanya sekarang, ia merasa sangat lemah dan tidak berdaya.

"Aku sulit untuk mempercayai titel yang sedang kau pegang. Pewaris kerajaan dinasti Lucis tidak seharusnya selemah ini."

Hinaan yang terlontar dari mulut setan itu sudah membuat Noctis muak! ini kesekian kalinya ia menelan rasa kesal dalam hatinya, menerima kecam tanpa sebuah perlawanan adalah hal terburuk dalam hidupnya. Noctis bisa mengakui jika dirinya sangat membenci ketidakberdayaan, posisi yang sedang ia pijak saat ini.

'Samael'

Mengapa ia mengingat nama anak itu disaat seperti ini? Apa dia sudah lelah berharap sepucuk bantuan dari dewi Etro? Tunggu, bukan itu. Noctis ingat dimana kejadian sebelum ia memasuki kuil Aether ini, Samael sempat memberikannya sebuah peringatan. Namun sayangnya pangeran besar kepala ini enggan memberikan perhatian pada apa pun yang diperingatkan oleh bocah kecil itu.

Nasi telah menjadi bubur, penyesalan memang selalu datang belakangan, itu lah cirikhas dari kecerobohan manusia yang kurang berhati-hati.

Noctis benci menempati kondisi seperti ini, mengapa seluruh tubuhnya enggan untuk bergerak? Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa efek kehabisan waktu yang dibicarakan Samael saat itu?

'Tunggu dulu… Waktu?!'

Mengingat kata waktu, bisa di perkirakan ia telah menghabiskan tiga jam hanya untuk memasuki kuil ini, terlebih dengan kemunculan setan yang keberadaannya sangat menghambat, mungkin saja Noctis sudah menghabisakan lebih dari lima jam! Berarti tersisa tujuh jam lagi untuk membawa ruh Lightning keluar dari tempat ini.

Noctis baru menyadari itu, waktunya untuk keluar dari kuil Aether tidak boleh melebihi batas dari dua belas jam.

Noctis berusaha membisikan mantra Cura untuk memulihkan organ dalam tubuhnya. Tatkala ia berdoa pada dewi Fortuna, namun sayang ia masih tidak bisa menerima sebuah keberuntungan.

Mantra Cura yang ia bisikan tidak berhasil memulihkan luka dalamnya. Memaksakan tubuhnya untuk bergerak pun rasanya sulit. Noctis sungguh benci dengan kondisi yang mendesaknya.

'Sial! Mengapa tubuhku masih enggan bergerak?!'

"Ada apa pangeran? Engkau sudah tak sanggup untuk kembali bangkit?"

Bagus, ejekan lain yang tercetus lewat mulut busuk itu. Noctis rasa ia sudah mencapai batasnya, kalau benar ia bisa bangkit kembali, sumpah Etro! Ia akan memotong tubuhnya kecil-kecil!

~Ω~

"Noctis."

Siapa?

"Apa yang sedang kau lakukan? apa kau berusaha untuk mempermalukan dewi agung Etro?"

?

Seseorang berbicara pada Noctis dalam kegelapan. Pemuda bersurai hitam itu juga tidak mengerti asal muasal suara itu, hingga sebuah cahaya menampakan wujud pria misterius itu.

Pria itu muncul dengan rambut panjang serta pakaian yang sama hitam, terkecuali bandana ungu yang terikat rapi pada dahinya. Sepasang manik tajam menatap Noctis dengan seksama.

Siapa kau?

"Caius Ballad. Mari persingkat waktu dan selesaikan hal ini bersama. Kau sudah berhadapan dengan sang dewa cahaya, Bhunivelze. Dia dibangkitkan kembali oleh kaki tangannya, Gilgamesh."

Lalu?

"Mereka berniat untuk kembali merenggut dunia ini dari tangan manusia."

Lantas apa hubungannya dengan ku?

"Kau titisan dewi agung, ibu dari seluruh umat manusia, Etro. Etro melahirkan mu ke dunia dengan hembusan Chaos, kekuatan itu di pergunakan untuk melindungi dunia dari ancaman Bhunivelze. Aku percaya jika kau sudah mengetahui julukan mu sebagai Adam."

Kalau itu yang harus aku lakukan, apa yang harus aku perbuat sekarang? Aku terjebak dengan kondisi menyedihkan seperti ini.

"Ya, kau terlihat menyedihkan."

Kata-kata itu cukup membuat Noctis tersinggung. Pangeran ini memang mudah panas dengan nada bicara angkuh yang dipakai pria itu.

"Kau berusaha menyelamatkan Lightning."

Ya, aku harap kau tidak menghalangi ku di sini.

Caius menarik tepi bibirnya, sebuah kekehan sempat terdengar lewat mulutnya. Noctis dibuat sedikit jengkel dengan embel-embel ini.

"Kau tidak perlu menyepelekan aku, wahai manusia yang terlahir dengan kekuatan spesial. Sebab, segala kekalahan mu akan berakhir di sini."

Rasa perih mulai membelenggu raga Noctis. Ia kira dia sudah kembali pada dunia nyata, dimana ia sedang tertindas oleh setan penghalang itu. Namun, saat ia berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya—

"Wings of darkness night!"

Tiba-tiba saja, angin besar meributkan seisi ruangan itu. Seluruh api yang membawa cahaya harus mati seketika, gumpalan kabut hitam memenuhi ruangan, percikan kristal yang terapung mulai berkumpul dan tiba-tiba saja, seekor Jet Bahamut keluar dari kumpulan serbuk kristal dan kabut hitam itu.

Separuh dari bangunan kuil hampir hancur karena tidak kuat menopang tubuh berat bahamut berukuran raksasa itu. Noctis sendiri dibuat tidak percaya dengan kemunculan Jet Bahamut bersisik ungu itu.

"Ho, apa itu Summon mu pangeran?" Setan berwajah merah itu berniat untuk mengejek Noctis.

Namun hal itu terhenti saat si Bahamut nila menggunaan mantra Chronostasis.

DANG!

Suara sebuah lonceng terdengar entah dari mana asalnya, lantai kuil mengeluarkan cahaya yang berbentuk jam dengan tiga belas angka pada bulatannya, seluruh dunia seolah telah kehilangan warna. Semuanya terlihat hitam-putih, terkecuali dengan kilauan cahaya merah yang dipancarkan bola mata Noctis dan Jet Bahamut itu.

Kejanggalan mulai terjadi pada setan itu, seluruh tubuhnya seolah tidak bisa berfungsi lagi. Sudah terlambat baginya untuk melawan, Jet Bahamut itu menariknya dengan sebuah benang yang terhubung lewat kedua kuku jemari tajam miliknya.

Kemudian ia membanting tubuh kaku milik setan berwajah merah itu, sebuah mantra Surge ia keluarkan, sambaran halilintar memenuhi kuil, lalu semuanya berkumpul pada tubuh setan itu dan menyambar, membuat tubuhnya terbagi menjadi potongan kecil.

Apa… itu?

Bunyi lonceng kembali terdengar, gambar jam yang berada pada lantai kuil menghilang dengan sekejap, tak terkecuali dengan Jet Bahamut yang tadinya berada dihadapan Noctis, semuanya menghilang dan kembali ke bentuk awal seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kau bisa lihat itu, Adam?" Nada yang itu tidak seperti sebuah pertanyaan, namun itu lebih terdengar sebagai kesombongan. Ya, Jet Bahamut itu memiliki kekuatan luar biasa.

Noctis dibuat kaku karnanya, dendam Noctis terbalaskan, semuanya sangat nyata dihadapan mata, setan itu tidak diberi kesempatan sedikit pun. Kedua manik merahnya kini berubah kembali pada warna biru laut, kini Noctis bisa bangkit kembali dan mendapat banyak energi. Apa ini pengaruh dari kemunculan Caius Ballad dan Jet Bahamut raksasa itu?

Tidak, tidak ada waktu lagi untuk kembali memikirkan apa yang telah terjadi. Prioritas utamanya sekarang adalah Lightning. Cepat atau lambat, ia harus mendapatkan Lightning kembali.

~Ω~

Keringat menetesi kening, pipinya mulai basah tersiram percikan air deras serta butiran air mata yang ia keluarkan. Prompto masih terpaku pada kondisi genting yang ia alami. Noel dan Gladiolus telah menjadi penganjal perut Leviathan, sementara Ignis entah dimana keberadaan tubuhnya yang tengah terapung dan tidak sadarkan diri itu.

Rasaya amat sia-sia jika ia hanya terduduk di tempat yang sama sambil melantunkan do'a. bukan berarti karena ia telah hilang kepercayaan pada dewa-dewi yang agung, namun ia merasa amat tidak berguna. Semuanya mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka demi keselamatannya, sedangkan Prompto sendiri hanya bisa berteriak dan memandangi teror yang semakin lama semakin menjangkit.

Ironis, ia mencoba untuk melawan monster itu, dengan sebuah tembakan namun hanya dengan sebuah peluru pun, ia bisa mengetahui kalau ia tidak sepantasnya untuk berhadapan dengan Leviahan yang kekuatannya lebih ungul.

Ia masih terdiam bagai boneka yang terlupakan. Bahkan monster itu pun enggan menganggap keberadaannya. Seharusnya itu bisa membuatnya sedikit bernapas lega karena mahluk air itu tidak langsung menelannya bulat-bulat, namun apa lah arti dari harga diri?

Argentum, penembak jitu, prajurit setia yang di segani banyak orang. Tapi apa yang bisa ia lakukan dalam medan perang ini? hanya memandangi rintihan kawan-kawan yang berda dalam kesulitan?

Dengan begini, Prompto akan berlapang dada untuk menerima ejekan setiap prajurit sebayanya. Ini hal yang tidak seharusnya dilakukan seorang prajurit. Dimana pengorbanan mu?

Apa memang seharusnya begini? Wahai dewi Etro?

Spontan, kedua iris biru langit miliknya mengarah pada kalung Serah yang kini memancarkan cahaya terang.

Apa itu?!

"KUUUUPOOOOO!"

HEEE?!

Seekor Moogle muncul dihadapan Prompto. Apa yang dilakukan seekor Moogle di sini? Prompto berharap atas kemunculan mahluk menggemaskan ini, kondisi bisa agak membaik. Namun….bagaimana?

"Se-Seraaaaah! Kau kenapa kupo?!"

Mahluk kecil itu menggoyang-goyang tubuh lemas Serah, percaya tidak-percaya, sentuhan kulit putih dari mahluk kecil itu membuat kedua kelopak mata Serah terbuka dengan perlahan.

Prompto terkejut dibuatnya, "Serah, kau baik-baik saja?!"

"Mog…"

"Esuna~ Kupo!" Moogle itu meniupkan mantra Esuna untuk menghilangkan rasa nyeri yang telah di derita tubuh Serah.

Beberapa luka dalam Serah pun sudah ditiupkan mantra Curaga agar semua tubuhnya sudah bisa berfungsi kembali. Terlihat praktis memang, namun ini lah kelebihan yang dimiliki mahluk berbentuk manis dan menggemaskan seperti Moogle. Kemampuan seorang Scientist hanya bisa mengobati dengan jangka waktu yang cukup lama lewat mantra Cura, namun mantra Curaga seekor Moogle lebih unggul.

Setelah memastikan kondisi Serah yang kini semakin membaik, Moogle itu menatap pada Prompto sambil terus bertanya dengan kata 'Kupo' tercetus lewat bibirnya. (Walau gak keliatan punya mulut hahaha x"D)

"Maaf jika terkesan kasar, namun ini bukan saatnya untuk perkenalan. Noel menyuruh ku untuk melindungi mu. Tapi, Noel sendiri telah tertelan Leviathan itu bersama satu orang rekanku. Aku juga kehilangan rekan ku yang satunya dalam pertempuran ini."

"Apa?!"

"Noel! Kupo!"

Prompto menggenggam kuat kepalan lengannya. Rasa kesal masih terpupuk dalam hatinya, posisi saat kau tidak bisa berbuat apa-apa itu sangat menyakitkan!

"Kalau begini, aku akan membawanya kembali!"

"Maaf… aku tidak bisa berbuat banyak tadi itu—aku.."

Serah menepuk pundak Prompto sambil melempar senyum "Kau masih punya kesempatan kedua." Dengan kata-katanya itu, Propmto berhasil dibuat tertegun. Serah benar, kesempatan kedua.

"Kupo! Teladahkan tangan mu kupo!" Mog menyuruh Prompto membuka kedua telapak tangannya, lalu sebuah cahaya mendarat pada lengan pemuda bersurai pirang itu.

Saat dilihat kembali, sebuah Dual barrel tertidur pada lengannya. Prompto agak terkejut dibuatnya, namun ini lah satnya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua.

"Pakai lah itu Kupo! Itu adalah senjata legendaris seorang penembak jitu pada abad 100! Kupo!"

Ignis, Gladiolus, Noel. Tunggu kami!

~Ω~

Seorang Bodyguard yang mendampingi Regis dalam acara rapat tiba-tiba saja membisikan sebuah berita yang baru ia dapat. Kedua mata Regis terbelalak atas berita yang ia dengar. Dengan amat terburu-buru, beliau menyelesaikan permasalahan dalam rapat yang ia hadiri pada hari ini.

Regis permisi untuk meninggalkan rapat dan bergegas melaju pada mobil pribadinya. Saat ia menuruni tangga, sopir pribadi yang ia kenal sebagai Jerrian atau lebih sering di panggil Jerry sudah membukakan pintu pada mobil hitam mengkilapnya.

"Apa kita langsung kembali ke istana tuan?"

"Tidak, Kita akan kembali ke Manor. Bergegas lah."

"Siap!"

Jerry menancapkan gas, melaju dengan kecepatan tinggi atas perintah yang diberikan Regis untuk menuju Manor Caelum.

Pintu besar nan kokoh terbuka lebar secara tiba-tiba. Di sana Regis Lucis Caelum menampakan dirinya, membuat seluruh pelayan tergesa berjajar di sepanjang karpet merah lalu menundukan kepala mereka dengan serempak.

Sang raja hanya menekukan halisya, kerutan pada dahinya semakin bertambah, langkah kakinya begitu cepat sekali, dan tidak seperti biasanya ia melewati penyambutan yang di persembahkan para pelayannya. Ada yang tidak beres.

"Dimana Noctis?!"

Regis berteriak disepanjang lorong Manor, membuat seluruh pelayan yang berlalu-lalang hampir terkena penyakit jantung, tidak biasanya sang raja semarah ini. Kaki yang mengenakan sepatu kulit hitam ia hentakan kuat-kuat, menciptakan suara nyaring pada lantai marmer yang ia injak.

Aria, si kepala pelayan dalam Manor itu terkena amukan sang raja habis-habisan hingga pada akhirnya ia dihentikan dari pekerjaannya atas kelalaian yang dia perbuat. Sedangkan seluruh anggota pelayan serta kesatria yang berpartisipasi menjaga Manor dikenakan sangsi atas perbuatan mereka yang terbilang lalai.

Padahal Regis sama sekali tidak tahu bagaimana Noctis menyusun rencana untuk menyelinap keluar Manor. Semua itu bermula dari insiden penculikan Stella, Banyak negara yang berjatuhan karena kristal kekuatan mereka telah di renggut. Regis mati-matian memberikan bantuan pada negara-negara aliansinya, namun sampai saat ini pun ia tidak tahu alasan mengapa negara aliansinya bisa kehilangan kristal yang mereka jaga secara ketat.

Sebenarnya itu semua masih ada sangkut pautnya dengan hubungan Stella dan Noctis. Regis sendiri, masih tidak tahu menahu tentang hal itu.

Kerena kemarahan sang raja yang menggebu-gebu, akhirnya dia sendiri mengerahkan seluruh pasukannya utuk mencari Noctis. Cor Leonis dijadikan pimpinan dalam operasi ini. Regis memerintahkan Cor untuk mencari Noctis sesegera mungkin, ia punya perasaan tidak enak atas kehilangan anaknya. Tentu saja, orang tua mana yang tidak merasa cemas saat putra tunggalnya hilang tanpa jejak?

Target pertama adalah negaranya sendiri, pasukan dikerahkan pada seluruh penjuru Lucis. Tidak lupa dengan kota-kota terpencil yang bertebaran. Selanjutnya seluruh negara aliansinya, berhubung pasukan Lucis masih berada di negara lain untuk memberikan bantuan, Cor menambahkan tugas mereka untuk mencari Noctis.

Karena hal ini Regis tidak bisa bersantai lagi. Cepat atau lambat pangeran tunggal dari dinasti Lucis harus segera ditemukan.

~Ω~

Peluru berwarna ungu diluncurkan dari senjata api yang digunakan Prompto. Peluru itu meledak pada target yang dituju. Dengan itu Serah berpartisipasi melepas anak panahnya ke udara. Ultimate Arrow menciptakan hujan anak panah yang mengguyuri tubuh Leviathan itu.

Darah bercipratan dimana-mana, menghujani seluruh objek yang tergenang diatas air. Prompto tidak diam, ia kembali menembaki monster naga itu dengan Magic Pistol yang diberikan Mog padanya. Selang waktu pertarungan yang menghabiskan tiga puluh menit, Prompto sudah bisa merasa nyaman dengan senjata barunya.

Dukungan serta senjata baru mebuatnya kembali bersemangat untuk bangkit dalam kegagalannya. Darah Argentum dalam tubuhnya kembali bergejolak, semangat dalam jiwanya kembali membara. 'Aku lah Argentum! Aku lah Argentum!' ia akan menunjukan siapa dirinya yang sesungguhnya.

KEEEAAAAAK!

Mahluk itu kembali menjerit, seluruh tubuhnya yang berbalut sisik biru sudah ternodai dengan darah merah yang mengalir dari luka yang ia peroleh. Mahluk itu terlihat sudah sekarat, namun sayangnya ia masih tetap bisa menopang tubuh panjangnya dipermukaan air.

Prompto dan Serah tidak bisa membuang waktu lagi, Gladiolus dan Noel harus segera diselamatkan sebelum asam lambung dalam tubuh mahluk itu melelehkan mereka. Namun dengan tubuh Leviathan yang sudah separuh hancur, hal itu memberikan peluang bagi Gladiolus dan Noel untuk tetap hidup karena pencernaan Leviathan akan terganggu dengan tubuh yang tidak sempurna.

"Kita harus mengeluarkan ususnya! Gladiolus dan Noel berada disana!"

"Aku mengerti!"

Kedua penyerang jarak jauh itu kembali melemparkan serangan mereka. Kali ini kedua mata Leviathan itu yang menjadi targetnya. Serah memunculkan anak panah pada lengannya, ia tidak lupa meniupkan mantra Ruinga pada panah itu sebelum menembakannya.

"Makan ini!"

Blar!

Mata kiri dari monster air itu terkena serangan yang dibuat Serah. Kini bola matanya pecah sehingga mengeluarkan darah segar yang kini mengalir jatuh ke dalam air. Leviathan itu terlihat amat kesakitan, Prompto rasa mahluk ini sudah mencapai batasnya. Dengan luka parah di sekucur tubuhnya, cepat atau lambat mahluk ini akan tumbang dan menemui ajalnya.

Namun, siapa di sangka. Perkiraan Prompto salah total! Mahluk itu membuka mulutnya lebar-lebar. Propmto dan Serah membidik dengan senjata mereka, bersiap untuk kembali menyerang si Leviathan. Akan tetapi persiapan mereka terlalu lambat, Leviathan itu memuntahkan mantra Chill lewat mulutnya. Segumpal bola es berukuran besar menerjang seluruh permukaan air dan membuatnya membeku. Kini bola itu melaju dengan kecepatan tinggi menuju Prompto dan Serah.

'Sial! Kenapa di saat yang seperti begini?!'

"FLARE! KUPOOOO!"

BLAR!

Kedua bola berelemen api dan es saling bertabrakan, menciptakan ledakan besar di udara. Angin yang diciptakan dari ledakan itu membuat air serta objek di sekitarnya terdorong jauh. Serah bersama Prompto terhempas dari tempat dimana mereka berpijak, namun dengan sigap Prompto berpegangan pada sebuah atap rumah warga yang terendam air, ia juga tidak lupa untuk menggenggam lengan Serah yang sedang memegangi Mog.

Cahaya terang yang disebabkan ledakan tadi membuat seluruh pengelihatan Prompto terlihat kabur, namun hal itu tidak berangsur lama. Prompto kembali bersiap dengan pistol yang ia selipkan pada Holster pinggangnya.

'Kali ini tidak ada kata main-main!'

DAR!

Tembakan pertama,

DAR!

Tembakan kedua,

DAR! DAR! DAR! DAR!

Tembakan beruntun ketiga yang dia luncurkan berhasil membuat peluru berwarna ungu itu mengeluarkan sebuah kilatan listrik yang kini menghanguskan moncong besar dari Leviathan yang menjadi targetnya.

Jeritan Leviathan itu kembali terdengar saat ia menerima luka berat dari tembakan Prompto. Pemuda itu bersi keras melempar serangannya. Menembak ke bagian kepala, tubuh yang seperti ular, sirip, tidak lupa dengan luka perut yang telah dibuat Gladiolus pada tubuh monster itu.

"Serah! Arah perutnya hingga benar-benar putus!"

Serah mengeluarkan Ultimate Arrow-nya sekali lagi, ia menggenggam ke tiga anak panah sekaligus pada lengan lalu melepaskannya. Luka yang di ciptakan peluru serta panah yang menerjang tubuh monster itu membuatnya kembali mengeluarkan darah. Pendarahan ini terus berlanjut, tidak ada kata ampun bagi mahluk yang telah menelan sahabat-sahabat Prompto.

"Mati lah kau!"

Pada tembakan terakhir yang dilepas, perut Leviathan itu berhasil putus. Darah tersembur dari bagian tubuh yang terpotong, kepala monster itu masih sempat bergerak-gerak walau pada akhirnya ajal menjemput mahluk itu. Usus panjang berukuran besar bisa terlihat dari kejauhan. Bagian organ tubuh itu lah yang menjadi incaran Prompto.

"Itu! Di sana ada Gladiolus dan Noel! Moogle! Tolong bekukan air dan buat jalan dari es untuk mendekati usus Leviathan itu!"

"Serahkan pada ku! Billizaraga-KUPOOO!"

Sebagian besar kawasan berair itu kini membeku dan menciptakan lantai es menuju tubuh naga yang terpotong. Kini darah menyiprat pada air yang membeku, menodai warna biru-keputihan itu. Beruntung Mog tidak terlambat membuat air menjadi solid, karena usus dari tubuh Leviathan yang seharusnya tenggelam kedalam air kini terjatuh keatas permukaan es.

Kedua petarung jarak jauh itu berlari menghampiri objek yang menjadi tujuan mereka. Serah merubah panahnya ke bentuk pedang, dengan bagian tajam ia berhasil membuat usus besar itu terbelah, di sana lah Gladiolus dan Noel ditemukan, berlumuran lendir kuning yang tercium bau.

"Noel!"

"Glad!"

Kedua orang yang menjadi santapan Leviathan itu kini terbaring tidak sadarkan diri diatas permukaan es. Serah mengecek denyut nadi pada kedua lengan pemuda yang menjadi korban, Terima kasih Etro! Mereka masih selamat.

"Aku menemukan orang ini terapung Kupo! Jadi aku membawanya kemari Kupo!"

Kedua iris Prompto mengecil, ia kaget bukan main! Ignis! Ignis lah yang telah dibawa oleh Moogle itu. Kini rasa bahagia meluap pada dadanya, Para dewa dan dewi memberikan keajaiban yang luar biasa kali ini, seluruh teman-teman Prompto terselamatkan dari pertempuran yang berhasil membantai banyak nyawa.

~Ω~

"Aku sudah menemukannya." Wanita bersurai pirang itu mengkrejapkan kedua matanya yang menyala dengan cahaya biru-terang.

Stella berhadapan dengan sebuah gerbang beton berukuran raksasa dalam sebuah lorong gelap. Tidak salah perkiraannya, kristal agung, sumber cahaya serta kekuatan bagi para penghuni Accordo tengah berada dalam naungan segel pelindung dibalik pintu raksasa ini.

Pemuda bernama Gilgamesh tertawa puas saat ia melangkah menghampiri Stella. Pada akhirnya kristal yang menjadi target nomor empat akan segera dimilikinya. Atas kekuatan dewa Bhunivelze yang menyertai pemuda itu, kini tugasnya dibuat menjadi sangat ringan, seluruh penghalang dalam jalannya menuju kemenangan sudah disingkirkan.

Tidak ambil waktu lama, pemuda tinggi bersurai merah marun itu menghadapkan kedua telapak tangannya pada gerbang beton itu. Ia merapalkan mantra atas nama Bhunivelze, dengan mudahnya kedua pintu itu bisa terbuka. Cahaya terang benderang terpancar saat kedua pintu itu terbuka dengan lebar, kini kristal suci menampakan dirinya dihadapan Gilgamesh.

Gilgamesh tersenyum lebar saat memasukan kristal berukuran besar itu pada sebuah segel. Ia berhasil mengirim benda itu ke alam lain, dimana tidak ada seorang pun yang dapat menjangkaunya.

"Accordo Telah berakhir."

Secara tiba-tiba, gempa bumi melanda pemukiman rumah Accordo. Air yang menggenangi seluruh kawasan kota pusat kini berguncang sehingga menimbulkan ombak dahsyat yang mulai menerpa daerah sekitarnya yang tidak tergenang air. Beruntung bagi Prompto serta kelima rekannya yang sudah melakukan evakuasi menuju dataran tinggi. Kini mereka harus kembali menyaksikan fenomena alam yang mengerikan.

"Tidak… ini menjadi semakin buruk."

~Ω~

Noctis berlari dengan kecepatan penuh seraya mengendong tubuh kosong milik Lightning, seluruh tenaga yang tersisa pada raganya harus ia kerahkan, walau pun kekuatannya telah kembali, namun tetap saja energi itu harus habis terpakai untuk menyusuri kuil Aether yang luas ini. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk mempedulikan rasa letih yang telah melanda tubuhnya, tidak ada kesempatan kedua untuk menyelamatkan Lightning.

'Kau harus mendengarkan peringatan yang aku berikan pada mu sebelum meraih tempat itu.'

Suara dari bocah kecil yang ia kenal sebagai Samael itu kembali terngiang dalam benaknya.

'Setelah kau mencapai Aether, kau hanya memiliki waktu dua belas jam untuk mencari roh Lightning.'

Noctis sudah membuang banyak waktu dalam perjalanan ini, ia tidak begitu yakin dengan waktu yang semakin lama semakin menipis. Terlebih, dia tidak tahu harus dari mana ia memulai untuk mencari Lightning, Tempat ini lebih luas dari pada istananya.

Kini ia baru teringat kalau Samael mengatakan ini adalah tempat dimana para ruh akan dibinasakan. Hal ini membuatnya semakin tidak tenang, terimakasih pada rasa panik yang semakin membesar.

"Tidak, ini belum berakhir. Etro, tuntun aku dalam jalanmu."

Entah mengapa, Noctis mendengar sebuah suara kecil yang membuatnya menghentikan langkah. Aneh, si pangeran Lucis baru menyadari bahwa suara itu dikeluarkan oleh tubuh kosong Lightning yang sedang ia gendong. Apa kah Lightning masih memiliki tali yang tersambung pada jiwa dan raganya?

Noctis mendekatkan telinganya untuk mendengar ucapan dari mulut Lightning. 'Kiri', begitu sebutnya, dengan itu Noctis mengerti kalau Lightning tengah memberikannya pengarahan. Kedua kaki pangeran itu kembali melangkah dalam intruksi yang diberikan tubuh kosong Lightning.

Semakin lama mulut itu semakin mengeluarkan suara yang jelas. Hingga intruksi terakhir Lightning membawa Noctis kehadapan gerbang raksasa yang sedang dikawal oleh dua mahluk penjaga yang memiliki fisik aneh. Kepala mereka berupa kepala dari seekor kambing. Noctis bisa melihat dengan jelas sebuah lonceng tergantung diatas gerbang beton itu, apa kah Lightning berada didalamnya? Tubuhnya sudah tidak memberikan isyarat lagi, apa kah ini sungguh-sungguh tempat dimana ia dipenjara?

Walau Noctis agak tidak yakin dengan firasatnya, namun mau-tidak mau ia harus mengalahkan kedua prajurit itu untuk menembus pintu dan membawa Lightning kembali.

"Chronostatic."

Entah dari mana asalnya, suara pria yang Noctis kenal sebagai Caius Ballad kembali terdengar. Mantra yang telah ia ucapkan membuat waktu terhenti, seluruh warna dalam tempat itu seolah memudar, kini Noctis mulai menaikan kepercayaan dirinya untuk menembus gerbang dan menemui Lightning. 'Perintah Etro adalah perintah yang harus dipatuhi', Caius mengatakan hal itu pada Noctis sebelum ia membukakan segel yang menutup gerbang besar itu dengan hembusan Chaos.

Benar saja, walau keajaiban seorang dewa atau pun dewi tidak bisa menembus gerbang besar itu, tetapi hembusan dari sebutir Chaos dapat membukanya. Noctis bergegas masuki ruangan yang dipenuhi dengan cahaya hijau itu. Kedua maniknya menatap pada sebuah sangkar emas yang terlilit rantai dan tengah terapung diatas langit. Saat pangeran muda itu memasuki ruangan, angin berhembus pada sebuah poros dibawah sangkar itu. Ya, angin itu lah yang menerbangkan sangkar emas, Noctis yakin Lightning tengah berada didalamnya.

Noctis berteriak sekuat tenaga, memanggil nama dari Savior malang yang tengah terkurung itu, ia memohonnya untuk segera kembali masuk kedalam tubuh dan kembali ke dunianya. Noctis menaruh tubuh kosong milik Lightning, lalu ia memanggil sebuah pedang pada genggaman tangannya.

Dengan kekuatan penuh, ia melempar pedang itu pada sangkar yang tengah terapung diatas langit-langit kuil. Ia kemudian memanggil senjata miliknya yang lain, tombak, Rapier Greatsword, Dangger, seluruh senjata yang ia miliki sudah ia lempar pada sangkar terbalut rantai itu, membuat seluruh senjatanya tertancap. Namun usahanya masih sia-sia, hal apa lagi yang harus ia lakukan?

Tunggu—Caius!

Benar! Satu-satunya orang yang bisa membantunya dalam hal ini adalah Caius Ballad, tangan kanan Etro sekaligus penjaga kabut Chaos dari Valhalla. Noctis memohon pada pria itu untuk meminjamkannya kekuatan, namun Caius malah membantah dan meminta si pangeran Lucis itu untuk menggunakan isnting dan kekuatan batinnya.

"Kau tidak bisa selamanya mengandalkan orang lain. Bukan kah kau adalah orang terpilih? Chaos terlahir bersama dirimu, seharusnya kau bisa lebih mengandalkan kekuatanmu sendiri. Berpikir lah!"

Ya, itu benar. Noctis tidak bisa selamanya mengandalkan atau pun mengharapkan bantuan orang lain, bukan kah dia seorang putra mahkota yang akan dinobatkan sebagai raja dimasa depan kelak? Dungu! Terlebih ia tahu kalau dirinya terlahir bersama dengan Chaos, lalu mengapa ia masih saja merengek untuk meminta bantuan orang lain? Noctis belum belajar banyak untuk menjadi pribadi yang mandiri, masih banyak sekali lembaran yang harus ia tulis, masih banyak sekali contoh yang harus ia lihat.

Dengan perkataan yang Caius katakan padanya, hal itu membuat si pangeran muda berpikir. Butuh waktu yang cukup lama baginya untuk memutar otak. Ia tidak mengerti harus memulai dari mana, ia tahu emosi bukan kunci utama untuk membuka gerbang Chaos pada dirinya.

Dia mengakui kalau ia dungu, tidak peka, keras kepala, semua kekurangan ada pada dirinya. Namun dibalik hal itu ia memiliki banyak potensi yang tidak ia ketahui. Ia harus yakin pada dirinya, ia harus memajukan insting yang telah terpendam lama.

Namun tetap saja ia tidak mau menrima julukan 'Hebat'. Stella sudah tidak berada lagi pada genggaman lengannya, Noctis juga percaya jika kerabat-kerabatnya sedang mati-matian mencarinya. Lalu bagaimana dengan kepercayaan sang ayah handa? Oh, Noctis yakin ia akan dijatuhi hukuman berat atas tindakannya yang semena-mena. Ia datang kemari bukan untuk melakukan sebuah usaha tanpa hasil. Jadikan ini sebagai ganjarannya untuk menebus dosa pada Lightning. Entah mengapa wanita ini selalu saja mementingkan si pangeran tunggal diatas kepentingan lainnya. Hal itu cukup membuat Noctis berlumur dosa.

Tiba-tiba saja, sebuah aura berwarna ungu menyelimuti raga pangeran itu. Kedua kelopak matanya kini menampakan iris berwarna merah-darah. Halilintar berwarna nila menyambar sangkar emas yang tengah terapung, dan kini sangkar itu terbuka, menampakan wajah dari seorang wanita yang sangat ingin ia lihat.

"Lightning!"

Sekejap sambaran petir, roh wanita bersurai merah muda itu memasuki tubuhnya yang tergeletak diatas lantai kuil. Dengan sigap Noctis menghampiri tubuh wanita malang itu dan spontan memeluknya erat. Noctis memanjatkan rasa syukur pada dewa dan dewi yang tengah berada di langit sana, terutama Etro yang telah memberinya kekuatan spesial yang tidak bisa dinilai harganya.

Dengan perlahan, kedua kelopak mata wanita bernama Lightning itu terbuka lebar, menatap wajah pria bersurai hitam yang mulai meneteskan air mata. Dengan sebelah lengannya, ia hapus air mata itu dari pipinya. Lightning merasa tidak sepantasnya sang pangeran meneteskan air mata untuknya.

"Mengapa… mengapa kau menolongku?"

"Aku tidak mau membiarkanmu pergi!" Noctis membantah ucapan lemah dari mulut wanita itu.

"Kau sangat buruk dalam menentukan perasaanmu, Noctis."

"Berhenti lah bertingkah sok keren."

"Kenapa kau tidak menolong Stella?"

Pertanyaan itu cukup membuat Noctis bungkam. Lightnig kembali mengungkit masalah Stella setelah Noctis mati-matian menolongnya. Seharusnya ia sudah tahu dengan kondisi yang sedang melanda sang pangeran, ia berpartisipasi dalam operasi pencarian si pangeran Lucis bersama ketiga sahabatnya. Bagai mana bisa ia tidak menyadari apa yang tengah Noctis kejar dan membuatnya terkhianati?

Stella

Nama malaikat anggun yang paras rupawan, kedua kepakan sayapnya bisa membuat angin sejuk meniupi gundah yang sedang melanda pikiran sang pangeran. Namun amat disayangkan, semua hal manis yang telah ia lihat pada pemudi bernama Stella Nox Fleuret itu hanya sebuah fatamorgana. Tidak ada hal nyata yang menyangkut dengan Stella, semua sirna, melebur, hancur ketika seorang pria bernama Gilgamesh memasuki kehidupannya.

Stella bukan orang yang ia kenal, bukan lagi. Putri dari penasehat raja Nefilheim itu enggan mengijinkan Noctis tuk menemuinya. Hal ini tidak seperti masa-masa lalu mereka, kenangan indah tercetak dalam album tua yang kini bertabur debu. Cinta telah menunjukan sisi busuknya, hanya sebuah sepah hambar yang bisa Noctis hisap sekarang, semua orang berkata benar soal hal itu.

Hati pangeran itu kacau balau, cinta yang tertanam dan telah tumbuh menjadi pohon besar yang subur kini harus mati seketika. Stella sudah di cap sebagi seseorang yang wajib Noctis lupakan, walau hati masih memendam rasa yang amat mendalam, namun kini Noctis mulai bisa berpikir. Dengan berat hati ia beranggapan jika Stella sudah membuang rasanya jauh-jauh dari putra mahkota Lucis itu. Kini apa lagi yang bisa Noctis pertaruhkan?

Tidak

Ia masih mempertaruhkan sesuatu walau pun ia sama sekali tidak menyadarinya dengan pasti. Namun kabut putih yang merabunkan itu perlahan menghilang, membiarkan alasan yang semakin jelas terlihat.

Lightning

"Kini dirimu lah yang menjadi alasanku tuk tetap bertahan hidup." Ia menghambur pelukannya yang semakin erat pada tubuh kecil wanita itu. "Maafkan aku."

~Ω~

"Berhenti! Ada keperluan apa kau datang ke istana?"

Dua orang penjaga gerbang yang dilengkapi senjata serta baju zirah tengah menahan seorang pria yang berniat memasuki istana. Karena dipaksa untuk berhenti, mau-tidak mau pria itu harus mundur. Dengan sebuah topi pada lengannya, ia memberi hormat seolah mengejek kedua penjaga istana itu.

"Maaf, aku ada keperluan mendadak untuk menemui raja Nefilheim, yang mulia Eiodola Aldercapt."

Sejujurnya kedua prajurit itu merasa tersinggung, namun mendengar cara pria berpakaian serba hitam itu mengeja nama raja mereka dengan logat Byakko membuat keduanya berpikir dua kali saat berniat mengusirnya.

"Katakan siapa namamu?" Salah seorang prajurit membuka mulutnya untuk bertanya kembali, namun saat tamu tak diundang itu berniat menjawab, secara spontan seseorang keluar dari gerbang istana dan menyuruh pria itu tuk masuk.

"Beliau telah menantimu didalam." Begitu ucap sang komandan pada pria itu.

Lorong demi lorong telah terlewati, si komandan menuntun sang tamu menaiki lift menuju lantai tertinggi dalam istana Neflheim. Saat pintu lift terbuka lebar mereka bisa menatap karpet merah yang tergelar disepanjang lantai marmer. Lampu-lampu indah tergantung menghiasi sepanjang koridor, interior yang diletakan pada tempat itu juga menambah kesan ruangan semakin terang benderang, berbanding jauh dengan kondisi istana Lucis disiang hari.

Pintu besar yang terlihat kokoh terbuka dengan otomatis, membiarkan kedua individu itu tuk memasuki ruangan. Kamera-kamera pengintai terpasang pada langit-langit ruangan, di dalam sana juga terdapat meja bundar yang terbuat dari kayu serta dua belas kursi tertata rapi. Cahaya terang memasuki ruangan lewat jendela kaca berukuran besar pada ruangan itu.

Di sana lah mereka melihat pemimpin negara Nefilheim, Idola Aldercapt sedang berdiri menghadap kaca. Komandan yang telah menuntun pria itu kini membungkukan tubuhnya dengan formal pada sang pemimpin sebelum meninggalkan mereka berdua. Tanpa basa-basi raja Nefilheim itu bertanya pada tamunya.

"Berita macam apa yang bisa kau berikan padaku?"

Sebuah senyum tergerat pada bibir pria itu. "Aku menemukan seorang L'cie tengah berkeliaran dalam negara Lucis."

Kedua mata Idola terbelalak mendengar berita dari mulut pria itu, ia tergesa membalikan tubuhnya saat si pria bertopi hitam menaruh kumpulan foto pada meja bundar dalam ruangan itu. Ia tatap baik-baik foto yang telah diterima, sulit di percaya seorang L'cie masih bisa berkeliaran dalam abad moderen seperti ini. Idola sempat mengira kalau keberadaan mereka sudah lama punah, namun kini hal itu sudah ia buang jauh-jauh.

Salah satu foto membuat sang raja tertarik. Wanita yang disebut sebagai L'cie itu tengah berjalan dengan seorang pria yang sangat familiar baginya, tidak, tepatnya orang yang selalu menjadi targetnya untuk menjatuhkan negara yang telah ia cap sebagai aliansi.

Sebuah kekehan terdengar jelas pada ruangan sunyi itu. "Mereka bodoh sekali, membiarkan sebuah bumerang terlempar tanpa siap untuk menangkapnya kembali."

Sang raja melanjutkan kekehannya yang berlangsung menjadi sebuah tawa.

"Dengan ini kalian akan hancur! Matahari tidak akan turun untuk memberikan kesempatan bagi rembulan."

~Ω~

Suara ambulan memenuhi kawasan evakuasi yang terletak tidak jauh dari perbatasan Accordo. Seluruh orang-orang yang selamat dari kejadian mengerikan itu kini diistirahatkan walau trauma masih terus menjangkit mereka atas apa yang mereka alami. Tidak sedikit orang-orang yang telah kehilangan anggota keluarga mereka, hampir lebih dari 600 orang yang meninggal dan sekitar 800 orang diantaranya mendapat luka berat atas insiden itu.

Prompto, Ignis, Gladiolus, Noel dan juga Serah terhitung sebagai korban, walau Serah bersama Prompto dan seekor Moogle lah yang telah memusnahkan mahluk mengerikan yang disebut Leviathan itu.

Ignis mulai pulih walau kini ia masih terbaring didalam tenda palang merah, sedangkan Noel dan Gladiolus sedang menjalani perawatan intensif dari para tim medis. Mereka kehilangan banyak ion dan oksigen dalam tubuh sehingga selang infus harus tertanam pada hidung mereka. Menjadi santapan seekor Leviathan bukan hal sepele, walau bisa diobati dengan singkat menggunakan mantra Curaga milik seekor Moogle, tetapi mereka masih seorang manusia yang membutuhkan istirahat.

Bayangkan saja asam lambung hampir menghancurkan mereka, beruntung Prompto dapat menyelamatkan kawan-kawannya dengan kondisi utuh. Ya, setidaknya ia bisa berguna dalam satu hal yang terbilang sulit.

Prompto mendesah pasrah, walau seluruh kawannya selamat namun tetap saja pemuda Argentum ini tidak bisa menenangkan jiwannya. Noctis masih belum ditemukan, terlebih yang mulia raja tidak tahu menahu soal hal ini. Ia yakin jika suatu saat ia pulang kenegaranya si pirang beserta kawan-kawannya ini sudah di sambut dengan sebuah hukuman setimpal. Yah, walau sebenarnya ini bukan kesalahan Prompto dan kawan-kawan melainkan kehendak Noctis sendiri. Prompto tahu itu.

'Bagaimana dengan Lightning?'

Prompto baru ingat jika ia terpisah dengan Lightning saat berada di Accordo. Semenjak kejadian besar itu, Prompto tidak mendengar kabar atau pun bisa melihat Lightning dalam daftar korban yang dievakuasi, tidak terkecuali dengan daftar korban yang meninggal atas bencana besar ini. Prompto dibuat amat takut, seharusnya ia bisa lebih sigap saat menghentikan Lightning. Ia tahu kalau Lightning bersi keras untuk menemukan Noctis, tetapi hal ini bukan lah hal yang ia inginkan.

"Lightning…"

"Kau kenal dengan kakak ku?"

Suara familiar itu menggugahkan Prompto dari relungnya, kini ia menatap wajah Serah seraya menangkap sebuah botol minuman ion yang dilemparkan pemudi itu. Serah mendudukkan dirinya disamping Prompto, botol minuman isotonik bermerek serupa ada pada genggaman tangannya.

"Sudah lama aku tidak melihatnya. Hampir sekitar dua tahun. Ia menjadi guru di negara Lucis dan belum kembali pulang ke Accordo."

Sebenarnya Prompto ingin bilang hal yang sesungguhnya pada Serah, namun menatap wajah sedih itu membuat pemuda Argentum ini memundurkan niat. Ia merasa tidak tega dengan apa yang telah menimpa Serah beberapa jam lalu, dan kini ia harus menelan bulat-bulat hal yang ingin ia ungkapkan. Prompto mengerti jika hal ini diberitahukan dalam kondisi yang tidak tepat, akan menimbulkan kekacauan.

"Aku teman dekatnya di Lucis. Yah, cuman… tidak terlalu dekat. Kami hanya bertemu sebulan sekali, itu pun akhir-akhir ini jarang sekali bertemu." Dustanya, menghindari rasa canggung jika ia enggan untuk menjawab.

Walau perih, namun Prompto berusaha menelannya, Prompto juga dibuat kahwatir bukan main! Ia hampir depresi saat sama sekali tidak bisa menemukan Lightning, namun entah firasat macam apa yang memberitahukannya kalau Lightning baik-baik saja. Sugesti atau bukan, ia memilih untuk mempertahankan perasaan itu untuk tidak pergi.

Serah tersenyum manis pada pemuda bersurai pirang itu. "Rupanya kakak punya banyak teman pria yah di Lucis."

"E? memangnya dia tidak punya teman disini?"

"Bukan begitu, dia hanya bergaul dalam satu lingkar pertemanan sewaktu ia tinggal disini. Fang, Snow, Hope, Vanille, Sazh dan yang lainnya sudah ia anggap sebagai keluarga. Terlebih ia bilang tidak bisa menambah anggota keluarga lain, namun nyatanya dia punya seorang teman pria saat pindah ke Lucis. Mengagetkan sekali."

"O-Oh.. begitu ya."

Prompto baru tahu tentang hal itu. Selama dua tahun ini ia sama sekali tidak bisa membongkar sifat asli Lightning. Wanita itu terkadang asam, manis, asin, bahkan tidak jarang bersikap cuek dengan omongannya yang pedas dan singkat itu. Lightning itu seperti semua makanan favorit dunia yang dicampur menjadi satu. Namun itu lah daya tarik tersendiri miliknya, jarang sekali Prompto bisa menemukan wanita macam Lightning. Kalau sudah baik ia akan melakukan hal baik pula sampai tuntas.

"Eh, ngomong-ngomong. Apa Lightning punya pacar di Lucis? Kau bilang kau ini temannya kan?"

Mendengar ucapan Serah yang seperti itu membuat kedua telapak tangan Prompto basah dengan keringat dingin. Bukan sebuah kepanikan yang melanda dirinya, tetapi rasa-rasanya lebih mirip dengan membiarkan sebuah pisau terlempar tepat pada dadanya. Rasanya sakit sekali. Ya, mengingat kalau Lightning selalu saja mengikuti Noctis, walau Lightning sesungguhnya bukan lah tipe wanita seperti Stella, namun Prompto juga merasa cemburu saat Lightning selalu mementingkan Noctis sebagai prioritas utamanya.

"A-ah! Soal itu aku kurang tau." Singkat kalimat untuk menjauhkannya dari pembicaraan macam begitu.

'Oh Dewa! Tolong bicarakan hal lain saja.'

Begitu batin Prompto berteriak atas nama Dewa dan Dewi diatas sana. Namun dari wajah Serah, kelihatannya dia belum puas mendapatkan jawaban begitu dari Prompto. Semakin ia tatap kedua mata perempuan itu, semakin gugup pula dirinya karena takut ditanya tentang hal yang sangat sulit baginya tuk memberikan jawaban.

Namun bukan sebuah pertanyaan yang keluar lewat mulut Serah, melainkan sebuah kekehan. Prompto agak bingung dengan apa yang dimaksud oleh gadis itu. Kenapa tertawa? Si pirang hanya bisa melempar ekspresi bingung pada lawan bicaranya.

"Kau tahu? Yang aku lihat dari mu jauh dari apa yang kau katakana padaku. Kau menganggap Light lebih dari teman ya?"

Sekali lagi, Prompto merasa dadanya telah ditancapkan sebuah pisau, namun kali ini ukurannya lebih besar. Pernyataan itu membuat mulutnya bungkam, kedua iris biru milik pemuda itu mengecil saat menatap pada lantai dengan pandangan kosong. Ia dibuat terdiam bak patung kesatria Veritas didalam kuil Lindzei.

Kenapa perbincangan ini mengarah pada status yang lebih buruk? Serah tidak tahu jika Prompto mulai sakit jika diingatkan dengan masalah itu. Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu sangat sakit. Ingin ia buang perasaan itu jauh-jauh, namun apa daya? hati selalu menginginkan apa yang ia mau.

Dengan berat napas Prompto baru bisa membuka mulutnya untuk menjawab. "Aku tidak menyukainya dalam segi itu. Aku menyayanginya sebagai teman."

Begitu, ya, Prompto akan membuat perkataan itu semakin jelas. Ia tidak mau memaksa Lightning untuk berbalik mencintainya, seorang perempuan memang seharusnya mendapatkan lelaki yang mereka rasa baik untuk kehidupan mereka.

Prompto bukan orang yang menyerah sebelum berperang. Ia tidak bermaksud seperti itu, tidak, ia akan tumbuh dengan lebih dewasa dari apa yang ia alami. Sebuah penolakan samar dari Lightning, ini sudah cukup untuk menyadarkannya. Prompto akan menjadi pribadi yang dewasa, ia tidak mau membuat sahabatnya sendiri terjungkir, juga tidak mau membuat wanita yang ia sayangi merasa terusik. Kasih sayang itu cukup lewat hati saja, sebuah pemaksaan hanya berujung kesialan yang akan terjadi di masa depan.

~Ω~

Noctis memutuskan untuk terduduk sesaat, memulihkan seluruh tenaga yang telah ia kuras dalam tubuhnya. Lightning hanya terdiam dan duduk tidak jauh dari pangeran bersurai hitam itu.

"Lalu bagaimana kita keluar dari tempat ini?"

Spontan, Noctis merasakan sebuah bayangan melewat dihadapannya. Aroma kuat yang tercium seperti buah apel mulai berhembus disekitarnya. Tiba-tiba saja sebuah kekehan anak kecil yang terdengar familiar menyambut kuping Noctis.

Samael muncul dihadapan Noctis sambil memasang senyum seraya menyodorkan buah berkulit emas pada genggaman tangannya.

"Buah dari pohon Yggdrasil adalah satu-satunya kunci untuk mengeluarkan kalian dari tempat ini."


"O'er rotted soil. Kepada tanah yang terlahir untuk berdampingan dengan langit dan lautan. Dikala senja tiba, dikala mentari telah terlelap, dikala lingkar hidup berhenti untuk berkembang. Kalian lah yang akan menjadi saksi bisu saat mereka, mahluk berakal budi melaung ketakutan mereka bagai waham yang tak berujung."

"Time Finish, has arrived."


To be continued.