Masih dalam 'feels' Hamada bersaudara, gambar pun tak cukup, aku ingin menuangkan versi lebih 'lengkapnya' dalam tulisan. Ini headcanon yang ada dalam otakku. No movie spoiler. Set before the movie happens.

ENJOY !


PART 1

Tidak ada yang aneh dalam hubungan kakak-beradik Hamada. Super jenius Hiro yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Lanjutan di umur 12 tahun. Tadashi yang selalu menduduki peringkat pertama dan memenangkan berbagai kompetisi robotik dan sains. Hamada bersaudara bisa dikatakan hadiah dari tuhan untuk kedua orangtuanya. Orangtua baik hati yang selalu mengingatkan kedua putranya agar terus bersikap rendah hati. Satu hal yang membuat Tadashi selalu bersyukur adalah mereka memberinya adik laki-laki.

Kalau bukan karena Hiro masih ada disampingnya, ia tak tahu apakah hidupnya akan tetap bahagia sepeninggal kedua Hamada senior. Hiro memberinya semangat dan tujuan hidup. Menyayangi dan melindunginya. Tidak ada seorang pun didunia ini yang membuat hidupnya berwarna kecuali Hiro. Oke, statemen barusan mungkin terdengar aneh tetapi tak ada istilah lain yang bisa menjelaskan hubungan keduanya selain bahwa mereka merasa 'klik'

Seperti 2 potongan puzzle yang menyatu.


"KEJUTAN!"

Hiro dan Tadashi yang masih memegang tas ransel mereka hanya bisa melongo melihat kamar baru mereka. Tadashi berbisik 'wow' sambil menggelengkan kepalanya takjub dan Hiro masih melongo disampingnya. Bibi Cass kemudian memeluk mereka erat dari belakang yang membuat Hiro berteriak kecil.

"Aku harap kalian suka kamar baru ini!" Cass tersenyum malu sambil sesekali tertawa kecil melihat ekspresi wajah Hiro yang memandangnya kagum. "Aku berjuang keras untuk menata dan menghias kamar kalian, loh." Ia melepas pelukan super erat dari dua ponakan tersayangnya, maju berjalan kearah tengah kamar dan lalu melebarkan tangannya. "Masih ingat dulunya ini tempat apa, Tadashi?"

Remaja tinggi itu kemudian tertawa kecil. Hiro menatap kakaknya dengan alis penasaran.

"Aku tidak tahu kamar ini lebih tepat disebut apa pada saat itu... selain gudang yang terkena bencana alam."

Wanita dihadapan mereka tertawa keras membuat ponakannya terjingkat kaget, ia mengangguk pelan dan berbalik membelakangi mereka. Cass berjalan pelan kearah jendela dan memandang keluar dimana musim semi menunjukkan keindahannya, pohon sakura dan pohon lain yang menghiasi jalan melambai terkena angin. Ia lalu menceritakan tentang suaminya yang suka bertualang keluar negeri dan membawa barang-barang antik pulang, memenuhi rumah dengan barang yang tak berguna, kamar di loteng yang memang untuk gudang jadi penuh dengan barang-barang itu. Sepeninggal suaminya, bibi Cass dengan lega menjual semua barang antik di kamar ini dan tak disangka mendapatkan keuntungan yang besar. Hiro mendengar dengan seksama disamping Tadashi, mereka berdua duduk dengan manis di kasur Hiro, mendengarkan bibinya menggali kisah lucu tentang almarhum suaminya. Tadashi sesekali menambahi cerita yang ia ingat tentang paman Hiro yang sama sekali belum pernah bertemu karena si kecil Hiro belum lahir saat itu. Cass menutup cerita mereka dengan senyum ketika Hiro mulai kelihatan lapar.

"Aku benar-benar bahagia kalian akan tinggal bersamaku." Memandang dua keponakan lelakinya yang tampan, bibi Cass berjalan pelan dan memeluk mereka erat. Dua pasang tangan yang kuat balik memeluknya. "Kadang kita harus merelakan orang yang kita cintai pergi, dan tetap menjalani hidup meski kadang kekosongan yang ditinggalkan mereka membuat sesak. Tapi, hei! 2 tahun yang lalu pamanmu meninggalkanku dan aku masih bisa menceritakan kisah tentang dia dengan perasaan yang bahagia. Kalian masih punya masa depan yang panjang dan menyenangkan! Kedua orang tuamu pasti bangga ketika melihat kalian tumbuh sehat menjadi pria yang tampan."

Cass melepas pelukannya dengan mata berkaca-kaca lalu mencium dahi kedua ponakannya dengan kecupan yang bersuara. Hiro tersenyum kecil dan balik mencium pipi bibinya. "Aku akan biarkan kalian menjelajahi kamar baru ini dan aku akan menyiapkan makan siang." dengan kedipan, bibinya itu melambai dan menuruni tangga. "Turun ya kalau kalian sudah selesai menjelajah!"

Tadashi membalas teriakan bibinya lalu melirik Hiro yang terdiam disebelahnya. Ia tahu Hiro merasa nervous selama perjalanan menuju rumah Cass. Siapa yang tidak? Rumah yang mereka tinggali selama ini beserta perabotannya telah dijual untuk tabungan dan keperluan pendidikan kedua remaja itu. Mereka tidak punya tempat lain selain bibinya. Meski Cass adalah keluarga terdekat yang mereka punya, selain om dan tante yang tinggal di Swedia. Tidak ada kakek dan Nenek dari keduanya. Tadashi dan Hiro tidak punya siapa-siapa lagi didunia ini.

Hiro yang baru beranjak 12 tahun, hanya punya kakaknya. Tadashi yang berumur 17 tahun, hanya punya Hiro. Remaja kecil disampingnya memainkan ujung kemejanya, menarik-narik benang yang muncul disana. Ia kelihatan masih nervous. Memandang sekeliling kamar dengan mata cokelat yang brilian, pandangannya berhenti pada kakaknya yang sedang memandang Hiro dengan lembut. Bibir tergigit, ia lalu berbisik pelan.

"Tadashi, cium aku."

"Hiro-"

Hiro menarik lengan cardigan Tadashi. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia berbisik pelan memanggil nama kakaknya. Rambutnya yang mulai panjang tak beraturan menyentuh ujung dagunya, menggelitik. Dengan helaan nafas, Tadashi menarik tubuh adiknya mendekat hingga ia duduk dipangkuannya. Hiro yang mungil, Hiro yang manis.

"Aku kangen mereka…"

"Yeah, Hiro. Aku juga." Tadashi bisa mendengar suara bibi Cass dilantai bawah sedang menggumam lagu sambil sesekali bunyi alat-alat masak berdentingan. Hiro ikut memalingkan wajahnya kearah tangga, tak ada privasi, tak ada alarm jika Cass tiba-tiba naik keatas. Adik lelakinya kembali menatap Tadashi dengan mata lebar yang indah, tertutup dengan rasa khawatir yang melingkupi wajahnya.

"Aku mengerti kita harus ekstra hati-hati tapi aku membutuhkanmu sekarang." Melihat ekspresi ragu di wajah kakaknya, Hiro menambahkan kata yang takkan bisa Tadashi tolak. "Please…"

"Hanya satu kecupan."

Hiro tidak berkomentar apa-apa karena dia tahu satu kecupan tidak pernah cukup bagi mereka.


Ciuman pertama Hiro terjadi dihari kematian kedua orangtuanya. Telpon dari rumah sakit yang mengabarkan berita duka, Tadashi yang gemetar melepas gagang telpon. Hiro turun dari tangga melihat kakaknya menangis sesenggukan dilantai, ia berbisik memanggil kakaknya khawatir. Tadashi terjingkat, menoleh pelan memandang wajah adiknya lalu berdiri dan berlari memeluk Hiro erat dengan tangis lepas. Tadashi yang cool, Tadashi yang dewasa, Tadashi yang baik hati, Tadashi yang sabar, menangis dipelukannya. Hiro seketika mengerti. Bahwa mereka telah ditinggal pergi selamanya.

"Tadashi."

"Kecelakaan." Kakaknya berbisik ditelinganya dengan suara serak. "Tabrakan beruntun." Tadashi berhenti bicara. Satu detik dua detik, Hiro merasakan lehernya basah oleh airmata Tadashi dan tanpa ia sadari mereka berdua menangis sesenggukan dalam pelukan masing-masing. Beberapa menit kemudian yang terasa seperti selamanya, ia melepas cengkraman eratnya pada Hiro. Tadashi merasa kakinya kram karena ia harus berlutut untuk memeluk Hiro, tidak tahu berapa lama, tapi luka hatinya masih terasa nyeri. Ia memerangkap kedua sisi wajah Hiro untuk menatap wajah adiknya. Mata coklat lebarnya yang sembab semakin membuat renyuh. Tadashi menghela nafas dan mencium air mata yang masih menetes di pipi Hiro, sesenggukan, si kecil Hamada melepaskan tangannya yang masih melingkar di leher kakaknya, dan menyentuh kedua pipi Tadashi juga. Meniru apa yang dilakukan kakaknya.

"Tadashi…"

"Hiro, aku-" Tadashi menatap kedua mata adiknya lekat. "Aku tak bisa kehilanganmu juga. Oh… tuhan," ia menghentikan perkataanya untuk menarik nafas. Suara kedua hela nafas mereka memecah kesunyian di malam gelap itu.

"Jangan tinggalkan aku sendiri."

Keduanya mencengkram leher masing-masing dengan perasaan penuh rasa putus asa terhadap takdir. Ciuman lembut dibibir yang mengikuti setelah itu terasa seperti sesuatu yang seharusnya terjadi sejak lama. Semuanya terasa 'klik'

Seperti puzzle yang akhirnya menemukan bagiannya yang lain.


Tadashi tahu perkembangan hubungan diantara Hiro dan dirinya takkan dipandang normal oleh siapapun. Termasuk bibinya, Cass, meskipun dia adalah yang paling mengerti betapa dekat hubungan mereka berdua, tetap saja akan terasa tidak nyaman jika Cass sampai memergoki mereka. Selalu berhati-hati adalah salah satu cara untuk menjaga rahasia diantara mereka, selain alarm hasil buatan si Hiro.

"Aku taruh 'alarm touch'itu di anak tangga pertama. Jadi ketika kita mau-" Hiro membuat simbol tanda petik dengan kedua tangan mungilnya, "you-know-what. Tombol di jam weker ini tinggal diaktifkan saja. Jam weker- tetapi dengan wireless- ini akan berbunyi ketika bibi atau seseorang naik keatas disaat kita sedang…" Hiro membuat simbol itu lagi, membuat Tadashi tertawa kecil.

"Brilian, Hiro. Seperti biasa." Tadashi mengecup bibir Hiro cepat, membuat Hiro mengedipkan matanya kaget lalu cemberut.

"Sneaky."

Tadashi mengacak-acak rambut adiknya dengan sayang, mengecupnya didahi sedetik kemudian.

"Aku akan pulang larut malam nanti. Jangan menungguku lagi."

Hiro mengernyitkan dahinya. Ia mengamati Tadashi memasukkan beberapa buku dan kertas kedalam tas ranselnya, berjalan kesana kemari mencari kaos kaki yang ia lempar entah kemana, memasukkan kaos merah dan putih favoritnya. Hiro merebahkan diri dikasur melihat Hamada tertua itu sedang sibuk sendiri.

"Kalau aku gak tahu kau mau kekampus, aku pasti menduga bahwa kau mau pindah rumah."

Tadashi berhenti mencari sesuatu dilemarinya dan memandang Hiro dengan alis naik. "Aku hanya membawa beberapa baju ganti karena berkeringat ketika sedang merakit robot dan melakukan banyak hal di laboratorium itu cukup mengganggu kenyamanan."

"Uh-uh"

Tadashi membalikkan badannya untuk menatap Hiro penuh, yang sedang terlentang dikasurnya dengan ekspresi serius, dahi berkerut dan memainkan ujung kaosnya.

"Hiro," Remaja tinggi itu menghela nafas dan mendatangi adiknya yang sedang merengut. "Ada apa?"

"Kau tahu ada apa. Kau hampir tidak pernah pulang sore beberapa hari ini. Aku jarang melihatmu kalau tidak bangun pagi atau tidur larut. Ugh, terserah." Hiro membentuk garis lurus dibibirnya, melihatkan rasa kecewanya. "Apa kau… bosan denganku?" ia berbisik pelan sambil membalikkan badan, membelakangi kakaknya. Remaja tinggi itu membelalakkan matanya mendengar sayup kalimat yang terucap dari bibir Hiro. Ia menjatuhkan tas ranselnya dan mendatangi Hiro.

"Hei, hei. Kenapa kau berpikir seperti itu, Hiro? Hei, ayolah tatap aku." Tadashi menaiki kasur adiknya dan merebahkan diri disampingnya. Hiro tidak bergeming. Tadashi melingkarkan tangannya dan memeluk Hiro dari samping. Dada dan punggung mereka bertemu. Ia bisa merasakan detak jantung Hiro berdegup kencang, Tadashi bahkan bisa mendengar degup jantungnya ikut berlomba.

"I don't know! Maksudku… kau mahasiswa dan aku masih disekolah. Aku gak punya teman disini karena aku anak jenius yang masih bocah. Dan kau menghabiskan banyak waktu di Universitas. Bibi Cass dari siang sampai malam sibuk dengan café. Mochi suka tertidur kalo aku ajak main. Aku tidak mood ber-eksperimen. I'm bored!"

Tadashi terdiam mendengar Hiro mengungkapkan isi hatinya, ia mempererat pelukannya, mempersilahkan Hiro melanjutkan.

Hamada kecil menambahkan dengan berbisik pelan "Dan akhir-akhir ini kau tidak pernah menciumku lebih lama dari 10 detik." Ia terdengar sangat kecewa. Tadashi ingin tertawa kalau saja ia berani.

"Apa kau punya pacar, Tadashi?"

"HUH?!" oke pertanyaan barusan diluar dugaan Tadashi.

"Ugh, lupakan. Aku terdengar seperti bocah cengeng yang cemburu." suara Hiro sedikit teredam, rupanya ia menutup mulutnya dengan tangan. Tadashi merasa dadanya hangat mendengar pengakuan Hiro. Ia meniup tengkuk Hiro pelan yang membuat bocah dipelukannya menggeliat.

"Tadashi! Aku serius!"

"Bonehead."

Hiro menoleh mendengar kakaknya menyebut nickname itu. Nickname yang sering disebut jika Hiro melakukan hal-hal yang sembrono dan bodoh. Ia membuka mulutnya untuk balik mengejek Tadashi tetapi badannya tiba-tiba tersentak ketika ia merasakan tengkuknya dicium. Hiro membelalakkan matanya.

"A-apa?"

"You're bonehead. Yang berarti idiot."

Kedua lengan yang melingkari pinggangnya berusaha untuk mengubah posisi Hiro. Hamada kecil mencoba mempertahankan sedikit gengsi yang ada dengan bersikeras tidak mau membalik badan. Tadashi lalu menggelitiknya.

"Tak ada yang lain bagiku, bodoh. Kau tahu itu."

Ia tersenyum melihat telinga Hiro memerah. Adiknya itu lalu membalik badannya dengan pelan dan wajah yang pink. Tadashi mengecup rambut Hiro dan memeluknya lagi, dengan posisi kepala Hiro menempel didadanya.

"Serius?" suara Hiro bergema didadanya.

"Uh-huh."

"Jangan menghabiskan banyak waktu di Universitas, please."

"Ah, tentang itu…"

Mendengar nada ragu milik Tadashi membuat Hiro mendongakkan kepalanya. Tadashi memalingkan wajahnya, ia terlihat seperti ingin membuat alasan lain.

"Apa?" Hiro mengernyitkan dahinya melihat kakaknya seperti merasa bersalah. "Hei! Kau menyembunyikan sesuatu!"

"Tidak. Aku hanya- OH CRAP!" Hiro terlonjak kaget mendengar kakaknya mengumpat. Ia melepaskan pelukannya dari Hiro dan lalu meloncat meraih tas ranselnya. "Oh tidak, Hiro maafkan aku. 20 menit lagi kelas Prof. Callahan dan ini kelas penting bagiku. Aku harus mengebut kesana sekarang." Tadashi kemudian berlari turun dari loteng kamar mereka, meninggalkan Hiro yang masih dalam posisi terlentang dikasurnya.

"What the he-"

Belum sempat Hiro selesai mengumpat kesal, Tadashi berlari lagi keatas. Suara derap kakinya keras diikuti oleh teriakan Mochi yang kemungkinan ekornya diinjak olehnya. Hiro mengernyitkan dahi ketika Tadashi tidak berhenti berjalan cepat kearahnya. Dan Hiro mengerti kenapa ketika melihat ekspresi Tadashi yang lansung menaiki kasur dan menindih tubuh Hiro.

"OMPH!"

"Ahaha sory!" Tadashi tersenyum kecil melihat ekspresi Hiro yang seketika memerah padam. "Aku ingat kau rindu pada ciuman lebih dari 10 detik milikku?"

Hiro mendengus, menutupi rasa malunya. "Diam kau." Ia kemudian dengan senang hati menarik kerah baju kakaknya. Bibir mereka bertemu dengan lembut (dalam kasus Tadashi) dan liar (dalam kasus Hiro). Tadashi tak habis pikir bagaimana bisa adiknya berubah dari bocah pemalu menjadi super seksi. Sudah 5 bulan sejak hubungan mereka berubah dari kakak-beradik menjadi lebih spesial, 5 bulan sejak ciuman pertama yang mengubah segalanya, 5 bulan sejak mereka belajar bahwa tidak ada seorangpun yang bisa meyakinkan Tadashi bahwa incest itu salah. Ketika yang bisa menghibur luka hatinya hanya dalam sedetik, dan hanya dengan kecupan kecil di bibir adalah Hiro. Yang sekarang sedang menjilat bibirnya malu. Tadashi mengerang pelan melihat adiknya mencoba french kiss.

Pada akhirnya Tadashi telat 5 menit masuk kelas. Best time ever.

tbc


Aku menulis ini dari jam 2 siang tadi sampe jam 8 malam dan aku hanya menghasilkan 2K. You don't know how many time i want to just skip to the sexy time uuhuhuhuhu. Please enjoy and review! Sudah lama sekali tidak menulis fanfiction lagi, aku merasa tua.

R&R