Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya
Alternate universe, omegaverse.
"Arthur."
Ia mengangkat kepalanya, sejenak menghentikan kegiatannya membaca. Elizabeta berdiri di dekat pintu. Kalau bukan karena ekspresi bimbang yang terpapar jelas pada raut wajahnya, Arthur akan mengira telah terjadi sesuatu di ruang perawatan sampai-sampai omega itu pergi menemuinya sepagi ini. Tapi wanita itu pun tidak terdengar terburu-buru dalam langkahnya, jadi ini pasti bukan situasi darurat.
"Err... kau tidak― pergi ke depan?" Kalimatnya sengaja dibiarkan menggantung tanpa penjelasan. Arthur sudah tahu apa maksudnya.
Ia terdiam sejenak; menelan ludah, lalu menggelengkan kepala pelan.
"Tidak."
Memang apa gunanya? Dia ingin menambahkan, tapi tidak jadi. Untuk saat ini, dia tidak perlu Elizabeta membuatnya membuka mulut dan bercerita. Masih ada sedikit sesak di dadanya, dan ia belum ingin membaginya dengan Elizabeta.
"Ah, baiklah kalau begitu. Aku hanya― dia terlihat seperti... mencarimu. Mungkin karena kau tidak muncul saat sarapan tadi." Omega wanita itu mengalihkan perhatiannya, memandang jauh ke lorong yang memanjang, seperti mengharapkan sesuatu akan muncul dari ujungnya. Seseorang.
Arthur hanya menggumam. Ia kembali beralih ke bukunya. Terlihat seperti membaca, padahal sejak tadi dia tidak fokus. Matanya hanya memindai kalimat demi kalimat yang tercetak pada kertas, tanpa benar-benar memperhatikannya.
"Oh, iya. Kemarin aku baru saja mendata obat-obatan yang kita dapatkan. Kalau kau merasa heat-mu sebentar lagi dan tidak ingin melaluinya, temui aku, oke? Atau... ada ruang kosong di ujung lorong lantai teratas. Memang bukan ruangan khusus, tapi biasanya kami menggunakan itu."
"Ah, terima kasih sudah memberitahuku. Biar aku pertimbangkan dulu." Arthur merasa mukanya sedikit memanas, tapi ia tetap menganggukkan kepala kepada Elizabeta.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Oh, tadi Lily mencarimu. Sepertinya dia akan menceramahimu karena melewatkan sarapan, jadi cepat temui dia. Kau tidak mau mendengar gadis itu mengomel, Arthur. Percayalah padaku."
Ia hanya tersenyum tipis.
Setelah Elizabeta membalikkan badan, lengkungan senyumnya seketika menghilang.
Arthur meletakkan buku di atas tempat tidur dan bangkit, berjalan mendekat ke arah jendela. Di luar sana tampak beberapa tentara Amerika melangkah pergi menuju pelabuhan. Dilihat dari lantai dua, mereka semua terlihat sama, berseragam biru tua dan bertopi. Tapi pandangannya tertuju pada satu orang. Arthur seperti sudah hafal betul perawakannya. Tidak salah lagi.
Tangan kanannya terangkat naik. Meraba dog tag yang tersembunyi di balik bajunya. Logam itu terasa dingin mengenai kulitnya.
Dia salah melakukan perhitungan.
Arthur merintih pelan, genggaman tangan kanannya pada selimut mengerat hingga buku-buku jarinya memutih. Sekujur tubuhnya terasa panas dan berdenyut. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan sensasi aneh yang terus-menerus menderanya. Yang memaksanya menggesekkan diri dengan selimut di bawahnya. Sesuatu yang membuatnya sepuluh kali lipat lebih sensitif dari biasanya.
Kemarin instingnya menyuruh untuk menyusun bantal dan selimut di sudut ruangan. Dalam kondisi normal ia akan bertanya-tanya, apa yang sedang ia lakukan. Tapi kali ini Arthur terlambat melakukan tindakan pencegahan; sistem hormonalnya terlanjur mengambil alih. Entah memang dia yang salah melakukan perhitungan, atau siklusnya kali ini tidak berjalan normal. Pagi ini ia bangun dengan perasaan tidak nyaman; cairan licin mirip lendir telah mengaliri pahanya.
Sepuluh menit yang lalu Lily datang dengan membawa sarapan. Gadis itu sedikit terkejut melihatnya bertingkah tidak biasa. Setelah meletakkan nampan di meja, ia langsung pergi dan menutup pintu. Arthur tidak menyangka gadis itu akan kembali lagi. Kali ini bersama Elizabeta. Dia tidak mendengar jelas apa yang mereka berdua katakan kepadanya, terlalu sibuk mencari cara untuk meredakan rasa tidak nyamannya. Kemudian dua omega wanita itu pergi, setelah berbisik entah apa di telinganya. Pintu dikunci dari luar.
Setelah satu kali orgasme baru Arthur merasa sedikit tenang.
Biasanya dia tidak sekalut ini saat mengalami heat. Bahkan biasanya Arthur mendengar jelas gerutuan Dylan dari balik pintu, sengaja diserukan dengan suara keras untuk mengganggunya. Kemudian alfa itu akan mengaduh, entah diperingatkan Aiden atau dipukul Allistor. Dylan berani mengganggunya karena kamarnya berperedam khusus, sehingga baunya tidak keluar dan mempengaruhi ketiga kakak alfanya. Arthur tidak tahu seberapa kuat pengaruhnya, tapi ia mulai merasa khawatir.
Bagaimana kalau baunya tercium sampai puluhan meter dan mengundang alfa lain yang kebetulan ada di sekitar tempat ini? Dalam kondisi seperti ini dia tidak mungkin menolak alfa yang datang kepadanya. Bahkan tentara Jerman sekali pun. Bagaimana kalau tidak hanya satu alfa, tapi satu regu?
Arthur bergidik ngeri. Saat-saat seperti ini dia memang tidak bisa berpikir dengan benar.
Ia mendesah, tangannya mengusap-usap sprei dengan gerakan pelan. Denyutannya mulai terasa lagi. Selama tiga hari ke depan ia masih akan terus menderita. Tangannya terangkat dan menyentuh dog tag yang melingkari lehernya. Menggenggamnya erat dan membawanya mendekat ke hidung untuk dihirup dalam-dalam. Samar-samar masih tertinggal bau Alfred. Arthur memejamkan mata dan mengerang pelan. Pikirannya kembali berkabut tebal.
Sebelumnya dia tidak pernah dekat dengan alfa lain, jadi tiap kali mengalami heat tidakada orang tertentu yang terlintas dalam benaknya. Yang terpikirkan olehnya saat itu adalah siapa pun. Alfa tanpa nama yang akan mengisinya. Lagipula tidak ada benda-benda berbau alfa asing di sekitarnya. Tapi kali ini berbeda. Arthur enggan mengakuinya, tapi ia merapalkan nama Alfred sejak tadi. Hanya desahan pelan, dia terlalu sering diganggu oleh Dylan hingga terbiasa tidak bersikap vokal. Dia harus berterima kasih pada kakak termudanya, karena kalau tidak, sudah pasti Arthur menyerukan nama Alfred dengan lengkingan penuh harap. Memalukan.
Dan kali ini ia memegang semacam memento dari alfa Amerika itu. Benda berbau alfa semacam ini bisa melegakan, bisa juga menambah frustrasi. Melegakan karena ada bau alfa yang sedikit menenangkan di saat-saat kalut seperti ini. Dan menambah frustrasi karena ini hanya benda mati, bukan alfa yang asli, dan bukan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhannya. Lempeng logam sialan ini tidak bisa membantunya lebih dari ini.
Arthur menggeram dan mengusapkan wajahnya pada sprei yang lembut. Ini akan jadi empat hari yang melelahkan.
Begitu keluar dari persembunyiannya selama empat hari, Elizabeta langsung menyeretnya menuju klinik untuk menangani pasien. Arthur ingin menolak, karena ia yakin feromonnya masih tercium cukup kuat. Biasanya butuh waktu satu minggu hingga sistem hormonalnya kembali normal; atau kira-kira begitu yang dikatakan Aiden. Kalau tidak salah. Tapi begitu melihat jumlah orang yang berkumpul di klinik—hingga membuat tempat itu tampak begitu sempit—ia tidak kuasa mengatakannya. Bahkan Lily dan beberapa omega yang belum pernah ia lihat di klinik kini ikut menangani pasien.
"Apa yang terjadi?" Arthur bertanya sambil memasang sarung tangan karet. Seperti dalam mode autopilot, ia mengambil perlengkapan yang disodorkan Elizabeta dan langsung menangani salah satu alfa yang tidak sadarkan diri. Darah kental mengaliri wajahnya, dari luka sobek lumayan besar di pelipisnya. Ia berjengit saat menyadari ada pecahan kaca bersarang di kulitnya. Jumlahnya tidak hanya satu, ada empat atau lima yang terlihat olehnya. Arthur mengambil pinset dan menarik nafas.
"Tentara Jerman." Dari sudut matanya ia melihat Elizabeta menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka meledakkan pusat kesehatan di London."
Gerakan tangannya sempat terhenti. Tapi begitu alfa yang tidak sadarkan diri di hadapannya mengerang pelan, Arthur tersentak kaget dan melanjutkan kegiatannya mengeluarkan pecahan kaca.
"Aku tahu kau masih belum merasa bugar, tapi aku harus segera menarikmu untuk membantu kami. Maaf." Omega wanita itu terlihat berkonsentrasi menjahit luka terbuka pada seorang alfa.
"Tidak. Aku yang harusnya minta maaf karena salah membuat perhitungan dan merepotkan kalian."
Arthur hanya bisa membayangkan betapa sibuknya mereka di sini, sementara ia di atas dan memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang. Pantas Lily selalu tampak terburu-buru. Dan ia merasa keadaan di bawah lebih ramai dari biasanya. Sekarang ia merasa bersalah. Kalau saja ia memperhatikan siklusnya dengan benar, ia bisa jauh meringankan beban mereka. Elizabeta terlihat begitu lelah. Ada kantung hitam di bawah kedua matanya, dan kulitnya tampak kusam. Rambut coklat yang biasanya digelung rapi kini tampak asal dan keluar-keluar dari ikatannya. Sepertinya wanita itu tidur tanpa menggeraikannya. Bukan tidak mungkin ia hanya duduk sebentar dan memejamkan mata, tidak tidur berbaring dengan layak. Ia belum melihat Tino, tapi beta itu pasti tidak jauh berbeda kondisinya.
"Kau tidak—hoahmn…" Ia menoleh. Elizabeta menutupi mulutnya dan menguap lebar. Darah dari sarung tangan berpindah sedikit mengenai sudut mulutnya. "—ini bukan salahmu. Ini salah tentara Nazi sialan itu." Lagi-lagi Elizabeta menguap.
Arthur tersenyum getir. Ia meletakkan pinset dan mengambil kapas untuk menyeka darah yang terus mengalir dari luka pasiennya. "Kau istirahatlah dulu. Aku akan segera menangani yang lain setelah membalut lukanya."
"Ah. Ya, aku membutuhkannya. Semalaman aku tidak tidur. Maaf Arthur, tapi kalau kau tidak menawarkannya, kau harus merawatku juga. Karena aku merasa akan pingsan sebentar lagi." Wanita itu tersenyum, lalu terhenti untuk menguap lagi.
"Pergilah. Aku tidak mau merawatmu, Nona Hedervary."
"Baiklah. Aku akan berbaring sebentar. Kalau ada banyak orang yang datang lagi segera bangunkan aku, oke?" Wanita itu menepuk pundaknya pelan, lalu pergi sambil menguap lebar. Melihat Elizabeta menguap dari tadi membuatnya ingin menguap juga. Arthur menarik nafas dan meneruskan tugasnya.
Selesai memasang perban, ia beralih pada alfa selanjutnya. Mereka yang lukanya parah sudah selesai ditangani, jadi tinggal yang ringan-ringan saja. Yang ia maksud dengan ringan adalah, mereka masih nampak sadar, meski berdarah-darah dan terlihat tidak fokus. Dan sesekali mengerang.
Alfa di hadapannya memandanginya dengan serius. Cuping hidungnya kembang-kempis seperti mengendus sesuatu. Arthur mencoba untuk tidak menghiraukannya, tapi pria itu mencondongkan badannya ke depan.
"Hei, kau sedang mengalami heat, ya? Mana pasanganmu?"
Arthur menarik nafas dalam-dalam Dia tidak boleh terpengaruh dan berakhir meninju alfa di hadapannya. Ingat, Arthur, dia sedang terluka. Kalau kau memukulnya, dia bisa mati.
"Ah, aku bisa membantu meringankan tekananmu. Melalui heat seorang diri pasti begitu menyiksa."
Sudah cukup.
Ia mengencangkan ikatan perban lalu melemparkan tatapan tajam pada alfa itu. Sepasang mata biru itu mengingatkannya pada Francis si kodok, entah kenapa. Mungkin karena ekspresi mesum mereka sama. Sama-sama menyebalkan dan menjijikkan.
"Bagaimana? Setelah ini kau bebas, kan?"
Hah.
"Arthur? Aku butuh bantuanmu di sini. Aku tidak yakin bisa menjahit lukanya." Lily memanggilnya dari seberang ruangan. Ia sedikit bersyukur atas pengalihan perhatian itu, karena ia baru saja akan menggertak alfa tidak tahu diri di hadapannya. Berani-beraninya dia menggoda Arthur—si bengis—Kirkland. Apakah alfa itu buta dan tidak melihat ekspresi masam yang ia tunjukkan?
"Tunggu sebentar. Aku akan segera ke sana." Senyuman yang Arthur tunjukkan pada Lily langsung menghilang begitu ia kembali berhadapan dengan alfa ini, yang seringaiannya kini melebar. Arthur menarik rantai dog tag yang ia pakai dan mendekatkan lempengan logam itu ke muka alfa berambut pirang keruh tersebut. "Maaf, Tuan prajurit, tapi pacarku akan segera kembali. Terima kasih atas tawaranmu yang tidak menarik itu."
Ia mendengus puas begitu melihat mata alfa itu membulat.
"I-itu kan—Amerika?"
"Karena kau sudah baikan dan bisa menggoda orang lain, kuharap kau segera meninggalkan klinik ini. Masih banyak pasien yang harus aku tangani. Selamat siang."
Arthur bangkit berdiri dan menuju ke kasus berikutnya. Ia sengaja tidak menyembunyikan lagi dog tag yang ia pakai. Membiarkannya memantulkan sinar matahari yang hangat, membuatnya tampak berkilauan. Arthur selalu suka sensasi dingin saat logam menyentuh kulitnya, tapi ia lebih suka mendengar bunyi gemerincing saat logam beradu dengan kancing bajunya.
Arthur tersenyum dan membayangkan pemakai lempeng logam yang satunya.
AN : Huwwaaah… sudah berapa bulan ya? Ah, gomen ne… saya nggak akan banyak beralasan. Tapi saya mau minta maaf duluan untuk chapter-chapter selanjutnya kalau telat lagi *plak* Saya cuma mau memberi sedikit peringatan, bagi yang mungkin berharap 'lebih' dari cerita aneh ini. Saya suka baca smut, suka banget malah *serasa tanpa dosa* Tapi saya hanya baca smut in English. Saya nggak bisa baca smut Bahasa, dan saya benci nulis smut. Saya merasa begitu bodoh, mesum, aneh dan hina kalau baca smut yang saya tulis sendiri. Jadi… ya. Ini omegaverse, tapi seperti biasa saya nggak akan deskriptif. Maaf kalau saya menggiring plotnya ke adegan smut yang 'wah' tapi selalu saya skip dengan berbagai alasan. Maaf, saya nggak bisa nulis cerita stensil.
Duh, malah jadi random ngomongin tema yang belum ada. Pokoknya saya minta maaf, maaf karena saya menelantarkan ini selama 6 bulan dan muncul lagi dengan sesuatu yang pendek, nggak jelas dan membosankan, orz orz orz