Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya
Alternate Universe, omegaverse. For Ryanryan-kun. Enjoy.
Berkas-berkas sinar mentari pagi yang hangat menerobos dari balik tirai putih, jatuh tepat mengenai wajah pucat sosok yang terbaring di atas tempat tidur besar. Selimut tebal membelit di kakinya. Setengahnya telah jatuh teronggok di atas lantai marmer yang dingin; hasil pergulatan hebat di alam mimpi.
Pintu terbuka dengan derit halus dan seorang pemuda berambut merah darah masuk. Ia memutar bola matanya, menarik tirai dengan cepat dan mengumpulkannya di ujung jendela. Sekarang tak ada lagi yang menyaring pancaran matahari; apalagi karena jendelanya pun telah dibuka lebar. Sosok yang terbaring di atas ranjang mengerang pelan, membalikkan badannya memunggungi arah datangnya sinar matahari.
"Bangun, pemalas!"
Si rambut merah menarik paksa selimut tebal berwarna putih susu, tidak peduli menjerat kaki sosok yang masih tidur, sedikit menariknya ke pinggiran matras.
"Hngh―"
Lagi-lagi ia memutar bola matanya, melipat selimut dengan cekatan lalu menjatuhkannya di ujung tempat tidur. Kedua tangannya ia letakkan di atas pinggang, memicingkan mata memandangi si rambut pirang yang masih erat memeluk guling. Ada bekas basah di ujung sarung bantal. Ia mengerutkan hidung.
"Aku akan mencekikmu kalau tidak bangun sekarang juga! ARTHUR!"
Teriakannya terdengar membahana hingga burung-burung yang bertengger di pohon apel beterbangan. Arthur menoleh, membuka sebelah matanya. Manik emerald cemerlang yang tampak memerah karena kantuk.
"Go to hell!" Kepalanya segera ia sembunyikan di balik bantal bulu angsa.
Urat berkedut muncul di pelipis kiri si rambut merah. Menggeram, ia melompat ke atas tempat tidur dan menduduki kaki Arthur. Bantal putih dengan bekas air liur di ujungnya itu ditarik paksa, dilemparkan ke sudut kamar. Segenggam rambut pirang gandum ia tarik, mendekatkan Arthur kepadanya.
"Bangun, omega pemalas!" Berteriak tepat pada telinga kiri Arthur.
"Aaaargh, minggir, Allistor! Mati sana!"
Kemudian terjadi pergumulan hebat untuk mengawali hari. Arthur mengangkat tangannya, menarik rambut merah kakaknya. Ketika sudah cukup dekat, ia akan menggigit daun telinga Allistor. Saat alfa itu mengerang kesakitan, Arthur segera melompat turun dari tempat tidur, berlari keluar kamar dengan kecepatan luar biasa. Allistor mengejar tepat di belakangnya, membelasut murka.
"Jangan lari kau, eejit!"
Menoleh ke belakang, Arthur menyempatkan diri untuk menjulurkan lidah mengejek kakaknya. Ia berlari menuruni anak tangga, melompati kayu pengaman dan mendarat di dekat meja. Vas bunga jenjang berisi rangkaian mawar terjatuh oleh goncangan saat tangannya mencari keseimbangan. Airnya tumpah menggenang membasahi taplak meja, tapestry bulu domba kebanggaan Aiden; kakak keduanya.
"Ya Tuhan, apa yang sedang kalian lakukan?!" Dylan―kakaknya yang paling muda―berseru kaget ketika Arthur hampir menabraknya dalam pelariannya menuju tempat yang lebih aman.
"Bocah sialan!" Allistor tidak sebaik Arthur. Ia menyenggol bahu Dylan dengan keras dan terus berlari tanpa permisi, meninggalkan pemuda berambut pirang gelap itu mengusap-usap bahunya sambil mengaduh kesakitan.
Tempat yang lebih aman yang Arthur maksud adalah dapur, dengan Aiden memakai apron bermotif kepala kelinci, tengah mengaduk sepanci sup yang mengepul. Arthur menyambar sebilah pisau dari wadah kayu dan memaksa Aiden memutar badan, ia berlindung di belakang kakaknya yang berambut kemerahan.
"H-hei, apa yang kau lakukan, Arthur?"
Saat itu Allistor muncul, tangannya menggebrak pintu dapur mengumumkan kehadirannya. Sepasang mata emeraldnya memicing tajam.
"Kemari kau, kerdil!"
Arthur memiringkan kepalanya dari bahu Aiden, mengacungkan pisau dapur ke arah Allistor. "Aku akan mencongkel bola matamu kalau kau berani mendekat, Allistor!"
Si rambut merah menggeram dalam. "Aku akan mencabut segenggam rambutmu sebelum kau dapat melakukannya!"
Mengerjapkan sepasang mata emeraldnya, Aiden menoleh bergantian kepada Arthur dan Allistor, lalu menghela nafas. Dengan cepat ia merebut pisau dari tangan Arthur.
"H-hei!"
"Jangan bermain-main dengan benda tajam, Art. Kau bisa mencongkel matamu sendiri."
Melihat Allistor melangkah mendekat dengan seringaiannya, Arthur kembali bersembunyi di belakang Aiden, mencengkeram bagian belakang bajunya.
"Hentikan, Allistor. Kalian berdua kekanak-kanakan sekali. Aku hanya memintamu untuk membangunkan Arthur, bukan membully-nya." Arthur menjulurkan lidah. "Dan kau Arthur, berhenti mengganggu Allistor. Kau sadar kalau ia bisa membunuhmu dengan mudah, kan?"
Arthur mengerucutkan bibir, mendengus kesal.
"Allistor yang mulai duluan! Sekarang telingaku sakit karena diteriaki! Padahal aku hanya ingin tidur 5 menit lebih lama!"
"Dan kau akan menggerutu seharian karena kelaparan, kehabisan sarapan. Cepat pergi cuci mukamu. Kau juga Allistor, telingamu agak berdarah."
"Yes, mum." Si sulung dan si bungsu secara kompak mengatakannya. Mereka saling melempar death glare, kemudian melangkah pergi untuk melakukan perintah Aiden. Si nomor 2 hanya menghela nafas lelah.
"Kau selalu berhasil menenangkan dua monster itu, bro. Aku kagum padamu." Dylan, kembarannya yang lebih muda 7 menit, muncul dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub.
Ia mendengus tertawa. "Oh, kau tidak tahu, Dylan."
"Francis akan datang malam ini untuk bertemu denganmu."
Suara dentingan sendok dengan pinggiran piring porselen terdengar tajam. Aiden berdehem pelan, memindahkan sepotong sosis ke atas piring Arthur yang hampir kosong.
"Monsieur Bonnefoy hanya ingin berbincang denganmu." Ia menawarkan seulas senyum singkat pada Kirkland termuda.
"Ya, mungkin sekalian sedikit merabamu." Dylan mengangkat bahu. Seringaiannya memudar saat Aiden melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
Arthur mendorong piringnya ke tengah setelah meletakkan alat makannya dengan tidak begitu lembut. Sepasang mata emeraldnya nampak menuduh, memandangi ketiga kakaknya secara bergantian.
"Aku tidak sudi menemui kodok itu. Dia boleh kembali ke negaranya dengan tangan kosong, aku tidak akan mau menikah dengannya!"
Allistor meletakkan sendoknya, menghela nafas pendek. Matanya mengeras. Aiden dan Dylan menelan ludah. Kedua alfa itu hanya memandangi piring di hadapan mereka, tidak berani menyela. Hanya Arthur yang tak menundukkan pandangannya, tanpa gentar melibatkan diri dalam adu mata melawan Allistor.
"Mulailah belajar untuk bersikap sebagaimana omega semestinya! Usiamu hampir 18 tahun dan tidak ada alfa yang mendekatimu karena sikap kurang ajarmu itu! Kau manja dan tidak bisa melakukan apa-apa, harusnya kau malu pada Aiden karena dia lebih pandai memasak daripada dirimu!" Yang disebut namanya hanya berjengit, tidak berani menyela. "Sampai kapan kau akan terus bermain-main, hah? Semua omega seusiamu sudah berkeluarga! Sampai kapan kau akan terus tinggal di rumah ini?!"
Dylan tak lagi menyendokkan makanan ke dalam mulutnya, meski perutnya masih lapar. Sarapan mereka memang tak pernah berlangsung khidmat. Arthur dan Allistor lebih banyak beradu mulut daripada mengunyah. Tapi biasanya si rambut merah itu tidak sungguh-sungguh, hanya gertakan sambal untuk meladeni si bungsu. Namun pagi ini berbeda. Nada bicaranya tegas dan serius. Mukanya ditekuk. Omega kebanyakan akan mendengking ketakutan melihatnya.
Arthur mengepalkan tangannya. Pandangannya pada Allistor sempat goyah, tapi tidak lama. Ia bangkit dari kursi dengan cepat, menimbulkan bunyi berderit tajam karena gesekan kaki kursi dengan lantai.
"Persetan dengan semua itu! Aku akan keluar dari rumah ini kalau memang itu kemauanmu! Tapi aku tidak akan menikah dengan Francis! Cih!" Sebelum salah satu dari si kembar dapat mencegahnya, Arthur telah lebih dulu menggebrak meja makan dan berlari menaiki anak tangga. Lalu terdengar bunyi berdebum bantingan pintu.
"Tsk, kenapa anak itu harus bersikap sulit?!" Allistor menggeram kesal. "Kau terlalu memanjakannya, Aiden!" Ia menyalak marah, membuat Aiden berjengit.
"Err, kau tahu sendiri bagaimana Monsieur Bonnefoy, Kak. Mungkin dia memang temanmu, tapi jujur saja, aku keberatan kalau kita harus memberikan Arthur pada orang mesum itu." Dylan berujar, mengangkat bahu.
Allistor menghela nafas, menghempaskan badannya ke belakang. Kedua tangannya ia lipat di depan dada.
"Apa kita punya pilihan? Kalau ada alfa lain yang lebih baik dari Francis dan mau menerima omega tidak tahu diri itu, aku tidak akan berpikir dua kali. Dan kita tidak mungkin meninggalkannya sendiri."
Perhatian ketiga alfa itu tertuju pada amplop di atas meja di sudut ruangan. Panggilan untuk pelayanan militer.
Arthur sudah tahu sejak dulu kalau dia tidak akan hidup dengan tenang.
Sejak kematian ibunya 12 tahun yang lalu, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain ketiga kakak laki-lakinya. Ketiga alfa yang sama sekali tidak punya ide tentang bagaimana membesarkan seorang omega. Jangan salahkan Arthur kalau dia tumbuh besar menjadi omega brutal. Dia tidak punya model omega yang bisa ia tiru. Akhirnya Arthur merupakan perpaduan dari sifat kasar dan keras kepala Allistor, sifat iseng Dylan, dan sedikit sentuhan keibuan Aiden (aneh sekali, mungkin Aiden harusnya paling tidak terlahir sebagai beta). Bahkan waktu ia kecil tidak ada alfa yang berani padanya. Arthur si bengis, begitu julukannya dulu.
Dia tidak pernah mengkhawatirkan hal-hal yang sepele baginya seperti pernikahan dan siklus tiga bulanan. Kakak-kakaknya tidak pernah memaksanya belajar memasak, tapi Arthur suka merajut. Satu dari sedikit sekali galur omega-ish yang ia miliki, terima kasih pada hobi aneh Aiden. Dan sepertinya sudah sepantasnya ke-alfa-an Aiden diragukan karena bahkan ia yang menenangkan Arthur saat melewati siklus pertamanya, mengajarinya menyusun sarang dan urusan-urusan sepele omega semacamnya.
Arthur belum memikirkan masalah pernikahan sampai Allistor sendiri yang menyinggungnya, pada ulang tahunnya yang ke-17 beberapa bulan lalu. Waktu itu Francis―si kodok―kebetulan tengah bermalam di rumah mereka dan tak henti-hentinya menggoda Arthur. Oh, bukan cuma kepada Arthur; pria flamboyan itu menggoda hampir semua omega yang dapat ia temui di lingkungan sekitar.
Dan Allistor menyuruhnya menerima pinangan Francis? Heh, kakaknya pasti sedang bercanda! Lebih baik dia tidak pernah menikah daripada harus terikat dengan si mesum itu. Karena Arthur tahu ia tidak akan pernah bahagia dengannya. Francis hanya akan mempermainkannya, memiliki banyak simpanan nantinya. Atau Arthur akan menjadi salah satu simpanannya? Tentu saja Francis tidak akan memilihnya sebagai pasangan utama. Tidak ada yang menginginkan omega brutal seperti dirinya.
Kemudian pintu kamarnya diketuk pelan, diikuti panggilan namanya. Sudah pasti bukan Allistor.
"Masuk." Ia menyahut dari balik selimut.
Pintu dibuka, ditutup lagi dengan pelan, lalu terdengar helaan nafas. Arthur masih belum mau keluar dari gulungan selimut saat terasa beban di pinggiran matrasnya. Kemudian ada tangan yang menarik selimutnya pergi. Ia menoleh dan bertatapan dengan Aiden. Memangnya siapa lagi yang ia harapkan?
"Kalau kau bermaksud untuk membujukku, maka simpan saja nafasmu, aku tidak akan mendengarkan." Arthur beringsut bangkit, menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan.
Aiden menghela nafas, meraih kedua tangan Arthur dan menariknya pelan.
"Dengarkan aku dulu, Arthur." Sepasang mata emeraldnya terlihat lelah. "Aku juga tidak setuju kalau kau harus menikah dengan Francis. Orang kaya sepertinya memang cenderung suka seenaknya. Tapi kami tidak punya pilihan lain, Arthur."
Air mukanya mengeras. Ia menarik tangannya lepas dari Aiden, menyeret tubuhnya mundur hingga mengenai sandaran tempat tidur. "Itu bukan hak kalian untuk memilih, tapi aku! Dan aku menolak untuk didikte seperti boneka!"
"Kami tidak bermaksud mendiktemu, Arthur. Hanya saja―"
"Apa?! Menyuruhku menikah dengan si kodok itu, apa itu bukan mendikte namanya?! Apa aku tidak berhak menentukan masa depanku sendiri?!"
"Arthur―"
"Kalian ingin aku menurut seperti omega lemah pada umumnya?! Maaf saja, tapi aku tidak mau! Aku tidak mau menikah dengan si kodok itu!"
"Hei―"
"Hanya karena kalian alfa kalian pikir bisa menyuruhku seenaknya?! Aku tidak peduli! Persetan dengan kalian! Aku tidak―"
Plak. Sebuah tamparan keras mendarat pada pipi kiri Arthur, efektif membungkam mulutnya, membuatnya diam. Aiden menghela nafas, menggenggam kedua pundak Arthur.
"Dengar," Suaranya terdengar tertahan. "kau tahu perang sedang berkecamuk di perbatasan. Kami, para alfa, dipanggil untuk turun ke medan perang. Pergi berperang." Sepasang mata emeraldnya mengeras. Pegangan pada pundak Arthur mengerat.
Ia mengangkat kepalanya begitu mendengar kata perang meluncur keluar dari mulut kakaknya, menelan ludah.
"Allistor hanya mengkhawatirkanmu. Aku dan Dylan mengkhawatirkanmu. Kami semua mengkhawatirkanmu, Arthur. Kami tidak mungkin meninggalkanmu sendiri, kau tidak akan bisa melindungi dirimu sendiri."
"Tapi ak―"
"Shush, jangan berpura-pura kuat. Kau tahu kalau kau lemah."
Arthur terdiam, menundukkan kepalanya.
"Kami hanya ingin keselamatanmu terjamin, Arthur." Aiden melingkarkan lengannya pada pundak Arthur dan merengkuhnya ke dalam pelukannya. Ia mengistirahatkan dagunya pada puncak kepala Arthur. Tangan kanannya mengusap-usap punggung adiknya. "Kau tidak perlu langsung setuju untuk menikah dengan Francis, tapi berjanjilah untuk bersedia ikut dengannya saat ia datang menjemputmu nanti."
Arthur memberontak mencoba melepaskan diri.
"A-apa maksudmu?! Dia akan membawaku pergi?!"
Aiden menghela nafas. "Arthur, kau tidak mendengarkanku?"
"Tapi― tapi... aku tidak mau! Aku bisa melindungi diriku sendiri!"
"Arthur!"
"Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi dengan kodok itu!" Arthur melompat turun dari tempat tidur, bermaksud untuk lari keluar kamar. Ia hanya tidak menyangka akan bertubrukan dengan Allistor begitu membuka pintu.
"Argh―" Pemuda berambut merah itu mencengkeram rahang Arthur, memaksanya mengangkat kepala.
"Kau akan menurut dan ikut dengan Francis. Mengerti?" Sepasang mata emeraldnya memicing tajam. Dylan yang berdiri di belakang Allistor hanya berdehem pelan, kedua tangannya ia tenggelamkan ke dalam saku celana.
Arthur ingin menolak, atau setidaknya menggeleng keras kepala. Tapi cengkeraman Allistor mulai menyakiti rahangnya dan membuat matanya panas.
Allistor – Scotland. Aiden – Northern Ireland. Dylan – Wales.