.

.

Dia pergi...

Tak berarti cinta ikut mati

Dia hilang...

Tak berarti perasaan ikut kerontang

.

.

.

.

Janji di Padang Kunang-Kunang

Author : Frau .F

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Rating : M

Genre : Romance, Poetry, Tragedy, and Fantasy

Pairing : NaruSasu

Warning : M/M Slash, Alternate Universe and Animal Abuse.

.

Special Dedication : Untuk event Opposite Party dan mereka semua yang ikut berpartisipasi

.

Cerita ini tidak untuk dikomersilkan dan tak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun. Jika ada kesamaan tempat kejadian atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Tidak ada hewan yang mati/terluka dalam pembuatan cerita ini semua hanya rekayasa demi berjalannya cerita ini.

.

.

.

.

Dua orang lelaki tampak mengendap-endap di balik semak-semak di selatan hutan, dekat dengan kaki gunung. Salah seorang dari mereka memakai teropong, untuk mengintai buruan untuk penelitian mereka. Sudah sejak beberapa jam yang lalu tak ada tanda-tanda kehadiran sang rubah di tempat itu, padahal mereka menemukan banyak jejak kaki sang hewan.

''Itachi, aku pergi sebentar. Tunggulah di sini,'' ucap Kyuubi, berdiri dari posisinya dan menepuk-nepuk lututnya yang sedikit kotor.

Itachi mendongak, mengernyitkan kedua alisnya, "Kamu mau kemana?"

Sang red-orange menghela napas, "Pokoknya, tunggu saja di sini. Aku tidak akan lama," terangnya, kalau lebih lama lagi, Itachi pasti akan memberikannya rentetan pertanyaan.

Itachi diam, lalu menganggukkan kepalanya, "Baiklah," jawabnya akhirnya.

Itachi terus memperhatikan lelaki itu sampai jauh, sampai terhalang pepohonan. Sebenarnya dia tidak suka membiarkan asistennya itu pergi ke hutan sendirian. Walau dia tahu benar, Kyuubi tidak mungkin akan tersesat di hutan yang sudah seperti taman bermain untuknya. Alasan itulah yang menjadikan lelaki dengan rambut menyala itu sebagai asistennya. Sulung Uchiha kembali memantau dengan teropong, melihat dari kejauhan pohon berry liar yang tumbuh subur dengan buah-buahnya yang lezat menggantung di dahan, makanan kesukaan rubah api.

Suara gemerisik dari rerumputan di balik pohon berry membuat Itachi menajamkan indera penglihatannya. Kaki-kaki kecil keluar dari balik rerumputan, sesosok rubah berbulu cantik berjalan anggun, bulu di keempat kakinya berwarna putih bersih membuatnya seperti sedang memakai alas kaki, menapak di atas rerumputan dengan gerakan halus. Bulu-bulu di tubuhnya berwarna red-orange, mengkilat begitu sinar matahari menyinarinya, ekornya panjang dengan bulu lumayan lebat, meliuk-liuk cantik setiap kali dia melangkahkan kakinya.

Itachi dengan cekatan langsung menulis apa yang dia lihat dan perhatikan dari sang rubah liar. Kedua matanya berkilat-kilat dari balik lensa teropong, takjub dengan sosok rubah liar yang menjadi obsesi penelitiannya. Itachi semakin terpesona melihat cara makan sang rubah, mereka hanya mengambil buah-buah berry yang masak benar, sedang yang masih belum matang ditinggalkan di pohon.

Karena ingin melihat lebih dekat lagi, dia merangkak pelan-pelan ke arah sang rubah. Tapi sayang, dia tak sengaja menginjak ranting kering, suara ranting kering yang patah membuat sang rubah lari menjauhi tempat itu. Menyisakan seorang peneliti yang memasang wajah sangat kecewa.

"Tch! Padahal sedikit lagi!" geramnya, merutuki kebodohan yang dia lakukan.

"Apanya?" tanya Kyuubi yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang sulung Uchiha, membuat lelaki itu berjengit kaget.

"Kamu membuatku kaget, Kyuu!" protesnya sambil mengelus dadanya, "Kamu dari mana saja sih? Tadi muncul rubah api, sayang aku tidak bisa mendekatinya, dia keburu merasakan kehadiranku lalu pergi," terangnya begit antusias. Sebelah alisnya tiba-tiba terangkat melihat sang asisten yang pakainnya kotor penuh dengan noda berwarna hitam kebiruan. Nodanya semakin banyak di ujung pakainnya, membentuk seperti sebuah keranjang, "Ada apa di bajumu?" tanyanya penasaran, mencoba melongok ke dalamnya.

Kyuubi tiba-tiba menjatuhkan banyak buah blueberry matang, "Untukmu, ini sebagai balasan tonkatsu yang kamu titipkan ke Naruto di waktu itu," jelasnya tanpa ekspresi. "Aku ingin selai blueberry," tambahnya membuat wajah kaget Itachi berubah mengernyit.

Itachi mendengus, lalu mengambil buah berry itu untuk dimasukkan ke dalam tas miliknya, "Ternyata kamu cuma ingin dibuatkan selai blueberry. Aku kira kamu―"

"Apa?" Kyuubi memutus ucapan Itachi dengan suara ketus.

Itachi mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ucapannya, memilih untuk menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa, lupakan," desahnya kecewa.

Melihat Itachi berwajah murung membuat Kyuubi menarik seulas seringai, dia ikut berjongkok di sebelah sang sulung Uchiha. Itachi balik menatapnya dengan bingung. Tiba-tiba saja, sang red-orange mencium pipi Itachi, hanya sebentar, tak sampai tiga menit lalu dilepaskannya. Membuat wajah Uchiha Itachi sangat kaget, refleks tangan pemuda itu mengelus pipinya yang baru saja mendapat 'serangan' oleh sapuan bibir selembut kelopak mawar.

Kyuubi dengan wajah seolah tak terjadi apa-apa, bangkit dari posisinya, "Jangan bengong! Ayo kita lanjutkan pengamatannya di pos yang lain," ajaknya lalu melenggang pergi terlebih dahulu.

"Kyuu, tunggu!" seru Itachi, memanggilnya. Cepat-cepat dia membereskan barang-barang miliknya dan mengejar lelaki itu, "Apa maksudnya yang tadi itu! Hei!" tanpa diketahui sang sulung Uchiha, seulas senyum terlukis di wajah seorang Kyuubi.

.

Uchiha Sasuke terlihat berbaring di ruang keluarga, televisi yang menayangkan program harian tentang pertanian tak dihiraukannya. Sejak tadi pemuda itu menatap ke langit-langit, memikirkan banyak hal, tentang dirinya sendiri, pemuda blonde itu, dan ucapan sang nenek yang ditemuinya di waktu lalu.

Dia tidak dapat mengerti tentang penjelasan sang nenek yang menurutnya berbau mistis, selama ini dia tidak pernah dan tidak akan mempercayai hal-hal tidak jelas seperti itu. Oleh karenanya, dia sedikit kurang percaya ucapan sang nenek. Tapi, buat apa nenek itu berbohong padanya? Untuk menakutinya? Itu lebih tak masuk akal.

Terlebih kalau diingat lagi, kemunculan sang blonde di hari itu sangat tidak masuk akal, walau dengan alibi sang pemuda mengidap sleepwalker. Kedatangannya bertepatan dengan hari dia menangkap kunang-kunang, dan lagi kunang-kunang yang ditangkapnya melarikan diri karena toples untuk memerangkapnya pecah.

Sasuke bangkit dari posisinya, duduk di atas tatami dengan kedua kaki yang dilipat rapi, mengacak-acak rambutnya, tidak mengerti dengan semua keanehan di tempat ini. Suara langkah kaki dari arah genkan membuatnya melongok dari pintu geser. Kakaknya datang dengan membawa berbagai macam kertas penelitian di tangannya, tubuhnya kotor, beberapa rumput, daun, dan tanah menempel di pakaiannya.

Itachi menghampiri sang adik sambil memperlihatkan isi dalam tasnya yang sama berantakannya dengan penampilannya. "Apa kamu suka selai blueberry?" tanyanya, memperlihatkan banyak buah blueberry dalam tasnya. Beberapa buah yang sudah terlalu masak tergenjet dalam tas dan mengotori dalamnya.

"Aku hanya suka selai tomat," jawab Sasuke membuat Itachi tersenyum kecil, "Hei, aku mau tanya," ucap Sasuke dengan wajah serius, dia bangkit dari duduknya, berdiri di dekat kakaknya.

Itachi mengangkat sebelah alisnya, hampir tidak percaya kalau baru saja adiknya meminta izin padanya hanya untuk bertanya. Padahal selama ini sang adik suka bicara dan bertanya dengan seenaknya tanpa peduli situasi dan kondisi, "Hn, ada apa?"

Sasuke terlihat ragu, dia tak langsung bertanya, tapi diam sesaat. "Rumah Kyuubi di mana?" tanyanya pada akhirnya

Kedua mata sang kakak membola, tak disangka sang adik hanya ingin menanyakan hal itu, "Tentu saja di desa ini, Sasuke," jawab Itachi, dia melangkahkan kakinya ke dapur, hendak menaruh buah berry ke dalam baskom. Sasuke sendiri mengikutinya di belakang, "Makanya, kamu harus keliling desa agar mengenal satu persatu warga di sini," tambahnya menasehati sang adik, diambilnya sebuah baskom kecil berbentuk jaring-jaring berwarna merah dari dalam rak piring. Memindahkan semua buah blueberry liar yang ada di dalam tasnya ke dalam sana. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan soal rumah Kyuubi?" tanyanya balik, merasa curiga. Dia membawa baskom itu ke tempat biasanya mencuci piring, menyalakan keran dan mencucinya dengan air mengalir.

Sang raven bersender di pinggir meja, melipat kedua tangannya di dada, "Aku hanya ingin menemui si pirang norak itu. Bukankah dia menginap di rumah Kyuubi?" tangannya meraih sebuah tomat yang ada di atas meja―sepertinya Itachi tadi pagi lupa memasukkanya ke dalam kulkas―menggosoknya ke baju yang dipakainya lalu menggigit buahnya yang terlihat ranum. "Bagaimana kalau nanti kita ke sana bersama?" ajaknya pada sang kakak.

Itachi mengangguk kecil, tangannya tidak berhenti mencuci dan memilah buah berry dalam baskom. Tidak dia sangka, adiknya yang awalnya terlihat enggan berteman dengan Naruto sekarang mau menemui pemuda itu tanpa ada paksaan. "Oke. Tapi, setelah aku membuat selai blueberry pesanan Kyuu," jawabnya dengan wajah puas.

.

Burung gagak terlihat di kejauhan, terbang berkelompok menuju sarang jauh dalam hutan, suranya yang khas menjadi melodi pengantar senja. Semburat kuning keemasan membias ke seluruh desa, sekejab semua berwarna keemasan. Dua orang lelaki berjalan beriringan, melewati jalan-jalan yang ada di desa, yang lebih tua nampak ramah―menyapa warga desa yang tak sengaja berbapasan dengan mereka―berbeda dari yang lebih muda―hanya mengangguk kecil.

Sulung Uchiha menenteng setoples besar selai blueberry buatannya yang ditaruh dalam kantung kertas. Pesanan sang asisten tersayang. Senyum tipis tak terhapus sejak tadi di wajahnya, membuat adiknya ngeri dan berjalan sedikit jauh darinya.

"Lihat, desa ini tidak banyak perubahannya," ucapnya membuka pembicaraan yang sejak tadi hanya banyak diam, "Apa kamu ingat masa kecilmu di sini?" tanyanya melirik sang adik.

"Tidak. Aku sudah lupa," Sasuke menjawab dengan cepat, menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. "Kecelakaan kecil saat kita pindah ke kota membuatku jadi tidak ingat masa kecilku di sini."

Itachi mendengus mendengar jawaban sang adik, "Kamu ini, kalau kamu begitu kasihan anak itu. Cobalah untuk mengingat-ingat lagi."

Sasuke memiringkan kepalanya, menatap sang kakak dengan pandangan bingung. "Maksudmu?"

Sang kakak membelalak, menatap adiknya dengan tak percaya, tidak hanya melupakan masa kecilnya, ternyata sang adik juga melupakan sosok seseorang yang dulu sangat akrab dengan adiknya, "Kamu benar-benar melupakannya? Teman baikmu di desa ini!" seru sang kakak dengan suara keras.

Sasuke tampaknya masih tidak mengerti, kedua alisnya tertaut, bingung dengan ucapan kakaknya itu. "Siapa? Bukankan selama ini kamu bilang tidak ada anak seumuran dengan kita di desa ini?"

"Ada satu orang lagi, tapi sudah lama tidak ada," terang Itachi, mereka berbelok ke sebuah tikungan dengan air jernih pegunungan mengalir ke parit-parit, menuju ke sawah yang ada di kejauhan. "Sesampainya di rumah aku akan menunjukkan foto kalian berdua. Sepertinya album fotonya masih aku simpan," terangnya sambil mencoba mengingat-ingat dimana dia menaruhnya.

Sasuke mengangguk, lalu menghentikan langkah kakinya. Membuat kakaknya ikut berhenti, "Sebelum itu, sebenarnya kita ini mau kemana?" tanya Sasuke melihat ke sekeliling.

Sang kakak mengangkat kedua alisnya, "Hn? Tentu saja ke rumah Kyuu, mengantar selai," dia mengangkat kantung kertas berisi selai blueberry.

"Tapi ini jalan menuju hutan," sang adik menyipit sengit pada sang kakak, seolah kakaknya itu tengah mempermainkannya. "Bukannya mereka tinggal di desa? Kenapa malah lewat sini?" tanyanya keheranan, tidak mungkin rumah sang asisten ada di hutan, atau lebih buruknya ada di belakang hutan. Dia tak mau berjalan sejauh itu, di tambah hari sudah semakin gelap.

"Eh? Tapi aku selalu menemuinya di―" jedanya membuat dirinya kaget sendiri, "―Hutan," lanjutnya dengan nada tak percaya dengan ucapannya sendiri. "Kenapa aku tidak bisa mengingat di mana rumahnya?" gumamnya keheranan sendiri. Kalau dipikir-pikir mereka selalu bertemu di hutan atau di rumah Uchiha, dia sendiri sama sekali belum pernah ke rumah pemuda red-orange itu.

Melihat kakaknya berwajah kalut dan seolah sedang linglung, membuat satu lagi keanehan dari dua saudara sepupu itu yang menjadi bahan analisanya, yang tidak dia temukan hasil akhirnya. Mungkin kata yang cocok bukan 'tidak ditemukan' melainkan 'belum saatnya untuk diketahui'.

"Kita pulang saja, sudah hampir malam," ucapnya mengajak sang kakak untuk pulang, dilihatnya langit yang mulai gelap, hutan di kejauhan nampak berbahaya. "Berikan saja padanya besok," lanjutnya yang ditanggapi sang kakak dengan sebuah anggukan.

Keduanya berjalan menjauhi lebatnya hutan, tanpa disadari, jauh dalam gelapnya hutan, seseorang sedang mengintai mereka sejak tadi. Menatap punggung sang bungsu tanpa berkedip, dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan, lalu menghilang ditelan gelap.

.

.

Cuaca yang sangat cerah seperti hari biasanya di desa Konoha. Terlalu membosankan, jika dia harus menghabiskannya lagi di rumah dengan menonton acara televisi yang menampilkan acara tentang penanaman bibit, serta kawin silang tanaman yang sangat membosankan untuknya. Terkadang seharian program televisi hanya menayangkan pemijahan ikan air tawar, serta perawatan untuk telur ikan sampai dewasa dan siap jual. Uchiha Sasuke perlu hiburan, bahkan program lagu-lagu anak mudapun tidak ada, hanya ada lagu-lagu enka dengan suara aneh dengan nada sendu kesukaan para manula.

Tinggal lebih lama dari waktu liburan musim panas bisa-bisa membuatnya gila. Dia juga tidak bisa mengusili hewan lagi, dia tak ingin ketahuan basah oleh sang blonde lalu membuatnya lagi-lagi harus mendengar ceramah panjang yang isinya selalu sama setiap kali ceramah itu dimulai. Ngomong-ngomong soal sang blonde, sudah beberapa hari ini dia tak melihat pemuda itu, bahkan Naruto sama sekali tak mengusiknya di rumah. Sedikit aneh mengingat pemuda itu biasanya selalu mengikuti dirinya kemanapun dia pergi. Pergi ke rumahnya juga percuma saja, Kyuubi tidak mengizinkan dua Uchiha itu ke rumahnya dengan alasan kalau rumah mereka masih dalam tahap renovasi. Pada akhirnya juga dua Uchiha tidaktahu pasti dimana rumah dua sepupu berambut norak itu tinggal.

Hal ini mirip ketenangan sebelum badai. Semoga tidak ada hal buruk yang membuatnya harus terpaksa berurusan dengan sang blonde lagi. Kalau bisa dia tidak perlu menemuinya sampai hari terakhirnya di desa ini. Untuk membunuh rasa bosan, dia hanya bisa menghabiskan waktunya di danau yang ada di hutan. Tempat terenak untuknya tidur siang sambil diayun sepoi angin.

Tapi sejak tadi matanya enggan terpejam, sambil berbaring di atas rumput dia memandang ke sekeliling. Lalu matanya melihat sebuah benda besar menggantung di dahan pohon yang ada di sisi yang berbeda dari tempatnya saat ini. Tertarik untuk mengamatinya lebih dekat, sang pemuda berdiri, menepuk-nepuk kepalanya yang sedikit kotor karena tertempel beberapa helai rumput. Kakinya melangkah melewati pinggir danau, berputar menuju ke seberang.

Suara dengungan dari hewan berwarna hitam-kuning keluar masuk dari benda berbentuk bulat itu. Lebah pengumpul madu menyimpan hasil nektar bunga ke dalam sarangnya, sebagai makanan untuk lebah pekerja, ratu mereka dan larva lebah. Ini pertama kalinya Sasuke melihat sarang lebah secara nyata dan sedekat ini, menurut buku yang dia baca, rasa madu lebah tergantung dari nektar bunga yang dicarinya, bisa terasa manis, asam, sampai pahit.

Penasaran denga isi di dalamnya, Sasuke mengambil sebongkah batu berukuran kecil di dekat kakinya. Dia bersiap untuk melempar batu yang ada di tangannya ke arah sarang lebah, lalu melemparnya sekuat tenaga. Dia mengira begitu sarang lebah dia lempar batu, maka akan ada sebuah rongga yang membuat madu bocor keluar dari sarangnya, kenyataanya batu yang digunakannya untuk melempar sarang lebah malah memantul, tergorespun tidak, hanya sedikit membuat sarangnyabergoyang .

Suara lebah yang lebih banyak terdengar mendengung dari dalam sarang, semua lebah keluar menatap sang raven yang tampak pucat. Sepertinya dia telah salah melakukan hal ini dan membuat lebah-lebah menjadi marah padanya. Susah payah Sasuke membasahi tenggorokannya dengan air liur, pasrah saat lebah-lebah ingin menyerangnya dengan jarum beracun di ujung bokong mereka.

Kejadiannya begitu cepat, tiba-tiba tubuhnya diterjang masuk ke dalam air danau yang dingin, menimbulkan suara nyaring saat masuk ke dalam air. Suasana yang gelap dan kurangnya oksigen di dalam air, membuatnya panik karena tak bisa bernapas, ingin cepat-cepat keluar dari dalam air. Tapi, dua tangan kokoh menahannya, menenggelamkannya ke dalam air lebih lama, tenggorokannya terasa tercekat, tak kuat lagi untuk bertahan lebih lama.

Sebuah sentuhan halus menyentuh bibirnya, mengirimkan oksigen ke dalam paru-parunya, ditengah kebingungannya dia hanya bisa membelalak kaget. Setelah sedikit tenang, dia bisa melihat sosok sang blonde yang memejamkan matanya, menempelkan belah bibir padanya, memberikan oksigen untuknya. Sentuhan itu mengalirkan getaran-getaran menggelitik dalam perutnya.

Cukup lama mereka ada di dalam air, sampai tubuhnya diangkat ke permukaan dan berenang ke pinggiran danau, menjauhi sarang lebah. Sasuke keluar dengan kepayahan, tubuhnya ditarik ke atas rerumputan, keduanya bernapas tersengal, pakaian mereka basah kuyup. Sasuke berbaring lemah dengan napas memburu, menutup matanya dengan sebelah lengannya.

"Bisakah kamu berhenti melakukan hal-hal bodoh?" cerca Naruto, dia menyisir poni rambut yang menghalangi pandangannya dengan jari-jarinya. Menatap Sasuke dengan sinis, "Apa tidak ada yang pernah memberitahumu kalau mengusik sarang lebah sangat berbahaya?"

"Aku tidak tahu, Tuan Pintar!" bentak Sasuke nyaring, bangkit dari posisinya, duduk berselonjor.

Naruto mendengus, "Apa itu ucapanmu untuk orang yang sudah menyelamatkan dirimu?" Naruto ikut duduk, matanya tak lepas memandang pakaian Sasuke yang menerawan, tubuhnya terjetak jelas menempel dengan kain yang basah.

Sasuke mendelik tajam, mengangkat dagunya tinggi, "Aku tidak minta kamu selamatkan, jadi buat apa aku mengatakannya?" desisnya, "Orang sepertimu hanya akan jadi besar kepala kalau diberi ucapan seperti itu," lanjutnya dengan nada suara mengejek.

Wajah Naruto tiba-tiba berubah sedih, setelah mendengar ucapan dari sang raven, "Kenapa kamu tidak seperti dulu?" desahnya, "Apa tinggal di kota sudah benar-benar membuat perangaimu berubah?"

"Dulu?" tanya Sasuke, mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya kita pernah bertemu?"

"Lupakan," Naruto menjawab cepat. "Anggap aku tidak bicara apa-apa," wajahnya melengos tak ingin menatap Sasuke lebih lama lagi.

Sasuke manarik bahu Naruto, memaksa pemuda itu untuk menghadap padanya, "Cepat jelaskan!" perintahnya mutlak.

Naruto mendecih, dia mendorong tubuh Sasuke ke tanah, menahan tubuh pemuda itu di bawahnya. Sasuke terlihat kaget, tidak menyangka tiba-tiba di serang seperti ini oleh pemuda itu. Kedua tangannya ditahan sang blonde di atas kepalanya, wajah mereka sangat dekat, Sasuke bahkan bisa merasakan napas hangat dari hidung dan mulut sang pemuda, beraroma jeruk.

Sasuke mencoba memberontak, tapi Naruto menahannya dengan kuat. "Lepaskan aku, Dobe!"

Naruto menatapnya tajam, wajah mereka semakin dekat. "Kamu berisik sekali," desahnya, mengecup lembut bibir sang raven.

Sasuke tidak bisa menghindar, bibirnya dipaksa dibuka dengan ujung lidah Naruto. Semakin dia bersikeras memberontak, maka semakin erat cengkeraman sang blonde. Kakinya juga tak bisa digunakan untuk menendang pemuda itu, karena tubuh sang blonde ditumpukan di pahanya. Lidah Naruto menari liar, mengajak berdansa sang raven di dalam mulutnya, membuat bibir keduanya basah dalam cumbuan panas.

Naruto melepas ciuman dengan seuntai saliva yang saling tertaut di bibir mereka, Naruto menjilat bibirnya, memutus untaian basah itu. Napas keduanya memburu, tangan sang blonde yang lebar merayap di leher sang raven, semakin ke bawah menuju tubuh Sasuke yang basah. Kedua matanya menatap dua tonjolan kecil yang tercetak di pakaian Sasuke.

"Tch! Lepaskan aku!" bentak Sasuke dengan napas terengah-engah. "Apa kamu sudah gila, Dobe!"

"Iya, aku gila!" jawab Naruto dengan wajah merah padam. Sejak tadi dia merasakan gejolak aneh saat melihat tubuh Sasuke dengan pakaian yang basah dan transparan, memperlihatkan kemolekan tubuhnya. Cuaca yang panas dan pemandangan langsung ke tubuh porselen itu membuatnya jadi tidak tahan untuk tak menyentuh sang raven.

"Ap―" ucapannya terhenti, Naruto mengecupnya lagi kali ini lebih dalam. Tubuhnya lemas, seolah oksigen direnggut oleh pemuda yang ada di atasnya.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh sang blonde, katakan saja dia brengsek, karena tiba-tiba menyerang Sasuke. Tapi ada dorongan dalam tubuhnya untuk terus menyentuh pemuda itu. Jari-jari tangannya menyentuh puting yang tercetak jelas di pakaian Sasuke, menarik-nariknya membuat sang raven bergerak-gerak gelisah. Naruto melepaskan cumbuannya, bibirnya beralih mengecup leher pemuda itu.

"Tubuhmu dingin," desahnya dengan napas memburu. "Aku akan menghangatkanmu agar tidak sakit," lanjutnya lalu menjilat adam's apple Sasuke.

"Khhh―" mulut Sasuke terbuka lebar, tidak tahan dengan sensasi asing yang memabukkan ini. Tubuhnya terasa menggelenyar setiap kali Naruto menyentuh putingnya.

Tak ada lagi tenaga yang bisa dikeluarkannya, tubuhnya tergeletak lemah di atas rerumputan. Membiarkan Naruto menjamah ke seluruh tubuhnya, membiarkan tangan-tangan tan itu melepas pakaiannya, mengecupi setiap inci tubuhnya, menjilatnya dengan ujung lidah yang menggoda. Naruto melepaskan kulumannya pada puting Sasuke, sedikit kesusahan saat ingin membuka pakaiannya sendiri.

Sang raven dapat melihat dari posisinya saat ini, tubuh sang blonde membuatnya iri. Dia menyentuh otot-otot halus yang tercetak di tubuh tan, menjelajah membuat pemuda di atasnya melenguh kecil. Entah setan apa yang merasuki dirinya, tapi dia menikmati erangan sang blonde. Dia ingin mendengar lenguhan dari sang Naruto lagi.

Sasuke mengambil alih kendali, mendorong pemuda itu jatuh ke atas tanah. Menduduki perut pemuda itu. Naruto tampaknya kaget dan tak menyangka sang pemuda akan berbalik menyeranganya―mengingat tadi dia melihat Sasuke terlihat sedikit lemah. Jari-jari porselen miliknya menjelajah tubuh Naruto, menarik puting kecoklatan, balasnya akibat perbuat sang blonde tadi padanya.

Naruto melenguh, baru kali ini merasakan sentuhan bagai serangan listrik ke seluruh tubuhnya. Dia melihat Sasuke menyeringai senang setiap kali suara erangan dan lenguhan keluar dari bibirnya. Tangan Sasuke menjelajah semakin ke bawah, menyentuh gundukan di balik celana Naruto yang mulai menggembung. Sesuatu telah menegang dibalik sana, tangan-tangan sang raven lincah menyusurinya, membuatnya semakin tegang.

Sasuke berdiri dari atas tubuh Naruto, dia melepas celana sang blonde dengan cepat, membuat tubuh Naruto polos. Sang raven menyeringai, melihat bagaimana sesuatu itu telah menegang dengan cairan di ujung kepalanya. Berkedut-kedut, semakin lama berukuran semakin besar, bahkan dia dapat melihat urat-urat yang semakin lama menonjol ke luar.

Sasuke mendekatkan wajahnya pada batang tubuh berwarna tan, mengelus-ngelusnya dengan lembut. "Sepertinya kamu sangat menginginkannya, Dobe? Sedikit saja kusentuh, bisa-bisa kamu meledak, memalukan," cibirnya, tanpa rasa jijik mengecup ujung kepala dari batang tubuh sang blonde yang sudah mengeluarkan sedikit cairan berwarna kental.

Kontan saja hal itu membuat Naruto benar-benar tak tahan, Sasuke melepaskan kulumannya mengarahkan batang tubuh itu ke arah pemiliknya. Naruto mengerang keras, saat cairan dalam tubuhnya meledak, membasahi tubuhnya yang telanjang. Cairan lengket itu dibalurkan oleh Sasuke ke seluruh tubuh Naruto, lalu menggenggam batang tubuh itu lagi, membuatnya basah dan menegang lagi. Sasuke melepaskan tangannya dari barang Naruto, menjilat sedikit cairan yang menempel di tangannya, penasaran dengan rasanya.

Melihat hal itu membuat Naruto hampir gila, dia berbalik menyerang pemuda itu, menjatuhkannya lagi ke atas tanah. Sang blonde melepas dengan kasar celana milik Sasuke, membuangnya begitu saja. Tangannya meraba gundukan kenyal, mencari celah di antara dua gundukan di belakang sana. Menggesekkan ujung telunjuknya ke sebuah pintu masuk berwarna merah menggoda.

Naruto mempersiapkan Sasuke dengan jari-jarinya yang menari dalam rectum sang raven. Tak perlu waktu lama untuk memasukkan batang tubuh yang sudah kembali perkasa, menyusuri celah sempit menggoda. Tak ada desah, hanya napas memburu yang terdengar, juga kilatan liar dari keduanya. Mereka pasrah di bawah kendali rasa primitif yang mengakar sejak ratusan tahun, bergejolak melalui nadi-nadi mereka, mengantarkan rasa yang tak terlukiskan dan menggetarkan jiwa.

Dua anak manusia bergelut di bawah payung alam, saling menyentuh dan bergerak mencari sedikit kepuasan. Menghilangkan logika dan mengambil alih nafsu yang sudah memuncak. Bergerak dan terus bergerak, sampai kelelahan, sampai rasa nikmat menjalar ke seluruh tubuh, sampai mereka meledak bersama euphoria di musim panas. Mengantarkan cairan-cairan lengket membasahi tubuh yang berkeringat dan tertempel di rerumputan yang menjadi alas mereka bercinta.

Sang dominan bergerak perlahan, memastikan semua cairannya telah keluar, lalu ambruk di sebelah sang raven. Napasnya masih tersengal, getaran-getaran hebat sehabis dia meledak masih dirasakannya, menggelitik perutnya. Dia melirik Sasuke yang memejamkan mata, tubuh pemuda itu mandi keringat dan wajahnya terlihat sangat merah. Naruto menyentuh dahi sang raven, menyingkirkan poni yang basah menutupi sedikit mata Sasuke, membuat pemuda itu membuka mata dan menoleh padanya.

Wajah Naruto jadi merah padam dipandangi seperti itu oleh sang raven. Dia cepat-cepat bangkit dari tidurnya, mencari-cari pakaiannya yang dibuang sembarangan, memakainya lagi dengan cepat. Tak lupa dia memunguti pakaian milik Sasuke dan menaruhnya di atas tubuh pemuda itu.

"Cepat pakai, nanti kamu masuk angin. Sebentar lagi akan malam, berbahaya di sini tanpa penerangan. Ayo kita pulang," cicitnya kecil, tak memandang sang raven.

Sasuke mendengus, mencoba untuk duduk walau bokongnya masih terasa sakit. "Nanti saja. Kalau kamu mau pulang, pulang saja duluan," desisnya dengan seringai tipis.

Naruto diam sesaat, sampai dia akhirnya angkat bicara. "Baiklah, kalau begitu aku pulang duluan!" putusnya cepat-cepat pergi terlebih dahulu, wajahnya merah padam.

Sasuke tak menyangka dia akan benar-benar ditinggal pergi oleh sang blonde, pemuda itu benar-benar brengsek. Meninggalkannya yang masih dalam keadaan bugil dan kesakitan seorang diri. Ingatkan Sasuke untuk menendang bokong pemuda itu saat nanti bertemu lagi atau lebih bagus dia akan menendang batang tubuh yang sudah seenaknya menerobos tubuhnya. Biar pemuda brengsek itu mendapat balasan, karena tingkahnya yang seolah seperti gadis yang baru kehilangan keperawanannya, disinilah dia yang ada di posisi 'gadis'! Kenapa malah sang blonde yang terlihat malu-malu!

.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya Sasuke berhasil sampai ke rumahnya dengan sedikit tertatih. Setelah berbilas di kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan yang kering, Sasuke bergegas ke ruang kerja Itachi. Sehelai handuk tersampir dibahunya, menyerap tetesan air dari ujung rambutnya yang basah. Dia menarik pintu geser, mendapati kakaknya tengah berkutat di depan komputer dengan kertas-kertas penelitian berhamburan.

"Hei, mana album yang kau bicarakan?" tanyanya sedikit malas pada sang kakak.

"Ng, sebentar," Itachi menarik tumpukan buku yang ada di dekat kakinya, lalu menyerahkan sebuah album tua bersampul cokelat kusam. "Ini, aku menemukannya dalam tumpukan buku di gudang."

Sasuke berjalan tertatih menghampiri Itachi membuat kakanya mengangkat sebelah alisnya, heran melihat cara jalan adiknya yang sedikit berbeda. Sasuke mengambil album foto itu, membukanya selembar demi selembar. Beberapa foto sudah rusak, banyak sekali fotonya saat masih kecil, saat dia tinggal di desa bersama keluarganya. Beberapa di antaranya dia tidak ingat kapan foto itu diambil, bahkan ada fotonya bersama almarhun kakeknya, Uchiha Madara.

"Kenapa kamu berjalan dengan aneh seperti itu, Sasuke?" Tanya kakaknya penasaran.

Sasuke memelototinya, membuat kakaknya terdiam. "Bukan urusanmu!" bentaknya kasar.

"Lihat, ini kamu saat kecil, bersama temanmu," Itachi menunjuk ke selembar foto, mengalihkan pembicaraan. Terlihat dua orang bocah kecil saling berangkulan, Sasuke tersenyum lebar di foto itu, memperlihatkan giginya yang bersih dan rapi. Sedang yang seorang lagi tidak terlihat wajahnya, gambarnya rusak dan tidak jelas dilihat.

"Hanya wajahku saja yang kelihatan," dengusnya, mendekatkan album foto ke matanya, mencoba melihat lebih jelas, namun tetap saja percuma.

"Karena tidak dirawat jadi seperti ini fotonya," Itachi memberikan alasan.

"Siapa nama anak ini?" tanya Sasuke sambil menunjuk foto sang bocah yang sudah rusak.

"Hn, mmm...namanya, seperti nama makanan," Itachi mencoba mengingat-ingat, "Siapa ya? Aku tidak ingat."

Kedua alis Sasuke saling tertaut, "Nama makanan?" entah dia harus mempercayai ucapan kakaknya atau tidak.

"Kalau kamu penasaran, pergi ke rumahnya saja," saran Itachi begitu melihat wajah Sasuke yang seolah tak percaya dengan ucapannya, "Walau dia sudah tidak ada, tapi neneknya masih tinggal di sini," dia masih ingat benar dengan wanita dengan pendirian keras, nenek bocah itu, "Mungkin dia punya fotomu dan dia yang lebih jelas."

"Dimana rumah neneknya?" tanya Sasuke tampak tertarik.

"Sebentar, aku akan membuatkan peta untukmu," Itachi cepat-cepat merobek kertas memo yang tak jauh dari mouse komputer, menulis dan membuat garis lalu menyerahkannya pada sang adik.

.

.

Berbekal selembar memo, keesokan paginya Sasuke berangkat menuju rumah nenek yang dibicarakan semalam oleh Itachi. Mengikuti arahan buatan sang kakak, terkadang dia harus berhenti sebentar untuk memastikan jalan yang dia ambil benar dan bukannya malah tersesat. Dia akhirnya sampai ditujuan, berdir di depan sebuah pintu gerbang besar yang tertutup rapat, sekeliling rumah dipagari oleh tembok tinggi, tak bisa mengintip ke dalamnya. Sasuke menekan bel rumah yang ada di sebelah kanan.

Cukup lama dia menunggu pintu terbuka, sampai terdengar kunci pintu gerbang yang dibuka dari dalam. Sang pemilik rumah melongok ke luar, wajahnya tampak galak, rambutnya disanggul rapi dengan dandanan cantik. Melihat nyonya pemilik rumah membuat Sasuke sedikit kaget. Dia mengenal nenek itu, nenek yang sering bertemu dengannya baru-baru ini.

"Wah, adiknya Itachi ternyata," ucapnya tersenyum ramah, dia membuka pintu gerbang sedikit lebih lebar. Mempersilahkan sang raven masuk. "Ayo silahkan masuk," ajaknya ramah.

Sasuke mengangguk dan mengekor dibelakang sang nenek, yang tak pernah lepas dengan kimono bermotif cantik yang selau menyelimuti tubuhnya. Seseorang yang umurnya tak terpaut jauh dari pemilik rumah terlihat menutup pintu gerbang di belakang sana, sepertinya pesuruh sang nenek. Mereka melewati taman bergaya zen sebelum masuk ke genkan. Rumah milik sang nenek terlihat lebih besar dua kali lipat, daripada rumah warisan kakeknya. Sepertinya sang nenek mantan orang penting dulunya atau seorang bangsawan.

Sang nenek mempersilahkan Sasuke duduk di ruang tamu―dengan bantal dudul berwarna merah. Lalu meninggalkan sang raven yang masih terpukau dengan isi dalam rumah. Tak lama pintu geser terbuka, sang nenek datang membawakan segelas minuman dan sepiring kecil cemilan untuknya.

"Maaf, hanya ada teh oolong dan yokan," ucapnya menaruh isi dalam nampan ke hadapan sang raven. "Silahkan dinikmati, jangan malu-malu."

"Tidak usah repot-repot," Sasuke tampak tak enak, kedatangannya jadi merepotkan sang pemilik rumah.

Sang nenek tertawa kecil, duduk berhadapan dengan sang raven, "Ada keperluan apa, tiba-tiba kemari?" tanyanya sambil memperbaiki ujung kimono-nya yang terlipat saat dia duduk di atas bantal duduk. "Aku tadi sampai kaget melihatmu ada di depan rumah, adiknya Itachi."

"Namaku Sasuke, Nek," protesnya.

"Maaf-maaf aku lupa namamu. Ngomong-ngomong kita belum berkenalan, ya?" ujarnya, membuat Sasuke juga baru sadar selama ini dia tak tahu nama nenek itu. "Namaku Uzumaki Mito, kamu bisa panggil aku nenek Mito saja."

Sasuke menganguk, tanda dia mengerti. Mito sendiri menatapnya tak berkedip, sedikit membuatnya tak nyaman, "Ada apa di wajahku?"

"Tidak ada apa-apa, hanya saja aku masih tidak menyangka kamu ke rumah ini lagi. Sudah lama sekali kamu tidak ke sini, apa kamu ingat dulu kamu dan cucuku suka sekali bermain di sini," jelasnya dengan tawa berderai, "Kalian selalu membuat kekacauan," dengus Mito mengingat-ingat.

"Maaf, aku tidak ingat," jawab Sasuke tanpa basa-basi, dia menyeruput sedikit teh oolong yang disajikan untuknya, lalu menaruhnya kembali ke atas meja dengan hati-hati.

"Sayang sekali," ada nada kecewa dari suara sang nenek.

"Maksud kedatanganku ke sini karena ingin mengingat lagi," ucap Sasuke cepat, menatap Mito dengan sangat serius, "Kakakku bilang dulu aku punya teman di sini, di rumah ada fotoku dan dia, tapi fotonya rusak. Wajahnya tidak kelihatan," jelasnya dia memperlihatkan selembar foto lama yang sudah rusak ke atas meja, "Kakak menyuruhku ke sini, katanya mungkin Nenek masih punya fotonya."

"Begitu ternyata," Mito tersenyum kecil begitu melihat foto yang diperlihatkan oleh sang raven, foto lama yang penuh kenangan. "Baiklah, tunggu sebentar, ya? Aku ambilkan dulu," sang nenek berdiri dari duduknya, keluar dari ruang tamu. Tak perlu menunggu lama sampai dia kembali membawa sebuah album foto besar berwarna merah yang tampak masih terawat. Dia membuka tengah album foto, menyodorkannya di meja."Ini, kamu dan cucuku," tunjuk sang nenek pada selembar foto di dalam sana yang membuat Sasuke membelalak.

Foto itu sama seperti yang dia bawa, bedanya wajah keduanya jelas terlihat. Fotonya dan seseorang yang sangat mirip dengan Naruto. Pemuda yang beberapa minggu ini selalau menguntitnya kemanapun juga, pemuda yang sudah bercinta dengannya dengan gila di alam liar. Rambutnya, senyumnya, bahkan tanda seperti kumis kucing di pipinya, semuanya benar-benar mirip sang blonde.

"Apa benar ini dia?" tanyanya tak percaya, kepalanya mendongak, menatap tajam Mito.

"Iya, ini foto yang diambil tidak lama sebelum dia meninggal," jawabnya, tidak mengerti kenapa Sasuke seakan tidak yakin.

"Aku juga dengar dari kakak kalau dia sudah tidak ada," gumamnya, jari-jarinya mengelus foto itu, menatap bingung.

Mito menghela napas panjang, "Waktu rasanya singkat sekali, ya? Sampai sekarang aku masih merasa dia ada di sini, bahkan terus saja menyiapkan makan pagi di kursi yang sudah tidak ada siapa-siapa lagi yang mendudukinya," jelasnya dengan seulas senyum miris.

Sasuke mengepalkan tangannya, mencoba membuka mulutnya, tenggorokannya terasa kering, "Kalau boleh tahu, kenapa dia meninggal?"

"Tenggelam di danau yang ada di hutan," jawaban dari Mito membuat sang raven terperangah, "Apa kamu tahu tempat itu?" tanyanya yang ditanggapi anggukan cepat oleh sang raven, "Tidak ada yang tahu kejadiannya seperti apa, waktu itu seorang warga desa sudah menemukannya mengambang di danau," sorot mata sang nenek kembali sedih, mengingat lagi bagaimana tubuh kaku sang cucu kesayangan pulang sudah tak bernyawa.

"Boleh aku melihat altarnya?" minta Sasuke ragu-ragu.

Mito menganggukkan kepalanya, meminta Sasuke mengikutinya. Mereka keluar dari ruang tamu, masuk ke lorong rumah dan berbelok tepat di dekat taman dalam, sebuah ruangan khusus untuk menaruh papan nama leluhur yang sudah meninggal, foto, serta abu mereka dalam guci-guci kecil. Bau dupa yang khas tercium jelas saat kakinya melangkah masuk. Keduanya berhenti di depan sebuah foto bocah blonde yang tersenyum lebar, periuk perunggu tempat menaruh dupa menyala, membakar batang beraroma wangi. Bunga matahari menghiasi berlutut di depan altar, menangkupkan kedua telapak tangannya. Bibirnya bergerak-gerak, melantunkan doa untuk sang bocah blonde.

Mito tersenyum di belakangnya, menatap Sasuke dengan sedih."Dia pasti senang dikunjungi olehmu," sang nenek merapikan bunga dalam altar yang sedikit tak rapi. "Sebagian abunya disebar di tempat dia meninggal, sisanya di taruh di sini."

"Siapa namanya?" tanya Sasuke. Dia bangkit berdiri, menepuk-nepuk lututnya sedikit. "Maaf tapi aku tidak bisa mengingat namanya. Tak lama setelah aku pindah ke kota, ada kecelakaan kecil yang membuat kepalaku memar dan tidak bisa mengingatnya," jelasnya buru-buru, takut menyinggung Mito.

"Naruto, Uzumaki Naruto."

Jawaban dari Mito membuatnya semakin kaget. Orang yang sama dan nama yang sama. Entah ini kebetulan atau memang sebuah kesengajaan. Setelahnya dia izin untuk segera pulang, Mito sempat memintanya untuk sekalian makan malam di rumahnya, tapi dengan sopan ditolaknya. Dia ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan memikirkan semuanya dari awal. Sebelum pergi, Mito memberikannya beberapa lembar foto dirinya dan Naruto, sebagai kenang-kenangan agar pemuda itu tetap mengingat cucunya.

.

Sang raven berjalan terseok menuju rumahnya, tak menghiruakan beberapa warga yang menyapanya saat berselisih jalan dengannya. Dia sampai di rumah saat malam telah menjelang dan rumah-rumah sudah menyalakan lampu. Begitu membuka pintu rumah, sosok yang sangat dikenalnya berdiri di genkan, tersenyum ramah seperti biasanya, semburat berwarna kemerahan terlihat di kedua pipinya.

"Selamat datang," Naruto menyambutnya dengan senyum hangat, "Apa kemarin kamu tidak apa-apa?" tanyanya sedikit takut-takut. "Maaf, kemarin aku bodoh sekali. Meningggalkanmu begitu saja. Kamu boleh pukul aku sebagai balasnya," ucapnya pasrah sambil memejamkan kedua matanya. Siap kapan saja untuk dihajar oleh pemuda itu.

Bukannya menjawab atau marah-marah seperti biasanya. Sasuke malah menyentuh kedua telapak tangan Naruto, rasa hangat dari kulit tubuh sang blonde merembet ke telapak tangannya yang dingin. Jari-jari sang raven terus menyentuhnya dari telapak tangan, lengan, sampai bahu sang blonde, membuat Naruto hanya terbengong-bengong, tidak mengerti dengan sikap sang raven. Sasuke medekatkan kepalanya ke dada Naruto, merasakan detak jantung yang berdebar berirama. Meyakinkan pada dirinya sendiri, bahwa Naruto yang ada dihadapannya adalah orang yang berbeda dengan Naruto yang ada di foto dalam kantung celananya. Karena Naruto yang ada di hadapannya hidup dan dapat disentuhnya secara nyata.

.

.

Bulan jauh di atas langit, suara jangkrik riuh di luar sana, membuat suasana damai di Konoha, seperti malam-malam biasanya. Uchiha Sasuke berbaring di atas futon yang empuk, sambil telentang dia menatap foto di tangannya. Matanya enggan terpejam sejak tadi, terlalu banyak yang dipikirkannya, membuat kepalanya terasa sakit. Foto itu ditaruh di sisi bantalnya, menatap menerawang ke langit-langit kamar.

Sebelah matanya ditutup dengan lengannya, memejamkan mata. Mencoba mengingat-ingat lagi hal yang telah lama dia lupakan di desa ini. Kenangan masa kecilnya. Kenangan yang terlupakan karena sebuah kecelakaan yang tidak disengaja. Kenangannya tentang sahabat baiknya, orang yang paling dia sayang, yang paling ingin dia lihat lagi senyumnya.

Sasuke bangkit dari tidurnya, menatap dengan jelas foto itu lagi. Sosok bocah dalam fotonya itu pernah ditemuinya saat malam pertamanya datang ke tempat ini. Bocah yang datang dalam mimpinya dan mengatakan tentang hal yang tidak dimengertinya. "Janji?" gumamnya mengingat-ingat ucapan yang dikatakan sang bocah padanya.

Seekor kunang-kunang masuk melalui jendela kamar. Sasuke memperhatikan kemana serangga itu terbang. Kunang-kunang itu terbang beberapa kali di atas kepala Sasuke―berputar-putar, lalu mendarat tepat di foto yang sedang dia pegang. Kaki-kakinya yang kecil merayap, menuju ke arah sosok sang blonde yang tercetak di atas kertas foto, kerlap-kerlip sinar di tubuhnya menerangi wajah bocah blonde dalam foto, membuatnya memperhatikan wajah dalam foto lebih lama.

Rasa sakit tiba-tiba menyerang kepala Sasuke. Rasanya seperti dihantam oleh beribu-ribu pukulan, apalagi setiap kali dia mencoba melihat foto yang ada dalam genggamannya, rasa sakitnya semakin parah. Tubuhnya tersungkur di atas futon, jari-jarinya mencengkeram kepalanya dengan erat, di antara pandangannya yang sedikit memburam, potongan-potongan seperti kaset lama menghujani pikirannya.

Kunang-kunang yang ada di atas foto terbang kembali ke luar, meninggalkan bocah manusia yang meringkuk dengan tubuh bergetar. Serangga itu terus terbang ke atas dan mendarat di atas telapk tangan lelaki dengan rambut red-orange. Lelaki misterius itu mengambang di atas rumah keluarga Uchiha, digenggamnya serangga itu dengan sebuah senyum misterius di wajahnya. Matanya yang menyala dalam gelap berkilat-kilat, tak berhenti menatap kamar tempat sang raven tinggal. Hanya sekejab dia di sana, lalu menghilang.

Sasuke sendiri masih meringkuk dengan keringat dingin bercucuran ke seluruh tubuhnya. Ingatan demi ingatan membanjiri kepalanya, memaksanya untuk mengingat semuanya. Memaksanya untuk membuka kotak pandora yang isinya mulai merangkak keluar. Untuk mengingat hal-hal berharga yang telah lama dilupakannya. Hal-hal yang sudah lama terkunci, jauh dalam tempat yang paling gelap.

.

.

Flashback…

Sasuke kecil tidak mengerti, kenapa hari ini ibunya memakaikannya setelan jas mahal―yang kata ibunya hanya boleh dipakainya saat hari spesial―warna jas dan dasinya hitam, seragam warnanya dengan pakaian yang dipakai oleh kedua orangtuanya dan kakaknya saat ini. Ibunya menggenggam erat tangannya, sebuah sapu tangan dipakai ibunya untuk menghapus air mata yang membanjiri wajah cantiknya.

"Ibu, kita mau kemana dengan pakaian ini?" Sasuke kecil bertanya pada sang ibu dengan polosnya, "Apa kita mau pergi ke pesta?" ibunya tak menjawab, hanya memberikannya seulas senyum kecil yang tidak dimengerti olehnya.

Banyak warga desa berbondong-bondong pergi ke satu arah dengannya, memakai pakaian yang warnanya senada dengannya, semua berwajah sedih. Mereka menuju ke rumah besar di pusat desa, tempat yang sangat dihafalnya. Tempatnya biasa bermain dengan sahabatnya.

Sasuke melepaskan genggaman sang ibu, dia berlari mendahului dan segera masuk ke pekarangan rumah yang sudah ditata sedemikian rupa, banyak kursi yang disusun berderet, rangkaian bunga yang indah juga mengelilingi tempat itu, sebuah kotak kayu di taruh di depan sana. Orang-orang menangis sedih, mengelap air mata yang membanjiri wajah mereka, suara tangis mereka terdengar sangat pilu, menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Sasuke tidak mengerti kenapa semua orang seperti itu. Dia melewati orang-orang, menuju ke peti berwarna cokelat gelap.

Sesosok tubuh berbalut yukata berwarna putih bersih berbaring di dalam peti yang sengaja belum ditutup. Banyak bunga-bunga dalam tempat pembaringannya. Matanya tertutup seolah tertidur nyenyak. Sasuke mendekati sahabatnya, menggenggam sebelah tangan sang blonde yang ada dalam peti, terasa dingin. Kedua alisnya mengerut, menatap nenek sang blonde yang duduk di dekat peti.

"Nenek Mito, tangan Naruto dingin, kenapa tidak menyelimutinya dan membiarkannya beristirahat di kamar?" protesnya dengan bersungut-sungut. "Nanti dia bisa masuk angin."

Orang-orang yang melihatnya tambah menangis pilu, sedang Mito hanya tersenyum kecil. Wajahnya terlihat sembab, riasan di wajahnya tidak dapat menutupinya. "Tidak apa-apa, dia anak yang kuat. Jadi, tidak mungkin hal seperti itu akan membuatnya masuk angin."

Wajah Sasuke masih merengut, tidak suka mendengarnya. Sebuah tangan berjari lentik menarik lengannya, ibunya menyuruhnya menundukkan kepala pada Mito. "Maafkan Sasuke, Mito-san," minta ibunya dengan sungguh-sungguh.

"Tidak apa-apa, dia mash kecil. Wajar tidak mengerti tentang situasi ini," maklum sang nenek. Dia menatap Sasuke, lalu mengelus kepalanya dengan lembut, "Terima kasih, sudah menjadi sahabat Naruto," Sasuke mengangguk dengan senyum lebar.

Sasuke melongok ke dalam peti, memperhatikan wajah tenang sang blonde. Dia mengelus kepala sahabatnya dengan lembut, mengecup dahinya. "Istirahatlah Naruto. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kita bermain lagi," bisiknya di dekat telinga sang blonde, "Aku akan menunggumu di tempat biasanya."

Setelahnya Sasuke melangkah mundur, menunduk hormat pada nenek sang blonde, lalu duduk di kursi―di sebelah ayahnya. Ibu Sasuke menatap sedih bocah dalam peti, dia memeluk Mito dengan tangis yang kembali pecah. Mito mengelus punggung wanita yang sangat dikenalnya itu, mencoba menenangkannya.

"Besok, setengah abunya akan aku sebar di danau," ucapnya dengan suara pelan, "Bawalah Sasuke, Mikoto. Aku ingin dia juga menebar abu. Naruto pasti akan senang," suaranya terdengar lemah, menahan tangis di kedua matanya.

Ibu Sasuke melepaskan pelukannya, mengangguk lemah sambil menghapus air matanya, "Aku akan membawa Sasuke," jawabnya. "Saya tahu Anda mencoba tegar, tapi tak ada salahnya kali ini Anda menangis untuknya."

Mito menggelengkan kepalanya, "Nanti aku akan ditertawakan anak itu, kalau sampai menangis," senyumnya kecut. Menatap cucu satu-satunya yang berbaring tak bergerak, mengelus rambut halus berwarna blonde untuk terakhir kalinya. Menatap wajah polos bocah yang akan sangat dirindukannya. "Dia pasti senang, akhirnya bisa berkumpul lagi dengan kedua orang tuanya dan kakek bodohnya," ucapnya dengan tawa pedih.

.

.

Esoknya ibunya membangunkan Sasuke pagi-pagi sekali. Setengah mengantuk dia dipaksa ke kamar mandi, Mikoto sudah menyiapkannya air hangat serta sarapan pagi untuk anaknya tersayang. Ibunya menyuruhnya memakai pakaian yang biasa dia pakai―T-Shirt biru tua dan celana pendek berwarna putih.

"Kita mau kemana, Bu?" tanyanya sambil mengunyah telur mata sapi buatan ibunya.

Ibunya tersenyum tipis, "Ke tempat yang sering kamu datangi dengan Naruto."

Mata Sasuke berbinar-binar, dengan cepat dia menghabiskan sarapannya. "Aku sudah selesai. Ayo Bu, kita pergi sekarang," Sasuke tampak tak sabaran, menarik-narik ujung celemek ibunya. "Apa Naruto sudah sehat?" Mikoto hanya tersenyum mendengarnya, tidak menjawab pertanyaan sang anak.

.

Sasuke sesekali berlari mendahului ibunya, lalu berhenti untuk menunggu sang ibu―yang berjalan pelan-pelan di belakang sana. Mereka berdua menuju ke dalam hutan, Sasuke tahu benar kemana arah tujuan mereka, dia tak sabar ke tempat biasanya bermain dengan sang blonde. Kakinya dengan gesit meloncati akar-akar pohon, melewati semak-semak lalu sampai ke arah danau.

Wajahnya yang bahagia luntur begitu tak mendapati sosok sang blonde di sana, hanya ada nenek Mito yang membawa guci kecil berwarna putih di pinggir danau, tersenyum lembut padanya. Sasuke menghampiri nenek dari sahabatnya itu dengan wajah bingung.

"Naruto-nya mana, Nek? Apa dia belum sehat?"

Mito tak menjawab, dia mengangguk kecil pada wanita yang berdiri di kejauhan. Lalu, tubuhnya sedikit membungkuk, membuka tutup guci. "Naruto bilang padaku, dia memintamu untuk menabur setengah abu dalam guci ini ke danau."

Sebelah alis Sasuke terangkat. Dia mengintip ke dalam guci berisi abu, lalu menatap Mito. "Ini abu apa? Apa kalau aku melakukanya nanti Naruto akan bermain lagi denganku?"

"Abu yang sangat berharga untuk Naruto," jawabnya. "Hanya kamu yang diminta untuk menaburnya. Tapi, Naruto tidak bisa lagi bermain denganmu."

"Kenapa?" tanyanya membentak, matanya berkaca-kaca. "Apa Naruto sedang marah padaku?" lelehan air mata mulai keluar dari maniknya.

Mito mengelus lembut kepala Sasuke, "Tidak. Dia tidak marah padamu, hanya saja, dia sudah pergi ke tempat yang jauh."

"Dia pindah tidak bilang-bilang padaku?" tanyanya lagi dengan wajah sangat kaget.

Mito tampak bingung, bagaimana harus menjelaskannya pada bocah kecil ini. "Bukan seperti itu Sasuke, suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti. Untuk sekali ini, apa kamu bisa mengabulkan permintaanya?" Mito kembali menyodorkan guci kecil itu lagi.

Sasuke mengangguk dengan sedikit enggan, lalu menghapus air matanya dengan lengannya. Tangan kecil sang raven merogoh ke dalam guci, tangannya sedikit kotor saat menggenggam abu itu. Sasuke menaburnya ke atas danau, beberapa abunya diterbangkan angin, sedang sisanya tenggelam dalam air danau, menyatu kembali ke alam.

Mito menyaksikannya dengan wajah sedih, setetes air mata jatuh saat Sasuke menebar abu terakhir. Memeluk bocah kecil yang sudah dia anggap seperti cucunya sendiri. Sasuke kecil masih tak mengerti arti tangisan orang-orang di waktu itu, dia terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan. Hanya satu harapannya, dia ingin kembali bertemu sahabatnya, karena Naruto sudah berjanji akan selalu bersamanya.

.

.

"Sasuke, kamu mau kemana?" panggil ibunya saat melihat putra bungsunya mengendap-endap menuju genkan. "Ini sudah sore, jangan kemana-mana."

"Aku mau pergi sebentar, Bu. Sudah ada janji, nanti aku terlambat," ucapnya, cepat-cepat berlari ke luar, lalu menutup pintu dengan kencang.

Sang ibu menghela napas panjang, tidak sempat mengejar anak kesayangannya. Sudah hampir satu bulan sejak sang blonde―sahabt baik anaknya―sudah tidak ada. Tapi anaknya itu tak tampak sedih. Padahal dia sudah menjelaskan bahwa Naruto sudah meninggal, tapi dia tak pernah mau mendengar dan mengatakan bahwa sang blonde masih hidup. Mikoto tak habis pikir, apa anaknya itu masih tidak mengerti dengan arti kematian atau itu hanya pelariannya agar tak terlihat sedih.

"Sepertinya tadi aku mendengar suara Sasuke?" Uchiha Itachi muncul dari ruang keluarga, mencari-cari sosok sang adik.

Ibunya menggelengkan kepalanya, berjalan ke arah dapur diikuti anak sulungnya. "Dia lagi-lagi pergi keluar. Entah apa yang dilakukannya, semenjak Naruto tidak ada dia jadi sering keluar, mengatakan ada janji, entah janji dengan siapa."

"Apa ibu sudah dengar?" Itachi berdiri di dekat meja makan, "Soal Sasuke."

Sang ibu mengangkat sebelah alisnya, dia mengambil beberapa sayuran yang sudah disiapkan di dekat meja kompor, mulai memotong-motongnya. "Kenapa dengan Sasuke?" tanya ibunya tidak mengerti.

"Orang-orang di desa menggosipkan Sasuke, mereka bilang Sasuke gila," jawab Itachi takut-takut, suara pisau yang berbenturan keras dengan talenan membuat Itachi sedikit melangkah mundur, takut melihat aura ibunya. "Sasuke terus saja mengatakan kalau Naruto masih hidup pada orang-orang, lalu ada yang melihatnya pergi ke danau dan dia sedang bermain petak umpet seorang diri, berlarian dengan gembira mengejar kunang-kunang, memanggilnya dengan nama anak yang sudah meninggal itu."

Pisau yang di pegang ibunya terjatuh, wajahnya pucat pasi. Cepat-cepat dia berlari pergi ke luar rumah, meninggalkan masakannya yang belum jadi, dengan celemek yang masih terikat di pinggangnya wanita itu berlari kencang. Hanya satu yang dia tuju, danau di dalam hutan.

Tak dipedulikannya orang-orang yang menyapanya, terus saja dia berlari menuju hutan, napasnya terengah-engah dan keringatnya bercucuran. Mikoto berhenti saat melihat sang anak tertawa ceria disekumpulan kunang-kunang, tergelak dan berlarian seolah sedang bermain dengan seseorang.

"Sasuke!" bentaknya nyaring, membuat sang raven menoleh padanya. Mikoto menarik tangan Sasuke kasar, membuat sang anak meronta-ronta.

"Ibu, sakit! Aku belum ingin pulang, masih ingin bermain dengan Naruto," rengeknya, jari-jarinya yang kecil mencoba melepaskan genggaman erat sang ibu dipergelangan tangannya.

Ucapan sang anak membuatnya pucat pasi, menatap Sasuke dengan wajah ketakutan. Mikoto berjongkok, menyentuh kedua pipi sang anak dengan telapak tangannya yang tak berhenti bergetar. "Kamu bilang apa, Sasuke?" suaranya ikut bergetar, "Apa kamu masih tidak mengerti? Naruto sudah tidak ada! Dia sudah meninggal!"

"Tidak!" ucapnya kali pertama membentak sang ibu, "Kalian semua aneh! Bicara hal yang tidak-tidak tentang Naruto! Apa kalian tidak bisa melihat Naruto ada di sana," tunjuknya pada sekumpulan kunang-kunang yang beterbangan di pinggir danau. "Kalian semua jahat, menganggapnya sudah meninggal!" air mata kembali membasahi wajah bocah itu.

"Sasuke! Dengarkan ibu!" bentaknya dengan suara nyaring membuat Sasuke kaget, "Naruto sudah tidak ada, Sayang," dia memeluk erat tubuh mungil sang anak, menangis sedih, "Dia sudah pergi ke surga."

"Kenapa Ibu bicara seperti itu? Ibu bohong!" bentaknya lagi, berlari meninggalkan sang ibu sendirian. Panggilan ibunya tidak dhiraukannya, dia terus berlari dan berlari, semakin masuk ke dalam hutan yang gelap.

.

Sasuke kecil semakin masuk jauh ke dalam hutan yang gelap, dia sudah tidak tahu ada dimana sekarang ini. Napasnya tersengal, memikirkan ucapan sang ibu, serta orang-orang di desa yang menyebutnya gila karena mengatakan Naruto masih hidup. Dia tidak mengerti, kenapa orang-orang tak bisa melihat sang sahabat? Kenapa orang-orang begitu kejam pada Naruto? Padahal sahabatnya itu masih hidup dan selalu menjemputnya untuk bermain bersama.

Sasuke berhenti di sebuah pohon besar, dia tampak kelelahan kelelahan. Dia duduk bersandar pada batang pohon. Suasana gelap mencekam tak mebuatnya takut, dia lebih memilih untuk di sini saja, daripada harus kembali pulang dan harus mendengarkan lagi penjelasan yang tak dapat dimengerti olehnya. Kedua kakinya ditekuk ke dada, menundukkan kepalanya di antara kedua lututnya.

Suara gemerisik kecil membuat kepalanya terangkat, menatap dengan waspada―sedikit takut, bagaimanapun dia ada di dalam hutan yang liar. Bisa saja ada hewan buas yang mengincarnya dan siap menerkamnya bulat-bulat. Dia tak bisa kembali karena sudah terlalu gelap, bisa-bisa dia tambah tersesat. Seekor kunang-kunang dengan cahaya terang tiba-tiba keluar dari arah rerumputan, serangga itu menghampirinya, membuat Sasuke tersenyum senang.

"Kamu mencariku?" tanyanya, serangga dengan sinar kuning berkelap-kelip mendarat di telapak tangannya. "Orang-orang di desa, mengatakan hal yang tidak-tidak tentangmu, bahkan ibu juga sampai mengatakan hal yang sama seperti mereka," keluahnya sedih.

"Hn, apa? Kamu memintaku untuk pulang kerumah?" ucapnya dengan nada tak percaya pada sang serangga berpendar cantik, "Aku tidak mau!" dengusnya.

Serangga yang ada di tangannya terbang, menjauh dari sang raven. "Hei! Kamu mau kemana!" Sasuke bangkit dari duduknya mengejar cahaya yang pergi menjauh darinya, "Apa itu balasanmu setelah aku membelamu? Hei, jawab aku, Naruto!"

Sang raven terus mengejar sang kunang-kunang, beberapa kali dia tersandung karena akar pohon yang mencuat keluar. Kunang-kunang itu seolah menunggunya saat sang bocah tertinggal jauh di belakang, dia akan hinggap di dekat rerumputan atau batang pohon, menunggu bocah itu untuk berdiri dan mengejarnya lagi, menjadikan dirinya cahaya ditiap langkah sang raven.

Tak terasa mereka sudah sampai di pinggir hutan. Sasuke melihat seluruh warga kampung berjaga dengan penerangan dari obor dan senter, memanggil-manggil namanya. Mereka kaget saat melihat sang raven yang keluar dari semak-semak. Sebuah pelukan hangat menyergap tubuhnya, ibunya menangis pilu. Kakak dan ayahnya menatapnya penuh khawatir. Sang ayah lalu menggendongnya, bersama seluruh warga desa mereka kembali menuju ke rumah masing-masing. Tangan kecil sang raven melambai pada seekor kunang-kunang yang terbang di pinggir hutan.

.

.

Sang ibu keluar dari kamar Sasuke, setelah memastikan putera kesayangannya itu tidur lelap. Raut wajah khawatir masih kentara di wajahanya. Dia melangkah menuju ruang keluarga, dimana suami dan anak sulungnya ada di sana, mengambil tempat duduk di sebelah suaminya.

"Kita percepat saja pindahnya," ucap Mikoto, "Aku khawatir kalau dia tinggal di sini lebih lama lagi."

Sang kepala rumah tangga mengangguk mantap, menyetujui ucapan istrinya. "Kalau begitu dua hari lagi kita berangkat. Bawa saja barang-barang yang sekiranya perlu dan tidak susah dibawa, sisanya biar aku saja yang mengurusnya dengan Itachi."

"Apa tidak bisa aku ditinggal sendiri di sini, Ayah? Ibu?" tanyanya penuh harap, "Aku tidak suka tinggal di kota," protesnya.

"Tidak bisa," ayahnya menjawab dengan tegas, melipat kedua tangannya di dada, "Kamu belum cukup umur untuk tinggal sendirian. Lagipula, kamu harus mendapat pendidikan yang lebih baik daripada di sini," jelas sang ayah, "Lalu, kamu juga harus menemai adikmu, ibumu pasti akan kerepotan kalau harus menangani Sasuke seorang diri." Itachi hanya mengangguk pada akhirnya, tidak tega dengan sang ibu.

"Ini gara-gara aku," Mikoto berucap dengan nada sangat menyesal, "Karena aku menceritakan tentang mitos kunang-kunang dia jadi seperti itu," sesalnya dengan air mata berlinang.

Fugaku mengelus pundak sang istri dengan lembut, "Ini bukan salahmu. Sasuke masih kecil, makanya dia tidak mengerti. Sebaiknya kita istirahat, mulai besok kita berkemas." Fugaku menuntun sang istri, mengajaknya kembali ke kamar.

Itachi sendiri masih duduk di ruang keluarga, menatap sekumpulan kunang-kunang di luar sana lewat kaca jendela. Dia bisa melihat kumpulan serangga itu menari di pekarangan samping. "Roh anak baik yang telah meninggal, akan menjadi sesuatu yang bersinar di tengah malam, ya?" gumamnya pada dirinya sendiri. Dia bangkit berdiri dan mematikan lampu. Bersiap menuju kamarnya sendiri, "Sasuke begitu mempercayai tentang hal itu," dengusnya, lalu menghilang dari balik kamar.

Tanpa Itachi sadari, di balik tembok ruang keluarga, Uchiha Sasuke berdiri di sana. Mendengar semuanya dengan jelas dari awal sampai akhir. Juga tentang kepindahan mereka ke kota yang tak pernah diceritakan orang tua maupun kakaknya padanya. Dia menggenggam erat ujung baju tidurnya, menggigit bibirnya dengan keras. Dalam diam dia menangis tanpa suara, tak ingin pergi meninggalkan desa ini. Meninggalkan sahabat baiknya seorang diri di tempat ini. Karena mereka sudah berjanji untuk terus bersama-sama.

.

.

Esoknya Sasuke akhirnya mendengar penjelasan dari ibunya, tentang kepindahan mereka ke kota. Pekerjaan orang tua menjadi alasannya, juga tentang mendapatkan pendidikan yang lebih baik untuknya menjadi alasan utama. Sedang alasan kenapa mereka harus pergi lebih cepat dari jadwal, tak dibeberkan ibunya, tapi Sasuke tahu. Dia paham benar dan tak ada yang bisa dia lakukan kecuali hanya mengikuti dengan patuh.

Besok hari keberangkatannya. Semua pakaian dan mainannya sudah dirapikan dalam kardus-kardus besar. Kamar miliknya sudah bersih dari perabotan, hanya meninggalkan futon. Sasuke keluar dari kamar, mendapati seluruh orang sedang sibuk mengepak ke dalam kardus dan koper.

"Ibu, aku mau pergi sebentar," ucapnya meminta izin, "Untuk terakhir kalinya aku ingin menemui―"

"Pergilah," putus ibunya dia mengelus kepala sang anak dengan lembut. "Jangan pulang terlalu malam," Sasuke mengangguk sedih, lalu mencium pipi ibunya sebagai rasa terima kasih karena telah dizinkan pergi.

Sang raven berjalan gontai ke luar rumah. Cepat-cepat memakai sepatunya. Melangkahkan kakinya menuju tempatnya biasa bermain. Tak dipedulikan bisik-bisik warga desa yang selalu membicarakannya setiap kali dia lewat.

Tak perlu memakan waktu lama untuk sampai ke danau yang ada di hutan. Matahari hampir tenggelam saat dia sampai di sana. Pandangan matanya menatap sedih ai yang tenang, seekor kunang-kunang menari di sekeliling tubuhnya, seolah mengajaknya bermain. Tapi sang pemuda hanya diam saja. Serangga itu mendarat di ujung hidung bangir sang pemuda, berkelap-kelip. "Aku tidak bisa bermain setiap hari lagi denganmu," desahnya, "Tapi aku janji! Aku akan kembali lagi, jadi kamu juga berjanjilah untuk menungguku di sini. Aku tidak akan memaafkanmu jika kamu tidak memegang janjimu!"

Kunang-kunang kecil hanya menggerakkan kepalanya sedikit, sayapnya bergerak-gerak membuat seulas senyum tipis di wajah Sasuke. "Jadi, jangan lupakan aku, Naruto. Hiks―" air mata membajiri wajahnya, dengan lengannya dia mencoba menghapusnya.

Dia berdiri dari duduknya, membuat sang kunang-kunang terbang dan hinggap di atas daun berry liar. Sosoknya yang kecil menatap punggung sang bocah yang semakin menjauh, kerlipnya berubah tidak seterang sebelumnya. Suara sesenggukan juga terdengar menggema di dalam hutan, tapi suaranya bukan dari sang raven. Melainkan dari seekor kunang-kunang yang bersedih ditinggal sahabat tersayang. Berjanji akan menunggu sang raven kembali.

.

.

End Flashback…

.

Sasuke terdiam, tubuhnya kaku. Ingatannya kembali mengalir seperti air di sungai―tak bisa dibendung―meluap-luap. Kedua kelopak matanya dia paksa untuk tertutup, mengalirkan segala emosi jauh di dalam hatinya. futon yang menjadi alasnya meringkuk basah kuyup, keringat masih mengalir di tubuhnya―mentes satu persatu. Kotak pandora telah terbuka lebar. Sasuke berharap pagi segera datang, agar dia bisa memastikan semuanya adalah sebuah kebenaran dan bukannya ilusi di malam musim panas tiada akhir.

.

.

.

Frau Freude

.

.

Dia akan datang…

Walau penggganti berlalu-lalang

Dia akan kembali…

Karena cinta ini abadi

.

.

Perlu waktu lima jam keluar dari desa Konoha dan memacu kendaraanya untuk sampai ke tempat dimana ada sinyal untuk ponsel yang sudah lama tidak dia gunakan. Itachi memarkir mobilnya di pinggir jalan, menekan nama dalam daftar panggilnya. Hari ini dia berencana menghubungi ayahnya, mengatakan kalau sang adik sudah banyak berubah dan siap dipulangkan ke Tokyo begitu libur musim panas selesai.

Perubahan sikap sang adik sebagian besar karena ulah Naruto, sepupu kekasihnya itu terlihat selalu menguntit adiknya dan menghalangi setiap tingkah sang raven jika akan berbuat usil terhadap hewan. Kedatangan sang blonde membuat tugasnya untuk memantau adiknya sedikit banyak berkurang. Mengingat tingkah Sasuke yang selalu kesal setiap kedatangan sang blonde, membuat pemandangan yang menyenangkan untuknya. Kapan lagi ada seseorang yang dapat membuat adiknya begitu kesal. Suara berat di ujung telepon membuatnya tersadar. Cepat-cepat dia membalas sapaan itu, tak sabar ingin menceritakan banyak hal tentang adiknya pada sang ayah.

.

Musim panas hampir berakhir dan Sasuke mulai membereskan barang-barang miliknya. Naruto membantunya mengepak, membuat pekerjaan menjadi cepat selesai. Keduanya tak banyak bicara, saling menyibukkan diri. Beberapa kali Naruto melirik-lirik sang raven yang tampak tak sepert biasa. Sejak kemarin malam Naruto merasakan ada yang aneh dengan pemuda itu, tapi tak berani bertanya. Suasana semakin hening setelah beberapa menit yang lalu Itachi meninggalkan mereka berdua. Sulung Uchiha tidak mengatakan kemana perginya, lelaki itu cepat-cepat keluar dan mengendarai mobil yang biasanya hanya terparkir dalam garasii.

"Tidak terasa ya, musim panas sudah mau selesai," ucap Naruto memecah kehingan, dia mengikat kerdus berisi oleh-oleh untuk orang tua Sasuke di kota. Mengikat kardus bekas jeruk dengan tali rafia.

"Hei," panggil Sasuke, tetap tak melepas pandangannya pada isi dalam kopernya yang sudah tertata rapi.

"Ya, Sasuke?" ucap Naruto menoleh padanya.

Sasuke diam sesaat, jari-jarinya meremas pinggir koper dengan erat, "Nanti malam, aku menunggumu di padang kunang-kunang," lanjutnya membuat wajah Naruto memerah.

"He? Tumben sekali kamu yang mengajak duluan?" Naruto tampak takjub, ini kali pertama sang raven yang mengajak terlebih dahulu. Biasanya dia selalu ditinggal, membuatnya harus mengekor diam-diam. "Apa ini kencan?" tanyanya malu-malu sampil tersenyum lebar, mengingat kembali kelakuan gila mereka di waktu lalu.

Sasuke tak menghiraukan ucapan sang blonde, dia menutup kopernya lalu menaruhnya di dekat pintu geser. "Tidak usah menjemputku, kita bertemu di sana saja," tambahnya, memutuskan seenaknya.

"Oke," Naruto tampak senang, dia mengacungkan ibu jarinya pada pemuda itu. "Memang kenapa? Kok harus di sana?" tanyanya penasaran. Tapi Sasuke sama sekali tak menjawabnya, bahkan sampai Itachi kembali pulang.

.

Bulan menggantung di atas langit musim panas. Cahayanya yang redup menyinari bumi, menjadi penerang gelapnya malam, bersama milyaran bintang yang terhampar di atas sana. Uchiha Sasuke menghirup napas dalam-dalam sebelum keluar rumah. Kakaknya yang baru saja keluar dari kamar menatapnya heran.

"Sasuke?"

"Damn!" bentaknya, menengok ke belakang dan menatap Itachi dengan bengis. "Jangan mengagetkanku!" protesnya.

Itachi hanya tersenyum kecil sambil menghampiri sang adik, "Maaf-maaf. Kamu mau kemana? Ini sudah malam?" dia memperhatikan penampilan adiknya dari ujung kepala sampai kaki. "Besok kamu sudah harus berangkat, istirahalah."

"Aku mau keluar sebentar, ada janji."

Itachi bersandar di dinding, melipat kedua tangannya. Sebelah alisnya terangkat, "Ucapanmu seperti déjà vu. Hal seperti ini kok rasanya pernah terjadi," gumamnya.

Sasuke terdiam, menyentuh gagang pintu, "Aku pergi dulu," pamitnya lalu berlalu pergi, meninggalkan debaman kecil saat pintu kembali tertutup.

.

Kakinya melangkah dengan pasti, menuju ke arah hutan. Sinar rembulan malam ini menjadi penerang jalannya. Suara jangkrik terdengar seantero desa, di antara rerumputan serangga itu bernyanyi melantunkan lagu malam. Pepohonan di dalam hutan tidak semengerikan saat pertama kali dia kemari malam-malam. Langkahnya lincah, menghindari akar-akar pohon yang besar―mencuat ke atas tanah.

Saat melewati rerumputan serta pohon berry liar, maka di sana akan terlihat danau berair tenang. Sasuke melihat punggung tegap seorang pemuda berbalut yukata berwarna kuning gading―berdiri di pinggir danau. Ujung rambutnya bergoyang lembut saat semilir angin malam menghembusnya. Kunang-kunang seolah menari di sekitar tubuhnya, meneranginya di tengah sinar pucat bulan di atas sana.

"Selamat malam," ucap sang blonde menoleh kecil, senyum tercetak jelas di wajahnya. Dia merasakan kehadiran orang yang sedang ditunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Kedua tangannya dimasukkan dalam lengan yukata.

"Hn," Sasuke menghampirinya, berdiri di sebelahnya. Terdiam sesaat untuk menikmati pemandangan malam yang paling indah di desa ini, di padang kunang-kunang, rumah tempat ribuan serangga itu selalu menari setiap malam di musim panas.

"Apa kamu tahu, kunang-kunang hanya dapat hidup di dekat air dan udara yang bersih? Mereka dijadikan indikator polusi di sebuah tempat," jelasnya membuka pembicaraan, tangan-tangannya menyentuh satu persatu kunang-kunang yang menghampirinya. "Apa di kota juga ada kunang-kunang?" tanyanya yang dibalas gelengan kepala dari sang raven, "Sayang sekali, ya?," lanjutnya dengan senyum kecut.

"Apa tidak ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" Sasuke menatap sang blonde dengan tajam, "Selain soal kunang-kunang," tambahnya.

Naruto hanya tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya. Mencoba meraih kunang-kunang yang beterbangan di hadapannya. "Tidak ada. Bukankah kamu yang mengajakku datang kemari. Harusnya kamu yang menjelaskan keperluanmu padaku."

Sasuke merogoh kantong celananya, menyerahkan selembar foto pada sang blonde, "Apa ini kamu?" tanyanya meminta kepastian. Sang blonde membelalak saat melihat foto dua orang bocah yang saling berangkulan. Salah satunya mrip sekali dengannya.

"Menurutmu?" balasnya santai, mengambil foto itu dari tangan Sasuke. Menatap foto lama dengan pandangan penuh rindu.

"Jangan bercanda!" bentak Sasuke nyaring, matanya berkilat-kilat penuh emosi di dalamnya. "Aku benar-benar tidak tahu, apa kamu itu dirinya atau makhluk lain yang hanya menyerupainya!" wajah Sasuke berubah mendung, tak ingin menatap mata yang akan mengingatkannya pada seseorang yang sudah lama tiada.

"Sasuke―" tangan sang blonde di tepis sang raven saat pemuda itu ingin menyentuh bahunya.

"Jangan menyentuhku, sampai kamu menjelaskan yang sebenarnya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Apa kamu pikir muncul dengan sosok mirip sepertinya di hadapanku akan lucu?" ucapnya sinis, "Hanya aku dan Itachi yang bisa melihat sosokmu. Aku tidak ingin dianggap gila lagi oleh warga desa! Apa sosokmu benar-benar ada atau ini hanya ilusi mata!" bentaknya penuh emosi, mengepal tangannya dengan erat.

"Sepertinya sudah ketahuan, ya?" suara yang sangat dikenal keduanya terdengar dari arah tengah danau. Seorang lelaki dengan kimono merah berdiri dengan ujung jari yang hampir menyentuh permukaan air, dia mengambang di udara. Sosoknya terlihat agung, ekor berjumlah sembilan di belakang tubuhnya meliuk-liuk indah.

"Kyuubi! Kenapa kamu berpakaian seperti itu?" heran sang raven, sedikit kaget melihat kehadirannya yang tiba-tiba saja ada di sana.

Lelaki itu memandang tajam sang Sasuke, sebelah tangannya menghempas udara, membuat sebuah angin besar yang menggoyang pepohonan di sekitar mereka. "Dasar manusia tidak sopan, aku ini Inari-sama," ucapnya angkuh, "Dewa rubah penjaga gunung." Sasuke hanya merengut, tidak percaya. Mengira asisten kakaknya itu sedang ber-cosplay. "Nah Naruto, sepertinya semua berjalan tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan, ya? Padahal tinggal sedikit lagi hampir selesai."

Naruto tersenyum masam, "Bisakah Anda memberikan sedikit waktu bagi saya, Inari-sama?"

Sang dewa mendengus, "Perjanjian tetap perjanjian. Tapi, aku akan memberikanmu sedikit bonus tambahan waktu," sang dewa melirik Sasuke sekilas, "Karena pekerjaanmu cukup baik," Naruto tersenyum, senang mendengarnya. "Gunakan bonus dariku sebaik-baiknya," lalu lelaki itu menghilang tiba-tiba, membuat Sasuke benar-benar heran.

Naruto mengulurkan tangannya ke pipi sang raven, membuat Sasuke terbelalak. Sebelum dia sempat menghindar, sebuah pelukan bersarang di tubuhnya. Naruto memeluknya dengan erat, "Maafkan aku," ucapnya dengan suara kecil, di dekat telinga Sasuke, "Aku datang hanya untuk menepati janji kita."

Sasuke terkesiap, dia menggenggam erat kain yukata di belakang punggung Naruto, "Apakah kamu benar-benar―"

"Apa kamu tidak ingat janji kita?," Naruto memutus ucapan sang raven, "Aku selalu di sini Sasuke, terus dan terus menunggumu," jelasnya, menyesap aroma tubuh Sasuke yang sangat dirindukan.

"Bodoh," geram Sasuke, dia menyembunyikan wajahnya di bahu sang blonde, "Bodoh!" ucapnya sekali lagi dengan nyaring, jari-jarinya bergetar di punggung pemuda itu. "Kamu memang bodoh, Uzumaki Naruto!"

Suara tawa yang renyah keluar dari bibir Naruto, tangannya mengelus lembut kepala sang raven. "Musim panas kali ini sangat hebat, akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Seperti mimpi saja," gummanya, kepalanya mendongak menatap langit di atas sana. "Maaf, saat kita kecil aku hanya membuatmu susah dan tidak pernah sempat meminta maaf padamu," Sasuke menggelengkan kepalanya sebagai jawaban ucapan sang blonde.

"Kamu tidak salah apa-apa, jadi jangan meminta maaf. Aku malah senang," ucap Sasuke, "Mengiramu benar-benar masih hidup, mengira kamu masih tetap ada di sisiku. Walau saat itu hanya aku saja yang bisa melihatmu, menulikan semua ucapan orang dan tutup mata saat semua memandangku dengan aneh," Sasuke mengingat kembali masa lalunya saat di desa. "Asal kamu selalu bersamaku, kupikir aku tidak akan apa-apa. Sampai ibu sangat sedih dan ayah memaksa atasannya untuk pindah kerja di kota."

Sasuke balas memluk Naruto erat, membuat seulas senyum tipis Naruto tercetak jelas di wajahnya. "Harusnya 'waktu itu' aku langsung pergi, tapi kenginan untuk terus bersama denganmu menahanku di sini. Aku sedih karena tidak bisa menemuimu dengan sosok seperti dulu."

"Kalau waktu itu kamu tidak muncul lagi, aku benar-benar bisa gila," Sasuke terkekeh kecil, meraskaan kehangatan tubuh Naruto yang melingkupi tubuhnya. "Maaf aku melupakanmu," ucap Sasuke tulus meminta maaf. Melupakan sahabat baiknya, orang yang paling dia sayang.

"Tidak apa-apa, hanya saja aku harap kamu bisa seperti dulu, seperti Sasuke yang aku kenal," mintanya dengan nada suara lembut, "Yang menyangangi semua hewan dan tumbuhan, bukannya menyakitinya," kelakarnya.

Sasuke semakin mengeratkan pelukannya pada Naruto, menatap wajah pemuda dengan ramah senyum itu, "Maaf, aku sudah membuatmu menunggu selama ini," desahnya penuh rasa menyesal, "Aku―"

Naruto lagi-lagi memutus ucapan sang raven. Dia memotong jarak di antara keduanya dengan sebuah sentuhan lembut di bibirnya. Sasuke diam tak bergerak, merasakan hangatnya sentuhan di belah bibirnya, menjalar ke seluruh tubuhnya. Naruto melepas ciuman terlebih dahulu, menyentuh kedua wajah Sasuke dengan tangannya, membingkai wajah pemuda yang telah lama dirindukannya, "Aku menyukaimu Sasuke. Sejak dulu aku sangat-sangat menyukaimu," ucapnya pada akhirnya dia bisa mengatakannya langsung pada pemuda itu. "Sejak kita kecil aku sudah mencintaimu. Walau dulu aku masih belum mengerti dengan perasaanku," kekehnya menggaruk pipinya, kebiasaanya saat malu-malu.

Sasuke tersenyum tipis, menarik kerah yukata pemuda itu. Sekali lagi mereka kembali bersatu dalam sebuah ciuman manis. Merasakan sengatan lembut yang membuat dada mereka berdebar kencang. Saling memahami melalui sentuhan seringan kupu-kupu, ditengah tarian kunang-kunang mereka kembali memahami satu sama lain.

Sasuke membuka matanya, melepaskan tautan di bibirnya. Merasakan belah bibirnya yang lembab. Kalau bisa dia ingin sekali lagi melakukannya, tak ingin melepaskan sentuhan hangat yang membuat perutnya terasa geli. Ingin selalu menatap wajah pemuda ramah senyum itu selamanya.

Tapi sesuatu tiba-tiba terjadi, tubuh Naruto bercahaya. Membuat Sasuke menyipitkan matanya karena silau. Mata malamnya terbelalak setelah cahaya itu sedikit meredup. Tubuh Naruto mulai menghilang, ujung kakinya berubah menjadi butiran cahaya, mengikis keberadaa sang blonde sedikit demi sedikit.

"Ke―Kenapa ini?" Sasuke tampak panik, menggenggam erat tangan sang Naruto, tak ingin melepaskannya.

"Sepertinya sudah saatnya aku pergi, padahal masih banyak yang ingin kulakukan dan kubicarakan," keluhnya, menatap lembut pemuda itu. Seolah sudah siap menerima segala yang akan terjadi.

"Naruto tubuhmu―"

"Aku tidak bisa menunggumu lagi di musim panas nanti," Naruto memotong ucapan Sasuke, mengelus lembut rambut pemuda itu. Cahaya itu mulai mengikis tubuhnya, sudah sampai di lututunya, "Sedikit sedih rasanya saat aku harus selalu menunggumu setiap musim panas datang, tapi aku tidak pernah menyesal. Karena pada akhirnya kamu menyadariku dan menepati janjimu," tangannya menyentuh lembut pipi sang raven, merasakan kehangatan itu untuk terakhir kalinya, "Saat-saat aku selalu menunggumu membuat semangatku tidak pernah hilang. Karena aku percaya, suatu saat nanti kamu pasti akan kembali ke sini dan saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menemuimu dengan sosok seperti dulu, bertengkar, tertawa, dan berbicara lagi denganmu, berada di sisimu saja sudah membuatku bahagia."

"Naruto," desah Sasuke, tubuhnya bergetar hebat.

"Ini musim panas terhebat yang pernah aku alami, tidak ada yang bisa menggantikan musim panas seperti ini," Naruto menautkan jari-jari mereka, saling menggenggam erat. "Terima kasih, Sasuke. Terima kasih karena kamu sudah menepati janjimu…," dia membawa punggung tangan pemuda itu ke bibirnya, mengecupnya lembut. Tubuh Naruto semakin cepat terkikis, "Berjanjilah padaku untuk terus hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jika kamu bisa melakukannya, aku pasti akan kembali lagi padamu. Saat itu bersiaplah, aku tidak akan melepaskanmu lagi," sumpahnya sambil tertawa lebar. "Sampai jumpa lagi, Sasuke."

Percuma Sasuke menggenggam erat tangan sang blonde, tubuh itu tetap menghilang, mengikis keberadaan yang memang harusnya telah lama menghilang. Sampai angin menerbangkan cahaya-cahaya kecil itu ke langit malam. Menghilang tak berbekas, meninggalkan senyuman sang blonde jauh dalam hati Sasuke.

"Naruto!" teriak Sasuke nyaring, mencoba meraih sisa-sisa cahaya, walau hanya angin yang dapat digenggamnya. Tubuhnya merosot ke tanah―meringkuk―mencakar tanah lembab di bawahnya. Hanya selembar foto yang terjatuh di tanah dan sekumpulan kunang-kunang yang beterbangan menemani dirinya.

Dalam heningnya malam di musim panas, seorang dewa menyaksikan semuanya sampai akhir, memandang kasihan pada sosok seorang anak manusia yang sedari tadi tubuhnya tak berhenti bergetar. Menangis dalam diam, bersedih sekali lagi ditinggalkan orang tersayang. Semua sesuai sekenario sang dewa, ini memang kejam tapi dia harus melakukannya. Sebelum semuanya menjadi terlambat dan lebih sia-sia.

.

.

Sasuke menarik kopernya, melangkah keluar dari kamar. Penampilannya tak sekacau saat semalam dia pulang. Kakaknya semalam sangat khawatir padanya, melihatnya tampak sangat kacau. Saat menanyakan soal Naruto, kakaknya sama sekali tidak mengingatnya, yang hanya dia tahu Naruto teman masa kecilnya yang sudah tiada. Itachi sama sekali tidak mengingat tentang Naruto yang kembali hadir saat musim panas dirinya yang masih ingat dan tak akan lagi melupakan sosok yang paling dia sayang.

Kakinya berhenti sebentar sebelum menjauhi rumah itu, menatap ke belakang, ke sekeliling rumah yang nantinya pasti akan dia rindukan. Walau awalnya dia tak menyukai tempat ini dan keterpaksaan yang membuatnya berakhir di sini, tapi dia tidak menyesal sudah kembali ke Konoha. Karena dia bisa bertemu untuk terakhir kalinya dengan Naruto. Memberikannya kenangan musim panas yang tidak akan pernah dia lupakan.

Sasuke membuka bagasi, memasukkan semua barang-barangnya, Ayahnya sudah siap di belakang kemudi, mesin mobil sudah menyala sejak tadi. Itachi membantu Sasuke memasukkan koper dan tas miliknya. Semalam dia menceritakan semuanya―kecuali cerita mengenai sosok Kyuubi yang mengaku sebagai Inari-sama―pada kakaknya, walau tampaknya kakaknya itu sedikit tidak percaya. Tapi dia mau mendengarkan ceritanya sampai selesai, itu saja sudah cukup untuk Sasuke.

"Jadilah anak baik setelah kembali ke kota. Jangan repotkan ayah dan ibu," nasehat Itachi pada adiknya, dia membukakan pintu penumpang―di sebelah tempat ayahnya menyetir―untuk adiknya.

"Hn," jawabnya tidak jelas seperti biasanya. Sasuke masuk ke dalam mobil, menutup pintunya, lalu mengeluarkan kepalanya pada kaca mobil yang belum ditutup. "Kakak," panggilnya membuat Itachi menolehkan kepalanya ke arah sang adik, dia terlihat kaget kerena akhirnya adiknya kembali memanggilnya dengan sebutan 'Kakak', bukan 'Hei' atau 'Kamu'.

"Ya, Sasuke?"

Sasuke diam sesaat. Sedikit ragu-ragu untuk berucap. "Apa musim panas tahun depan, aku boleh ke sini lagi?" tanyanya membuat ayah dan kakaknya membelalak lebar, tidak menyangka pemuda itu masih mau kembali ke tempat ini.

Itachi melirik sang ayah sekilas, ayahnya tersenyum kecil padanya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Tempat ini juga rumahmu," jawab Itachi senang. "Kapan saja kalau kamu mau kemari, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu."

"Sebenarnya aku ingin kakak membantuku melakukan sesuatu," ucapnya dengan pandangan mata serius, "Entah hal ini bisa terlaksana atau tidak. Nanti aku akan memikirkannya matang-matang saat sudah sampai di Tokyo, lebih jelasnya akan kusampaikan di musim panas tahun depan."

"Tentang apa, Sasuke?" tanya kakaknya penasaran.

Sasuke tersenyum tipis, menatap kakaknya tanpa keraguan. "Membuat kunang-kunang dapat hidup di kota," ucapnya mantap.

Itachi melebarkan matanya sedetik lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, tanda menyetujuinya.

Mobil yang membawa Sasuke akhirnya berjalan pergi, meninggalkan rumah penuh kenangan musim panas yang tak akan pernah dilupakannya. Sasuke menaruh kepalanya di jendela mobil yang dibiarkan terbuka, menghirup napas dalam-dalam. Menikmati pemandangan dan udara segar yang tak akan didapatinya di kota. Dia melambai ramah saat melewati depan rumah keluarga Uzumaki, nenek Mito ada di depan rumah, balas melambainya.

Sasuke dapat melihat di belakang sana, lebatnya hutan tempat kenangannya membuat hatinya sedikit perih. Tapi, mengingat waktu yang dihabiskannya bersama Naruto membuat perasaannya sedikit membaik. Dia akan memegang janji dari Naruto kali ini. Janji baru yang dibuat di padang kunang-kunang, agar pemuda itu bisa kembali lagi padanya. Kali ini dia yang akan menunggu dengan sabar, menunggu sosok yang sudah menuntunya dalam gelap untuk kembali berjalan ke arah yang lebih baik.

"Sampai jumpa lagi, Naruto."

.

.

.

Frau Freude

.

.

.

Sampai kita kembali lagi

Di bawah langit ini

Sampai di penghujung mimpi

Karena janji abadi

.

.

Omake.

.

.

Deru halus dari sebuah mobil mewah membelah jalan ibu kota. Memasuki jalan tol bebas hambatan menuju jantung kota Tokyo. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi ke angkasa, membiaskan cahaya matahari di sore itu, membuat seluruh gedung berwarna orange. Sang pengemudi melambatkan laju kendaraanya, dari kejauhan dia dapat melihat sebuah tempat dengan selubung kaca raksasa berbentuk dome―yang di dalamnya tampak banyak pohon berwarna kehijuan tumbuh subur di dalamnya.

Setelah keluar dari jalan tol, dia berbelok menuju ke arah dome. Memarkirkan kendaraanya pada lahan yang memang disiapkan untuk menaruh kendaraan―tak jauh dari dome kaca raksasa. Sang pengemudi keluar dari dalam mobil, menutup pintunya. Kakinya yang jenjang melangkah menuju pintu masuk, jari-jari porselennya melepas dasi yang mengikat di lehernya―melepasnya lalu memasukkan ke dalam kantung jas yang dipakainya. Tak lupa dia melepas dua kancing teratas kemejanya.

Lelaki itu mengeluarkan sebuah kartu tanda pengenal dari dalam kantung kemeja―memperlihatkannya pada sang penjaga―membuatnya melenggang masuk. Pintu otomatis terbuka, udara segar langsung memenuhi paru-parunya. Pepohonan dan tanaman tumbuh subur dalam rumah kaca buatan. Walau hari menjelang sore tapi tempat yang baru dibuka dua bulan yang lalu itu masih ramai, banyak orang datang bersama keluarga, sahabat, dan kekasih.

Arena untuk pejalan kaki dibuat senyaman mungkin, fasilitas penunjang untuk pengunjung sangat lengkap serta berbasis ramah lingkungan, papa-papan penunjuk arah dipasang di tiap-tiap pertigaan jalan, membuat pengunjung tidak takut untuk tersesat. Tokyo Great Green House menjadi surga dimana orang-orang kota melepas lelah, menikmati segarnya udara serta cantiknya berbagai tanaman. Rumah kaca yang dibangun dengan konsep pengganti hutan kota yang telah lama hilang, butuh beberapa tahun lamanya membangun tempat yang sebelumnya adalah taman bermain raksasa.

Sang pionir membeli tempat ini begitu mengetahui taman bermain hampir bangkrut. Butuh usaha keras sampai tempat itu jatuh ke tangannya, dia harus mengalahkan berpuluh-puluh pengusaha yang ingin mengambil alih tempat itu, membangunnya menjadi pusat perbelanjaan raksasa. Pada akhirnya dialah yang memenangkannya karena banyak bantuan dari pihak-pihak yang diharapkannya, termasuk oleh pemerintah sendiri.

Sang lelaki tidak akan pernah menyangka kalau ide yang selintas terbesit di kepalanya akhirnya benar-benar bisa terwujud. Suasana di dalamnya dibuat senatural mungkin seperti tempat asli tanaman-tanaman dari berbagai dunia itu tumbuh, dibagi menjadi beberapa section.

Ada satu section yang paling disukai sang lelaki, yang menjadi tempatnya menghabiskan setiap sorenya sejak dibangunnya tempat ini. Sebuah danau buatan di tengah dome, dibuat semirip mungkin dengan tempat kenangannya, dengan ilalang dan buah berry liar yang dibiarkan tubuh seperti habitat aslinya. Bersyukur dia memiliki kakak yang ahli dibidang hal-hal semacam ini.

Sebuah kursi panjang di taruh di dekat pinggir danau, danau berari tenang itu diberi pagar kayu―mengelilingi tempat itu―sebagai pengaman untuk pengunjung yang membawa anak kecil. Section itu tidak terlalu terang seperti section-section lainnya, memang di desain seperti itu karena ada alasannya.

Mata malam sang lelaki melihat seorang gadis kecil berlarian di dekat danau. Mencoba menangkap cahaya kecil yang beterbangan di pinggir danau. Dia mendekati bocah dengan rambut berhias bunga mawar, menyentuh kepalanya dengan lembut, membuat bocah itu mendongak padanya.

"Apa yang kamu lakukan adik kecil?" tanyanya ramah, berjongkok agar sejajar dengan gadis kecil itu.

Sang gadis kecil menyodorkan dua telapak tangannya yang saling terkatup, dengan senyum polosnya dia berkata. "Aku menangkap kunang-kunang. Mau aku bawa pulang dan memasukkannya ke dalam toples kaca."

Sang lelaki mendengus mendengar jawaban polos gadis kecil. "Mereka tidak akan dapat hidup jika kamu melakukan hal seperti itu. Apa kamu tidak kasihan dengannya?"

"Kenapa? Tidak masalah kalau aku hanya mengambil satu saja," gadis kecil tampak cemberut.

"Apa kam tahu, roh anak baik yang telah meninggal akan berubah menjadi sesuatu yang bersinar terang di tengah malam," mendengarnya sang gadis bergidik ketakutan, "Mereka akan berubah menjadi benda-benda langit," lanjutnya, mengerti ketakutan sang gadis kecil mengira sang lelaki membicarakan tentang makhluk halus menyeramkan yang tidak disukainya.

"Benarkah?" gadis kecil tampak tertarik mendengar penjelasan lelaki dewasa itu, apalagi melihat lelaki itu mengangguk mengiyakan.

"Mereka akan berubah menjadi bintang, bulan, planet, dan kunang-kunang," jelasnya membuat mata gadis kecil mengerjab takjub.

"Kunang-kunang bukan benda langit," protes gadis cerdas itu.

Sang lelaki tersenyum tipis, mengelus rambut gadis kecil itu lagi. "Mereka yang menjadi kunang-kunang adalah yang tertinggal di bumi. Cahaya mereka menerangi jiwa-jiwa mansia yang tersesat, membimbing mereka kembali ke jalan yang benar," matanya menatap kumpulan kunang-kunang yang menari di atas permukaan air danau. "Kalau kamu menangkap salah satu di antara mereka, berarti kamu sudah menutup cahay untuk orang diluar sana yang memerlukan cahayanya. Kunang-kunang akan mati dalam penyesalan dan tidak bisa menjadi salah satu dari mereka yang sudah naik ke angkasa. Terjebak selamanya sendirian."

Wajah sang gadis kecil berubah sedih, dia membuka telapak tangannya. Membiarkan kunang-kunang itu kembali terbang bebas bersama kawananya. "Kasihan sekali kalau dia tertinggal sendirian. Maafkan aku tuan kunang-kunang," ucapnya polos.

"Anak pintar," puji lelaki itu, sang gadis kecil tersenyum bangga.

"Konan! Ayo pulang, sudah malam," suara nyaring dari seorang wanita membuat gadis kecil menoleh ke asal suara itu.

"Aku harus pulang. Bye-bye, Paman Rambut Ayam," sang gadis berlari kecil, melambai-lambai padanya sebelum pergi.

Sang lelaki mendengus, setelah gadis kecil itu tak tampak dia menuju bangku yang ada di sana. Duduk santai sambil melepas jas yang dipakainya, menikmati pemandangan yang dapat membuat stresnya menguap, di padang kunang-kunang yang dibuat sama seperti tempat itu. Setiap kali melihat tempat ini, maka yang terbersit diingatannya adalah wajah seseorang berambut blonde.

Dia sudah menepati janjinya, menjadi orang yang sukses dan tak pernah melakukan hal-hal gila dan brengsek seperti saat dia muda. Akhirnya dia berhasil membuat kunang-kunang hidup di kota, walau dalam selubung rumah kaca raksasa. Setiap kali dia melihat serangga itu, dia berharap sekali lagi ada sebuah keajaiban. Berharap sosok yang dirindukannya kembali menjelma. Tapi semua hanya angan, hal seperti itu tak akan terjadi di kota besar seperti ini, dimana dewa hanya memperhatikan dari jauh, begitu yang dia dengar dari Inari-sama dari desa Konoha.

Setelah kepergian sang blonde dari dunia ini, lelaki berambut raven selalu mencari sosoknya. Mencarinya di antara rerumputan, dibalik dauh pohon berry liar, atau dimalam saat bulan tak muncul, walau dia tahu tak akan ada pemuda itu di sana, walau setiap tahun musim selalu berganti. Kadang dia berharap sosok itu muncul di antara gang-gang gelap di antara gedung pencakar langit, di sudut-sudut gelap stasiun kereta api, atau di taman yang ada di depan apartemennya. Tapi semua hanya angan, lebih tidak mungkin pemuda itu akan muncul di tempat seperti itu.

Tak lelah dia mencarinya, seiring mewujudkan janjinya. Jika keajaiban bisa sekali terwujud, dia ingin mengatakan kata yang tak sempat diucapkannya. Sebagai balas perasaanya untuk pemuda itu. Mungkin panggilan pemuda sudah tidak tepat untuknya sekarang ini, dimana sang raven sendiri sudah beranjak dewasa. Ingatan waktu itu selalu berputar dikepalanya setiap musim panas kembali menjelang, seperti saat ini.

Semuanya sepeti sebuah dongen yang diceritakan sebelum tidur, hal yang tak mungkin menjadi mungkin karena sebuah niat, keinginan yang tulus serta sebuah janji. Ingin rasanya dia kembali mengulang waktu bersama dengannya, tapi hal itu sangat mustahil. Kyuubi yang membuka ingatannya di waktu itu, dia menjelaskan semuanya di musim panas keduanya di desa. Juga menjelaskan sosok sebenarnya lelaki red-orange itu.

Kekasih kakanya itu mengatakan bahwa waktu sang blonde sudah hampir habis di kala itu, janji waktu itu adalah pedang bermata dua. Berhasil atau tidak, dia akan tetap dipaksa 'pulang', kembali keharibaan sang kuasa karena janji telah ditepati, atau dia akan menghilang tanpa bisa kembali ke dunia ini lagi. Lelaki berambut red-orange sendiri tidak yakin tentang reinkarnasi, walau sang raven berharap banyak jauh dalam lubuk hatinya agar sang blonde dapat kembali lagi.

Suara ponsel di saku celananya berdering nyaring, cepat-cepat diangkatnya. Suara seseorang di ujung telepon yang sangat dikenalnya, "Ada apa, Kyuubi?"

'Itachi sedang dalam perjalanan ke Tokyo. Ingat jangan mengatakan soal aku yang seorang Inari-sama!' ancamnya dengan nada keras, memperingati sasuke lagi.

Sasuke menghela naps, kebenaran bahwa kekasih kakanya adalah dewa penjaga gunung tak dikethui oleh kakaknya. Hanya dia yang tahu, lelaki berambut red-orange itu memaksanya untuk tutup mulut, dengan ancaman akan menghancurkan dome buatannya dengan meminta tolong―memaksa―pada dewa angin kenalannya. Sasuke tak mengerti apa alasannya sampai hal sepenting ini harus ditutupi. Tapi Kyuubi hanya mengatakan, karena dia tak ingin perbedaan antara dia dan Itachi semakin lebar.

'Hei, jangan diam saja!' bentaknya nyaring membuat telinga Sasuke sakit.

"Hn, aku tidak akan mengatakannya. Aku bosan setiap kali Itachi kemari kamu selalu memperingatkan hal yang sama," desahnya dengan nada suara penuh protes. "Apa kamu pikir aku manusia berbibir ember?"

'Aku hanya jaga-jaga, Anak Ayam!' makinya membuat Sasuke menjauhkan ponselnya. 'Bilang padanya segera menghubungiku setelah sampai,' ucapnya lalu telepon diputus oleh lelaki itu.

"Kenapa dia tidak bilang sendiri," dahinya mengernyit, menatap ponsel miliknya. "Dasar dewa egois, buat apa dia meneleponku." Sang lelaki memasukkan kembali ponsel ke dalam kantung celananya, bersandar pada kursi. Menikmati langit yang mulai gelap di luar sana.

Seekor kunang-kunang terbang ke arahnya. Dia membuka telapak tangannya, menjadi tempat pendaratan serangga itu. "Akhirnya aku berhasil menciptakan tempat ini," ucapnya sambil memandang sang kunang-kunang denan kerlip indah, "Tempat dimana kunang-kunang dapat hidup, tempat dimana roh-roh anak baik yang ada di kota ini berkumpul," sebuah senyum tipis terlukis di wajahnya yang biasanya selalu dingin. "Menerangi jalan mereka yang tersesat, sepertiku dulu. Iya kan, Naruto?"

Kunang-kunang itu kembali terbang ke kawanannya, sepasang mata malam memperhatikan serangga itu. Berkelap-kelip semakin cantik, menari mengelilingi danau buatan. Walau pertemuan mereka di malam itu singkat, tapi dia percaya kalau suatu saat nanti mereka pasti akan bertemu lagi, karena dia sudah membuat tempat yang mirip dengan tempat kenangan.

"Hei, Sasuke!" suara serak dari kejauhan memanggilnya, membuat sang pemilik nama menolehkan kepalanya. "Ayo kita pulang," ajak seorang lelaki berambut blonde yang senyumnya selalu dirindukannya. Sasuke berdiri dari duduknya, menenteng jas yang dipakainya kebahunya. Kakinya melangkah ke arah pemuda itu berdiri, menggenggam tangan sang blonde dengan erat, tak ingin melepaskannya lagi.

Janji telah ditepati, penantian telah terbayar, dan kejaiban sekali lagi terwujud. Bersama-sama mereka berdua melangkah ke kehidupan yang baru, dimana masa depan baru saja dimulai. Kata-kata yang tak terucap akhirnya dapat tersampaikan, di padang kunang-kunang bersama selamanya.

.

.

End Omake

.

.

.

Ini bukan tentang diriku

Juga bukan tentang dirimu

Ini tentang kita yang bertemu dimalam itu

Di padang kunang-kunang bersama denganmu

.

Kerlap-kerlip dalam gelap

Sosok tampan bertubuh tegap

Beralas geta melangkah sigap

Menari dan masuk dalam dekap

.

Kelingking saling tertaut

Janji sampai datang maut

Hatipun jadi tertaut

Ditinggalpun jadi takut

.

Dia pergi…

Tak berarti cinta ikut mati

Dia hilang…

Tak berarti perasaan ikut kerontang

.

Dia akan datang…

Walau pengganti berlalu-lalang

Dia akan kembali…

Karena cinta ini abadi

.

Sampai kita kembali lagi

Di bawah langit ini

Sampai di penghujung mimpi

Karena janji abadi

.

.

.

FIN

.

.

.

Frau benar-benar telat buat upload #mewek Karena sinyal inet yang ilang-ilang ngebuat Frau telat banget a.k.a ketinggalan T.T… Frau minta maaf banget ma teman-teman yang udah berpartisipasi, khusunya buat para panitia yang lainnya T.T

Event untuk acara ini bisa lebih lengkap kalian ketahui dengan membuka facebook dan mencari grup Opposite Party.

Terima kasih buat semuanya yang sudah menyempatkan ikut berpartisipasi di event ini, semoga tahun depan kita bisa berjumpa lagi di event yang mempertemuka para Author SasuNaru dan NaruSasu. Semoga dengan diadakannya event ini persahabatan yang terjalin di antara kedua author SNS bisa lebih baik lagi.

.

So, mind to review, minna-san~