.

.

.

Previous Chapter :
"—ehm, well, Chanyeol. Sepertinya itu pesawatmu. Bukankah sudah waktumu untuk pergi. Kha, sebelum kau tertinggal pesawat." Ketika Baekhyun hendak saja mengeluarkan permohonannya agar Chanyeol tetap tinggal—sebenarnya Baekhyun juga tidak begitu yakin—kata-katanya berganti setelah terpotong oleh sebuah suara dari pengeras yang mengumumkan bahwa pesawat Chanyeol akan segera lepas landas. Tapi Chanyeol tak bergeming di tempatnya, dengan pikiran yang melayang-layang. Apa waktu memang berjalan secepat itu?

.

.

.

LAST
CHAPTER!

.

.

.

Kening Baekhyun berkerut heran ketika melihat Chanyeol yang tetap diam di tempatnya, padahal dirinya saja sudah berdiri dari duduknya. Sampai Baekhyun berinisiatif untuk melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Chanyeol dan sedikit mengguncang bahunya, membuat Chanyeol akhirnya kembali ke dunia sadarnya. "O-oh? Arra."

Secepat mungkin Chanyeol berdiri dari kursinya—secepat ia melemparkan gelas kopi yang sudah kosong—dan ia memegang pegangan koper. Paspornya sudah tersimpan rapi di kantung kemejanya. Namun Chanyeol belum beranjak pergi, masih menatap Baekhyun yang sebisa mungkin mengalihkan pandangannya ke arah lain—meskipun seharusnya ia tahu bahwa ia harus menikmati wajah Chanyeol di saat-saat perpisahan seperti ini. Seperti Chanyeol yang saat ini ia tahu, sedang menatap dirinya. "Hey, Baekhyun. Kurasa... ini benar-benar waktunya untuk pergi."

Hanya gumaman pelan yang menjadi balasan Baekhyun. Chanyeol tersenyum kecil ke arah Baekhyun. "Baek, tatap aku, dan dengarkan apa yang akan kukatakan."

Butuh beberapa detik terlalui secara percuma untuk menunggu Baekhyun benar-benar menatap Chanyeol seutuhnya. Tapi Chanyeol tidak peduli, yang ia pedulikan adalah Baekhyun yang kini sduah menatapnya dan berdoa dalam hati semoga suaranya tidak terdengar bergetar sama sekali, alih-alih suara yang dikeluarkannya justru semakin serak dan serak. "Jangan lupa untuk belajar gitar yang rajin dan jadilah penyanyi juga gitaris yang sukses agar aku tahu keberadaanmu suatu waktu nanti dan dapat berlari menemuimu. Dan kau tidak boleh melupakan itu, arraseo? Juga, ini—"

Hap!

Baekhyun menatap kertas yang terlipat-lipat kecil itu kini sudah berada di tangannya. Ia mengernyitkan alisnya sambil membuka lipatan kertas itu, dan begitu terbuka, ia justru semakin mengernyit bingung. "Apa ini?"

"Digit password apartemenku. Sepenuhnya kuberikan padamu."

"HAH?! Kau gila!" Teriak Baekhyun spontan. Ayolah, setelah gitar fender berharga fantastis itu, dan sekarang apartemen mewah? Baekhyun bukannya bermaksud untuk tidak sopan, tapi ia benar-benar berpikir bahwa otak Chanyeol sudah merosot hingga ke mata kakinya. Bodoh.

Lagipula, siapa dirinya sampai Chanyeol menyerahkan ini-itu dengan harga yang, ah, Baekhyun tidak bisa menyebutkannya, untuk dirinya? Yang benar saja, gumam Baekhyun dalam hati.

"Ck, reaksimu berlebihan, bocah. Makanya kau harus sukses sepertiku, agar jantungmu tidak copot mendengar hal-hal seperti itu. Ayolah, itu hanya apartemen..." Ujar Chanyeol santai sambil memasukkan salah satu tangannya yang tidak memegang koper itu ke dalam sakunya.

"Hanya apartemen pantatmu!" Geram Baekhyun sambil memutar bola matanya. "Kalau aku mendengar sebuah GITAR FENDER dengan sebutan hanya di saat ini juga, kau benar-benar akan kubunuh."

"Haha, oke, oke." Chanyeol melirik jam tangannya dengan cepat. "Ugh, Baek, sepertinya aku harus benar-benar pergi."

"Hm, hm. Pergilah," Lepas Baekhyun dengan suara biasa, tapi matanya meredup. Tangan Chanyeol terulur untuk memeluk tubuh mungil Baekhyun, mengabaikan kopernya begitu saja. Baekhyun tersentak, namun beberapa detik kemudian tangannya terangkat ragu untuk membalas pelukan Chanyeol.

"Jaga dirimu baik-baik." Gumam Chanyeol tepat di telinga Baekhyun, sedangkan hidungnya menempel langsung dengan rambut Baekhyun yang beraroma wangi. Oke, jadi rambutnya memang berbau manly, hanya saja untuk wangi tubuh dan parfum pakaian Baekhyun... wangi strawberry.

"Terima kasih untuk semuanya, Chanyeol. Dan aku akan baik-baik saja, untukmu." Balas Baekhyun, mengabaikan setetes air mata yang sudah melesak keluar di ujung matanya, dan ia masih menahannya mati-matian untuk tidak membasahi pipinya. Tidak untuk saat ini. Sedangkan Chanyeol, tubuhnya merasa meremang mendengar perkataan Baekhyun. Demi dirinya, dan Baekhyun akan baik-baik saja. Baekhyun akan baik-baik saja.

Sebelum benar-benar melepas pelukannya, Chanyeol berbisik di telinga Baekhyun. Dan Baekhyun tercenung, tidak sadar jika Chanyeol kini sudah melepas pelukannya dan melangkah pergi sambil berdadah ria, sedangkan tangan kirinya setia menggeret koper. Baekhyun tidak bisa berkata apapun maupun bergerak, tatapannya masih jatuh ke arah Chanyeol. Hingga Chanyeol menghilang dari pandangan, dan Baekhyun menggigit bawah bibirnya keras-keras.

...sepertinya Baekhyun pernah mendengar Chanyeol mengatakan tentang seseorang dan sinar bulan... tapi kenapa ia lupa?

Padahal kalau tidak salah, Chanyeol baru mengatakannya kemarin.

Ah, sudahlah.

Sejujurnya, Baekhyun lebih peduli dengan bagaimana caranya untuk tidak menangis seperti orang gila saat ini.

"Goodbye, my moonlight."

.


"Neon ssodajineun dalbiche syawo, geu hwangholhan pyeojongeun bon jeogi eobseo
Geurimcheoreom meomchun nega boyeo, geu siseon kkeuten—"

EXO, Moonlight


.

Suara derap kaki pelan dan pintu di banting membuat Baekhee yang sedang mengobrol dengan temannya semasa kuliah dulu di ruang tamu itu berjengit. Menyadari siapa pelaku yang sangat memungkinkan dan sudah patut dicurigai, tak butuh waktu lama untuk Baekhee berteriak. "BYUN BAEKHYUN! KAU TAHU BERAPA HARGA APARTEMEN INI, HAH?"

Nyatanya Baekhyun yang memang baru memasuki apartemen itu tidak peduli dengan apa yang diproteskan noona-nya itu. Tubuh lemasnya melangkah terseok-seok menuju tempat noona-nya berada. Merasa ada sesuatu yang asing, Baekhyun sedikit melirik ke arah kiri dan mendapati Taeyeon noona, teman dari Baekhee dan tentu saja Baekhyun mengenalnya karena Taeyeon sering mengunjungi Baekhee ketika dirinya dan Baekhee masih tinggal bersama orang tuanya. Tapi, sejak dua bulan Baekhyun tinggal di apartemen Baekhee, sepertinya baru kali ini ia menemukan Taeyeon.

Hanya saja, Baekhyun sedang tidak peduli apakah Taeyeon memang ada di sini atau tidak.

Kini Baekhyun berada persis di hadapan noona-nya, masih mengabaikan Taeyeon yang berada di sebrang noona-nya—yang berarti sekarang sedang Baekhyun punggungi. Tubuh Baekhyun bergetar, dan sedetik kemudian, ia terjatuh dengan posisi berlutut di hadapan noona-nya. Membuat Baekhee sukses memekik tertahan antara terkejut dan heran. "Hey, Byun Baekhyun? Ada apa?"

"Ak-aku—hanya—tidak—i-ini—" Baekhyun menggeleng keras-keras, frustasi sendiri dengan otaknya yang tidak bisa bekerja dengan benar dan mulutnya yang tiba-tiba seperti orang gagap. Hingga setetes liquid bening itu membasahi pipinya dan Baekhee mulai dapat menebak masalahnya. Dan sebelum Baekhee sempat membuka mulut untuk menebak dan tangannya hendak menyentuh pundak Baekhyun, Baekhyun sudah lebih dulu berdiri untuk melangkah lebar menuju pintu depan apartemen. Kembali keluar.

Taeyeon yang tidak tahu apa-apa mengerutkan alisnya heran. "Ada apa dengan Baekhyunie?"

Atau aku mungkin belum menjelaskan jika Taeyeon ini memiliki perasaan khusus kepada Baekhyun sejak dulu Baekhee dan Baekhyun masih tinggal di rumah orang tua mereka. (—dan itulah alasan mengapa Taeyeon terbiasa memanggil Baekhyun dengan panggilan sayangnya sendiri.)

"Park Chanyeol," Baekhee mendesah lemah dan menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa. Tak mempedulikan (—sebenarnya, lupa—) tentang perasaan khusus Taeyeon pada dongsaeng-nya, dan ia berbicara. "Patah hati karena ditinggal cinta pertamanya, Chanyeol, pergi ke London."

Dengan begitu Baekhee bangkit, meninggalkan Taeyeon yang termenung atas perkataan Baekhee. Dan sebelum Baekhee berbalik untuk menyadari perkataannya yang tidak memikirkan perasaan Taeyeon, Taeyeon sudah lebih dulu bangkit dari sofa dan beranjak keluar. Secepat mungkin, tidak ingin kehilangan jejak Baekhyun.

.

.

.

Tangan kiri Baekhyun dengan gemetar meraba-raba kantung celananya untuk mencari kertas berisikan password apartemen yang diberikan Chanyeol saat di bandara, sedangkan tangan kanannya bersiap untuk menekan password. Ia sekilas mendengar suara tilt pelan dari apartemen sebrang—yang menunjukkan bahwa di apartemen sebrang itu pintunya baru terbuka (dan Baekhyun tidak tertarik untuk melihat siapa orang itu). Ketika Baekhyun menemukan kertasnya dan membuka lipatan tersebut, Baekhyun tercenung sendiri ketika menyadari kombinasi empat digit tersebut. Kenapa bisa ia tidak menyadarinya? Ini adalah tanggal lahir Baekhyun—

atau mungkin hanya kebetulan saja.

Kepala Baekhyun menggeleng keras untuk membuang pemikirannya jauh-jauh, dan segera menekan password apartemen yang sebelumnya milik Chanyeol itu—sampai saat ini sebenarnya. Sejenak kemudian terdengar bunyi tilt pelan, dan Baekhyun mendorong pintu tersebut untuk terbuka, lalu menutupnya kembali hingga berbunyi tilt lagi.

Tapi Baekhyun tidak sadar jika ada seseorang yang mengintip password apartemen itu ketika ia menekan passwordnya—tidak ada orang yang dapat dicurigai selain sosok yang tadi baru keluar dari apartemen sebrang. Taeyeon, sosok itu, dengan yakin menekan password apartemen ini yang merupakan tanggal lahir Baekhyun, dan pintu terbuka. Tak butuh keraguan apapun bagi Taeyeon untuk memasuki apartemen itu—yang ia tahu ini milik Chanyeol entah siapa itu yang diceritakan Baekhee barusan.

Dalam hati Taeyeon menerka, sebenarnya sedekat apa hubungan antara Baekhyun dengan Chanyeol?

Sedangkan Baekhyun, yang tidak menyadari keberadaan Taeyeon yang baru memasuki apartemen, kini masih bersadar pada pagar balkon, nampak menikmati pemandangan sore menjelang malam ini. Angin yang terasa kering berhembus, membuat gorden di balik pintu balkon yang terbuka itu tersibak-sibak dan menyuarakan bunyi yang khas. Baekhyun masih tidak menyadari adanya orang lain di apartemen itu, sampai Taeyeon membuka suaranya untuk memanggil nama Baekhyun. "Baekhyun."

Yang dipanggil hanya diam, dan Taeyeon pikir Baekhyun tidak mendengar suaranya—alih-alih berpikir jika pemuda manis itu sengaja mengabaikan kedatangannya. Tapi sebelum Taeyeon membuka mulutnya kembali, Baekhyun sudah lebih dahulu untuk menolehkan kepalanya ke arah di mana Taeyeon berada. "Oh, hai, Taeyeon noona."

Entah Taeyeon yang melebih-lebihkan atau memang Baekhyun yang nampak kecewa...

Taeyeon beranjak dari tempatnya untuk mendekati Baekhyun, dan Baekhyun kembali menghadapkan dirinya ke pemandangan Seoul yang terasa sama seperti terakhir ia melihatnya dari sini—masih sama-sama indah—tapi entah mengapa ia merasa hampa. Bahkan kedatangan Taeyeon yang kini berada di sampingnya juga tidak bisa mengurangi rasa hampa itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Taeyeon, berusaha merilekskan dirinya untuk berbicara dan ikut menyenderkan tubuhnya di pagar balkon. Alih-alih Baekhyun ingin mengabaikan pertanyaan itu dan balik memberi Taeyeon pertanyaan seperti "Bagaimana kau bisa masuk?", tapi akhirnya ia memilih masa bodoh dan menjawab pertanyaan Taeyeon dengan jawaban singkat. "Mengenang kenangan lama."

Kepala Taeyeon terangguk mengerti, dan Taeyeon menoleh ke arah Baekhyun. "Kenangan dengan Park Chanyeol itu?" Dan sebelum Baekhyun sempat menjawabnya, Taeyeon kembali melempar pertanyaan lagi. "Kalau aku boleh tahu, siapa itu Chanyeol?"

"Well, ya, kenanganku dengan Chanyeol... ketika aku merasakan sentuhannya di sini, merasakan hangat tubuhnya di sini..."

Baekhyun tidak sadar pernyataannya yang seharusnya hanya menjuru pada 'rangkulan Chanyeol pada pinggangnya' itu bisa ia deskripsikan sedemikian rupa seperti ia melakukan sesuatu yang menggairahkan—dan membuat wajah Taeyeon memanas saat medengarnya. Tapi Taeyeon mencoba membuang jauh-jauh kegugupan yang melandanya. Dan Baekhyun kembali membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan kedua dari Taeyeon. "Chanyeol adalah..."

"Seorang composer dan gitaris sukses yang merupakan tetangga apartemen noona-ku..." Taeyeon hampir mendesah lega mendengar penjelasan Baekhyun, 'tetangga apartemen' terdengar lebih baik dari segalanya sebelum Baekhyun kembali bersuara. "...dia adalah hyung-ku, temanku, saudaraku, malaikatku, kebahagiaanku, ketergantunganku... cinta pertamaku..."

Sudut bibir Baekhyun kemudian kembali terangkat. Matanya menerawang, tidak menyadari jika suaranya sedari tadi lebih terdengar seperti monolog daripada menjawab pertanyaan, dan tidak menyadari raut wajah Taeyeon yang berubah sendu. "Dan, dia adalah—segalanya."

Hampir saja Taeyeon meledak untuk meneteskan air matanya, tapi gadis itu mencoba menahannya mati-matian dan memilih menghindari pembahasan ini lebih lanjut. Ia mendongak, menatap hamparan bintang di langit malam hari ini yang terlihat sangat banyak. Baekhyun seolah mengerti, ikut mendongak untuk menikmati sinar-sinar bintang yang berkelap-kelip di mana-mana, dan kemudian Baekhyun bersuara. "Lihat bintangnya..."

"Yeah," Gumam Taeyeon pelan, matanya nampak berbinar karena air mata yang ia tahan. "Mereka indah."

"Kau tahu siapa yang lebih indah dari mereka?" Tanya Baekhyun dengan suara lirih, mengucapkan serentetan kalimat yang ia olah tanpa sadar dari otaknya. Juga pengucapan serta raut wajahnya memberi Taeyeon secercah harapan—

"Siapa?"

—dan harapan itu terjatuh menjadi kepingan debu yang tak berguna. Menghilang begitu saja dengan harapan sia-sianya, merasa tak dibutuhkan, dan Taeyeon tahu ini waktunya untuk menyerah tanpa perlu dimulai.

"Chanyeol."

Baekhyun mengukir sebuah senyuman tipis yang tulus dan setetes air mata itu menjatuhi pipi Baekhyun. Taeyeon mengangguk dan berbalik untuk beranjak pergi. "Yeah, aku harus pergi."

"Dan, noona, dengar aku." Potong Baekhyun, membuat langkah Taeyeon terhenti. Taeyeon sudah meneteskan air matanya, tapi menahan isakannya mati-matian dan mencoba untuk mendengar Baekhyun di saat-saat terakhir. "Jangan mencintaiku, aku tidak akan pernah bisa mencintaimu bahkan sekalipun Chanyeol tidak ada di sini. Aku mencintai Chanyeol sampai aku lupa bagaimana cara mencintai orang lain."

Tanpa memberikan jawaban, Taeyeon melangkah pergi dan suara tilt dari pintu apartemen menandakan Taeyeon benar-benar sudah meninggalkan apartemen ini. Baekhyun mendesah, menatap bulan sabit yang berada di tengah-tengah langit itu. "Ugh, ini belum ada dua puluh empat jam sejak kepergian Chanyeol dan aku sudah merindukannya..."

.

.

.

.

.

Ini sudah tiga tahun berlalu.

Baekhyun berjalan sedikit terburu-buru ke ruangan di mana ia akan disyuting. Pintu ruangan itu menjeblak terbuka oleh Baekhyun, membuat kru-kru di dalam ruangan tersebut tersentak kaget, tapi akhirnya kembali bekerja kembali. Baekhyun menghampiri salah satu staff, kemudian ia mendapatkan pengarahan dari staff tersebut.

Semuanya sudah siap, dan Baekhyun duduk di sebuah sofa dengan gitar di pangkuannya. Tak lama kemudian, kamera dinyalakan dan kegiatan wawancara-pun dimulai.

Q : "Baiklah, ini dia artis muda yang sedang naik daun saat ini! Byun Baekhyun! Tanpa berbasa-basi lagi, kami akan memulai pertanyaannya. Untuk yang pertama—anda baru saja mengeluarkan lagu baru, bukan? Bagaimana komentar anda tentang itu, Baekhyun-ssi?"

A : "Yah, saya merasa tersanjung dan tidak menyangka jika saya menarik perhatian banyak orang sampai membuat saya menjadi terkenal seperti ini. Saya benar-benar berterima kasih pada para fans yang sudah memberikan dukungan dan support kepada saya yang notabene-nya seorang artis pendatang baru."

Q : "Benar sekali. Anda benar-benar hebat bisa membuat banyak orang langsung tertarik pada anda. Lalu pertanyaan kedua, katanya lagu pertama anda ini dikarang oleh anda sendiri. Benarkah itu?"

A : "Ya, benar. Single berjudul 'Love to Someone Like Enemy' ini memang liriknya saya tulis sendiri."

Q : "Wow! Ternyata Baekhyun-ssi tidak hanya berbakat dalam menyanyi dan menggitar saja, tetapi juga berbakat untuk menjadi composer. Benar-benar artis pendatang yang hebat. Tapi, isi lagu itu benar-benar sangat indah sekali. Dari mana Baekhyun-ssi mendapatkan inspirasi?"

A : "Dari seseorang... yang pernah menjadi tetangga apartemen noona-ku. Meskipun sikap kami satu dengan yang lainnya seperti bermusuhan, tapi aku bahkan tidak menyangka jika bisa jatuh cinta dengannya. Dia memberiku gitar ini sebelum ia pergi ke luar negeri, dan memintaku untuk sukses agar ia bisa berlari menemuiku. Aku tidak begitu paham apa yang ia inginkan, tapi aku mencoba untuk menuruti keinginannya dan aku sangat bersyukur bisa menjadi sukses."

.

tak ada yang menyadari setetes liquid bening yang bersarang di ujung mata Baekhyun.

.

.

.

"Baekhyun-ssi!"

Baekhyun yang kini sedang membereskan barang-barangnya seusai sesi wawancara tadi menoleh begitu merasa seseorang memanggil namanya. Seorang yeoja dengan pakaian formal mendatanginya, membungkuk sejenak sebelum berucap. "Anda mendapat tawaran kerja sama dari seorang composer yang datang dari Eropa. Beliau menunggu anda di ruang nomor tiga, sekarang."

Meski bingung, Baekhyun tetap menganggukkan kepalanya. "Baiklah, ucapkan padanya aku akan segera datag."

Dengan begitu, yeoja tersebut mengangguk dan beranjak pergi. Baekhyun mempercepat beres-beresnya, lalu beranjak keluar ruangan untuk menuju ruangan nomor tiga yang berjarak beberapa meter dari sana.

Sampai di depan pintu, Baekhyun merasa ada getaran tak wajar pada jantungnya sendiri. Dan tangannya bergerak pelan untuk menggapai gagang pintu, menekannya lemah lalu membuka pintu dengan perlahan. Pintu terbuka semakin lebar, dan sosok bertubuh tinggi berdiri di dekat jendela dengan membelakangi Baekhyun.

"Excuse me?" Panggil Baekhyun, memiringkan kepalanya. Baekhyun menutup pintunya setelah benar-benar masuk ke dalam ruangan tersebut. Dan sosok bertubuh tinggi itu berbalik, seperti slow motion padahal gerakan berbalik itu terhitung cepat.

Dan Baekhyun membeku di tempatnya.

"Hai, Baekhyun." Sapa sosok tersebut, menyunggingkan senyum tipis.

Tubuh Baekhyun bergetar tanpa alasan. Jantungnya berdegup semakin cepat, dan bibirnya yang juga bergetar itu terbuka perlahan. Menyuarakan suara yang terdengar lirih. "Park... Chanyeol?"

Kaki Baekhyun tanpa sadar tergerak untuk melangkah lebih dekat dengan sosok Park Chanyeol itu, dan sadar atau tidak Chanyeol juga sama-sama melangkah mendekati Baekhyun. Ketika keduanya benar-benar berhadapan, tangan kanan Chanyeol tergerak untuk menekan tengkuk Baekhyun hingga kedua dahi mereka bersentuhan, sedangkan tangan kirinya terangkat untuk memeluk pinggang Baekhyun.

Baekhyun tidak melakukan penolakan apapun karena matanya terpaku pada bola mata Chanyeol. Senyuman Chanyeol bisa Baekhyun rasakan meski Baekhyun tidak melihat ke arah bibir Chanyeol. Chanyeol bergumam pelan, dengan hembusan nafasnya yang menerpa pelan wajah Baekhyun. "Merindukanku?"

Mata Baekhyun berangsur-angsur menjadi berair, dan saat Baekhyun memejamkan matanya untuk menahan air matanya yang sudah merebak, saat itu pula Chanyeol menekan tengkuk Baekhyun semakin dalam hingga bibir mereka bersentuhan.

Bibir mereka bersatu dalam ciuman lembut yang menyiratkan kerinduan, dan ketika Chanyeol melepas tautan bibir mereka dengan dahi yang masih bersentuhan, ia bergumam kembali.

"Terima kasih sudah menjadi sukses untuk membuatku menemuimu dengan mudah."

"C-cha-chanyeol..."

"Terima kasih masih menyimpan gitar yang kuberikan padamu."

"Ten-tentu saja..."

"Terima kasih membuat lagu yang ternyata menceritakan tentangku, tentang kita."

"Yeol, aku..."

"Terima kasih sudah mencintaiku, sayang."

"E-eh?"

Dan penantian Baekhyun selama tiga tahun lebih tidaklah sia-sia ketika ia kembali merasakan sentuhan bibir Chanyeol di bibirnya untuk kedua kalinya di hari ini. Dengan tangan kanan yang semakin erat merengkuh pinggang Baekhyun, Chanyeol berucap di sela-sela ciumannya.

"Dan aku juga mencintaimu."

Liquid bening yang tadi ditahan Baekhyun mengalir begitu saja.

Ini menjadi akhir dari penantian mereka berdua. Dan di sini tempat mereka. Tidak peduli ini adalah ruangan gedung sebuah stasiun televisi yang terisi beberapa barang dengan pemandangan Seoul dari kaca jendela. Tidak peduli apapun tentang tempat ini, karena di sinilah mereka bertemu.

Mereka berpisah untuk bertemu.

.


"I think back to those familiar streets
Think back to the beautiful days that flew away
There is a place—"

吴亦凡,有一个地方


.

.

.

ENDDD

.

.

.

Heyyy para readersku yang dah lama banget, ini fanfic udah update, langsung end lagi-_- Saya mikir saya gamau kebanyakan utang (emang udah banyak zzz) karena saya sibuk banget akhir-akhir ini.

Saya udah mau update dari duluuuuuu sebenernya, tapi karena kendala pembantu pulang gabalik dan ayah saya kelamaan nyari pembantu baru, semua tugas rumah ditimpain ke saya sama sodara saya-,,- belom lagi tugas sekolah yang akhir akhir ini pengen dilemparin ke muka gurunya yang ngasih tugas(?) banyak bingits. Terlebih lagiiiii, HAPE SAYA DICOPET WAKTU VALENTINE. Miris ga noh-,- gaada wifi hotspot, modem dibawa ayah kerja, disuruh pasang wifi buat dirumah juga ayah saya males-,-

Nah, dan selama gaada hape itu, saya nyoba ngedit beberapa naskah dari fanfic chapter ini, dan beginilah hasilnya-_- sekarang saya udah beli hape lagi dan saya buru-buru ngepost nih fanfic'-'

Thanks buat yang review di chap sebelumnyaaa, chap terakhir ini mari di review lagi'-' luvluv buat kalian semuaaah.

Btw, ada berita apaan sih? Kok pada ngomong kayak semacam katanya tuh korsel melegalkan perzinaan, atau apalah itu-_- ada yang mau berniat jelasin ke saya? :v

.

.

.

.

.

xoxo,
baekfrappe.