Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it

Pairing : SasuFemNaru

Rated : T

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo(s)

Genre : Supernatural, hurt/comfort, family

Note : Dilarang mengcopy paste isi fic ini maupun fic milik saya lainnya. Yang tetep membandel saya kutuk jadi jomblo seumur hidup!

Selamat membaca!

Calendula Officinalis

Epilog

By : Fuyutsuki Hikari

"You can love someone so much...But you can never love people as much as you can miss them."

(John Green)

.

.

.

Siang ini sekolah masih ramai seperti biasa. Beberapa orang murid berlarian di lorong sekolah hingga membuat seorang guru berusia paruh baya berteriak, begitu nyaring memberi peringatan pada murid-murid yang berlarian di sepanjang lorong sekolah itu untuk berhenti berlari.

"Kenapa kalian masih berlari?!" teriak guru pria itu. Wajahnya merah padam, kesal karena murid-murid itu mengabaikan peringatannya dan terus berlari. Sementara beberapa murid yang melihat kejadian itu segera member jalan pada sang guru dan memilih untuk pura-pura sibuk dengan kegiatan yang tengah mereka lakukan.

Orochimaru, guru Biologi yang terkenal galak itu mendengkus. Dalam hati dia mencatat untuk memberi murid-murid bandel itu pelajaran jika bertemu kembali.

Suasana ramai di luar berbanding terbalik dengan suasana di dalam kelas Sasuke. Mereka sudah kelas tiga sekarang. Hanya tinggal beberapa bulan yang tersisa hingga mereka lulus dan masuk ke universitas yang mereka pilih dan berhasil masuki.

Di dalam kelas hanya ada Sasuke yang sibuk membaca sebuah novel. Murid-murid lain memilih untuk bersantai di taman, menyantap makan siang di kantin atau bercakap-cakap di depan ruang kelas.

Sasuke membalikkan halaman buku dengan jarinya. Pemuda itu begitu larut dalam cerita hingga tidak sadar jika Sai dan Neji masuk ke dalam kelas. Shikamaru mengekori di belakang, dia menguap lebar bersama dengan Kiba yang berjalan di sampingnya.

"Kenapa ekspresimu seperti itu?" Neji bertanya pada Sai sembari mendudukkan diri di sisi Sasuke. Dia mengintip sampul buku yang tengah dibaca oleh Sasuke saat ini.

The Little Prince.

Neji tahu alasan Sasuke terus membaca novel itu berulang-ulang. Novel itu adalah novel favorit Naruto. Mendesah keras, Neji menyandarkan punggung pada punggung kursi. Dia masih menunggu jawaban Sai, namun, tatapannya masih terarah pada Sasuke yang masih asyik di dunianya sendiri.

Sai menjawab tepat bersamaan dengan Kiba dan Shikamaru duduk di depan meja Sasuke. "Kalian sudah membaca berita ini?" tanyanya. Ada nada penuh kebanggaan yang terselip dalam suara Sai saat mengatakannya.

Shikamaru dan Kiba mencondongkan tubuhnya untuk melihat layar telepon pintar milik Sai. Perlahan keduanya tersenyum lebar sementara Sai menaik-turunkan alisnya dengan seringai puas.

"Kau ikut campur, kan?" kata Shikamaru. Dia ber-high five dengan Sai yang mengangguk semangat. "Setelah satu tahun," geramnya, "setelah satu tahun akhirnya si bajingan Daimyou itu menyerahkan diri juga."

Kiba dan Neji mengangguk setuju, sementara Sasuke hanya melirik sekilas pada Sai dan kembali membaca novel di tangannya.

Neji mengubah posisi duduknya. Dia duduk bertopang kaki. "Apa yang kaulakukan hingga Daimyou seperti itu?"

Sai tidak langsung menjawab. Dia tersenyum penuh arti. "Aku meminta bantuan beberapa temanku."

Keempat temannya mengerti betul maksud 'teman' Sai. Setelah kematian Naruto, Sai mulai menerima kelebihan yang dimilikinya hingga akhirnya perlahan dia terbiasa. Setelah memiliki kemampuan untuk mengendalikan indra keenamnya, Sai mulai meminta bantuan teman-teman tidak kasat matanya untuk mengganggu Daimyou.

Memang tidak instan, tapi akhirnya bajingan itu memilih menyerahkan diri pada pihak kepolisian dan mengakui segala kejahatan yang dituduhkan padanya.

Daimyou sudah hampir gila. Bagaimana tidak? Teror itu terus didapatnya setiap malam. Makhluk-makhluk halus itu menampakkan diri di hadapan Daimyou dengan wajah dan penampilan mengerikan. Sai saja nyaris muntah setiap kali teman-temannya itu menampakkan diri. Coba bayangkan bagaimana reaksi Daimyou yang melihatnya.

Pendeta pengusir roh datang dan pergi. Satu makhluk ditangkap, makhluk lainnya datang menggantikan. Begitu setiap malamnya hingga Daimyou merasa jika berada di balik tembok penjara akan menyelamatkan dirinya.

Sai memperlihatkan kehebohan yang tengah terjadi setelah penyerahan diri suka rela Daimyou. Untuk beberapa saat hanya terdengar suara video berita dari ponsel pintar milik Sai. "Naruto pasti sangat bangga padaku, kan?" bisiknya. Ekspresinya menyendu.

Kiba, Neji dan Shikamaru mengangkat wajah, menatap lurus Sai dengan ekspresi berbeda-beda. Keheningan menggantung, dan kembali dirobek saat Sai bicara dengan nada getir yang sama, "Sekarang aku mampu menghadapi mereka," senyumnya terlihat begitu rapuh. Jemari tangannya saling bertaut di atas meja. "Mereka tidak bisa lagi membuatku takut."

Kegetiran itu menyisakan keheningan yang perlahan kembali menyelinap di antara mereka. Sai menatap Sasuke yang dengan tenang membuka halaman bukunya. "Maaf!" katanya. Sai menelan dengan susah payah, "Bukan maksudku membuat kalian sedih. Tidak seharusnya aku menyebut nama Naru—"

"Memangnya kenapa?" potong Sasuke. Dia menoleh pada Sai, senyumnya terlihat tipis, namun, begitu tulus. "Tidak ada salahnya mengingat orang yang telah tiada," katanya.

Sai tidak menjawab. Kiba, Neji dan Shikamaru larut dalam lamunan masing-masing.

Sasuke meletakkan sebuah penanda buku di halaman yang selesai dibacanya lalu menutup buku itu dan meletakkannya di atas meja. "Kita mungkin sudah melanjutkan hidup, tapi bukan berarti kita harus melupakan orang yang telah tiada," katanya, "dengan begitu keberadaannya di dalam hati kita tidak akan hilang dan mensyukuri saat-saat kebersamaan dengannya sebagai suatu anugrah."

Ia menepuk bahu Sai. "Seperti yang kaukatakan; Naruto pasti bangga denganmu." Tatapannya beralih pada Kiba, "Padamu juga, Kiba," katanya. Kiba tersenyum tipis. "Bagus jika sekarang kau mulai fokus untuk mewujudkan mimpimu. Tapi ingat, Kiba, kau harus melakukannya untuk dirimu sendiri juga, bukan sekedar untuk memenuhi janji pada Naruto."

Kiba mengangguk samar. Ah, jika Naruto ada di sini, mungkin sahabatnya itu akan mengatakan hal sama seperti Sasuke. Kiba memalingkan wajah, mendongak, menahan diri untuk tidak menangis. Dia sudah cukup menangis atas kepergian Naruto.

Mulai saat ini dia berjanji akan mengingat kenangan manisnya bersama sahabatnya itu. Kiba tersenyum penuh tekad, ya, sudah saatnya untuk mengenang sahabatnya dengan cara lain. Sebuah cara yang akan membuatnya bahagia dan bersyukur dalam menjalani hidup.

.

.

.

Sasuke berlari menuju halte bus terdekat saat hujan turun. Seragamnya sedikit basah saat ia sampai di tempat itu. Halte terlihat lebih ramai dari biasanya padahal saat ini masih belum masuk jam pulang kerja. Pasti karena hujan, pikirnya.

Suara tetesan hujan menjadi melodi indah yang begitu dinikmati oleh indra pendengaran Sasuke. Dia mendongak, menatap langit yang diselimuti oleh awan gelap. Suara petir terdengar di kejauhan. Beberapa wanita di sampingnya terperanjat, kaget saat suara menggelegar itu terdengar keras diikuti cahaya kilat setelahnya.

Sasuke berdiri, diam. Tatapannya kini teralih pada sebuah genangan air di hadapannya. Dia tersenyum tipis saat sebuah kilasan masa lalu melintas dalam kepalanya, saat dimana ia tidak sengaja mencipratkan air yang tergenang itu hingga masuk ke dalam mulut Naruto yang sedang terbuka.

Ah... semua akan menjadi kenangan manis yang patut dikenang, pikirnya. Senyumnya pun perlahan menghilang digantikan sebuah helaan napas yang terdengar begitu berat.

Tidak ada yang harus kau cemaskan lagi, Naruto. Keluargamu baik-baik saja, batinnya. Mereka sudah menata kehidupan mereka lagi setelah kau pergi.

Setelah Naruto meninggal, Minato dan Kushina mendirikan sebuah yayasan amal khusus untuk anak-anak yatim piatu. Mereka menamakan yayasan itu 'Calendula', sebuah nama tidak lazim, tapi bagi keduanya nama itu sangat spesial; sebuah nama bunga yang menjadi kesukaan mendiang putri bungsunya.

Minato menolak dijadikan calon senator dan memilih mengabdikan dirinya untuk mengurus anak-anak terlantar dan yatim piatu. Kushina tentu saja mendukung keputusan suaminya seratus persen. Dengan itu keduanya bisa memberikan kasih sayang yang lalai mereka berikan pada Naruto untuk anak-anak lain yang kurang beruntung.

Sementara itu, setelah Minato mengundurkan diri dari dunia politik yang membesarkan namanya, Kakashi justru memutuskan untuk berkarir di bidang politik. Langkahnya tidak mudah karena orang-orang terus membandingkannya dengan Minato, namun, dia tidak menyerah terlebih dengan Mei yang terus mendukungnya.

Karirnya itu membuat Kakashi merasa lebih dekat dengan Naruto. Pria itu sangat yakin jika keponakannya akan bangga jika dirinya bisa menyingkirkan pejabat-pejabat kotor seperti Daimyou.

Sasuke menggelengkan kepala. Kenapa dia malah melamunkan Naruto?

Pemuda itu menghela napas panjang. Naruto pasti sedang tertawa bahagia di sana. Tugasnya sudah selesai. Keluarga yang ditinggalkannya baik-baik saja, dan orang-orang di sekitarnya pun bisa melanjutkan kehidupan mereka dengan baik. Begitu juga dengan Sasuke.

Sasuke berjanji akan menjadi dokter yang baik. Dengan kemampuannya dia akan menolong banyak orang.

Ck, Dobe, aku pasti akan terlihat lebih keren dengan jas dokter itu. Iya, kan?

Senyumnya semakin terkembang. Sasuke bahkan tersipu malu karenanya.

"Ah, kenapa aku jadi seperti ini?" gumamnya, bertanya pada dirinya sendiri. Hujan turun semakin deras. Halte itu semakin penuh oleh orang-orang yang mencari perlindungan dari dinginnya tetesan hujan yang turun.

Sasuke mencondongkan tubuhnya. Bis pasti akan sangat penuh, pikirnya malas.

Tanpa berpikir, dia pun memutuskan untuk menunggu hujan reda di perpustakaan kota. Sasuke berlarian di bawah guyuran hujan. Hanya perlu menyebrang satu kali dan dia akan sampai di tempat itu.

Sasuke tidak tahu apa yang terjadi setelahnya yang diingatnya hanya sebuah debaman keras memekakan gendang telinganya.

Yang diingatnya hanya sebuah sinar kecil yang perlahan semakin membesar. Besar, semakin besar dan besar.

Ah, kenapa rasanya begitu hangat?

.

.

.

Kyuubi mengelus lembut punggung tunangannya. Senyumnya terlihat ganjil saat Itachi menatapnya penuh rasa terima kasih. Keduanya berdiri di depan pusara dua orang adik yang sama-sama mereka sayangi.

"Sasuke tidak bunuh diri," kata Itachi, suaranya tercekat. "Adikku tidak mungkin seputus asa itu."

Kyuubi mengangguk, setuju. "Itu kecelakaan."

Itachi tidak menjawab. Tatapannya kini terarah lurus pada pusara dingin yang bertuliskan nama adik bungsunya. "Aku tidak akan pernah mempercayai gosip murahan itu. Adikku tidak bunuh diri."

Dia menjeda, berusaha mengembalikan suaranya yang tersangkut di tenggorokannya. "Sasuke lebih menghargai hidup setelah Naruto tidak ada. Dia ingin menjadi dokter agar mampu menyelamatkan nyawa banyak orang."

Itachi tercekat. Suaranya kembali menghilang. Pria itu menarik napas dalam hingga dadanya terasa begitu sesak oleh desakan emosi. "Dia tidak akan bunuh diri karena putus asa."

"Kita semua tahu jika itu murni kecelakaan," bisik Kyuubi. "Jangan hiraukan ucapan orang lain. Kita lebih tahu daripada mereka," sambungnya, "kedua orang tuamu pun tahu jika kematian Sasuke karena kecelakaan. Mereka sudah menerimanya."

Itachi meneteskan air matanya. Satu tahun yang lalu, saat Naruto meninggal, dia menjadi pundak untuk Kyuubi menangis. Dan sekarang, dia tidak menyangka jika dirinya akan merasakan apa yang Kyuubi rasakan saat itu.

Sekarang keluarga Namikaze yang menghibur dan menjadi penyemangat untuk keluarga Uchiha. Mereka saling merengkuh, menguatkan karena sama-sama kehilangan anak.

Napasnya terdengar semakin berat. Dia menoleh pada Kyuubi. "Bolehkah aku menangis untuk hari ini saja?"

Kyuubi mengangguk. Dipeluknya tubuh Itachi yang mulai bergetar hebat. Pria itu meletakkan kepalanya pada bahu Kyuubi. "Kau boleh menangis, menangislah hingga rasa sakitmu berkurang," bisiknya lembut. Bahunya terasa basah.

Menangislah hingga kau merasa tidak ada yang tersisa lagi di dalam dirimu.

.

.

.

"Hei, apa yang kaulakukan di sana?"

Sasuke menoleh. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok gadis remaja berambut keemasan menatapnya dengan berkacak pinggang. Gadis remaja itu memiliki halo di belakang kepalanya. Gaun selututnya berwarna putih.

Ah, apa dia selalu terlihat secantik ini? Tanyanya dalam hati.

"Aku tidak tahu," jawab Sasuke setelah terdiam lama. Senyumnya perlahan terkembang.

Gadis remaja itu mengulurkan tangan. Senyum Sasuke sepertinya menular dengan cepat. "Kenapa kau datang begitu cepat?" keluhnya terdengar jengkel.

Sasuke menyambut uluran tangan itu, mengendikkan bahu dan menjawab santai, "Entahlah, mungkin karena aku cemburu kau bahagia di tempat ini tanpaku."

.

.

.

END

Happy ending, kan? (:

#WeDoCareAboutSFN