Aloha... Saya datang dengan cerita baru #Ngekkkkk
Sebenarnya ini cerita udah disimpen selama satu tahun lebih, daripada tersimpan dan dilupakan, saya putuskan untuk dipublish aja.
Ok, selamat membaca!
.
.
.
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it
Pairing : SasuFemNaru
Rated : T
Warning : Gender switch, OC, OOC, typo (s)
Genre : Supernatural, hurt/comfort, family, romance
Calendula Officinalis
Chapter 1
By : Fuyutsuki Hikari
Nama gadis itu, Namikaze Naruto. Anak dan putri kedua dari pasangan Namikaze Minato dan Uzumaki Kushina. Umurnya tujuh belas tahun. Ia memiliki seorang kakak perempuan cantik bernama Namikaze Kyuubi.
Kyuubi; wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu sangat pintar, bahkan bisa dibilang jenius. Kebanggaan keluarga, putri nomor satu. Prestasinya sudah tidak terhitung, baik tingkat nasional maupun internasional. Minato dan Kushina sangat bangga padanya.
Saat ini, Minato menjabat sebagai Walikota Konoha, sementara Kushina-ibu rumah tangga biasa. Semua kolega yang datang berkunjung ke rumah mereka pasti berdecak kagum melihat deretan piala dan piagam penghargaan milik Kyuubi; sang ilmuwan muda.
Bagaimana dengan Naruto? Dia hanya gadis SMA biasa, dan ini kisah hidupnya.
.
.
.
Naruto tergolong cantik jika saja kacamata dengan model ketinggalan jaman itu tidak bertengger di hidung mancungnya. Yah, apa pedulinya? Cantik atau tidak, tidak akan mengubah pandangan orang lain atau keluarga terhadap dirinya. Keberadaan Naruto di rumah itu seperti tak terlihat. Prestasinya di sekolah pun cukup baik, tapi kurang cukup untuk mendapat pengakuan kedua orang tuanya. Ayolah, bukan salahnya jika ia tak sepintar Kyuubi. Kadang Naruto bertanya, kenapa Tuhan tidak memberikan kepandaian yang sama pada dirinya. Naruto sudah terlalu lelah untuk mendapat pengakuan mereka, jadi ia pun menyerah.
Saat ini, keluarga Namikaze sarapan pagi bersama. Seperti biasa, senyuman Kushina dan ucapan 'selamat pagi' dari Minato menyambut Kyuubi dan Naruto pagi ini. Naruto menyantap jatah makanannya dengan lahap. Layaknya keluarga normal lainnya, mereka bercakap-cakap, walaupun bahasan pagi ini tetap sama, seputar kegiatan Kyuubi dan proyek penelitian barunya. Naruto mendengarkan dengan seksama, menjadi pendengar yang baik seraya memasukkan sisa makanannya ke dalam mulut.
'Hari ini aku ujian,' teriak Naruto di dalam hati. 'Apa kalian tidak mau tahu keseharianku?' tambahnya frustasi. Ia hanya bisa berucap dalam hati, tenggorokannya seakan tercekat, tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Aku pergi," kata Naruto, bergerak bangkit dari kursinya.
Minato melipat koran miliknya, ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya lalu menatap Naruto lurus. "Ingat, kau ada les sepulang sekolah nanti!" kata Minato tegas.
"Aku mengerti." Sahut Naruto pelan tanpa mampu membalas tatapan Minato.
"Belajarlah yang rajin! Lihat kakakmu, diusianya yang baru dua puluh tahun dia sudah menjadi ilmuwan penting untuk negara ini." Ujar Minato penuh kebanggaan. "Kau harus masuk Universitas Tokyo, dan menjadi pengacara hebat!" tambahnya mutlak.
Kyuubi memutar kedua bola matanya bosan, lalu melirik ke arah Naruto yang masih berdiri kaku, diam membisu. "Pergilah, kau bisa ketinggalan bus."
Naruto mengerjapkan mata. "Aku pergi," pamitnya untuk kedua kali.
"Hati-hati!" kata Kushina lembut dan Naruto pun melenggang pergi, meninggalkan ketiga orang anggota keluarganya di belakang.
Setiap harinya, Naruto pergi menggunakan bus. Perjalanannya memakan waktu selama tiga puluh menit untuk sampai ke Konoha High School, tempatnya menimba ilmu. Saat ini, ia duduk di kelas 2-4. Naruto sudah biasa menggunakan transportasi umum untuk pergi ke sekolah. Minato tidak bisa mengantarnya, karena tujuan mereka tidak satu arah. Sementara Kyuubi yang sudah satu tahun ini memiliki mobil pribadi, terlalu malas untuk mengantar adiknya.
.
.
.
"Naruto?!" panggil Kiba berteriak kencang dari arah pintu gerbang sekolah.
Naruto menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang, dimana Kiba berlari kearahnya. "Selamat pagi!" sapa Naruto lembut sementara Kiba membungkuk, mencoba mengatur napasnya yang tersengal.
"Selamat pagi!" sahut Kiba yang kini terbatuk keras.
Naruto menepuk-nepuk punggung Kiba, sebuah senyuman terukir di mulutnya saat ini.
"Hei, kalian! Sekarang masih pagi untuk pacaran, seharusnya kalian mencari tempat lain untuk bermesraan, jangan di gerbang sekolah!" ejek Neji dengan seringai menyebalkan. Pemuda itu berjalan mendekat kearah keduanya bersama dengan Sasuke yang memasang wajah datar seperti biasa, juga Shikamaru yang berjalan tidak jauh di belakangnya, menguap lebar dan terlihat mengantuk.
Kiba melirik tajam musuh bebuyutannya itu, sementara kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, menahan marah.
"Kalian mengganggu pemandangan," tambah Neji, menyeringai angkuh.
"Brengsek!" teriak Kiba kesal, tangannya terkepal, siap melayangkan pukulan, namun dengan sigap dihalangi oleh Naruto.
"Sudahlah, Kiba. Tidak ada gunanya kita bertengkar dengan dia." Naruto melirik tajam kearah Neji, sekaligus menenangkan teman baiknya itu. Ia kini berdiri di depan Kiba dan berjalan mendekati Neji. "Dan untuk anda, Tuan Muda Hyuuga, jangan mengusik kami lagi, atau ucapkan selamat tinggal pada rambut indahmu." Katanya dengan nada halus namun mengancam.
Sasuke bertepuk tangan mendengar ancaman Naruto. Matanya menatap lurus, begitu tajam dan menusuk seolah menguliti tubuh Naruto. "Aku tidak menyangka, jika kau akan membela kekasihmu hingga sejauh itu, Dobe." Ucapnya dingin. "Apa paman Minato tahu jika kau memiliki seorang kekasih?" Sasuke kemudian berbisik tepat ditelinga kanan gadis itu. "Bagaimana reaksi keluargamu jika mereka tahu kau hanya bermain-main dan pacaran di sekolah?"
"Itu bukan urusanmu, Uchiha." Jawab Naruto tidak kalah dingin.
"Bagaimana jika aku menjadikannya urusanku?" Sasuke menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bossy.
"Kau tidak memiliki hak untuk mencampuri urusanku." Desis Naruto sinis.
Sasuke menggelengkan kepala dan menggoyangkan telunjuk kanannya di depan wajah Naruto. "Dua tahun yang lalu aku masih sahabatmu. Tapi kenapa sekarang kau bicara seolah kita tidak memiliki hubungan apapun?"
Naruto mendengus dan tertawa hambar mendengar ucapan Sasuke. Dalam hati, ia menghitung sampai tiga sebelum akhirnya menjawab dengan santai. "Hentikan omong kosongmu tentang persahabatan. Apa aku harus mengingatkan jika kaulah yang memutuskan hubungan itu, bukan aku?" desis Naruto lagi, membuat Sasuke mundur beberapa langkah. Sedangkan Shikamaru hanya bergumam pelan, "merepotkan!"
"Ayo, Kiba. Kita pergi!" Naruto menarik paksa pergelangan tangan kiri Kiba, meninggalkan Sasuke yang berdiri di belakangnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Naruto bisa merasakan jika saat ini tatapan tajam Sasuke terarah lurus ke punggungnya. Dia tidak memerlukan indera keenam untuk mengetahui jika pria itu marah, benar-benar marah terhadap dirinya. Naruto sudah cukup lama mengenal pria itu, cukup lama untuk mengetahui sifat Uchiha bungsu.
Naruto dan Kiba berjalan cepat menyusuri koridor sekolah menuju kelas mereka. Sepanjang jalan, Kiba tidak berhenti menggerutu dan menyalahkan nasib karena harus bertemu musuh bebuyutannya pagi ini. "Benar-benar merusakmood," katanya kesal.
"Aku heran, Uchiha selalu menatapku sinis jika dia melihat aku sedang bersamamu." Ujar Kiba dengan nada jengkel. "Sedangkan Hyuuga, dia seolah ingin memakanku hidup-hidup tiap kali kami bertemu."
"Abaikan saja, tidak penting." Sahut Naruto cuek dengan datar.
"Kurasa, Hyuuga merasa tersaingi oleh ketampananku." Tukas Kiba penuh percaya diri, dia berjalan melewati Naruto, membuat langkah gadis itu terhenti seketika dan menatapnya horor.
"Cih, yang benar saja!" dengus Naruto keras, dilipatnya kedua tangannya di depan dada. "Apa kau tidak bisa memikirkan alasan yang lebih masuk akal?"
"Hei, itu alasan yang masuk akal, Naruto." Protes Kiba, dia mengambil langkah panjang untuk menyamai langkah kaki Naruto. "Lalu menurutmu, apa alasan Uchiha tidak menyukaiku?" tanya Kiba lagi. "Tidak masuk diakal jika dia tidak menyukaiku tanpa alasan. Sebenarnya apa yang terjadi diantara kalian? Bukankah dulu kalian dekat?"
"Siapa yang bilang?" tanya Naruto, ia melirik ke arah Kiba dengan ekor matanya.
"Itu yang aku tangkap dari ucapan Uchiha tadi," Kiba mengangkat bahu acuh. "Lagipula, di sekolah ini tembok pun bisa bicara."
Naruto menghentikan langkahnya, lalu menghela napas panjang dan kembali menatap Kiba. "Masa lalu, Kiba." Katanya setengah berbisik. "Semua hanya masa lalu."
"Jadi?" Kiba kembali bertanya dengan nada menyelidik.
"Jadi, semua itu bukan urusanmu." Jawab Naruto ketus, dia sangat kesal karena Kiba tidak juga mengerti apa maksud ucapan ucapannya tadi. "Dan kenapa Sasuke tidak menyukaimu?" sejenak Naruto terdiam, memasang pose berpikir. "Hmmm... mungkin karena kau menyebalkan."
"Kau jauh lebih menyebalkan!" teriak Kiba tidak terima, sementara Naruto melenggang pergi dengan senyum puas.
.
.
.
"Sudah kubilang, mereka pacaran." Bisik Tenten pada Hinata yang sedari tadi membuntuti dan menguping pembicaraan Naruto dan Kiba.
Hinata tertunduk, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku rasa juga begitu," tambahnya lesu.
Ino menggelengkan kepala dan menepuk bahu kanan Hinata keras. "Ayolah, mereka berdua hanya teman biasa. Aku sangat yakin."
Hinata mendongak dan menatap Ino dengan mata berbinar senang. "Kau pikir begitu?" Ino mengangguk. "Kau benar-benar yakin?" tanya Hinata lagi, terselip nada keraguan disana.
"Aku sangat yakin," balas Ino mantap. "Aku mengenal baik siapa Naruto. Dia dan Kiba hanya sebatas teman. Karena itu, jangan menyerah. Setidaknya, katakan perasaanmu pada Kiba."
Hinata kembali menunduk, wajahnya memerah karena malu. Tenten terkikik dan menyikut pelan perut Hinata. "Hei, baru digoda seperti ini saja wajahmu sudah merah padam. Bagaimana jika kau menyatakan perasaanmu pada Inuzuka nanti?"
"Sudahlah Tenten, berhenti menggodanya. Lebih baik kita cepat kembali ke kelas. Aku tidak mau mendapat hukuman dari Orochimaru sensei hanya karena kita terlambat masuk kelas." Tukas Ino, dan ketiganya pun segera berlari menuju kelas mereka.
.
.
.
Malam pun tiba.
"Aku pulang!" seru Naruto lelah. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, malam ini. Tak ada satu orang pun yang menyambutnya pulang. Tidak ada senyuman hangat Kushina yang membawakan segelas susu hangat untuknya. Tidak seperti Kyuubi yang selalu mendapat semua perhatian itu. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.
Naruto membuka pintu kamarnya, melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya pelan. Ia menyalakan lampu serta meletakkan tas punggungnya di atas kursi meja belajar. Naruto segera beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah selesai berganti pakaian, ia kembali turun ke bawah menuju dapur. Ia mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya yang mulai bernyanyi, meminta untuk diisi. Naruto kembali menghela napas berat saat mendapati lemari makanan kosong. Ia baru ingat jika malam ini Ayah dan Ibunya tidak ada di rumah, mereka berdua pergi ke kota sebelah untuk memenuhi undangan dari Kazekage, yang merupakan Walikota Suna.
"Kau benar-benar teman yang setia," ujar Naruto kemudian, tersenyum melihat satu cup ramen instan di dalam lemari makanan, desah lega meluncur dari mulutnya. "Apa yang harus aku lakukan tanpamu, hah?" tambahnya.
Ia membuka tutup ramen dan menyeduhnya dengan air panas. Naruti menghabiskan makan malamnya dengan cepat dan membuat secangkir kopi, lalu membawanya ke dalam kamar. Hari ini dia harus kembali tidur larut malam, banyak PR yang harus diselesaikannya, baik PR sekolah maupun PR lesnya. Dan seharusnya, secangkir kopi mampu untuk tetap membuatnya terjaga malam ini.
Tidak lama kemudian, ketukan pelan terdengar dari balik pintu kamarnya. "Naruto, kau belum tidur?" tanya Kyuubi dari balik pintu. "Boleh aku masuk?"
"Masuk saja," sahut Naruto tanpa mengalihkan pandangannya dari buku di hadapannya.
"Banyak PR?" tanya Kyuubi yang kini berdiri disamping adiknya.
"Lumayan," sahut Naruto. "Bagaimana pekerjaanmu?" Naruto melirik ke arah Kyuubi.
"Lumayan," balas Kyuubi meniru ucapan Naruto.
Naruto terkekeh pelan dan meletakkan pensil mekanik yang digenggamnya. "Sudah makan malam? Tidak ada makanan di rumah. Persediaan terakhir ramen baru saja aku makan."
"Aku sudah makan bersama teman, sebelum pulang. " Jawab Kyuubi. "Kemana Ayah dan Ibu?"
"Ada undangan dari Walikota Suna, mungkin sebentar lagi mereka pulang."
Mulut Kyuubi membentuk huruf 'O' kecil saat mendengar jawaban Naruto. "Kemana pelayan rumah? Aku tidak melihat mereka beberapa hari ini."
"Ibu memberi mereka libur selama satu minggu, ingat?" ujar Naruto mengingatkan karena Kyuubi memang terkenal sangat cuek akan kondisi di sekitarnya.
"Mulia sekali orang tua kita." Ejek Kyuubi mendengus kasar.
"Yah, reputasi sangat penting untuk Ayah. Bukankah beliau berniat mencalonkan diri untuk menjadi anggota parlemen di pemilihan yang akan datang?"
Kyuubi mengangkat bahu, bosan. "Aku tidak peduli," katanya datar. "Tidurlah, besok kau harus sekolah."
"Dan menelantarkan tugas-tugasku?" tanya Naruto dengan sebelah alis terangkat.
"Mau aku bantu untuk mengerjakannya?" tawar Kyuubi berbaik hati.
"Tidak perlu," tolak Naruto halus. "Sebentar lagi juga selesai. Kakak tidur saja, besok Kakak juga harus kerja."
"Baiklah. Selamat malam!" kata Kyuubi sembari mengacak rambut Naruto penuh sayang.
"Selamat malam!"
.
.
.
Naruto mendesah lelah, ia memijat tengkuknya yang mulai terasa kaku. Sudah jam satu malam, saat ia berhasil menyelesaikan soal terakhir dari pekerjaan rumahnya. Ia bisa mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Ya, Ayah dan Ibunya baru saja kembali. Samar, Naruto mendengar suara tawa Minato dan Kushina. "Putri kita benar-benar hebat, aku yakin dia akan sangat sukses di masa depan." Kata Kushina bangga.
"Tentu saja," sahut Minato. "Bahkan Kazekage-san, sangat kagum pada Kyuubi. Dia mengatakan jika kita sangat beruntung memiliki putri seperti Kyuubi."
"Lagi-lagi Kakak," Naruto berkata lirih dengan desahan panjang. Pembicaraan kedua orang tuanya semakin samar hingga ia tidak bisa mendengarnya lagi. Naruto mematikan lampu belajar dan beranjak naik ke atas tempat tidur. Matanya tetap terbuka, sangat sulit untuknya tidur malam ini. Kesal, yah dia benar-benar kesal juga benci pada ketidakmampuannya. Naruto benar-benar menyesal, kenapa dia harus mendengar potongan pembicaraan kedua orang tuanya tadi.
'Jika aku mati, apa mereka akan menangisi batu nisanku?' batin Naruto. Ia tertawa setelahnya dan menghela napas panjang. "Tidak," ia menggelengkan kepala pelan. "Tidak akan ada yang merasa kehilanganmu, Naruto. Sadarlah, siapa dirimu? Kau hanya seorang anak yang tidak bisa dibanggakan dan membosankan." Naruto kembali tersenyum miris. "Ah... jangan lupa, kau juga tidak cantik. Jadi jangan terlalu berharap akan ada seseorang menangisi batu nisanmu jika kau mati nanti." Naruto berkata lirih pada dirinya sendiri. Tanpa disadarinya, lelehan air mata itu mengalir deras, hingga ia tertidur lelap beberapa saat kemudian.
.
.
.
Naruto sangat bersyukur karena pagi ini ia tidak perlu bertatap muka dengan anggota keluarganya yang lain. Minato dan Kyuubi sudah berangkat kerja lebih dulu. Sementara Kushina masih berada di dalam kamar saat Naruto turun untuk sarapan. Hari ini, dia kembali menjalani rutinitas hariannya yang sama.
Waktu terus berjalan. Matahari merayap naik menggantikan pagi.
"Kau sakit? Wajahmu jelek sekali." Kata Sasuke datar. Tatapan pemuda itu menyelidik, ditatapnya lurus wajah Naruto. Lingkaran hitam dan kantung mata gadis itu tidak luput dari pengamatan Sasuke.
Naruto menutup buku ditangannya keras dan ia mendelik marah. "Jangan mengagetkanku seperti itu, Uchiha!" desis Naruto. "Atau aku akan menghajarmu!"
"Hn."
"Pergilah!" usir Naruto tegas.
"Kenapa? Menunggu kekasihmu, huh?" balas Sasuke dingin.
"Kiba bukan kekasihku," desis Naruto menahan marah, langsung mengerti akan apa yang dimaksud oleh Sasuke.
"Yang benar saja!" ejek Sasuke. "Kalian selalu bersama, kenapa harus mengelak?"
"Dulu kita selalu bersama, tapi kita bukan sepasang kekasih. Ingat?"
"Lalu, apa arti dia untukmu?"
Naruto menarik napas panjang, kesal, marah bercampur menjadi satu. Ingin rasanya dia menghajar wajah tampan Uchiha bungsu. "Kau tidak memiliki hak untuk menayakan hal itu padaku."
"Aku hanya menanyakan hal mudah, Dobe. Kau tidak perlu memasang wajah menyeramkan seperti itu." Sindir Sasuke.
"Baiklah, jadi kau benar-benar ingin tahu. Kiba adalah temanku, teman baikku. Teman yang menerimaku apa adanya. Bukan karena orang tua, atau kakakku. Dia menerimaku karena aku adalah aku."
"Aku pun sama," teriak Sasuke jengah. "Aku mengenalmu lebih lama, Naruto."
"Kau menjadi temanku hanya karena kakakku, persahabatan yang kau tawarkan tidak tulus, Sasuke."
"Itu tidak benar," sanggah Sasuke cepat dengan nada suara satu oktaf lebih tinggi. Dia tersinggung, nyaris putus asa menghadapi Naruto dan kekeraskepalaannya.
"Itu benar," balas Naruto lirih. " Pendengaranku tidak mungkin salah, aku mendengarnya sangat jelas saat kau mengakui semua itu pada kakakku. Bagaimana bisa kau lupa dengan ucapanmu?"
"Kau tidak mendengar semua pembicaraanya, Naruto. Biarkan aku menjelaskannya pada-"
"Cukup!" potong Naruto dengan sebelah tangan diangkat ke udara. "Aku tidak mau dengar, sebaiknya kau pergi. Sakura pasti sedang mencarimu saat ini. Jangan membuatku sulit, sangat sedikit siswi yang mau berteman denganku." Ujar Naruto tersenyum miris. "Mereka tidak suka karena kau sering mengangguku atau bicara denganku."
"Siapa yang berani mengganggumu?" desis Sasuke dingin.
"Tidak penting," sahut Naruto mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Pergilah, kumohon. Jangan membuatku sulit."
"Sekarang aku akan pergi, tapi aku pasti mendapat jawaban yng kuinginkan darimu. Ingat itu!" dan Sasuke pun beranjak pergi, meninggalkan Naruto seorang diri di taman belakang sekolah. Tempat favorit gadis itu untuk mengasingkan diri selama ini.
.
.
.
Sasuke menekuk wajahnya saat ia kembali ke kelas. Moodnya berubah seratus delapan puluh derajat saat ini. Dia kesal karena Naruto tidak pernah mengijinkannya untuk menjelaskan kejadian tiga tahun yang lalu di pesta ulang tahun Kyuubi yang ke tujuh belas tahun. Ia pun sadar jika dia juga bersalah, tapi seharusnya Naruto mendengar semua pembicaraannya dengan Kyuubi, bukan hanya setengahnya. 'Kenapa dia hanya menguping sebagian saja?' rutuk Sasuke dalam hati.
"Wajahmu kusut sekali. Sepertinya mood-mu sedang tidak baik." Ujar Neji saat melihat Sasuke masuk ke dalam kelas. Suasana kelas 2-1 masih sepi, murid-murid yang lain lebih memilih berada di luar kelas selama jam makan siang.
"Mood-nya memang tidak pernah baik," timpal Shikamaru tanpa membuka matanya.
"Bertengkar dengan Sakura, huh?"
"..."
"Dia bertengkar dengan Naruto," lagi-lagi Shikamaru menimpali.
"Darimana kau tahu?" tanya Neji melirik ke arah Shikamaru yang masih membenamkan kepala pada kedua tangannya yang dilipat di atas meja.
"Itu sangat mudah ditebak," jawab Shikamaru, menguap lebar.
"Sebenarnya kekasihmu itu siapa, Sas? Naruto atau Sakura?" tanya Neji serius. Diabakannya Shikamaru yang menggeliat nikmat.
"..."
Shikamaru menatap langit-langit kelas dan menjawab ringan. "Naruto itu permaisuri, sementara Sakura hanya seorang gundik. Fungsi gundik hanya untuk pelampiasan, pelarian dan tempat bersenang-senang."
"Tidak bisakah kau menjelaskannya dengan cara sederhana?" Neji menggelengkan kepala, menatap Shikamaru tak percaya.
"Otakmu cukup pintar untuk mengerti apa maksudku," jawab Shikamaru santai.
"Terserah," ujar Neji terlalu malas untuk berdebat. "Tapi, apa benar begitu, Sasuke?" Neji kembali melirik ke arah Sasuke. "Shika, aku bertanya pada Sasuke. Kenapa kau terus yang menjawab?" protes Neji keras, sementara Shikamaru hanya mengangkat bahunya ringan.
"Sasuke?!" sebuah teriakan mengalihkan perhatian Neji dan Shikamaru yang langsung melihat ke arah si pemilik suara. Sakura berjalan cepat menuju kursi Sasuke dengan wajah ditekuk dalam. "Kau kemana saja? Aku mencarimu dari tadi. Bukankah aku sudah mengatakan jika siang ini kita makan siang bersama?" Sakura berkata cepat.
"Pergi! aku malas berbicara denganmu." Usir Sasuke datar.
"Ada apa denganmu? Kau sakit?" tanya Sakura dengan nada khawatir. Ia mencoba meletakkan tangannya di dahi Sasuke, namun tangannya ditepis kasar oleh pemuda itu. Sakura terlonjak kaget, tidak bisa dipungkiri jika hatinya sakit mendapat perlakuan seperti itu dari Sasuke. "Kau benar-benar menyebalkan." Desis Sakura.
"Sifatku memang sudah seperti ini, dan aku tidak pernah memintamu untuk bertahan."
"Jadi, apa yang kau inginkan?" desak Sakura.
"Kita akhiri saja." Putus Sasuke dingin.
Sakura menatap kekasihnya itu tak percaya, pendengarannya seolah terbakar mendengar pernyataan Sasuke. "Kau serius?"
"Hn."
"Hanya karena masalah ini, kau mengakhiri hubungan kita? Kau bahkan melakukannya di depan kedua sahabatmu?" tanya Sakura lagi. Neji dan Shikamaru berdeham kecil sebelum akhirnya meniggalkan keduanya di dalam kelas. "Seharusnya kau memutuskanku di depan semua orang!" tantangnya lagi.
"Jika itu maumu."
"Sasuke? Tidak bisakah kau bersikap lebih baik lagi? Dari awal, hanya aku yang selalu berjuang untuk mempertahankan hubungan kita, dan ini balasanmu kepadaku?"
"Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan semua itu." Sasuke menghela napas lelah dan menatap serius ke arah Sakura. "Jangan mencintai seseorang, biarkan dirimu yang dicintai seseorang. Dan kau akan lebih bahagia."
"Omong kosong!" desis Sakura. "Ingat satu hal, Sasuke. Suatu hari nanti, kau akan merasakan rasa sakit yang aku rasakan saat ini. Dan saat itu, kau baru akan menyadari apa arti 'cinta' sebenarnya." Sakura pun berbalik pergi dengan raut wajah terluka, dia meninggalkan Sasuke seorang diri disana, dalam keheningan kelas yang terasa mencekam. Ucapan Sakura seperti sebuah kutukan untuk Sasuke, yang tentu tidak disadari pemuda itu.
.
.
.
"Aku pulang!" UJAR Naruto saat membuka pintu rumahnya. Suaranya terdengar tidak bersemangat seperti biasa.
"Selamat datang!" sahut Iruka dari dalam rumah. Pria itu tergopoh-gopoh menyambut kedatangan sang Nona.
"Ah, Paman Iruka. Kapan Anda kembali?" tanya Naruto dengan ekspresi ceria.
"Beberapa jam yang lalu," jawab Iruka, tersenyum ramah.
"Bagaiman liburannya, apa menyenangkan?" tanya Naruto lagi sembari mengekori Iruka ke dapur.
"Membosankan," jawab Iruka. Tangannya kini dengan lincah bergerak untuk mengiris bahan-bahan makanan untuk makan malam. "Anda mau sesuatu, Nona? Jus atau biskuit, mungkin?"
Naruto menggelengkan kepala, "tidak, aku tidak mau apapun. Kemana orangtuaku dan Kak Kyuubi?"
"Beliau baru saja pergi, ada acara amal di balai kota."
"Oh..." Sahut Naruto pendek.
"Malam ini saya akan masak makanan kesukaan anda." Iruka tersenyum lembut.
"Aku makan sendiri lagi?" Naruto menghembuskan napas dengan cepat. Jika Iruka memasak makanan kesukaannya, itu berarti dua hal, hari ulang tahun gadis itu, atau ia makan tanpa anggota keluarganya yang lain.
"Ya," jawab Iruka denan nada prihatin. "Setelah acara amal selesai, Tuan dan Nyonya akan makan malam bersama di rumah Menteri Pendidikan. Nona Kyuubi juga ikut bersama mereka."
"Jadi hanya aku yang tidak diajak serta?" Naruto bergumam tidak jelas. "Paman Iruka, tidak perlu masak banyak. Tolong buatkan aku ramen saja. Aku akan makan malam di dalam kamar, banyak PR yang harus aku kerjakan."
"Begitu?" gerakan tangan Iruka terhenti seketika. Wajahnya berubah khawatir, dia tahu betul jika Naruto benar-benar kesepian. Pelayan itu langsung memutar otak untuk menghibur Naruto. "Apa PR Nona benar-benar banyak?"
"Begitulah."
"Hah, sayang sekali." Seru Iruka dengan nada menyesal yang dibuat-buat. "Padahal malam ini saya berniat untuk makan ramen di kedai paman Teuchi. Akan lebih menyenangkan jika ada teman untuk makan bersama."
"Paman Iruka akan makan di sana?" tanya Naruto dengan mata berbinar. Iruka mengangguk pelan. "Aku ikut!" seru Naruto, seolah lupa akan kesedihannya tadi.
"Bukankah Anda banyak pekerjaan rumah, Naruto-chan?"
"Itu bisa diatur," jawab Naruto santai, ia mengibaskan tangan kanannya di depan wajah. "Kita berangkat jam berapa?"
"Jam tujuh."
"Masih ada waktu dua jam. Kalau begitu, aku akan menyicil PR dari sekarang, dan menyelesaikanya setelah pulang makan malam." Naruto beranjak pergi, namun kakinya berhenti melangkah di langkah ketiga. Ia berbalik dan tersenyum. "Terima kasih, Paman Iruka." Kata Naruto tulus.
"With my pleasure, Miss."
.
.
.
Makan malam hari ini terasa sangat spesial untuk Naruto. Iruka benar-benar mampu membuatnya tersenyum, sejenak melupakan rasa sedih dan kesepian yang menggerogoti hatinya.
Naruto bahkan menghabiskan tiga mangkuk ramen porsi besar malam ini. Mulut Iruka terbuka lebar melihatnya. Tidak menyangka jika Nona mudanya bisa makan sebanyak itu.
Gadis itu terkikik melihat ekspresi Iruka. "Jangan menatapku seperti itu, Paman Iruka."
Iruka menggaruk hidungnya yang tidak gatal dan tersenyum lebar. "Anda selalu membuat saya terkejut."
Naruto kembali tertawa, tawa bahagia yang terdengar tulus. Iruka kembali tersenyum, lega melihat mata Naruto berbinar bahagia. "Anda mau tambah lagi?" tawar Iruka baik hati.
"Tidak," Naruto menggeleng pelan. "Perutku rasanya mau meledak," ujarnya sambil menepuk pelan perutnya.
Iruka mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya, kemudian meletakkannya di atas meja. "Saya akan membawa Anda untuk makan lagi di sini-nanti."
"Benarkah?" Naruto menggenggam kedua tangan Iruka senang.
"Ya, jika masih ada umur, kita akan makan di sini lagi." Janji Iruka dengan senyum hangat.
"Terima kasih," sahut Naruto tanpa mampu menyembunyikan rasa harunya. Posisi Iruka bukan hanya pelayan bagi gadis itu. Pria itu sudah dianggap sebagai keluarga sendiri olehnya. Kedudukan pria itu bahkan lebih dekat bila dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya.
.
.
.
Naruto tidak memiliki firasat apa pun hari ini. Yang dia ingat, dia dan Iruka tertawa bahagia. Bercanda layaknya keluarga dekat malam itu.
Namun apa yang terjadi kemudian berjalan diluar akal sehatnya. Gadis itu terbangun, bingung, dengan keadaan sekitar.
"Dimana aku?" tanyanya lirih melihat ruangan asing itu. "Kenapa aku di sini? Dimana Paman Iruka?" Naruto melemparkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Seingatnya, tadi dia berada di dalam mobil bersama Iruka untuk pulang. Lalu kenapa sekarang dia berada di sini?
Naruto berlari tak tentu arah, sesuatu seolah memanggilnya. Dia melihat seorang dokter dan beberapa suster berlari, begitu tergesa, masuk ke dalam suatu ruangan.
Dia tidak tahu kenapa kakinya mengikuti arah dokter dan suster itu. Ruangan yang dimasukinya sangat tidak menyenangkan. Berbagai peralatan medis berada di dalam ruangan itu.
Para suster lalu lalang di depannya, seolah tidak terusik akan keberadaan dirinya di dalam ruangan itu. "Kenapa aku ada di sini?" Naruto semakin tidak mengerti.
Gadis itu menyeret kakinya, ingin melihat jelas siapa dua orang yang berbaring tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Dokter dan suster mengelilingi tempat tidur kedua pasien terlihat semakin sibuk dan cemas secara bersamaan.
Naruto tersentak kaget, dia melihat tubuhnya sendiri berbaring penuh luka di salah satu tempat tidur itu. "Siapa dia?" Naruto menunjuk ke arah tempat tidur dengan panik.
"Hei, sebenarnya ada apa ini?" Naruto berteriak kencang. Namun teriakannya seolah angin lalu, tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaannya.
Naruto kembali bergerak, mencoba untuk mendapatkan perhatian salah satu suster wanita. Namun yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Gadis itu melotot tak percaya, tangannya menembus tubuh suster itu.
"Apa yang terjadi?" Naruto bergerak mundur. Terlalu syok. "Apa yang terjadi?" teriaknya frustasi.
"Bisakah kau mengecilkan suara cemprengmu itu?"
Naruto berbalik, mencari asal sumber suara. Seorang pria tampan berjalan anggun ke arahnya. "Siapa kau?" Naruto menyipitkan matanya. Menatap lurus ke arah pria itu.
Pria itu berjalan cuek, menuju salah satu tempat tidur. "Paman Iruka?" teriak Naruto saat melihat tubuh Iruka terbaring tak berdaya di atas tempat tidur dengan segala macam peralatan medis menempel di tubuhnya.
Kedua mata Naruto membulat sempurna saat melihat roh Iruka perlahan keluar dari dalam tubuhnya. Pria baik itu mengulum senyum pada Naruto, mengangguk kecil sebelum akhirnya menghilang dan suara mesin pendeteksi jantung itu-pun berbunyi nyaring, memekakan telinga.
"Ada apa ini?" tanya Naruto semakin panik. Dia bertanya pada pria yang kini balas menatapnya lurus. "Apa yang terjadi padaku? Kenapa hanya kau yang bisa melihatku? Lalu siapa dia?" tanya Naruto bertubi-tubi, telunjuknya menunjuk pada tubuhnya yang berbaring tak berdaya.
Pria itu menghela napas panjang. Terdiam.
"Apa aku sudah mati?" tanya Naruto kemudian. Otaknya mulai memahami akan apa yang terjadi.
"Belum," sahut Kimimaro.
"Lalu?"
"Itu untuk kau cari tahu sendiri." Sahutnya tenang sebelum menghilang.
"Jangan pergi! Kau belum menjawab pertanyaanku!" seru Naruto putus asa. Gadis itu berjalan menembus tubuh dokter dan suster yang bekerja di sekeliling tempat tidurnya. Naruto mencoba untuk masuk ke dalam tubuhnya, namun ia kembali terpental. Tubuhnya seolah menolaknya. Naruto terdiam, kemudian menangis.
Ia memaksa kakinya untuk berjalan keluar dari ruangan itu. Naruto bingung, kemana dia harus pergi sekarang. Gadis itu memejamkan mata, hatinya menyebut satu nama dan saat dia membuka mata, dia hanya bisa mengernyit, heran kenapa tiba-tiba dia bisa berada di tempat ini. "Bagaimana bisa?" pikirnya takjub.
.
.
.
Catatan : Calendula Officinalis atau yang dikenal dengan nama Marigold mempunyai arti kesedihan atau putus asa. Konon, pada zaman dewa-dewi Yunani, dikatakan bahwa Aphrodite, dewi kecantikan begitu sedih atas kematian kekasihnya, Adonis. Ia mulai menangis dan air matanya berubah menjadi marigold.
TBC