previously
Pemuda Inggris tersebut kaku seketika. Jantungnya seperti berhenti. Terlebihnya saat Alfred menampilkan raut marah, dan tak tanggung-tanggung ujung runcing batu tajam yang dihubungkan dengan kayu—tombak buatan suku—yang ia pegang terarah persis ke leher Arthur, bahkan menyentuh kulit albino pria itu.
"Buat apa kalian ke sini lagi?"
Pita suara si bungsu Kirkland seolah tak berfungsi. Ia tak mampu menjawab.
Dan untuk pertama kalinya seumur hidup, Arthur yakin nyawanya sudah di ujung tanduk.
.
.
"Tuan Indian yang baik... aku benar benar minta maaf karena telah memasuki teritorimu. Aku menyesal. Sungguh... " Arthur mencoba memelas. "Karena itu... apa aku bisa minta tolong untuk diturunkan?"
Alfred tak menghiraukannya. Saat ini pria yang menjabat sebagai calon penerus suku Indian di tepi pantai Amerika ini sedang membopong tubuh ringan Arthur di atas pundak kanannya. Tangan dan kaki pria itu sudah terikat dengan akar tanaman. Mulutnya sempat disumpal sesuatu namun berhasil Arthur lepehkan begitu saja. Setelah itu kadang ia menjerit minta tolong—memanggil Scott dan juga awak kapalnya—namun karena tak ada balasan dan Alfred tetap berjalan menelusuri hutan, pada akhirnya pria itu mencoba minta maaf sepanjang perjalanan.
"Ukh..." Arthur Kirkland yang masih di gendongannya pusing. Dengan posisi seperti ini semua darah jatuh ke kepalanya. Perutnya yang ditopang pundak kanan Alfred juga luar biasa sakit. Arthur pun mencoba menggerakkan tubuhnya tapi Alfred langsung menepuk pantatnya dengan kencang.
"Diamlah sedikit. Kita hampir sampai."
Arthur menelan ludah. Mungkin kalau lupa bahwa ia sudah berusia dua puluh lima tahun, mungkin dia akan menangis seperti bayi. Selain karena dia tidak suka dilecehkan seperti itu, tiba-tiba saja isi kepala Arthur kerasukan sebuah pemikiran. Ada kemungkinan besar Alfred sengaja membawanya ke perumahan sukunya untuk dimasak. Membayangkan tubuhnya dijadikan bahan utama di tangki panas pun sudah membuatnya luar biasa gemetar.
.
.
.
INDIGENOUS
Hetalia by Hidekazu Himaruya
AU—Alternate Universe
Pieree Presents...
(Alfred F. Jones—Arthur Kirkland)
.
.
three of six
-tertangkap-
.
.
"Hei, Al, kau sudah balik dari memancing—eh?" Kyle mengernyit saat ia melihat Alfred membawa seseorang di pundaknya. Ya, bukan hewan hasil buruan pastinya. Dia manusia, dan memiliki kulit yang lumayan kontras dengan kulit penduduk suku mereka. "Itu apa?"
"Orang asing." Katanya. Ia lirik Arthur yang sedang menahan nafas, menghindari kontak mata dari Kyle yang kini mengamatinya dari punggung Alfred.
"Orang Inggris, hm?" Carlos yang kebetulan juga ada di sampingnya bertanya pelan. Pria botak bertubuh besar itu heran. "Untuk apa kau membawa salah satu dari mereka?"
"Iya, mereka menyebalkan, tau." Ucap Kyle, sewot. Tapi lama-lama dia terkekeh. Terutama saat memencet pipi Arthur yang tirus namun berdaging. "Walau dia kelihatannya enak."
Arthur semakin pucat. Ia hanya bisa berharap Alfred mengeluarkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan teman-temannya.
"Mungkin dia enak kalau dipanggang dengan madu." Alfred setuju. Sial. Sekarang dia cuma berharap dirinya tidak berakhir mengenaskan di tungku api.
Tapi karena Arthur yang ketakutan semakin terlihat bergerak-gerak cemas, Alfred pun pamit dari kedua sahabatnya dan menuju tenda pribadinya. Dia hempaskan Arthur di sana dengan bantingan, Arthur mengaduh dan pria itu menggulingkan tubuhnya saat Alfred berjalan mendekat. Inginnya kabur, tapi sekali lagi ia lupa bahwa tangan dan kakinya masih terikat. "Ja-Jangan mendekat. Aku... sama sekali tidak enak."
"Daging hewan juga tak enak kalau belum diberi bumbu."
Arthur menelan ludah dan wajah Alfred mendadak memberikan cengiran lebar padanya.
"Dan juga, tenanglah sedikit. Mau kumakan atau tidak itu urusan nanti. Aku mau bicarakanmu dulu ke ayahku. Kalau kau benar-benar tidak berguna, mungkin kau akan kulepaskan."
"Lepaskan? Kau mau melepaskanku?"
"Ya, tapi aku tidak menjamin kau bisa keluar dari hutan tanpa tersesat. Lagi pula di sini banyak binatang buas yang bertebaran."
Rasa senang yang hampir Arthur rasakan mendadak meluap. "A-Apa kau bilang? Kau tidak berminat... untuk mengantarku pulang?"
"Sepertinya tidak." Ucapnya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Arthur di tenda yang baginya lumayan sempit ini. Arthur tergeletak lemas sambil menghela nafas. Dia memandangi langit-langit tenda yang berwarna cokelat kusam. Baru ia sadari di sini tidak ada ventilasi. Dia keluarkan kepala dari tirai—supaya bisa bernafas—tapi terpaksa memundurkan wajahnya kembali karena ada orang-orang suku yang berkeliaran di dekatnya.
Arthur memejamkan matanya dengan lemas.
"Scott... cepatlah sadar kalau aku hilang..."
.
.
in-di-ge-no-us—pi-e-ree
.
.
Biasanya Heracles mudah ia temui, tapi entah kenapa tidak untuk hari ini. Ayahnya yang tiap sore selalu duduk di depan meja persembahan, berdoa degan seorang shaman, mendadak tak ada di tempatnya menjalankan ritual. Saat ia hampiri bangunan kosong—semacam spirit house—suku mereka pun tak ada siapa-siapa. Jadilah Alfred bergerak untuk mencari Heracles lewat penduduk yang lagi melakukan kegiatan sehari-harinya.
Salah satu sasaran bertanya yang ia punya saat itu adalah Natalia. Gadis bersurai panjang itu baru saja keluar dengan dua buah guci di tangan. Mungkin dia akan mengambil persediaan minum dari mata air. "Natalia."
Wanita yang hanya memakai baju kain bermodel crop tee dan rok pendek itu menoleh. Senyum terlukis dari bibirnya. "Ah, hai, Alfred."
"Aku ingin mencari ayah. Kau melihat dia?"
Dia bergumam sebentar. "Sepertinya aku baru saja melihat ayahmu lagi berbicara dengan shaman. Mungkin mereka sedang berjalan menuju hutan timur."
"Oke." Alfred berniat pergi meninggalkannya namun tangannya ditahan Natalia. Alfred menoleh namun wanita itu langsung melepaskan tangan tan tersebut dan tersipu malu.
"Maaf..." Ia mengadahkan wajahnya yang memerah dan tersenyum. "Kalau begitu, sampai jumpa. Semoga lekas menemukan ayahmu."
"Ya." Alfred tak ambil pusing. Dia langsung meninggalkan Natalia dan berlari ke arah hutan. Dari jejak kaki yang ditinggalkan, kelihatannya ayah berjalan dengan tiga orang—salah satunya shaman, dan dua lainnya mungkin pengawal. Alfred terus mengikutinya dan akhirnya saat ia menaiki sebuah batu, dapat ia lihat Heracles, dengan hiasan kepala besar beserta tongkat yang ia pegang, yang lagi menuruni bukit kecil.
"Ayah!"
"Alfred?" Heracles menoleh. Ia tunggu Alfred yang menghampirinya dan menatapnya heran. "Buat apa kau ke sini?"
"Dari pantai ada orang luar yang masuk ke daerah kita."
"Iya, orang Inggris." Heracles menunjuk asap hitam yang keluar dari celah pohon. "Di sana tempat perjanjian yang harus kudatangi untuk menemui ketua mereka."
"Eh? Jadi ayah mengizinkan mereka menginjak daerah kekuasaan kita?"
"Itu sudah perjanjian dari beberapa tahun yang lalu, Alfred." Lalu Heracles sebal sendiri. Padahal anak tunggal, tapi tak pernah mendengarkan apa yang pernah ia bicarakan sebelumnya. "Kita akhirnya sepakat, mereka cuma mau minta daerah utara daerah kita, mengambil timbunan emas."
"Emas?" Alfred mengernyit. "Apa gunanya emas?"
"Entah. Mereka suka barang tak berguna." Katanya. "Yang jelas mereka tak mengganggu kita."
"Tapi sampah bertebaran di pantai dan kapal mereka mencemari perairan laut! Kalau mereka saja yang untung dan kita dirugikan, kenapa ayah masih—!"
"Orang-orang itu memang sedikit kurang ajar, aku tau. Tapi mereka menjanjikan kita bibit tumbuhan dan hewan ternak. Makanan lebih berguna dibanding benda mati—emas—bukan? Lagi pula sampah dan minyak dari kapal mereka bisa dibersihkan."
Alfred menghela nafas. "Padahal aku sudah membawa satu dari mereka ke sini. Kupikir bisa dijadikan sandra untuk mengusir mereka."
"Sandra?" Mata pria tua itu membulat hingga kerutannya terangkat. "K-Kau.. membawanya... ke mana?"
"Ke desa—"
"Bodoh!" Bahu Alfred dipegang erat dan Heracles melotot.
"Lepaskan dia! Itu bisa memancing peperangan!"
"Perang? Kenapa perang?"
Heracles mencoba bersabar dan menyuruhnya kembali. "Intinya, aku ingin kau lepaskan dia sekarang, Alfred. Itu jika kau masih ingin suku yang kita bina ini masih ada."
Heracles dan tiga orang yang ada di sebelahnya pun pergi. Alfred yang ditinggal sendiri berkacak pinggang. Dia usap rambut pirangnya dan menatap punggung sang ayah yang lama-lama menjauh.
"Tidak seru." Gumamnya, lalu berbalik arah.
.
.
in-di-ge-no-us—pi-e-ree
.
.
Sudah berjam-jam Arthur terdampar di tenda pengap ini. Kedua tangannya yang terikat di belakang punggung sudah mati rasa. Mungkin karena tadi ia berusaha gila-gilaan menggerakkan anggota geraknya—walau usahanya nihil. Posisi ini juga sangat merugikannya. Tubuhnya pegal di sana sini, nyeri, juga dikerubuni nyamuk-nyamuk hutan yang terasa buas menusuki kulitnya.
Arthur tidak tahan. Ingin berteriak minta tolong, tapi takutnya akan ada manusia suku lainnya yang masuk dan menatap heran dirinya, atau bahkan bisa membunuhnya di detik itu juga jika sadar bahwa ia adalah orang asing. Lagi pula ke mana Alfred pergi? Sudah hampir dua jam kan dia ditinggal dengan posisi seperti ini? Apa pria itu sedang memilih bagaimana cara yang paling enak untuk menghidangkannya untuk makan malam nanti? Mungkin dia akan berakhir dipanggang seperti babi guling di atas perapian.
Menggeleng keras, pria beralis tebal itu mencoba menghapus bayangan mengerikan tadi. Dan tampaknya suara dengingan nyamuk yang mondar-mandir di dekat telinganya agak membantu. Perhatiannya teralih dan jadilah Arthur memekik kecil. Dia mencoba menggeleng dan langsung ada makin banyak nyamuk yang berkeliaran di sekitarnya. Pipi dan lehernya bentol-bentol. Gatal. Arthur pun guling-guling dengan mata berair. Dia tidak suka diperlakukan seperti ini. Dia pria terhormat, pria yang terbiasa meminum teh di samping meja bundar dengan seorang butler di belakang kursinya; bukan seonggok daging siap santap yang akan mati kehabisan darah karena digigiti nyamuk seperti ini.
"Oi."
Kirkland muda itu terkejut saat ada orang yang memasuki tenda. Dia Alfred, pria bersurai pirang dengan tangan tan yang melemparkannya sebuah daging ayam panggang di atas gulungan tikar. Tanpa piring tentunya. "Makanlah."
"Begitukah caramu memberikan hidangan kepada seorang tamu!? Kau pikir aku hewan!?" Arthur tak tahan lagi. "Lepaskan aku, sialan! Ini benar-benar sudah keterlaluan!"
"Keterlaluan bagaimana?" Alfred duduk sembarang dan mengernyit melihat makhluk putih satu itu. "Sudah bagus aku memberimu makanan."
Iya, makanan. Tapi percuma kalau ayam itu terlihat cuma dikuliti dan di bakar hidup-hidup. Lihat saja sendiri, leher ayamnya belum terpotong sempurna, darah basi di dalam tubuh ayam itu bisa membuat Arthur keracunan. Dan juga ada beberapa bagian yang tampaknya belum terpanggang sempurna. Masih merah dan dipenuhi kuman yang belum mati. Arthur menggeleng dengan wajah tertekan. Tidak sudi makan, tapi sayang dia terlalu lapar. Dia gigit bibirnya sendiri dan melemaskan badan.
"Baiklah. Aku akan memakannya. Tapi bisa kau lepaskan dulu tali ini? Peredaran darahku sudah terhenti di tangan dan wajahku juga gatal-gatal. Aku ingin menggaruknyaaaa." Arthur mengangkat wajahnya, memperlihatkan banyak bentol besar nan merah yang menghiasi wajah bagian kanannya. "Please!"
"Aku tak akan melepaskanmu."
Arthur terbelalak. "Lalu bagaimana caranya aku makan!?"
"Kau punya mulut, kan?"
Mata Arthur kembali berkaca-kaca. Sumpah, ini pelecehan. Masa iya dia disuruh makan lewat mulut? Pria Indian ini benar-benar memperlakukannya seperti hewan peliharaan. "Kalau begitu aku tidak mau makan. Singkirkan ayamnya dari sini."
Alfred memutar bola matanya dan mengambil ayamnya. Dia sobek secuil daging dan memasukkannya ke mulut Arthur. "Makanlah, tak usah banyak bicara."
Arthur ingin memuntahkannya. Kotor. Tangan Alfred pasti belum cuci tangan. Tapi karena dia disumpal begitu saja dia pun mengunyah dengan paksa. Saat menelan pun setitik air matanya pun ikut keluar. Tidak enak. Tak ada bumbu yang melapisinya. Selain hambar, semerbak bau anyir ayam juga menusuk hidungnya. Bikin eneg.
Plak.
Terdengar suara tepukan telapak tangan Alfred di udara. Ada empat nyamuk yang terlihat mati saat ia membuka tangan. Alfred memandang pipi Arthur yang bergerak karena mengunyah makanan. "Pipimu masih gatal?"
Arthur memalingkan muka, malas berkomentar. Toh, tidak akan ditanggapi juga.
"Aneh. Padahal aku yang pakaiannya lebih terbuka tapi tak ada nyamuk yang menggigitiku."
"Aku orang baru. Nyamuk-nyamuk hutan pasti menyebutku sebagai citarasa baru." Arthur menghela nafas. "Tapi serius, tolong bisa kau lepaskan tanganku? Pipiku gatal. Ini serius gatal."
"Gatal?"
"Iya, gatal. Aku ingin menggaruknya."
"Kami punya obatnya."
Arthur menatapnya. "Mana?"
Alfred pun menaikkan wajah Arthur dan kemudian menjilat pipinya yang bentol. Rasanya berliur dan panas. Arthur pun sontak mendorong kepala Alfred menggunakan kepalanya dan menjerit kencang. "A-Apa-apaan ini!?"
Alfred mengerutkan kening. "Aku memberimu obat, bodoh. Kata orang sini, ludah memiliki kandungan—"
"Tapi kenapa kau menjilatku! Dasar kau... homo!"
"Homo?" Alfred tak mengerti. Tapi sepertinya itu kata hinaan. "Homo itu apa?"
Kenapa jadi membahas ini? Arthur cemas sendiri. "Su-Suka... sesama lelaki."
"Hah? Kemarin malam aku baru saja bercinta dengan empat wanita dan kau mengatakan aku suka sesama jenis!?" Dengan raut mual ia menarik kerah Arthur. Marah. "Lagi pula di dunia ini mana ada yang namanya menyukai sesama jenis!"
"Ada!" Arthur membuat Alfred bungkam. Lalu Arthur melirik ke arah kanan, memalingkan mata. "Di negaraku... cukup banyak yang homo."
Alfred terdiam memperhatikannya dari atas ke bawah. "Homo, ya?" Dia berpikir. Dan menatap tubuh Arthur. Tak ada yang menarik dari tubuh itu. Tidak ada lekuk indah seperti cewek-cewek lain yang berada di dekatnya. "Apa yang menarik dari tubuh seorang pria?"
Arthur mendadak terkejut saat Alfred mendorongnya hingga ia telentang. Tangannya yang di belakang punggung lagi-lagi harus merasakan nyeri saat tertiban seperti itu. Dan tak habis-habisnya Alfred memberi cobaan. Pria itu menduduki perutnya. Kancing seragam lautnya dibuka. "H-Hei! Hentikan! Kau mau apa!?"
"Cuma penasaran dengan apa yang barusan kau bilang."
"Ta-Tapi! Tapi jangan seperti ini! Bodoh! Lepaskan aku!" Arthur sebisa mungkin memberontak. Tak peduli kini ada tangan Alfred yang memegangi kepala dan menduduki tubuhnya. Mata biru pria Indian itu menatapnya lekat. Cuma fokus ke kancing demi kancing yang ia lepaskan dari pakaian Arthur. Pada akhirnya baju pria itu dia buka lebar. Kaus dalamnya pun dia naikan sampai sebatas leher. Arthur yang masih terikat tak bisa melakukan apa-apa selain kelelahan dan tersengal lelah. Wajahnya miring dan merah sempurna.
"Kau malu?"
Pertanyaan Alfred membuat Arthur berdesis. Dia memberontak sedikit dan menatap wajah pria itu dari bawah. "L-Lepaskan..."
"Hei, kau menangis..."
"Aku tidak menangis!"
"Kau ketakutan?" Entah kenapa Alfred malah menikmati pemandangan ini. Sedikit indah tampaknya.
Senyuman Alfred tentu membuat Arthur mati kutu. Ingin kembali berteriak namun tubuhnya tak sanggup. Keberaniannya sudah habis tak tersisa. Dia gemetar luar biasa. Dan menyedihkan sekali saat ini dada telanjangnya yang terekspos begitu saja di depan mata pria. Mana nyamuk-nyamuknya semakin ganas pula.
Tak terasa linangan air mata Arthur turun begitu saja sampai ia terisak. Kenapa nasibnya seperti ini—diperkosa pria aneh yang bahkan baru tau arti gay? Agak ragu dia lirik Alfred yang masih di atas tubuhnya. Pria itu masih sibuk mengusap dagu. Kepalanya sengaja dimiringkan kan tatapan penuh selidik masih terarah padanya.
"Jadi sekarang apa? Setelah membuka bajumu, apa yang harus kulakukan? Tak ada yang bisa diajak bersenang-senang dengan tubuh ini."
Wajah Arthur semakin merah. "Kalau begitu lepaskan aku! Bercinta saja dengan wanita, sana!"
"Tapi aku masih penasaran. Katanya di negaramu ada gay, kan? Apa yang mereka lihat dari tubuh seperti ini?" Alfred meletakkan tangannya ke dada kecil Arthur, membelainya sampai ke pusar. Sontak Arthur mendesah geli namun dia langsung menggigit bibirnya. "Eh, tapi kamu bilang apa?"
Arthur menelan ludah. "A-Apa? Aku tidak bilang apa-apa!"
"Tadi kau mengeluarkan suara!"
"A-Aku tidak—ah!" Dia meringis saat Alfred mengulangi perbuatannya. "G-Geli! Jangan lakukan itu lagi!"
Dan saat itu Alfred tertawa. "Suaramu mirip salah satu wanita saat ia bercinta denganku. Apa kau benar-benar laki-laki?"
Arthur membatu. Ia benar-benar merasa dilecehkan saat ini. Apa jadinya kalau kru-kru kapal lainnya tau kalau ada pria Indian yang mengatakan hal itu padanya? Apalagi Scott. Kalau tidak marah padanya—ya, karena tidak menunjukkan gelagat seorang pria sejati—mungkin dia akan tertawa habis-habisan sampai pinggangnya lepas.
Kalau saja Scott lah yang mengisi posisi memalukan ini...
Mendadak Arthur membuka kelopak matanya lebar-lebar. Tidak. Scott tak mungkin begini. Dia pria hebat. Salah satu tokoh berpengaruh yang membuat kesepakatan kerjasama antara suku Indian dan Inggris—atas tambang emas yang tersedia di sana. Dia bisa memerintah, menangani dan juga menanggulangi tiap kesalahannya sendiri atau pun anak buahnya.
Dan karena Scott pintar berbicara dan meyakinkan orang, seharusnya bibit dari sifat itu juga menular padanya, kan? Arthur harus coba mencontohnya.
Arthur baru saja menarik nafas, berniat angkat bicara, memperserius omongan agar bisa berkompromi dengan Alfred, tapi...
Tiba-tiba Alfred menjilat tubuhnya.
"HWAAA! MENJIJIKKAN! APA YANG KAU LAKUKAN!?"
"Menjilatmu. Kulitmu terlihat bersih soalnya. Putih."
Rencana Arthur langsung berantakan saat ada lidah tak bertulang yang menjilatinya. Tak hanya sekali, namun berkali-kali. Semua ini membuatnya gila dan merinding secara bersamaan. Keringat dingin membubuhi tubuhnya. Hingga akhirnya ada sesuatu yang menyeramkan terjadi. Pria itu membuka celananya.
"HELL! HENTIKAN! HEI APA YANG KAU PIKIRKAN!?"
"Menyentuh barangmu." Kata Alfred dengan tenang saat ia sudah mengeluarkan benda Arthur dari celana dalamnya. "Ternyata punyamu lebih kecil dariku. Bahkan dari Kyle yang kuanggap paling kecil saat kami mandi bersama di sungai." Katanya sambil tertawa. "Lalu, sekarang apa? Bagaimana cara memainkannya? Apa kuhisap?" Alfred mencium kepunyaannya dan dia masukkan kedalam mulut.
"AAAAAA HENTIKAN! HENTIKAN!"
Arthur pun menjerit tanpa henti dari sore hingga malam.
.
.
in-di-ge-no-us—pi-e-ree
.
.
Pagi harinya Alfred bangun dengan menguap lebar. Dia lirik Arthur dengan posisi baju dan celana yang sudah terlepas—namun belum telanjang total. Ia garuk rambut pirangnya dan mencoba keluar dari tenda. Kadar panas cahaya matahari yang menyapanya membuatnya ia sadar bahwa hari telah siang. Pantas perutnya sampai keroncongan begini. Segeralah ia berjalan menuju mata air. Ia ingin cuci muka terlebih dulu, makan, lalu mandi.
"Alfred."
Alfred menatap malas orang yang baru saja memanggilnya. Itu sang ayah, Heracles. Pria itu didampingi dua pria yang sudah lama menjadi sahabat dekatnya, Kyle dan Carlos. Carlos menatapnya heran dan Kyle memandanginya dengan seulas seringai di bibir. Dan untuk kepala suku yang berada di tengah... ia hanya melipat kedua tangannya di dada ia menyipitkan mata. Sinis.
"Ada apa pagi-pagi begini memasang tampang seperti itu?"
"Kau masih menyimpan orang Inggris itu?"
Lumayan to the point juga.
"Aa... bagaimana kau tau?"
"Kau pikir teriakan pria itu tidak sampai ke telinga kami yang ada di luar tendamu?"
"Iya, dan suaranya mencurigakan sekali. Kau apakan dia, hah?" Kyle menambahkan dengan tawa.
"Hanya sedikit bersenang-senang." Ucapnya, melirik Heracles singkat dan berniat lanjut pergi.
"Ayahmu tak ingin melihat orang itu di sini. Pikirkan juga dampak penculikan ini ke awak kapal lain yang sedang mencarinya." Carlos menambahkan. Jujur saja dia berada di pihak Alfred, tapi mau tidak mau ia harus memberikan saran yang terbaik. Alfred mengangguk malas.
"Iya, iya. Aku tau. Mungkin aku akan membuangnya."
"Hari ini?"
"Mungkin besok."
"Jangan sampai dia menetap di sini lebih dari tiga hari." Heracles menggerakkan tongkat besarnya untuk menuntunnya berbalik dan melangkah pergi. Tapi sebelum itu dia melirik sekali lagi. "Kalau kutemukan pemuda itu setelahnya, akan kupastikan kita akan menyantapnya sama-sama sebagai hidangan makan makan malam. Mengerti?"
Alfred hanya menguap dan dia pun pergi.
.
.
see you
.
.
my note
Gemes sendiri sama Arthur di sini. Enak banget nyiksa dia /heh.
.
.
warm regards,
Pieree...