Warning(s): MAJOR CHARACTER DEATH for every chapter (engga mau menggelinding kokoro-nya? Silakan tekan tombol back dan jangan kembali lagi :p #plak), BL/shonen-ai,full-angst and tragedy, rating berubah di chapter selanjutnya.

Pairing(s): (mainly) MikoRei dengan penambahan pairing sesuai keberlangsungan cerita.

YAP~ author kembali dengan seri Twenty-Four sesuai yang dijanjikan~! Terima kasih banyaaaak untuk para pembaca dan reviewer yang masih setia menanti tulisan-tulisan author *dikemplang*. Chapter kali ini merupakan pengantar sekaligus penggalan dari Once Upon a King and His Faery (/s/10638250/1/Once-Upon-a-King-and-His-Faery, disarankan untuk membaca fanfiksi ini terlebih dahulu).

Jya, happy reading dan semoga kokoro-nya tidak menggelinding~! *kabur sebelum dibantai*


...


.

Project K (c) GoRa & GoHands

TWENTY-FOUR

Fragment 0: Inside the Quartz's Cage

.

'Nyanyian takdir merah dan birunya… baru saja akan dimulai.'

.

.

.

.

.

Dinding-dinding kuarsa menjulang tegak. Spektrum putih yang diserap untuk kemudian membias warna. Warna-warni cantik melenggok seolah menari. Hijau dan kuning. Jingga dan ungu. Merah dan biru. Membentuk bayang-bayang. Menciptakan siluet. Menderap dan melangkah. Berlari. Berkejaran. Bersembunyi. Terdiam terpaku.

Seorang gadis kecil berdiri. Sepasang iris semerah rubinya berkilau. Mengamati. Mengikuti tarian indah pantulan warna-warni kristal kuarsanya. Kepalanya bergoyang sesekali. Surai putih panjangnya tertiup melambai mengikuti gerak tubuhnya, berirama bersama gaun sutra putih berenda merahnya.

Maniknya berkilat. Mengamati dua warna. Ya, hanya dua. Merah dan biru. Merah yang gagah membara dan biru yang cantik penuh ketenangan. Kontras yang berusaha mendominasi. Meski si gadis kecil tahu, merah tidak akan menawan tanpa birunya, sementara biru pernah tentram tanpa merahnya.

.

.

.

"Aku tahu kau akan datang jika aku memanggilmu."

"… darimana kau tahu namaku?"

.

.

.

[It all began with a vow of eternity,

as simply as an innocent child would seek for a ceaseless peace.]

.

.

.

"Kau tidak tahu kalau kerajaanmu dan kerajaanku berperang?!"

"Suatu saat aku akan menjadi raja, dan aku bersumpah akan menjadi raja pertama yang mampu membawa kedamaian bagi kerajaanku dan kerajaanmu."

.

"Heh. Kalau begitu, kita berteman?"

"Setuju. Kita berteman."

.

.

.

[Yet the eternity's voice seemed to be carved even deeper than it should be,

as simply as a bird that couldn't fly away unless it has its pair of wings.]

.

.

.

Sebuah lengkung senyum terlukis di wajah manis si gadis kecil. Tangannya terjulur, menyusur merah dan biru yang bertautan indah pada dinding kuarsanya. Dan suara-suara yang menggaung di telinganya. Gelak tawa yang berkumandang dari dalam kristal-kristal beningnya. Gadis itu tetap tersenyum. Memeluk hangat menggelegak dalam dada.

.

.

.

[There was love.

There was hope.

There was illusion.

There was oncea happiness.]

.

.

.

"Heykau masih ingat janjimu padaku dulu?"

.

.

.

[But there was also rejection.

There was also burden.]

.

.

.

"Kenapa? Kau takut ayahmu dan pasukannya berhasil melukaiku, menangkapku, memenjarakanku, atau kemudian membunuhku, begitu? Bagaimana denganmu sendiri? Jangan kau pikir aku tidak tahu bahwa setiap kali kau mengunjungiku kemari ternyata kau sedang mempertaruhkan lehermu dari penggalan pedang ayahmu sendiri."

.

.

.

[There was obligation.]

.

.

.

"Situasi memanas di balik tembok kastil. Rakyatku tidak bisa semudah itu menerima kekuatan dan keajaiban yang tidak mereka mengerti. Tentang kerajaanmu, juga tentangmu. Dan jika kau berani memunculkan hanya sekedar kepakan sayapmu di sana, keadaan berubah dan kau akan menyulitkan segalanya."

.

.

.

[And there was oncea lie.]

.

.

.

"Kau akan pergi? Kau akan melupakan janjimu padaku? Melupakan mimpi besarmu untuk kerajaanmu dan kerajaanku?"

.

"Jangan bercanda—… kau pikiraku bisa mati hanya dengantusukan kecil seperti ini—"

.

.

.

[The vow of eternity suddenly perished,

as simply as a bird that couldn't fly no more due to its wings were being torn apart.]

.

.

.

Merah dan biru yang memisahkan tautan. Merah yang membawa pergi tetesan-tetesan kecil biru, meninggalkan biru dalam kubangan merahnya. Si gadis kecil terpaku. Bibir mungilnya tidak lagi melengkung senyum. Tatapan mata yang kini sendu. Ada jarak di antara merah dan birunya. Ada warna kontras dari luka yang saling menyelimuti. Hangat dalam dadanya yang kini memerih. Ia merasa sesak. Dan si gadis kecil tahu, hari akan berganti hari. Bulan dan tahun akan menghitung waktunya tanpa henti.

.

.

.

[There was hatred]

.

.

.

"Wah, wah, wahsatu jamuan pesta yang sangat meriah. Aku ingin tahu, kenapa tidak ada selembar pun surat undangan sampai ke pegunungan tempat tinggalku."

.

"… jika kau berani menyentuhnya sedikit saja—"

.

.

.

[There was betrayal.]

.

.

.

"Jangan—…. Anak itusatu-satunya yang kumiliki."

.

"Kalian ras manusia, ras angkuh penuh harapan palsu dan mimpi-mimpi bodoh sementara tubuh kalian nyatanya tidak sekuat itu untuk menyokong apa yang kalian inginkan. Menyedihkan, sungguh. Sekarang, boleh aku ikut memberikan hadiah untuk pangeran kecilmu yang tampan ini?"

.

.

.

[There was agony.]

.

.

.

"Ketika peri kehilangan sayapnya dan jatuh ke bumi, maka peri itu akan menjadi penyihir."

.

"Hmm. Lalu, kenapa kau kehilangan sayapmu?"

"Adaada seseorang, mengambilnya dariku."

"Apakah rasanya sakit?"

"… ya. Teramat sangat."

.

.

.

[Yet there was oncea regret.]

.

.

.

"Aku ingin sekali melihatmu terbang tinggi."

.

"Tolong jaga pangeran kecil itu. Berjanjilah padaku, selamanya, agar aku bisa terbebas dari rasa bersalahku ini."

.

"… kau sungguh-sungguh."

"… mencintainya? Atau begitukah manusia menyebutnya? Butuh satu tahun berkubang dalam derita dan sembilan belas tahun dalam penyangkalan hingga aku sadaraku jatuh terlalu dalam untuk pria itu. Jika ini akhirku, aku tidak ingin menyesalinya."

.

"Aku memaafkanmu. Apa itu tidak cukup bagimu?"

"Bagiku itu cukup. Tapi kerajaanmu dan utamanya keberadaanmu, tidak cukup bagi rakyatku."

.

.

.

Si gadis kecil mengerjap. Berusaha menyamarkan bayangan buram menggenang di pelupuknya. Berusaha berpaling. Berusaha menyangkal. Karena kenyataan tidak seharusnya menjadi sepahit itu. Ironisnya gadis itu pun mengerti, bahwa pantulan warna-warni sinar kuarsanya tidak pernah berdusta. Tidak pernah membias tanpa makna.

Meski ia tetap ingin menggeleng. Merah dan birunya yang terkoyak. Saling tenggelam dalam dua rasa yang bertolak belakang. Hingga sejauh mana, hanya perih getir yang menjawab pertanyaannya.

.

.

.

"Aku mengerti. Kau bolehlakukan tugasmu. Bunuh akuitu yangrakyatmu maubukan?"

"Berikan kutukanmu padaku. Aku akan menerimanya. Kalau kau bilang kau ingin aku bahagia, maka aku menolak untuk bahagia. Aku mengemban tugasku sebagai raja, tapi aku menolak kehilanganmu.

"Aku menolak bahagia tanpamu."

.

.

.

[So that it ended with a repeating curse,

as simply as two lonesome souls who would find each others yet the final step of every encounters would never be told as happily-ever-after ending.]

.

.

.

"Dua puluh empat kalikita akan bertemu di ruang dan waktu yang lain."

.

.

.

[Makes one pair of hand that'd been cursed,

destined to rip off the others' soul.]

.

.

.

"… kau akan terus mencarikudan aku akan selalu berakhir di tanganmu."

.

.

.

[So there will be desperation.

There will be no restrain.]

.

Si gadis kecil terjatuh, bersimpuh di atas kedua lututnya. Kedua tangan menutup telinganya. Bulir-bulir perak mengalir deras dari sepasang manik rubinya. Tubuh mungilnya berguncang, dikelilingi warna-warni menari tanpa lelah di kanan-kirinya. Sebagaimana waktu yang tak sudi menunggu. Sebagaimana takdir yang tak kuasa ditentang.

.

.

.

[There will be life-time grieving.]

.

.

.

Merah dan biru terkasihnya. Hingga sejauh apa tali-tali nasib akan menjauhkan merah dan birunya dari kata kebahagiaan?

.

.

.

[Yetthere will be no more perpetuity, no more eternity.]

.

.

.

"Sampai bertemu."

.

Aku mencintaimu.

.

.

.

Because as simply as a parting gift, the curse was also meant to be lifted.

.

.

.

Warna-warni yang menjelma, menjadi titik kecil layaknya kunang-kunang, melayang indah mengitari si gadis kecil. Tangannya yang kemudian terentang, menyambut merah dan biru dalam dekapnya. Merahnya yang menguar hangat. Birunya yang mencipta damai. Dinding-dinding kuarsanya yang telah berkisah mengenai masa depan, di mana sepasang tangan mungilnya pun tak lekang dari jerat tali takdir. Untuk mengawasi. Untuk memahami. Untuk menunggu. Untuk menjaga.

Sinar mentari pagi semakin kuat menembus dinding kristalnya. Mengusap sisa-sisa jejak air mata di wajah sembabnya, gadis kecil itu berdiri. Melempar pandang sesaat pada dua warna kontras yang masih berlarian sepanjang dinding kristal kuarsanya, si gadis kecil tersenyum. Sebuah senyum manis di antara gerbang luka dan duka yang menantinya.

Nyanyian takdir merah dan birunya… baru saja akan dimulai.

Dan si gadis kecil akan selalu ada. Mengawasi. Memahami. Menunggu. Menjaga.

Hingga kebahagiaan abadi akan tiba di ujung jalan merah dan birunya.


...


"Selamat pagi, Anna."

Si peri kuarsa mungil menggumam pelan menjawab sapaan ramah dari sang peri penjaga muda. Menyadari sendu di wajahnya, sang peri bersayap biru langit malam itu menenggerkan tangan di kedua pundaknya.

"Ada apa, Anna? Tidak biasanya kau—"

"—Izumo, Tatara, dan Seri… mereka bertengkar lagi."

Jawabannya sudah cukup untuk membuat sang peri penjaga menghela napas gemas.

"Mereka di mana?"

"Di pinggir hutan."

Sang peri penjaga mengangguk. Tangan yang menepuk puncak kepalanya, penuh rasa sayang. Dan senyum manis menemani sepasang manik ungu yang menenangkan rubi miliknya, sebelum akhirnya sang penjaga terkuat kerjaan mistis penuh kekuatan impian itu menjejak kuat-kuat dan melesat ke arah yang ditunjuknya.

Menyambut masa depan yang telah digariskan nasib, tidak peduli sepahit apa guratan yang terlukis di dalam dinding kuarsanya.

.

.

.

[And this is how the story began,

the tangled dance between the vow and the curse.]

.


...


.

.

.

Author's note: sekian dari author kali ini. Terima kasih untuk para pembaca yang udah meluangkan waktunya untuk mampir ke lapak author~ dan sampai jumpa di chapter berikutnya! ;)