Part 2
Meskipun sudah berjanji pada Yunho untuk menahan diri, dia tetap saja mendatangi Jaejoong di kamarnya.
Yunho bisa marah, nanti. Tapi dia tidak peduli. Bagaimana mungkin dia tahan berdiam diri begitu saja saat gadis yang sudah ditunggu-tunggunya sekian lama sekarang ada di rumah yang sama dengannya? Dia berdiri di sudut ranjang, mengamati Jaejoong yang tertidur pulas seperti bayi. Sejenak kemarahan menyelimuti hatinya.
Sampai kapan dia hanya bisa melihat Jaejoong di saat gadis itu sedang tertidur? Yunho harus cepat. Mereka sudah sepakat tentang Jaejoong, padahal jarang sekali mereka berdua sepakat. Dia dan Yunho bertolak belakang dalam segala hal. Yunho cenderung baik hati dan menggunakan cara-cara pintar untuk meraih tujuannya, sedangkan dia selalu menggunakan cara-cara licik. Licik, bukan pintar - untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dan seperti yang Yunho katakan tadi, dia sangat kejam.
Tapi Jaejoong adalah gadis yang sudah menyentuh perasaannya. Mungkin gadis itu sudah melupakannya, bahkan mungkin gadis itu tidak menyadarinya, tapi kejadian dua belas tahun lalu itu tidak akan pernah dilupakannya, pertemuan pertamanya dengan Jaejoong sekaligus hari di mana dia memutuskan akan memiliki Jaejoong.
Yunho harus memaklumi ketidaksabarannya, dia sudah menunggu selama dua belas tahun. Menunggu dan menunggu sampai Jaejoong siap menjadi miliknya. Dan sekarang gadis itu ada di depan matanya.
Dia mendekat, tangannya menyentuh pipi Jaejoong lembut. Jaejoong bergeming, masih pulas, tidak menyadari ada sosok yang mengamatinya lekat di tepi ranjangnya.
"Kau milikku Jaejoong, jangan lupakan itu."
Jaejoong bermimpi. Dia ada di sebuah taman hiburan yang sangat ramai. Penuh dengan pedagang dan para orangtua yang menggandeng anak-anak mereka. Suara musik dari berbagai stan permainan dan suara-suara manusia terdengar bercampur menjadi satu, riuh rendah di telinganya.
"Jaejoong, jangan kesitu," suara neneknya terdengar memperingatkan.
Jaejoong mengernyit. Neneknya masih hidup? Dia menolehkan kepalanya dan mendapati neneknya berdiri di belakangnya, neneknya benar-benar masih hidup. Hidup dan tampak lebih muda.
Dengan bingung Jaejoong mengamati sekeliling, dan menyadari kalau bukan dia yang dipanggil neneknya, di sana berdiri seorang anak, mungkin delapan tahun, kurus dan agak canggung, itu adalah dirinya yang masih berumur delapan tahun!
"Jangan bermain terlalu jauh Jaejoong, nenek tidak mau kamu tersesat, di sini sangat ramai," sang nenek menggandeng tangan Jaejoong kecil, lalu membawanya ke sebuah kursi kosong yang terletak di pinggir taman.
"Duduk di sini dulu, nenek akan membelikanmu es krim," kata sang nenek sambil menunjuk stan es krim dengan antrian pembeli yang panjang, yang terletak kurang dari seratus meter dari tempat mereka, "Jangan kemana-mana dan jangan berbicara dengan orang asing, kalau ada apa-apa teriak saja, nenek pasti akan mendengarnya."
Jaejoong kecil mengangguk tapi matanya memandang sekeliling dengan penuh semangat. Jaejoong tetap mengamati dari kejauhan, kenangan ini masih terpatri samar-samar di benaknya, kenangan saat pertama kali dia di ajak ke taman hiburan.
Tiba-tiba Jaejoong kecil melangkah turun dari kursi, dan mulai berjalan menjauh. Jaejoong langsung panic. Hey... Kembalilah, kau bisa tersesat !
Dengan gugup Jaejoong menoleh ke arah sang nenek yang sedang antri di stan es krim, dia ingin berteriak tapi entah kenapa suaranya tidak keluar, setelah beberapa kali usaha yang sia-sia, ahkirnya Jaejoong memutuskan untuk mengikuti Jaejoong kecil.
Jaejoong kecil terus berjalan sambil mengamati sekelilingnya dengan penuh rasa tertarik, tidak menyadari bahwa dia makin tersesat menembus keramaian. Dengan susah payah Jaejoong berusaha mengikuti sampai kemudian mereka berdua sampai di pinggiran taman, berlokasi di bagian belakang stan yang sepi.
Jaejoong pucat pasi ketika sadar, pemandangan yang ada di depan mereka sungguh mengejutkan, di sana ada sosok lelaki tinggi dengan pakaian rapi, sedikit acak-acakan karena baru saja berkelahi, rambutnya yang sedikit lebih panjang daripada seharusnya menutupi sisi wajahnya, lelaki itu berdarah di bahunya, darahnya merembes menembus kemeja putihnya. Tangan lelaki itu memegang pisau yang penuh darah... Dan di depannya, di depannya tergeletak sosok lelaki lain besar dan berpakaian kusam, dengan perut terluka parah oleh tusukan pisau, sosok itu tidak bergerak. Mati. Lelaki tampan itu menoleh dan melihat Jaejoong kecil sedang terpaku menatapnya. Seperti neneknya tadi, lelaki itu sepertinya juga tidak menyadari kehadiran Jaejoong, dan entah bagaimana Jaejoong seolah-olah terpaku, hanya bisa melihat, tidak bisa berbuat apa-apa.
"Well, halo nak," sapa lelaki itu sambil tersenyum mempesona, "Apakah kau tersesat?" tanpa peduli lelaki itu melipat pisau penuh darah di tangannya dan memasukkannya ke saku.
Jaejoong kecil mengerutkan keningnya, "Aku bersama nenek tadi... Apakah kau membunuhnya?" tanyanya dengan suara kekanak-kanakan. Lelaki itu melirik mayat di kakinya, lalu mengangkat bahunya tak peduli. "Dia pantas mati, dia tadi berusaha merampokku dengan pisau, jadi aku membunuhnya dengan pisaunya sendiri, manusia seperti itu tidak pantas hidup."
Jaejoong kecil menatap lelaki itu tanpa takut. "Kau tidak lapor polisi?" tanyanya polos.
Lelaki itu langsung tertawa. "Polisi? Apa yang bisa dilakukan polisi di sini? Aku sudah cukup beruntung tidak ada yang melihat kejadian ini, sampai kau datang," ekspresinya berubah kejam. Lalu lelaki itu mendekati Jaejoong kecil. Lari! Ayo lari!
Jaejoong berusaha berteriak, memperingatkan Jaejoong kecil, tetapi suaranya tidak bisa keluar, kakinya seolah-olah terpaku.
Lelaki itu lalu berjongkok di depan Jaejoong kecil. "Aku minta maaf kau berada di tempat yang salah nak, tapi sepertinya aku harus menyingkirkanmu juga."
Jaejoong kecil sama sekali tidak memperhatikan ucapan laki-laki itu tatapannya terarah pada darah di bahunya. "Kau terluka," gumam Jaejoong kecil.
"Apa?" lelaki itu mengerutkan keningnya, lalu melirik ke bahunya yang penuh darah, "Oh... Ini hanya luka kecil, akan kututup dengan jaket," sambungnya sambil melirik jaket cokelatnya yang tergeletak di tanah.
Tanpa di duga Jaejoong kecil mengeluarkan plester luka yang selalu dibawa-bawanya dari sakunya.
"Bisa diobati dengan ini? Nenek selalu menutup lukaku yang berdarah dengan ini." Lelaki itu tertegun, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Tentu saja bisa, terima kasih," sambil masih tersenyum dia mengambil handyplast itu dari tangan Jaejoong dan memasukkannya ke saku, "Siapa namamu nak?"
"Jaejoong," jawab Jaejoong polos.
Dengan pelan lelaki itu berdiri, mengambil jaketnya dari tanah dan memakainya, lalu mengulurkan tangannya kepada Jaejoong kecil.
"Jaejoong...dan kau bilang sedang bersama nenekmu tadi? Sungguh suatu kebetulan karena aku kemari untuk melihatmu," lelaki itu mengamati Jaejoong dengan teliti, tampak puas dengan apa yang ditemukannya, "...hmm...sepertinya kau tersesat, ayo, aku akan mengantarkanmu ke bagian informasi supaya nenekmu bisa menemukanmu."
Jaejoong menarik napas lega karena lelaki itu sepertinya sudah mengurungkan niatnya untuk menyingkirkan Jaejoong kecil seperti yang dikatakannya tadi.
Tangan Jaejoong kecil menerima uluran lelaki itu, dan mereka bergandengan menuju ke area yang lebih ramai. Buru-buru Jaejoong mengikuti mereka berdua.
Mereka sampai ke bagian informasi dan lelaki itu menyerahkan Jaejoong kecil ke petugas yang berjaga di sana, sebelum pergi dia berjongkok lagi di depan Jaejoong kecil. "Kau tidak akan mengatakan apapun yang kau lihat tadi kepada orang lain kan?" tanyanya sambil tersenyum.
Jaejoong kecil menganggukkan kepalanya. Lelaki itu memajukan kelingkingnya. "Janji?" Jaejoong kecil tersenyum, senyum polos anak-anak dan menautkan kelingkingnya di jari lelaki itu. "Janji."
Dengan senyumnya yang sedikit berbahaya, lelaki itu berdiri dan melambaikan tangan.
"Kalau begitu selamat tinggal Jaejoong. Tapi aku janji kita akan bertemu lagi, dan saat kita bertemu, kau akan menjadi milikku, jangan lupakan itu," gumamnya sambil melangkah menjauh.
Tiba-tiba lelaki itu berhenti dan memutar tubuhnya, berhadapan langsung dengan Jaejoong. Jaejoong langsung pucat pasi, lelaki tampan itu menatap langsung ke arahnya! Apakah dia menyadari kehadirannya ?
Tatapan mata Jaejoong menelusuri lelaki itu. Kali ini wajah lelaki itu benar-benar jelas. Dan sebuah kesadaran menyentaknya, rambut cokelat dengan sulur keemasan itu... Mata cokelat itu... Semuanya tampak lebih muda, tetapi Jaejoong mengenalinya.
"Yunho...?" gumamnya ragu.
Lelaki itu tersenyum, senyum puas yang sedikit keji, senyum yang tidak mungkin ditampilkan Yunho yang begitu dingin. "Bukan sayang, panggil aku U-know."
Jaejoong tersentak dan membuka matanya. Keringat dingin mengalir di dahinya, dan dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sejenak kehilangan orientasi karena dia tidak mengenali kamar ini.
Tapi lalu dia sadar, ini di kamar tamu rumah Yunho, calon ayah tirinya.
Dengan gugup Jaejoong mengusap keringat di dahinya, mimpi itu... Mimpi itu terasa begitu nyata sekaligus aneh, tapi Jaejoong tidak tahu apakah itu kenangan masa kecilnya atau Cuma mimpi... Jaejoong duduk di tepi ranjang lalu menuang air ke gelas dari teko yang terletak di meja samping ranjang. Setelah meminum seteguk air dia memejamkan mata.
Perasaannya tidak enak. Seperti ada yang terus menerus mengawasinya di kegelapan, menunggu sesuatu terjadi. Tetapi sesuatu apa? Dengan putus asa Jaejoong mengeryit, mengingat mimpi anehnya tadi. Benar-benar mimpi yang aneh...
Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling dan yakin bahwa dia sendirian di kamar ini, Jaejoong membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya.
Itu pasti cuma mimpi aneh karena dia tidak terbiasa tidur di kamar yang bukan kamarnya sendiri. Itu cuma mimpi. Tapi kata-kata itu tetap terngiang-ngiang di benaknya.
"Kau milikku Jaejoong, jangan lupakan itu..."
Jaejoong terbangun di dini hari yang temaram, masih fajar dan sinar matahari sudah mulai menembus jendela-jendela yang ditutup oleh gorden putih yang indah.
Hey... Kamar ini indah sekali...
Jaejoong baru menyadarinya sekarang, kemarin ia terlalu lelah sehingga tidak sempat melihat ke sekeliling. Kamar ini bernuansa putih gading, semua ornamen dari karpet bulu yang tebal, gorden dan tempat tidur semuanya bernuansa putih. Bahkan dinding-dinding dan kusen jendela serta atapnya semuanya berwarna putih.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.
"Masuk," tanya Jaejoong sambil mengernyitkan kening, siapa gerangan yang mengetuk pintu sepagi ini?
Ternyata yang masuk adalah seorang pelayan, masih muda seumurnya dan kelihatan agak gugup.
"Nona Jaejoong, saya eh diperintahkan untuk melayani anda,"
Jaejoong mengernyit? Melayaninya? Seumur-umur dia tidak pernah dilayani oleh siapapun, apalagi oleh pelayan. Konsep ini terasa sangat baru baginya.
"Tidak usah... Saya bisa semuanya sendiri," Jaejoong mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari tasnya. Untung saja dia membawa pakaian ganti, Ahra sudah mengingatkannya akan kemungkinan mereka menginap di ahkir pekan ini.
Tapi di mana tasnya itu ?
Pelayan wanita itu seolah-olah tidak peduli dengan perkataan Jaejoong, dia melangkah menuju lemari pakaian indah yang juga berwarna putih.
"Saya akan menyiapkan perlengkapan mandi nona, dan ini... Semua pakaian nona sudah disiapkan disini," dia lalu membuka lemari itu. Jaejoong ternganga.
Didalam lemari itu terdapat banyak gaun dan pakaian, mungkin puluhan dan semuanya digantung dengan rapi dibalik plastik pembungkus yang masih baru. Tidak mungkin kan pakaian itu untuknya? Pelayan itu pasti salah.
"Ti...tidak mungkin pakaian-pakaian ini untukku. Kamu pasti salah..." Jaejoong berusaha mengatasi rasa gugupnya, "Mungkin...mungkin ini untuk ibuku?"
Dengan tegas pelayan itu menggeleng. "Saya mendapat instruksi langsung oleh kepala pelayan. Mari, saya akan menyiapkan air dan peralatan mandi Anda."
Jaejoong sebenarnya ingin membantah. Tidak mungkin kan Yunho menyiapkan pakaian baru sebegitu banyak untuknya? Dia kan hanya akan tinggal disini selama ahkir pekan, apakah Yunho tetap berpendapat Jaejoong akan tinggal bersama mereka setelah pernikahannya dengan Ahra? Tapi, meskipun Yunho berpendapat begitu, lelaki itu kan tetap saja tidak perlu menyiapkan baju sebanyak itu?
Pelayan itu pasti salah, Jaejoong memutuskan. Semua baju itu pasti untuk Ahra. Jaejoong mengernyit ketika membayangkan kemarahan Ahra atas kesalahan ini. Ibunya itu sangat posesif. Egois dan posesif, dan Ahra pasti tidak akan suka kalau Jaejoong memakai salah satu baju yang disiapkan untuknya.
"Aku... Aku ingin memakai bajuku sendiri, kau tahu tidak dimana tas pakaianku yang berwarna cokelat? Sepertinya kemarin aku meletakkannya di atas meja."
Pelayan itu menggeleng.
"Tidak ada tas disini," jawabnya datar lalu meninggalkan Jaejoong untuk masuk ke kamar mandi dan menyiapkan air mandi untuknya.
Jaejoong termangu, matanya masih mencari-cari dan dia masih belum putus asa mencari sampai pelayan itu muncul lagi dari kamar mandi.
"Mari, airnya sudah siap, saya akan merapikan tempat tidur dan menyiapkan pakaian nona."
Mau tak mau, meski dengan dahi berkerut Jaejoong melangkah masuk ke kamar mandi. Dia tidak terbiasa dilayani, dan tidak suka di layani. Seperti jaman feodal saja, gerutunya dalam hati. Tapi apapun keberatan yang ada di dalam hatinya itu langsung hilang melihat keindahan
kamar mandi di depannya. Kamar mandi itu dipenuhi kaca, di dinding dan di atap, dengan bingkai-bingkai putih di sekelilingnya, kaca itu beruap karena air panas dari bath-tub yang penuh busa dan menguarkan aroma wangi campuran mawar dengan susu.
Tiba-tiba saja mandi terasa sangat menggoda bagi Jaejoong. Pelan-pelan dia mencelupkan tangannya ke air hangat dalam bath tub itu, hangatnya pas, pelayan tadi benar-benar mempersiapkannya dengan baik.
Jaejoong lalu berendam dan memejamkan matanya. Rasanya nikmat sekali, seperti ototototnya yang kaku dilemaskan pelan-pelan.
Rasanya sangat nyaman hingga Jaejoong hampir tertidur. Perasaannya damai hingga makin lama Jaejoong makin tenggelam dalam alam mimpi.
"Jangan tertidur disini, dari yang kudengar, banyak orang mati tenggelam karena tertidur di bath-tub."
Suara itu begitu mengejutkan Jaejoong dari tidur-tidur ayamnya, dia terlonjak kaget dan begitu menyadari siapa yang berdiri sambil bersandar santai di kusen pintu penghubung kamar mandi wajahnya langsung merah padam.
Secepat kilat Jaejoong menenggelamkan tubuhnya sampai ke leher, menyembunyikannya di balik busa.
Yunho, yang bersandar di pintu tampak tidak terpengaruh dengan rasa malu Jaejoong, lelaki itu malah menyeringai dalam senyuman sedikit mengejek.
"Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak segera keluar dan sarapan, pelayan itu bilang kau sedang mandi dan dia tidak berani mengganggumu."
Rona merah di wajah Jaejoong mulai menyebar ke seluruh tubuhnya, dia malu sekali! Tapi kenapa lelaki ini seolah-olah tidak peduli? Tidak sopan bukan masuk ke kamar mandi di mana ada perempuan sedang mandi?
Tapi sepertinya Yunho tidak peduli dengan etika ataupun kesopanan, mata tajam Yunho menelusuri wajah dan leher Jaejoong yang merona, ada api memancar di sana, dan ekpresinya berubah, sedikit liar tapi menakutkan. Bukan seperti ekspresi yang akan muncul di wajah lelaki sedingin Yunho, pikir Jaejoong tiba-tiba, ini terasa sangat aneh karena ketika menatap mata Yunho, ada nyala api yang sedikit menakutkan di dalam mata kecokelatan itu.
"Aku sudah menyelamatkan nyawamu tadi, kalau terlambat kau mungkin sudah mati tenggelam di kamar mandi, tidakkah kau ingin mengucapkan terima kasih?"
Suara itu setengah berbisik, diucapkan dengan nada malas, tapi bulu kuduk Jaejoong langsung berdiri.
Dia menatap Yunho dan menyadari lelaki itu masih berdiri di sana, menunggu "Te...Terima kasih," gumamnya pelan entah kenapa meskipun tidak yakin kenapa harus berterima kasih dia merasa terdorong untuk melakukannya. Lelaki ini begitu mengintimidasi dan sepertinya kalau keinginannya tidak dituruti dia akan melakukan sesuatu yang tak terduga.
Senyum yang muncul pelan-pelan di bibir lelaki itu malah membuat Jaejoong sedikit takut dan gelisah. Hey... Apakah ini orang yang sama dengan calon ayah tirinya yang berkenalan dengannya kemarin? Kenapa auranya begitu berbeda ?
"Bagus," gumam Yunho lambat-lambat, lalu melangkah mundur, "Cepat selesaikan mandimu, aku menunggu di ruang makan, oh ya, bajumu sudah kusiapkan di ranjang, kupilihkan sendiri dari lemari."
Yunho menyiapkan bajunya? Jaejoong mengernyit dan bertanya-tanya. Jadi memang pakaian-pakaian itu disiapkan untuknya? Tapi kenapa? Lagipula kenapa Yunho menyiapkan bajunya? Dia menoleh untuk bertanya, Tapi sosok Yunho sudah lenyap.
Dengan gugup Jaejoong menyelesaikan mandinya dan melangkah keluar dari kamar mandi. Pelayan wanita itu masih di sana, tapi tampak lebih pucat, "Kau tidak apa-apa?" Jaejoong tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Pelayan itu mengangguk sedikit gemetar.
"Tuan Yunho memarahi keteledoran saya karena tidak menengok anda di kamar mandi, Tuan Yunho sangat menakutkan kalau marah," suara wanita pelayan itu berbisik ketakutan. Sekali lagi Jaejoong mengernyit. Menakutkan kalau marah? Dalam majalah-majalah bisnis dan gosip mengenai Yunho yang dibacanya karena ingin tahu, calon ayah tirinya itu dikenal sangat pandai mengendalikan emosi, malah ada yang menyebutnya tak punya emosi.
Apakah selama ini Yunho menyembunyikan sifat aslinya?
"Baju anda sudah disiapkan, nona."
Jaejoong menoleh ke ranjang, tempat bajunya di hamparkan dan sekali lagi terperangah.
Indah sekaliā¦
Itulah yang terpikir pertama kali olehnya ketika melihat gaun itu. Gaun itu panjang dibawah lutut, berpotongan sederhana tetapi sangat indah. Warnanya ungu muda, dan bahannya dari sutera yang sangat halus, berdesir setiap kali kain itu digerakkan.
Masih termangu, Jaejoong membiarkan pelayan itu membantunya mengenakan pakaiannya, lalu membiarkan lagi dirinya dibimbing untuk duduk di depan meja rias.
Seperti sudah biasa melakukannya, pelayan itu langsung menyisir rambut panjang Jaejoong yang terurai. Sementara Jaejoong menatap bayangan dirinya di cermin. Betapa sebuah gaun bisa mengubah penampilan seseorang ! Yang terpantul di sana bukanlah Jaejoong yang kuno dan berpenampilan seperti kutu buku. Bayangan yang muncul di cermin di depannya itu adalah bayangan perempuan muda yang cantik, dengan pipi kemerahan dan rambut panjang tergerai sampai bahu, "Rambut anda indah sekali," gumam pelayan itu sambil terus menyisir.
Jaejoong tergeragap. Menyadari bahwa dari tadi dia melamun sambil menatap bayangannya sendiri.
"Oh iya, aku harus mengikat rambutku," matanya mencari-cari, ahkirnya menyadari bahwa ikat rambutnya sama raib nya dengan tas pakaiannya.
"Anda tidak boleh mengikat rambut lagi, begitu perintah Tuan Yunho kepada saya tadi." Hah?
Kali ini Jaejoong tidak bisa menahan gumaman kagetnya. Tetapi pelayan wanita itu tidak bereaksi apa-apa, setelah selesai membereskan semuanya, dia berpamitan dan melangkah keluar dari kamar.
Meninggalkan Jaejoong sendirian di kamar ini. Sejenak Jaejoong termangu, lalu teringat pesan Yunho tadi. Sarapan. Tadi Yunho bilang begitu kan? Mungkin Yunho dan ibunya sudah menunggu di sana. Dengan bergegas, Jaejoong melangkah ke ruang makan.
~TBC~
