Disclaimer: God, their parents and themselves.

Warning: Boys Love, Western, Adventure, No Edit/Typos, OOC, OCs bertebaran serta peminjaman karakter fandom tetangga, NC-19 (mature contains) and amburegul.

Vans' Cuap:

iHola~ Kembali Vans membawakan sequel Yours. Maaf sudah menunggu lama :D *bows* Btw, hampir semua ff Vans pada beranak(?) dan bahkan yang niatnya cuman satu kali tembak aja tetep ada yang minta beranak lagi. Haha… Vans juga pernah gitu sih. Kkk~ xD *slapped*

Oke, kembali ke topik. Vans mengingatkan jika ini bukan ff x-overs. Vans tekankan lagi, BUKAN FANFIC CROSSOVERS ya. Vans hanya meminjam beberapa karakter saja sebagai pemeran pendukung di sini.

Vans juga mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak sempat membalas review sebelumnya satu-satu. Semoga dengan adanya sequel ini dapat mengobatinya juga tak mengecewakan para readerdeul :)

Untuk beberapa karakter baru yang muncul dalam sequel ini, sebagian besar berasal dari fandom tetangga dan karakter Joaquin di sini Vans comot-dengan-semena-mena dari salah satu karakter film 'The Legend of Zorro' (yang pernah nonton pasti tau, Joaquin de La Vega).

Oke, tanpa banyak cuap lagi,

Happy reading!

Hetalia-Axis Power © Hidekazu Himaruya

.

.

.

.

.

Aku selalu bermimpi, bahwa akan ada sebuah kekuatan besar yang dapat melindungiku dan membawaku keluar dari tempat terkutuk ini.

'Jangan menangis, Jae. Ini bukan mimpi.'

Meraihku dengan hangatnya.

'Apa kau kedinginan?'

Melingkupiku dengan cinta.

'Disini, rasanya berdentum kencang.'

Memandikanku dengan kasih sayang.

'Kemarilah. Kau tidak merindukanku?'

Melangkah bersama mengarungi bahtera kehidupan yang nyata.

'Genggam tanganku saat kau sakit dan terjatuh.'

Saling merangkul ketika badai menerpa.

'Jangan dengarkan mereka-..'

Yunho-.. Suamiku.

"Inilah kenyataannya. Apakah kau bahagia?"

Ya, Yunho. Sangat. Bahkan tak pernah terbayang dimimpiku hal seperti ini.

"Kita?"

Ya. Milik kita.

.

.

.

.::::::::::::::::::::::::::::::::::.

OURS

.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

.

.

SRET

"Yunho!"

Aku memekik tanpa sadar saat menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri lengan kanan Yunho yang tergores pedang Cloud. Walaupun lukanya tidak terlalu besar, tapi itu pasti terasa perih dan bisa saja menghambat gerakannya. Namun ternyata aku salah. Yunho masih bisa bergerak seperti sebelumnya. Bahkan lebih gesit.

Cloud mengayunkan pedangnya beberapa kali kearah Yunho—yang berhasil dihindari oleh Yunho.

BRUAK

Yunho berhasil menendang uluhati Cloud sampai pangeran kerajaan West itu terlempar beberapa meter ke kanan.

Tiba-tiba Yunho menundukkan tubuhnya. Kemudian ia benturkan pedangnya ke lantai tempat ia berpijak.

TAK

KLANG

Pedang Yunho berkilat kehijauan. Kilatan yang sedikit berbeda dari tempo hari.

Tapi-… Itu…

Pedang itu terbelah menjadi dua!

Berada pada masing-masing genggaman tangannya. Memutarkannya beberapa kali diudara sebelum ia berlari menghampiri Cloud yang juga berlari ke arahnya.

TRAAAAANG

Dan semua terjadi begitu cepat.

BRUG

Aku menahan nafasku. Tercekat, menahan segala sesak didadaku. Jantungku berpacu dengan kencang menggetarkan tubuh.

Basah. Mengalir begitu saja disisi wajahku. Air mataku dengan lancangnya menyeruak, menetes satu demi satu membentuk aliran yang membuat pipiku basah.

Bibirku mengulas senyum semanis mungkin untuk kekasihku didepan sana. Pria itu masih dapat berdiri tegak walaupun pinggangnya terkena sayatan yang mengeluarkan darah segar.

Ia tersenyum padaku sembari mengacungkan sebilah pedang digenggamannya yang juga berlumuran darah. Darah Cloud.

Sementara itu, dapat kulihat Cloud yang tersungkur ditopang oleh dua orang pengawal untuk kemudian membawanya ke tepi arena. Raut wajah dari setiap anggota keluarga kerajaan tampak cemas. Terlebih Permaisuri. Wanita itu terisak pelan melihat keadaan Cloud.

Darah segar mengalir dari dada sebelah kanannya. Pakaian yang dikenakannya pun nampak sobekan memanjang bekas goresan pedang Yunho.

Raja terlihat geram. Dia tidak menghiraukan keadaan Cloud yang terkapar merintih kesakitan dan langsung beranjak dari singgasananya menuju istana dengan beberapa pelayan dan para Selirnya mengekor.

"Theodore, tolong bereskan kekacauan ini."

Permaisuri membuka suaranya sembari menghampiri Cloud yang sedang dinaikkan ke atas usungan. "Rawat ia dengan baik," ucapnya lagi pada Sean yang berada disana.

SRET

Kedua mata biru Permaisuri menatapku dengan teduh. Matanya masih tampak berkaca-kaca. Perlahan ia melangkah menghampiriku.

Aku menggigit bibirku cemas. Apa Permaisuri murka padaku?

"Jae, siang ini datanglah ke ruanganku. Ada hal penting yang harus aku sampaikan padamu."

Hanya dapat menggerakkan kepalaku naik dan turun sebagai jawaban tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku. Dalam hati terus merapalkan doa semoga semua akan baik-baik saja.

Permaisuri berlalu begitu saja bersamaan dengan dibubarkannya kerumunan yang memadati lingkungan arena. Beberapa dari mereka—para pelayan dan pengawal, menatap tak percaya padaku. Seolah aku adalah terdakwa yang terbukti melakukan kejahatan.

Bahkan Irene yang sedari tadi berdiri disebelahku hanya menggelengkan kepala, menatapku sekejap lalu pergi meninggalkanku yang masih berdiri terpancang di tempat.

Setelah beberapa saat merenung, aku pun segera beranjak dari sana. Kembali memasuki tempat yang sebenarnya enggan aku sebut sebagai tempat berpulang. Menapak kembali lantai kaku nan dingin. Diselimuti hawa mencekam dan bekunya dinding kastil tua yang menusuk permukaan kulit.

Sekarang-… Apa yang harus aku lakukan?

.

.

.

.

.

Bisu.

Suasana dapur yang biasanya ceria dan ramai kini terasa sunyi. Tak ada yang berani mengeluarkan suara maupun berbicara—atau mungkin kehadiranku disini yang membuat mereka terdiam membisu.

Kami hanya duduk terdiam didalam tempat sempit yang penuh sesak dengan peralatan dapur. Ired, Irene, Rose bahkan Phill yang biasanya banyak berbicara kini hanya diam membisu. Entah memang mereka tak tahu apa yang harus dibicarakan setelah melihat dengan mata kepala sendiri kejadian tadi. Mendengar secara langsung perkataan seorang Pangeran yang menyatakan dengan gamblang bahwa calon istrinya adalah seorang pelayan—budak kerajaan. Jangankan mereka, aku pun sangat terkejut akan hal tersebut.

Phill berdeham pelan, tubuhnya bergerak sebentar untuk menyamankan posisi duduknya terhadap kursi. Aku melirik pemuda pirang itu yang ternyata juga sama melirik kearahku.

"Well, Jae-"

Laki-laki itu akhirnya memecah keheningan. Hampir semua dari yang ada ditempat ini menoleh kearahnya. "Hal yang sangat mengejutkan tadi. Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Aku hanya merasa-.."

Kutatap Phill yang berbicara sambil mengusap tengkuknya gugup.

"-Tak menyangka. Ya, itu."

Menghela nafas panjang sebelum menegakkan tubuhku yang sedari tadi menunduk menatap meja. Kuperhatikan satu per satu wajah orang-orang yang selama ini selalu menemaniku di tempat terkutuk ini. Tuhan, aku menyanyangi mereka…

Hatiku terhenyak, merasakan firasat buruk yang sebentar lagi akan menimpaku, mungkin. Jantungku berdetak tak menentu. Bayang-bayang kenangan kebersamaan kami terlintas didalam kepalaku. Entah kenapa.

BRAK

"Jaejoong!"

Kami menoleh bersamaan kearah pintu dapur yang terbuka kasar. Terlihat dua orang pengawal berbadan kekar menghampiriku dengan raut wajah yang menyeramkan. Membuat tubuhku menegang ketakutan. Kulirik Irene yang langsung berdiri dari duduknya. Memandangku yang ditarik secara paksa oleh dua orang itu keluar dari dapur.

Pasrah dengan keadaan, mengulas senyum baik-baik saja pada teman-temanku sebelum menghilang dibalik dinding pembatas dapur.

.

.

.

.

.

CTAK

"Beraninya kau mempermalukanku seperti itu! JAEJOONG! BRENGSEK! Mati kau!"

CTAK

CTAK

CTAK

Bungkam. Hanya terdiam pasrah mendapatkan siksaan yang mendera tubuhku. Menghujam dan menyambar kulitku dengan segenggam cambuk. Memberikan jejak kemerahan yang ketara disetiap permukaan yang bersinggungan.

Terduduk kaku ditengah great-hall, disaksikan oleh seluruh anggota kerajaan.

BRAK

Azele menendang perutku lumayang keras. Membuatku terbatuk karenanya.

Ringisan dan desisan kepedihan keluar begitu saja. Memejamkan mataku erat karena sakitnya yang tak tertahankan. Bukannya aku tidak mau melawan. Bagaimanapun juga, aku tetaplah seorang lelaki. Meski lemah tapi kekuatan yang dimiliki tak bisa diremehkan begitu saja. Tapi mencoba memberontak sama dengan mati. Aku tak mau mati konyol disini. Dunia ini masih luas, dan aku ingin melihat ke luar. Terbang dengan bebas.

Sayup-sayup telingaku mendengar suara Alan dan Fred yang memaki perilaku kakak perempuannya. "Hentikan, Azele! Kau bisa membuatnya mati!"

Kekehan keji Azele menyambut. "Memang itu tujuanku. Kau—anak kecil, diam saja! Akan kubuat budak kesayangan kalian ini meregang nyawa didepan mata kalian sendiri!"

Aku terbatuk beberapa kali sebelum merasakan tarikan kencang pada rambutku yang memaksaku untuk menengadahkan kepala. Aliran darah perlahan mengalir dari sela-sela bibir yang terluka, membasahi tepian daguku. Mataku berembun panas, menghalangi pengelihatan. Meski bayangan wajah mengerikan Azele masih nampak jelas dalam pandangan.

Lady putri Selir Pertama Raja itu mengamit kedua belah pipiku yang dijadikannya satu. Kembali meringis karena perih disekitar bibirku yang sepertinya membiru.

"Hei, pelacur. Aku ingin bertanya padamu. Apa yang sudah kaulakukan pada Pangeran U-Know sampai-sampai dia berani menolak pinanganku?!" Azele semakin tersulut emosi. Mata birunya menatapku bengis. Aku bahkan dapat mendengar giginya yang bergemelutukan walaupun samar.

Aku hanya diam tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan perempuan itu padaku. Sebagian hatiku berontak dengan perkataannya. Namun aku tidak boleh gegabah. Sekali salah mengambil langkah, nyawaku taruhannya. Aku tidak mau mati sia-sia seperti ini!

"Azele, sebaiknya kau bawa dia ke ruang bawah tanah sebelum para tamu kerajaan datang."

Edward memperingatkan perempuan itu. Pelan-pelan aku mulai bisa mengendalikan tubuhku, menormalkan kembali setiap otot yang sebelumnya terasa kebas juga tiap indera yang mati rasa.

Azele berdecih pelan lalu melepaskan cengkramannya diwajahku. Perih. Sepertinya kuku jari milik perempuan itu menggores pipiku.

BRAAAK

Suara derap langkah menggema di great-hall. Derap langkah yang berat namun cepat terdengar makin dekat. Langkah itu terhenti tak jauh dariku. Aku yang tertunduk lantas mengalihkan tatapan pada sosok yang masuk kedalam great-hall dengan langkah yang menggema.

DEG

Yunho yang telah berganti pakaian berdiri tepat dihadapan Raja dan Putera Mahkota Edward. Aku tak bisa melihat bagaimana ekspresi dan tatapannya sekarang karena posisinya yang sedikit membelakangiku.

Lagi, suara derap langkah saling bersusulan terdengar. Aku menoleh sesaat guna menemukan seluruh tamu kerajaan—para Pangeran Kerajaan memasuki great-hall. Mereka berjajar rapi didekat pintu, tak lupa melayangkan tatapan yang tak bisa aku artikan pada keluarga kerajaan West.

"Ada apa ini, teman-temanku? Apa ini sudah waktunya kepulangan? Bukan 'kah kita-.."

"Cukup basa-basi memuakkanmu, Pangeran Edward."

Seluruh anggota keluarga kerajaan West nampak terkejut dengan ucapan seorang pangeran berambut merah—yang aku tahu berasal dari kerajaan Trot.

"Kami tidak pernah menyangka jika kerajaan West yang begitu diagung-agungkan ternyata memiliki kecacatan fatal seperti ini."

"Apa yang-"

"Aku akan membawa Jaejoong pulang bersamaku," potong Yunho cepat, menghalau keributan yang dapat kapan saja terjadi.

Tubuhku bergetar kecil saat mendengar penuturan dari lelaki yang aku cintai itu. Dengan gamblangnya ia kembali menyatakan hal yang berbeda namun berarti sama didepan Raja.

TAP TAP TAP

Mataku beralih memandang kedatangan Permaisuri bersama tiga pelayan kepercayaannya disini. Wanita itu berjalan dengan anggun dan berkharisma. Melintas didepanku yang masih terduduk kaku. Ia berhadapan langsung dengan sang Raja, suaminya.

Aku tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan sana. Hanya suara sang Permaisuri yang terdengar. Berbicara pada sang Raja dengan perkataan yang kembali membuatku mematung.

"Kalian, tolong hentikan hal tak berguna seperti ini. William, kali ini kumohon dengan sangat-.. Lepaskan Jaejoong!"

.

.

.

.

.

Bola mata jernih itu menitikan air mata. Tatapannya sendu, tetapi tangannya tak berhenti melilitkan kain pembalut luka pada lenganku yang tergores tajamnya cemeti.

Mau tak mau, aku yang lelaki ini juga ikut menitikan air mata. Wanita didepanku ini sangat baik, teramat baik. Aku yakin Tuhan pasti sangat menyayanginya.

"Maafkan kesalahan kami, Jae-"

Aku menggelengkan kepalaku seraya mengusap tangannya yang baru saja selesai membalut luka yang kuderita. "Tidak, Yang Mulia. Hamba tidak pantas menerima permintaan maaf Yang Mulia. Hamba sangat berterima kasih dengan kebaikan hati Yang Mulia-…"

Permaisuri menangkup pipiku yang masih terasa ngilu. "Aku merasa sangat bersalah pada Teddy dan juga kedua orang tuamu-"

Aku membelalakkan kedua mataku. Apa dia mengenal Ted? Dan-.. Apa tadi dia bilang? Orang tua?

"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" tanya Yunho yang sedari tadi duduk diam memperhatikan kami.

Di dalam ruangan ini—kamar si kembar tepatnya, tempat aku mendapat pengobatan luka. Setelah beberapa saat berdebat dengan anggota kerajaan yang lain, akhirnya Permaisuri dan Yunho membawaku keluar dari great-hall. Dibarengi dengan para tamu kerajaan yang berpamitan pulang pada sang Raja dan Putera Mahkota Edward.

Permaisuri mengulas senyum lembut. Ia pun beranjak dari sampingku, kemudian duduk di sebuah kursi berbantalkan bulu angsa tak jauh dari ranjang tempatku berbaring. Alan dan Frederick duduk disisi tempat tidur, mengusap tanganku dengan lembut. Sementara Yunho duduk di kursi samping tempat tidur, ekspresinya terlihat serius.

"Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Tetapi sepertinya memang waktu yang tepat untuk menceritakan semua ini padamu, Jaejoong-"

Wanita itu menghela nafas panjang sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Dulu saat aku masih kecil, ayahku menikahi seorang gadis dari sebuah negeri bernama Spanyol, putri salah seorang tuan tanah negeri itu. Rambutnya lurus, coklat berkilau dan memukau. Sifatnya yang penyayang dan ramah membuatku tahu mengapa ayahku sangat mencintai dan menikahinya, padahal waktu itu mendiang ibuku baru saja dimakamkan.

"Suatu ketika saat aku menginjak usia remaja, dia meninggal saat melahirkan putra pertamanya, adik tiriku. Ayahku sangat terpukul dengan kejadian tersebut, sehingga dia meninggalkanku dan Joaquin yang saat itu baru berusia tiga tahun. Joaquin tentu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, aku sangat menyayanginya. Joaquin tumbuh menjadi seorang pemuda yang penuh semangat dan suka berpetualang-"

Aku memperhatikan raut wajah yang lembut dari wanita itu. ia menceritakan masa lalunya dengan senyum tipis yang mengembang.

"Hingga suatu ketika ia memberitahuku jika ada salah seorang Don—sebutan tuan terhormat Spanyol yang berkata bahwa pria itu adalah saudara dekat ibunya, ibu tiriku. Dan ia berjanji akan membawanya ke kediaman kami lain kali. Itu benar-benar terjadi. Seorang pria tampan berambut coklat dan bermata hijau datang ke kediaman kami dengan membawa dua orang ajudan. Ia memperlakukanku dengan sopan, sebagaimana mestinya seorang Lady bertemu dengan seorang Lord. Pria itupun bersikap sangat menyenangkan dan ramah pada Joaquin.

"Berminggu-minggu lamanya ia sering kali menyambangi kediaman kami. Entah itu karena ingin bertemu Joaquin atau dengan alasan lainnya yang mampu membuatku tersenyum geli karenanya. Sebenarnya tidak sulit membuat seorang wanita untuk jatuh hati padanya. Seorang Don terhormat, kaya, keturunan bangsawan, tampan dan baik hati. Apa lagi yang kurang dari dirinya?"

Tanpa sadar aku ikut tersenyum kala Permaisuri menunjukkan senyum usilnya pada kami yang masih mendengarkan ceritanya dengan seksama. Wanita itu memanggil Alan untuk mendekat. Pangeran kecil itu pun menurut. Menghampiri sang Permaisuri lalu duduk dipangkuan Mother-nya seperti biasa.

Masih dengan senyuman mengembang, sang Permaisuri mengusap pelan kepala Alan dan melanjutkan ceritanya.

"Semua berlalu begitu cepat dan indahnya. Pria itu menyatakan perasaannya padaku. Aku menerimanya meski pria itu harus menunggu jawabanku selama beberapa hari karena Joaquin yang tiba-tiba merajuk ingin aku tidak segera menikah dengan Don itu—alasan yang cukup aneh. Kami hidup dengan bahagia setelahnya. Namun tiba-tiba, pada suatu hari setelah belasan tahun berlalu, ayahku datang kembali dengan membawa beberapa orang pengawal kerajaan."

Kini wajah cantik itu terlihat sendu saat menyebutkan kalimat terakhir. Aku dapat menyimpulkan salah satu kunci dari cerita ini. Cinta yang terpisahkan.

"Ayahku berkata bahwa dia kembali ke rumah hanya untuk membawaku ke sebuah kerajaan yang telah membesarkan namanya, Kerajaan West. Dia diperintahkan oleh Raja West terdahulu untuk membawaku ke istana sebagai calon istri seorang Putera Mahkota. Aku jelas menolak. Hatiku terlanjur terpaut dengan seorang Don dari negeri tetangga. Namun ayahku tidak pernah mau mendengarkanku. Ia bahkan memaksaku pindah ke istana sebelum pemberkatan dan kenaikan tahta. Ia tak segan mengancamku dengan taruhan nyawa Joaquin.

"Dengan terpaksa, aku pun menerima pinangan itu. Joaquin dan pria itu tentu sangat marah juga kecewa dengan keputusanku, namun tetap mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang, pengaruh kerajaan West saat itu sangatlah besar. Aku menitipkan Joaquin, adik satu-satunya yang paling aku sayangi pada pria itu. Berharap ia dapat membesarkan dan mendidik Joaquin hingga ia akan menjadi seorang Don seperti dirinya. Kabar terakhir yang aku dengar dari mereka sebelum upacara kenaikan tahta, Joaquin dan pria itu melakukan sebuah ekspedisi mengarungi luasnya samudera untuk menemukan negeri yang baru.

"Dan kalian tahu, lima tahun berselang tanpa kabar dari mereka, aku mendapat sepucuk surat yang menyatakan bahwa adikku telah pulang membawa seorang gadis cantik yang ingin ia kenalkan padaku. Aku senang bukan kepalang. Menitipkan Edward yang saat itu baru berusia empat tahun pada seorang pengasuh yang kupercaya, aku pun keluar istana tanpa sepengetahuan Raja yang saat itu sedang bersama Selir barunya. Memanfaatkan keadaan, lebih tepatnya."

Ekspedisi mengarungi samudera, apa itu? Aku bertanya-tanya dalam hati mendengar penggalan cerita Permaisuri. Selama ini aku hanya tahu kalau samudera itu merupakan lautan yang sangat luas. Bagaimana cara mereka mengarungi samudera?

Aku melirik Yunho yang sangat serius mendengarkan cerita Permaisuri. Bukan 'kah Yunho berasal dari negeri seberang? Apa Yunho berasal dari negeri bernama Spanyol itu? Ataukah-.. Ia juga mengarungi samudera untuk sampai kemari?

Ah-… Semua pertanyaan itu membuat kepalaku pening.

"Setengah hari kuhabiskan dalam perjalanan, dan akhirnya aku pun sampai di sebuah tempat yang tertulis dalam surat kiriman Joaquin. Tanpa sadar aku menangis bahagia saat melihat adik laki-lakiku yang sudah tumbuh menjadi seorang pria yang gagah. Ia bersama seorang gadis cantik berkulit putih merona dan berambut hitam-"

Tunggu dulu. Berambut hitam? Jadi-.. Apa-…

"Yang kuingat, gadis itu bernama Aline—entah bagaimana menyebutkan namanya yang terasa sangat asing dilidahku dengan benar. Tapi aku menyebutnya begitu. Joaquin menceritakan kisah petualangannya dengan ceria dan semangat yang tak pernah berubah. Bagaimana dan dimana ia bertemu dengan seorang gadis cantik—yang ternyata sudah menjadi istrinya. Gadis itu berasal dari kawasan timur bernama Asia-"

Tubuh Yunho sedikit bereaksi mendengar hal itu. Ada apa?

"Selang satu tahun, Joaquin dan Aline dikaruniai seorang putra yang sangat lucu dan menggemaskan. Ia mirip sekali dengan ibunya, nyaris serupa. Yang membedakan hanya jenis kelaminnya yang laki-laki. Tapi ia adalah bayi laki-laki tercantik dan terindah yang pernah kulihat."

Mata Yang Mulia Permaisuri tertuju padaku. Menatapku dengan pandangan teduh yang menyejukkan hati.

"Namun kebahagian itu harus sirna saat suamiku, Raja, mengetahui keberadaan Joaquin dan istrinya yang membuatku sering meninggalkan istana tanpa sepengetahuannya dan kerap kali meninggalkan Putera Mahkota sendiri di istana bersama para pelayan dan pengawal. Raja murka, ia mengurungku di istana selama beberapa hari. Sampai aku mendapatkan kabar jika terjadi sebuah pemberontakan dari daerah di mana keluarga kecil Joaquin tinggal.

"Aku menangis dan bersimpuh dihadapan Raja untuk memperbolehkanku pergi keluar istana memeriksa keadaan keluargaku yang tersisa itu. Butuh waktu yang cukup lama untuk meyakinkan Raja, dan akhirnya ia mengizinkanku asalkan membawa lima orang pengawal bersamaku. Tetapi sesampainya aku disana, aku hanya menemukan banyak orang yang tergeletak tak bernyawa. Diantara mereka yang tewas, ada adik yang paling aku sayangi dan istrinya-"

Permaisuri menitikan air matanya lagi. Matanya yang indah berkaca-kaca saat menceritakan tewasnya sang adik laki-laki bersama istrinya. Alan yang duduk tenang dipangkuan sang Mother lantas mengusap pipi wanita itu sambil berbisik lirih, "Mereka beristirahat dengan baik saat ini, Mother."

Permaisuri menganggukkan kepalanya. Kembali ia lanjutkan ceritanya yang sempat tertunda.

"Aku menangis sejadinya saat itu. Lalu kuperintahkan para pengawalku untuk membawa jenazah mereka ke sebuah kapel terdekat. Sementara aku masuk ke dalam rumah kecil mereka guna mencari keponakanku yang masih berusia beberapa hari. Tak berapa lama, aku mendengar suara tangisan nyaring bayi yang berasal dari sebuah peti keranjang di dapur. Aku menemukannya. Menemukan keponakan tersayangku, Jaejoong—nama yang diberikan Aline pada putranya."

Apa?

Ja-jadi-…

Tangan kananku meremas alas tempat tidur yang sedang aku duduki. Sedangkan tangan kiriku menutup mulutku yang bergetar dalam tangisan. Tak kuasa menahan tangisan, pundakku bergetar.

Kurasakan tangan besar nan hangat yang melingkar dibahuku yang naik-turun karena menahan kesedihanku. Yunho mengusap pundakku. Aku bersandar padanya, menumpukkan tubuhku yang kembali melemas pada kekasihku. Sedangkan Frederick tak hentinya menggenggam tanganku sembari bergumam pelan padaku, mencoba untuk menenangkan diriku bersama dengan Yunho.

"Aku membawa putra Joaquin keluar dari rumah itu dan menggendongnya menuju kapel tempat di mana jenazah kedua orang tuanya berada. Beruntung disana masih ada seorang pendeta muda yang mau mendoakan mendiang adikku dan istrinya sekaligus mengadakan upacara pemberkatan bayi mungil itu. Aku mengangkat seorang pengawal kepercayaanku untuk menjadi Ayah Baptis untuk putra Joaquin, Teddy—atau yang sering kau panggil Ted. Sejak itu pula aku memerintahkannya untuk keluar dari istana berbekal beberapa kantung uang untuk kebutuhanmu. Sebisaku untuk menjauhkanmu dari istana."

Hiks-…

Aku semakin terisak. Rasanya dadaku sesak mendengar kenyataan ini. Ted berbohong!

Dapat kurasakan kecupan hangat dari Yunho yang menempel dipelipisku. Ia terus membisikkan kata-kata penenang yang terbukti ampuh menenangkan diriku yang terguncang.

"Bolehkah aku melanjutkan ceritaku, Jae?"

Perlahan tangisanku mulai mereda. Aku menahannya sekuat tenaga yang tersisa. Aku ingin mendengarkannya lebih lanjut, sampai akhir.

"Hiks-.. Ehm. Te—tentu, Yang Mulia-…"

Masih dengan menyandarkan tubuhku pada Yunho, aku kembali memfokuskan pandanganku kearah Permaisuri yang ternyata masih menitikkan air matanya.

"Ada beberapa alasan yang membuatku menghindarkan keberadaanmu dari istana. Diantaranya, aku tidak ingin keluargaku kembali berurusan dengan West—walaupun pada akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak ingin putra Joaquin terkekang dengan suasana istana yang mengikat. Aku ingin dia bebas dan merasakan betapa menyenangkan dan menderitanya hidup dalam bersamaan, sehingga dapat membuatnya menjadi seseorang yang kuat dan bijak seperti orang tuanya. Itu semua kulakukan karena aku sangat menyayangimu, Jae-..

"Ini adalah saat di mana kau dapat terbang bebas di luar sana. Raihlah kebahagiaanmu, Jae. Sebagai imbalan atas penderitaan yang telah kaualami selama ini."

Aku termenung sesaat mendengar cerita panjang Permaisuri yang tak lain adalah kakak dari ayahku. Mencoba mencerna semuanya dalam kepala. Mengingat setiap memori kejadian yang telah kulalui selama hidupku. Dan memang benar kenyataannya, bahwa hal tersebut mampu membangun pribadiku menjadi seperti sekarang.

Apakah ini adalah alasan dibalik sikap baiknya yang berbeda padaku selama ini? Yang selalu melindungi dan mengobatiku saat aku terluka? Yang begitu menaruh kepercayaannya padaku untuk mengasuh dua pangeran kecil sekaligus?

"Yang Mulia-"

"Panggil aku 'aunt Lily', Jae. Ini perintah!" kelakar Permai—ah, aunt Lily sembari tertawa pelan ditengah ucapannya meski pipinya bersimbah air mata.

Aku pun tersenyum pada wanita itu, "Aku mempunyai satu permintaan."

"Sebutkan saja, Jae."

Tatapan mataku kemudian beralih pada laki-laki berstatus kekasihku, calon suamiku. Ia menatap balik padaku, menatap heran. Aku tersenyum manis padanya—meski sudut bibir ini masih terasa ngilu untuk digerakkan, tetapi aku berusaha semampuku.

Aku kembali menatap lawan bicaraku, aunt Lily.

"Tolong nikahkan kami di kapel itu, aunty."

.

.

.

.

.

Riuh tepuk tangan semakin memeriahkan suasana. Dari tempatku berdiri kini, aku melihat orang-orang tersenyum cerah dihari yang paling bahagia bagiku saat ini. Mungkin juga berlaku untuk Yunho—lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku.

Aku dan Yunho pun bersalaman pada Bapa pendeta dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena mau menikahkan kami yang notabene sama-sama lelaki. Pendeta tua itu ternyata merupakan pendeta yang sama. Pendeta yang bersedia mendoakan orang tuaku dan mengepalai upacara pemberkatanku saat aku masih bayi, dulu. Aku mengetahuinya dari aunt Lily.

Kapel—yang kata aunt Lily—dulu kecil ini sekarang telah diperbaiki dan menjadi kapel yang besar namun tetap sederhana. Berada di pinggiran kota yang menghabiskan waktu setengah hari jika ditempuh dari istana kerajaan West.

Sehari sebelumnya, kami mengunjungi makam kedua orang tuaku yang ternyata dipindahkan ke tempat pemakaman umum tak jauh dari kapel ini berada. Mendoakan kedua orang tua kandungku—yang bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk wajah mereka. Aku masih terlalu kecil untuk mengingatnya saat terakhir kali.

Pernikahan sederhana antara aku dan Yunho hanya dihadiri oleh sahabat dan orang terdekatku, termasuk Pangeran Max. Para pelayan kerajaan West; Irene, Ired, Phill, Rose, Sarah dan Theodore. Juga tak lupa aunt Lily dan si kembar. Namun seseorang yang membuatku sedikit terkejut karenanya, adanya Pangeran Cloud yang ikut serta dengan sang Permaisuri untuk menghadiri acara pernikahanku yang sederhana.

Aku balas tersenyum kala Cloud melempar senyum tipisnya padaku.

"Oh, Jae. Semoga kau akan selalu bahagia disana-"

"Jangan pernah melupakan kami, Jae-"

"Kami pasti akan selalu merindukanmu!"

"Jaga dirimu baik-baik, Jae."

Senyum mengembang dari bibirku. Sahabatku kini sedang mengerubungiku layaknya sebuah kembang gula yang dikerubuti beberapa ekor semut lapar. Mereka terus berbicara tanpa henti. Membuatku jadi geli sendiri.

"Hei, hei-.. Jangan berbicara terlalu cepat seperti itu. Kalian membuatku pusing! Tenang saja, aku pasti merindukan kalian."

Aku pun memeluk mereka satu per satu. Teman-teman paling berhargaku di negeri ini.

"Terima kasih-" bisikku pada mereka.

Setelah mengucapkan kata-kata berpisah sekaligus berpamitan pada mereka, aku segera menghampiri si kembar yang juga berlari menghampiriku. "Jaejoong~" pekik Alan dan Fred yang langsung menerjangku dalam pelukan tubuh mungil mereka.

"Aku akan sangat merindukan masakanmu, Jae," ucap Alan manja. Frederick menjinjitkan kakinya lalu mengecup pipiku sekilas. Terkejut tentu saja. Namun aku malah terkekeh senang lalu mengecup pipi si kembar dengan perasaan yang berbunga-bunga.

"Jangan terlalu merepotkan Mother Lily. Makan dengan benar. Kalian boleh merecoki Irene dan Rose di dapur, tapi jangan Mother Lily. Mengerti?"

Fred terkikik jahil sambil merangkul akrab sang kembaran. "Tentu saja, Jae. Kau tenang saja!"

Aku ikut tertawa. Aku pasti akan sangat merindukan mereka…

"Jae-"

Berbalik keasal suara yang memanggil. Pangeran Cloud berdiri disana. Menggenggam sebuah kotak kayu kecil ditangannya. Kemudian diberikannya kotak itu padaku yang hanya bisa termangu ditempat.

"Sebagai permintaan maafku dan juga-.. Salam perpisahan."

Senyum kembali terulas dibibirku. Aku tahu, Pangeran Cloud adalah seorang pemuda yang baik. Jauh didalam lubuk hatinya.

Aku menerimanya dengan senang hati. "Boleh kubuka?" tanyaku padanya. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban.

TREK

Terpana sesaat melihat isi dari kotak pemberian Pangeran Dua itu. Sebuah bandul emas berbentuk bulat pipih dengan ukiran tak beraturan. Alisku bertautan tak mengerti dengan motif ukiran tersebut. Kira-kira ini ukiran bentuk apa?

"Ukiran ini berbentuk apa?" tanyaku menyuarakan isi pikiranku.

Lelaki itu hanya tertawa pelan sambil mengetuk kepalaku pelan. "Itu bentuk awan, Jae."

Ohh.. Aku mengangguk mengerti. Jadi ini bentuk awan? Tapi 'kok berbeda ya?

"Seandainya aku tidak bertindak pengecut seperti waktu itu, mungkin kau akan tetap berada disini bersamaku, Jae. Padahal aku yang lebih dulu bertemu denganmu. Tapi-.."

"Tak ada yang perlu disesalkan, Pangeran. Ini mungkin juga jalan takdirku. Aku harap kau mendapatkan yang lebih baik. Seorang Lady yang cantik dan baik hati," ujarku pada Cloud memotong perkataannya yang agaknya mulai melantur.

"Uh.. Baiklah. Terima kasih-"

"Sama-sama."

PLUK

"Hei, kau tak berniat untuk kembali 'mengklaim' istriku lagi 'kan?" tanya seorang laki-laki yang sangat familiar ditelingaku. Yunho melingkarkan tangannya dipinggangku. Ia bertanya dengan nada yang main-main, tidak serius.

Sementara Cloud hanya tersenyum canggung melihat keintiman kami. "Mungkin. Tapi setidaknya aku jadi tahu bagaimana menghargai keberadaan seseorang. Selamat atas pernikahan kalian. Semoga kalian selalu berbahagia."

Aku dan Yunho saling bertatapan penuh arti sebelum kembali menghadap Cloud. "Tentu. Terima kasih-.."

Cloud berlalu setelah menjawab ucapan terima kasih kami. Dia melangkah menghampiri si kembar yang sedang bersiap menaiki kereta kuda.

"Aku tidak akan pernah melepasmu untuk pria maupun wanita lain, Jae-" bisik Yunho ditelingaku. Hembusan nafasnya membuatku geli. Aku terkikik pelan karenanya.

"Kau mau ikut? Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan aunt Lily-mu."

Aku memandang heran Yunho. Mata serupa mata rubah yang selalu menghipnotisku itu juga memandangku dengan tatapan penuh arti, seperti tadi. "Oh ya? Apa yang akan kalian bicarakan?"

Yunho melepaskan lingkaran tangannya dipinggangku. Ia lantas menarik tanganku lembut dan membawaku ke hadapan aunt Lily yang tengah mengobrol dengan Bapa pendeta.

"Yang Mulia, ada suatu hal penting yang ingin kutanyakan."

Aunt Lily menolehkan kepalanya ke arah kami. Wanita itu mengucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada Bapa pendeta sebelum benar-benar menghadap kami. Menatap kami dengan tenang lalu kemudian mempersilahkan Yunho untuk bertanya.

"Siapa nama Don yang Yang Mulia ceritakan kemarin?"

Aku dan aunt Lily mengerenyitkan dahi kami kompak. Kenapa Yunho mempertanyakan hal itu?

"Ah, namanya Don Fernandez Carriedo. Aku selalu ingat nama itu-.."

Yunho tersenyum misterius. Sebelah sudut bibir hatinya tertarik, seperti menyeringai. Tapi tidak juga.

Aaaaaahh~ tampannya suamiku!

"Aku mengenal keluarga Carriedo. Apa ada yang ingin kautitipkan, Yang Mulia?"

Hah?! Yunho mengenal keluarga Don itu? Apa memang benar dugaanku jika Yunho berasal dari negeri bernama Spanyol itu?

Kulirik aunt Lily yang mematung mendengar penuturan Yunho. Kedua matanya terbelalak lebar namun dapat kulihat binar ketertarikan disana. Aku tersenyum menyadarinya. Aunty-…

.

.

.

.

.

SRASH

Indahnya!

"Yun, apa benar kita akan melakukan ekspedisi mengarungi samudera seperti yang pernah dilakukan Pappy Joaquin?" tanyaku dengan semangat pada Yunho yang berjalan disampingku sembari menenteng sekantung kecil berisi pakaian milikku. Suamiku itu hanya tertawa pelan. "Iya, tapi tidak terlalu lama. Tujuan kita adalah pulang."

Langkahku terhenti sejenak. Melihat Pangeran Max—atau sekarang aku menyebutnya Changmin, menaiki sebuah kendaraan aneh berukuran raksasa yang terbuat dari kayu. "Apa kita akan naik kesana juga, Yun? Itu apa namanya?" tanyaku polos pada Yunho.

Yunho tergelak mendengar pertanyaanku. Hei, aku benar-benar tidak tahu nama benda itu!

"Jangan tertawa!" aku menggeplak pundak Yunho menggunakan kantung kecil yang sedari tadi kubawa-bawa. Mencebilkan bibirku dan mendelik kearahnya.

Setelah upacara pernikahan kami tadi siang, kami langsung berpamitan dan berpisah dengan keluargaku dari West di kapel itu. Tak lupa aunt Lily yang menitipkan sebuah sapu tangan rajut pada kami yang ditujukan kepada Don Carriedo.

Aku sempat terpana dengan senyuman lebar aunt Lily saat menyerahkan sapu tangan rajut miliknya. Wanita itu juga menitipkan salamnya pada kami. Dan aku menyadari, cinta itu masih ada untuk Don Carriedo. Berada dibagian teristimewa dalam hati aunt Lily.

"Jangan merajuk begitu, Boojae-" ucap Yunho seraya merangkul pundakku dan menuntunku menuju sebuah benda raksasa yang mengambang diatas air laut.

Tapi tunggu dulu. Boo?

"Siapa itu yang kaupanggil 'Boo', Yunho?" tanyaku. Yunho tidak menjawab. Lelaki itu malah menaik-turunkan alisnya ambigu. Aku mengerutkan dahi, "Kita baru saja menikah, Yun-"

"Hei, itu panggilan sayangku untukmu. Bagus 'kan? Boo-Jae. Boo-.. Jae!" ucapnya lucu. Mau tak mau aku jadi ikut tersenyum geli.

Ah, dimana adanya sosok Pangeran tampan bermata rubah yang berkharisma itu sekarang?

"Yoo-hoo, Mr dan Mrs. Jung! Kapal dan nakhoda kalian sudah siap berangkat. Atau mungkin kalian ingin menghabiskan bulan madu disini?"

Suara teriakan seorang laki-laki menyadarkan kami. Dapat kulihat disana, diatas benda raksasa itu, seorang pemuda berambut coklat pendek dan bermata hijau berdiri tegap dengan menumpu kakinya dibagian undakan dekat kayu penghubung seperti jembatan.

Pemuda itu memandang kami dengan seringai lebar yang terlukis diwajahnya. Pemuda tersebut terlihat aneh dengan sebuah benda berwarna hitam lebar yang terpasang dikepalanya. Sedangkan tangannya melambai-lambai kearah kami.

"Ayo!" Yunho mempercepat langkahnya. Tangannya yang kekar masih setia melingkar dipundakku—yang membuatku turut serta mempercepat langkah.

"Benda yang kau maksud itu disebut kapal layar. Benda ini dapat mengarungi lautan luas hanya dengan bantuan angin."

Wah, benarkah? Mataku berbinar mendengar penjelasan Yunho tentang benda raksasa tersebut. Jadi benda ini yang bisa melintasi samudera yang luas dan juga yang sudah mempertemukan Pappy Joaquin dan Mommy Aline. Hehe.. Sejak aku mengerahui siapa orang tuaku sebenarnya, aku memutuskan untuk memanggil mendiang orang tuaku Pappy dan Mommy.

"Kami datang, Don Carriedo!" Yunho berseru pada pemuda yang dipanggilnya-.. Carriedo?

Kuperhatikan perawakan pemuda itu. Tinggi, tampan, berkulit agak kecoklatan seperti Yunho—namun sedikit berbeda, berambut coklat dan bermata hijau. Ya, mata hijau! Ciri-ciri yang sama menurut cerita aunt Lily.

"Yun, apa-…"

Yunho menoleh padaku. Pria itu kemudian menuntunku melintasi sebuah papan kayu lebar yang dijadikan sebagai jembatan penghubung antara ujung dermaga dengan benda raksasa mengapung itu. Ah, aku jadi tidak sabar merasakan bagaimana sensasi mengarungi samudera!

"Kau pasti bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Tunggu sebentar disini-"

Kuanggukkan kepala menuruti perintah Yunho untuk menunggunya disini. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Benda bernama kapal ini sangat luas. Terbuat dari kayu yang kuat yang terasa kokoh saat kupijak. Pilar-pilar besar yang menjulang dengan beberapa utas tali mengelilinginya. Lima buah kain raksasa berwarna merah membentang pada tiap pilar. Hal unik yang kutemukan ialah adanya sebuah bulatan berukuran besar yang letaknya diatas pilar yang paling tinggi.

"VEEE~"

Mulutku menganga lebar saat melihat seseorang yang berdiri diatas pilar—tepatnya pada bulatan itu. Kepala dengan surai coklat terang seorang pemuda menyembul dari dalam bulatan yang tak kusangka dapat memuat seorang manusia didalamnya.

"Feli! Apa yang telah aku katakan tentang jangan-naik-ke-atas, hah?!"

Sontak aku terkejut dengan seruan bernada galak dari seseorang yang baru saja keluar dari sebuah ruangan dalam kapal. Seseorang itu memiliki fisik yang hampir sama dengan pemuda yang ada diatas sana. Hanya saja-.. Yang satu ini kelihatan galak sekali.

"Oh—halo, Lovino. Kau galak seperti biasa, huh.."

Changmin tiba-tiba datang menghampiri sosok itu lalu merangkulnya akrab. Dalam hati, aku menebak jika memang sudah biasanya Pangeran Max melakukan hal itu pada sosok tersebut. Namun nyatanya-..

PLAK

PLAK

"Minggir kau, Max!" pekik sosok itu seraya melepaskan dengan paksa rangkulan Changmin dibahunya. Changmin meringis dan mengusap kasar lengannya yang menjadi korban keganasan pukulan sosok itu. "Kau selalu saja begini terhadapku. Tapi lain halnya jika Antonio yang melakukannya. Kau pasti-"

"Diam kau, pilar-berjalan!" sungut sosok itu kasar memotong perkataan Changmin.

Changmin dengan muka kusutnya melangkahkan kaki menghampiriku yang masih terpaku dengan adegan kekerasan-anti-anak-kecil yang tiba-tiba tersuguhkan didepan mataku. Menggerutu pelan lalu berdiri dihadapanku dan berkata, "Semoga kau terbiasa selama beberapa minggu kedepan satu tempat bersamanya."

Pemuda keponakan Yunho itu pun berlalu begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya. Meninggalkanku yang hanya dapat memandangnya heran dari tempat kuberdiri.

TAP TAP TAP

"Boo, perkenalkan, ini nakhoda—kapten kapal kita," ucap Yunho yang baru saja datang ditemani pemuda tadi yang dipanggil 'Carriedo'.

Pemuda yang tingginya hampir menyamai Yunho itu mengulurkan tangannya padaku. "Perkenalkan, aku Antonio Fernandez Carriedo. Nakhoda kapal 'The Bad-Touch Trio'," ucap pemuda itu ramah padaku.

Aku membalas jabatan tangan yang diulurkan pemuda bernama Antonio itu padaku, "Aku Jaejoong."

Setelah beberapa saat, Antonio melepas jabatan tangannya. Pemuda itu lalu mulai memperkenalkan teman-temannya yang berada di kapal—yang namanya membuatku tersenyum aneh.

"Biar kuperkenalkan satu persatu teman kita disini-"

Antonio melangkahkan kakinya memutari kapal. Yunho tersenyum simpul lalu kemudian merangkulku kembali untuk mengikuti sosok nakhoda kapal itu dari belakang.

"Dia, yang galak itu namanya Lovino Vargas," Antonio memulai penjelasannya sambil menunjuk seorang pemuda yang tadi sempat bertengkar kecil dengan Changmin.

Yunho mendekatkan wajahnya ke telingaku. Ia membisikkan sesuatu yang membuatku tersenyum memandang Lovino yang bersidekap angkuh.

"Ah, itu di atas sana-.. Feliciano Vargas, adik Lovi. Mereka berdua adalah juru masak disini," Antonio kembali menunjuk pada pemuda yang berada diatas. Pemuda itu melambaikan tangannya aktif dengan kepala yang masih saja menyembul dari atas sana.

"Vee~"

Ya, ampun..

"Sebenarnya masih ada tiga orang lagi, tapi mereka sedang berbelanja keperluan kita selama diperjalanan nanti. Seharusnya mereka sudah selesai, tapi belum pulang juga. Padahal kita sebentar lagi akan berangkat-.."

Nakhoda kapal tersebut menghela nafasnya. Kepalanya menoleh ke segala arah. Mencari keberadaan tiga orang itu, mungkin?

TAP TAP

BRAK

"Hah~ Ini sangat melelahkan-.."

Kami menoleh secara bersamaan keasal suara. Nampak disana tiga orang pemuda yang baru saja naik ke kapal. Dua berambut pirang dan satu berambut putih kemerahan, albino. Mereka membawa beberapa keranjang yang dipenuhi dengan sayur dan buah-buahan. Persediaan makanan selama berlayar.

"Oh, kau sudah kembali, U-Know?" tanya pemuda pirang pendek pada Yunho. Suamiku—yang masih dalam posisi merangkulku ini menjawab, "Ya. Maaf terlambat. Seharusnya kami sudah tiba disini kemarin. Tapi ternyata banyak hal yang tak terduga terjadi."

Aku melempar senyum ramah pada ketiga orang lelaki yang baru saja bertemu denganku itu. Salah satu dari tiga lelaki itu—yang berambut pirang ikal sepudak mengingatkanku pada Phill.

"Namaku Francis Bonnefoy. Yang berambut pirang pendek itu bernama Ludwig Weillschmidt. Dan itu kakaknya yang albino—Gilbert Weillschmidt."

Francis mengenalkan dirinya beserta dua pemuda lainnya. Tapi-… Eh. Dia mengedip genit padaku.

"Hentikan tingkah mesummu itu, Bonnefoy! Dia Jaejoong, istri Pangeran U-Know."

Kulirik Lovino yang baru saja menyerukan kalimat itu dengan nada ketusnya sembari memasuki kapal. Meskipun begitu, wajahnya yang manis melunturkan raut masam itu. Dan sesekali aku mendapati rona merah dipipinya kala Antonio menggodanya dengan kata-kata, walaupun hanya sepintas.

"Oooh.. Maafkan aku, U-Know. Kukira si cantik ini teman barumu-" ucap Francis penuh penyesalan. Senyum masih mengembang dibibirku. Hampir dua menit kami habiskan dengan mengobrol ringan. Sementara pemuda pirang pendek bernama Ludwig itu memindahkan keranjang berukuran lumayan besar itu masuk kedalam ruangan yang tadi dimasuki Lovino.

Namun-…

BRAK

GEDEBRAK

GUBRAK

"BRENGSEK! Keluar kau dari dapurku!"

PRAK

"Ouch! YAKH!"

Aku, Yunho dan yang lainnya hanya dapat meringis iba melihat Changmin yang babak belur—diusir dengan begitu tidak ramahnya oleh Lovino yang melemparinya dengan kentang berukuran sedang.

Malangnya nasibmu, Pangeran Max…

.

.

.

.

.

Senja, waktu matahari terbenam pada sore menjelang malam hari kali ini aku habiskan ditengah lautan luas. Raja siang itu perlahan mulai menyembunyikan wujudnya diujung cakrawala sana, pada luasnya lautan yang tak berujung.

Tak bosannya aku memandang keindahan alam yang baru pertama kali aku lihat ini. Ya Tuhan… Indah sekali..

GREP

"Suka dengan apa yang kaulihat, Boo?" Yunho berbisik ditelingaku. Memeluk pinggangku dengan mesra seperti biasa walaupun tidak terlalu erat—karena lukaku yang masih terasa sakit pasca 'kejadian' itu tempo hari. Ia menyandarkan dagunya yang lancip dibahuku dengan mata yang menerawang ke depan.

"Tentu. Ini sangat indah, Yun-.."

Nafasku seketika tercekat saat merasakan kecupan lembut yang menjalari tengkuk dan leherku. Memejamkan mata sesaat sambil menikmatinya.

Jemari Yunho naik dan menari disisi wajahku. Membimbingnya untuk mendekat. Bibir bentuk hatinya menempel disudut bibirku. Aku dan suamiku tersenyum. Debaran didalam dada kami selalu ada, bahkan terasa sangat jelas satu sama lain.

"Aku mencintaimu-"

"Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.."

Saat bibir kami hampir menempel, tiba-tiba saja sebuah suara mengejutkan kami yang sedang bermesraan.

"Hei U-Know, sebaiknya bawa istrimu ke dalam kamar. Disana lebih hangat."

Aku dan Yunho berbalik melihat sipelaku. Terlihat disana Changmin, Gilbert dan Francis yang duduk santai menyandar pada pilar ditengah dek sambil mengunyah kentang rebus. "Kalian tidak kasihan pada kami yang single-mengenaskan ini, huh?"

Mereka bertiga langsung terbahak mendengar penuturan Francis—yang sangat aneh menurutku. Tiga pemuda itu sepertinya memang kurang waras.

Aku merengut kala Yunho melepaskan sentuhannya ditubuhku. Tapi kemudian kembali tersenyum saat ia beralih menggenggam tanganku hangat dan menggiringku ke tempat ketiga orang itu berada.

"Dimana yang lainnya?" tanya Yunho seraya mendudukkan dirinya didepan ketiga pemuda itu. Aku pun mengikuti gerakan Yunho. "Biasa," tanggap Changmin.

Kuambil sebuah kentang rebus yang tersedia diatas piring depan Changmin. Mengupasnya sedikit lalu memberikannya pada Yunho—yang dengan senang hati menerimanya. Lelaki itu kemudian memotong kentang itu menjadi dua, dan memberikan separuh kentang itu padaku.

Senyuman manis mengembang dibibir seksi Yunho. Maniknya yang tajam tetap menatapku penuh cinta meski mulutnya penuh dan bergerak cepat mengunyah kentang rebus. Aku tertawa pelan melihat tingkah lucunya tersebut.

"Kau seperti remaja yang sedang kasmaran, U-Know," kelakar Gilbert yang kembali mengundang tawa kami yang mendengarnya. Sepertinya memang benar adanya seperti itu.

Kami menghabiskan waktu dengan berbincang akrab satu sama lain. Sesekali derai tawa menghiasi perbincangan kami. Kuperhatikan sedari tadi, sepertinya semua orang yang ada disini sangat bersahabat dan pastinya sangat menyenangkan pula. Gilbert, pemuda albino itu menceritakan aktivitasnya selama tujuh hari menunggu Yunho dan Changmin. Mulai dari menggoda para gadis di pasar, sampai ditampar bolak-balik oleh beberapa Ladies pun pernah.

"Kalian tahu, Lady di West itu sangat sombong dan angkuh! Tak ada satu pun yang melirikkan matanya padaku meski aku sudah menggodanya beberapa kali dengan ketampananku ini-"

"Eiii-.. Hentikan perkataan menjijikanmu itu, Gil. Sekali saja kau mengatakannya lagi, bisa-bisa aku memuntahkan kentang yang baru saja kutelan!"

"Hahaha…"

Setitik air mata keluar dari sudut mataku. Tak kuasa menahan tawa, aku menutupi wajahku dengan kedua tangan. Entah kenapa perdebatan mereka bertiga—Changmin, Gilbert dan Francis—sedari tadi tidak berhenti membuatku tertawa karenanya.

SRET

"Ayo, Boo. Lama-lama dengan mereka bisa membuat kita tertular gilanya-.." ujar Yunho menarik kedua tanganku yang awalnya menutupi wajahku untuk membuat tubuhku berdiri tegak.

Dengan tubuh yang masih sedikit bergetar menahan tawa, aku mengikuti langkah Yunho yang membawaku ke geladak atas—tempat kemudi nakhoda. Tampak Antonio yang sedang memakan buah tomat segar nan ranum ditemani oleh Lovino yang duduk tenang sambil membaca sebuah buku .

Didekat kemudi kapal, sebuah perkamen berukuran besar tergelar diatas peti yang diduduki Lovino. Perkamen kuning itu berisi garis-garis tak beraturan—dan itu banyak sekali!

"Itu namanya peta, Boo. Benda itu yang membantu Antonio untuk menentukan arah tujuan berlayar. Dibantu Ludwig yang bertugas sebagai navigator kapal," terang Yunho. Aku mengangguk paham. Jelas saja aku tidak tahu. Karena memang ini kali pertama aku bepergian keluar wilayah kerajaan West.

"Oh ya, U-Know. Kita akan sampai di Spanyol, perkiraanku, lusa pagi. Itupun jika cuaca benar-benar cerah-.."

Perkataan Antonio membuatku mengalihkan pandanganku pada pemuda itu. "Jadi-.. Kita akan ke Spanyol, Yun?" tanyaku pada Yunho.

Pria itu tersenyum dan mengangguk, "Iya. Kita akan mampir sebentar ke rumah Antonio disana."

"Rumah Antonio?"

"Yup!"

Aku memandang Yunho dalam. Sedikit ragu untuk menanyakan sesuatu yang mengganjal dipikiranku selama dua hari terakhir. "Yunh-.. Apa kau juga berasal dari Spanyol?"

Yunho menaikkan alisnya tinggi. Apa aku salah bicara?

"Tentu saja bukan. Yunho berasal dari negeri yang jauh," sahut Lovino tanpa mengalihkan tatapannya dari buku lusuh yang ia pegang. Ternyata dari tadi dia mendengarkan obrolan kami.

Kemudian aku kembali menatap Yunho dalam, meminta penjelasan yang lebih rinci padanya lewat tatapanku.

"Aku dan Changmin memang berasal dari negeri yang jauh. Butuh berminggu-minggu lamanya sampai di tempat ini-"

"Lalu bagaimana bisa kau sampai di West? Maksudku-.."

Yunho tertawa pelan, "Mendiang ibuku pernah berkata bahwa jodohku berada di tempat yang sangat jauh. Jauh sekali, tapi sangat dekat. Mulanya aku tak tahu maksud dari perkataannya. Hingga akhirnya ia wafat, aku baru sadar dan mengerti makna dari perkataannya tersebut.

"Aku terus mencari tahu disela-sela kesibukanku. Sampai suatu saat, pemuda ini datang menemuiku dan mengabarkan sesuatu yang menarik diriku sampai ke tempat ini dan bertemu denganmu-" Yunho menunjuk Lovino dengan dagunya.

Aku terenyuh mendengar penjelasan Yunho. Ini takdir. Tuhan mempertemukan kami melalui orang-orang sekitar yang secara tak langsung menjodohkan kami berdua. Aku sangat berterimakasih.

"Simpan saja rasa terima kasihmu itu. Sebagai imbalannya, besok pagi giliranmu yang harus memasak hidangan untuk semuanya," ucap Lovino mencoba menekan nada ketus sambil menutup bukunya, berhenti membaca karena cahaya langit yang mulai menggelap menyapa malam.

Senyum kembali terulas dibibirku. Tak terhitung sudah berapa ratus kali aku tersenyum seharian ini. Aku merasa sangat bahagia saat ini.

Lovino—love, cinta.

Terima kasih…

.

.

.

.

.

Menyingsing fajar di tepi pantai. Awal hari yang sejuk dan menyenangkan untuk dijalani. Deburan ombak terdengar begitu merdu ditelingaku. Menapak jejak dihamparan pasir tanah Spanyol.

Sesuai dengan perkataan Antonio kemarin lusa, kami tiba di garis pantai negeri itu tepat waktu—saat terbit matahari. Menurunkan jangkar tak jauh dari bibir pantai lalu mencapainya menggunakan sebuah perahu kecil yang Antonio bilang bernama sekoci.

Yunho selalu berada disisiku. Mengamit tanganku dengan mesra walau ia tengah berbicara dengan yang lain. Tak ayal sikap manis lelaki itu mampu meluluhkanku. Bahkan semalam kami tertidur dengan saling mendekap berselimutkan mantel tebal di atas geladak kapal. Bersama yang lainnya tentu saja.

Jantungku berdegup tak beraturan. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan seseorang yang selalu dicintai oleh satu-satunya wanita paling berharga bagiku, aunt Lily. Tak kusangka, ternyata Yunho memang sungguh-sungguh saat mengatakan bahwa ia mengenal keluarga Don Carriedo. Karena pada kenyataannya, Antonio merupakan putra bungsu dari Don Carriedo itu.

Kehidupan akan terus berputar selagi nafas masih berembus, meski hati terluka dan hancur, semua akan semakin terkikis jika engkau mampu untuk bangun dan melangkah ke depan. Ada kalanya kau beranggapan bahwa hanya dirimu yang mengerti, membutuhkan diri sendiri dengan egoisnya. Tanpa mau melirik orang lain yang juga memandang padamu.

Lirikan mata Yunho tertangkap saat aku tak sengaja menoleh padanya. Menaikkan sebelah garis alis tak mengerti, aku lalu bertanya padanya, "Apa?"

Lelaki bermata serupa rubah itu hanya tersenyum lebar dan menggeleng pelan. Lalu melangkah meninggalkanku yang terheran-heran dengan perilakunya—yang bisa kubilang aneh—sejak tadi pagi. Tepatnya sejak aku bertanya suatu hal padanya saat kami baru saja bangun tidur. Gelagatnya yang canggung padaku tanpa menjawab pertanyaan yang kuberikan.

Padahal pertanyaannya sangat mudah, 'Kenapa celanamu basah?'

Iya, hanya itu. Apa jangan-jangan Yunho mengompol? Ah, seperti bocah kembar itu saja! Tapi mana mungkin seorang Panglima Perang masih mengompol. Mungkin saja basah karena tersiram air, hanya saja aku tidak lihat. Ya, itu.

"Jae, kudengar dari Max, kau pandai membuat kudapan. Nanti tolong buatkan beberapa untukku ya?" ucap Gilbert menepuk pundakku ringan.

Aku tersenyum kecil menanggapinya, "Boleh. Tapi tidak hanya untukmu saja, Gil. Semua akan aku buatkan," balasku.

Pemuda albino itu tersenyum lebar. Dia menepuk tangannya girang seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. "Oh iya, Ludwig dan Feli kenapa tidak ikut?" tanyaku.

"Mereka kebagian tugas menunggu kapal. Lagipula memang maunya mereka ditinggal berduaan seperti itu. Kau belum tahu ya, kalau mereka itu sepasang kekasih?"

"Huh?"

Terkejut, sungguh. Tak menyangka jika laki-laki bertubuh tegap, berambut pirang pendek yang disisir kebelakang dan ekspresinya terlihat kaku itu ternyata menyukai tipe hiperaktif seperti Feliciano.

Hanya perasaanku atau memang hampir semua dari mereka berorientasi menyimpang seperti aku dan Yunho?

Ah, ternyata dunia tak seluas yang aku bayangkan.

.

.

.

.

.

Pria tua masih tampak aktif meski usianya telah menginjak setengah abad. Duduk bersenda gurau di dipan sebuah rumah megah bersama dua orang anak kecil. Pria tua bermata hijau mirip Antonio itu menatap kami ramah. Sambutan yang sangat baik kami terima begitu sampai di kediaman Carriedo.

Namun pria tua itu menampakkan ekspresi terkejutnya saat melihatku. Ia bahkan langsung menyebutku 'Aline', nama ibuku. Setelah menjelaskan semuanya perihal kedatangan kami yang tiba-tiba, pria itupun mengangguk paham. Dan ia juga memberitahuku jika ia sangat merindukan mendiang Pappy Joaquin dan Mommy Aline.

Don Carriedo mengulas senyuman manis saat aku memberikan sapu tangan rajut aunt Lily padanya. Tak lupa menyampaikan beberapa patah kata yang dititipkan wanita tersebut kepada pria Spanyol yang merupakan kekasih lamanya.

.

.

.

.

.

"Bagaimana kunjungan kalian tadi, vee?"

Feliciano tersenyum manis menyambut kedatangan kami pada sore harinya. Pemuda aktif berambut coklat terang itu memberikan kami segelas jus apel pada masing-masing tanpa terkecuali.

Aku meminumnya dengan perlahan, tidak ingin terlalu cepat menghabiskan jus buah kesukaanku ini. Sedangkan Changmin, sebaliknya. Jujur, dia adalah orang pertama yang selalu membuatku ngeri dengan nafsu makan yang dimilikinya. Apalagi saat minum. Satu piala berisi minuman selalu habis dalam satu tegukan!

"Lain kali aku ingin Lovino yang membuatkanku jus buah!" celetuk Changmin sambil menyerahkan gelas kosongnya pada Feli. Lovino menatap Changmin dengan tatapan tajamnya dan wajah yang berkerut galak. "Silahkan bicara sesukamu, Tuan Penguntil!"

Changmin balas berseru, "Hei, aku bukan penguntil!"

"Ya, ya, ya~ Kau itu Putera Mahkota Max dari Kerajaan Toho, Cengmain!"

Perdebatan antara dua pemuda itu membuatku terkikik geli. Lovino menyebut nama Changmin dengan logat juga aksen yang berbeda dan terkesan dibuat-buat. Dua pemuda itu saling menggeram satu sama lain dan melemparkan tatapa tajam nan mennusuk

Errr-…

GREP

"Ayo, Boo. Temani aku kebawah mencari sesuatu!" Yunho menarik tangan kiriku tanpa izin. Pria bermata serupa rubah yang nyatanya adalah suamiku itu menyeretku masuk kedalam kapal. Tangan kekarnya baru melepas genggamannya saat akan menuruni tangga kayu yang menghubungkan dek bagian atas kapal dengan kabin tepat diatas lambung kapal.

Sambil menggerutu pelan, aku pun turut menuruni anak tangga kayu sederhana itu dengan hati-hati. Sedangkan Yunho yang sudah turun duluan, kini memasuki sebuah ruang bersekat di mana didalamnya terdapat beberapa tempat tidur—ruang peristirahatan. Sementara tak jauh dari situ, dua buah sekat yang tak selebar ruang peristirahatan ada disana. Dua buah kamar mandi, lebih tepatnya.

Yunho membuka sebuah peti yang diletakkan berjajar disamping dinding sekat. Ia menolehkan kepalanya padaku, "Boo, tolong carikan beberapa potong kemeja dan celana. Aku selalu kerepotan mengambilnya sehabis mandi."

Apa memang begitu?

"Ahh-.. Lalu kenapa baru mengatakannya sekarang?" tanyaku.

Yunho melebarkan senyumannya padaku. "Aku tidak mau merepotkanmu. Cukup Changmin dan Gilbert yang selalu merecokimu untuk membantu Lovino di dapur-"

"Tapi aku 'kan istrimu, Yun!" selaku memotong perkataan Yunho.

Aku merengut sebal. Tanganku bergerak untuk membantu mencari pakaian Yunho yang bertumpukan diatas peti. Segala peralatan yang Yunho bawa ke West, aku yang merapikannya. Jadi aku tahu dimana saja letak pakaian santai milik pangeran itu.

GREP

"Hey, Boo. Jangan merajuk," bisik Yunho ditelingaku. Tubuhku bergetar sesaat merasakan hembusan nafas Yunho yang menerpa daerah telingaku yang memang sensitif ini. Dekapan hangatnya kembali terasa. Aku selalu menyukai saat-saat di mana Yunho memeluk tubuhku dari belakang. Rasanya hangat dan terlebih lagi aku merasa-… Terlindungi oleh sosoknya.

"A-aku tidak merajuk," gumamku tanpa mengalihkan atensiku dari tumpukan pakaian Yunho yang aku tumpuk pada peti sebelah guna memudahkanku mencari apa yang diinginkan pria itu. Mencoba mengabaikan Yunho yang mulai menggodaku. Menyerang titik lemahku dari ujung hingga ke pangkal lengan dengan jemarinya yang mengusap liar.

"Hei, apa kau mau tahu jawaban pertanyaanmu tadi pagi itu?" Yunho sukses menghentikan gerakan tanganku. Aku melirik suamiku melalui ekor mataku. "Oh ya? Apa jawabannya?"

Yunho tersenyum aneh. Jemarinya kembali menjelajah lenganku dan kini benda tersebut menjalar sampai ke bahu lalu terhenti pada salah satu sisinya. Wajah Yunho mendekat, hampir menyentuh sisi wajahku sendiri. Hembusan nafas hangatnya kembali menerpa telingaku yang sesungguhnya sensitif.

Ini benar-benar geli!

"Yunh-…"

Gerakan ronta tubuhku sedikit mengusik Yunho hingga pria tampan bermata serupa rubah itu sedikit mengendurkan rangkulannya pada bahu milikku. "Boo, apa kau belum mengerti kalau-"

"Yunho-hyung, Jae, apa yang sedang kalian lakukan?" seru seseorang dari belakang menginterupsi perkataan Yunho. Ucapan dengan bahasa dan aksen yang berbeda itu pasti dari Changmin. Dan benar saja adanya—Changmin berdiri dibawah tangga sambil berkacak pinggang.

"Ada apa, Changmin?" tanya Yunho tanpa melepaskan rangkulannya. Aku melayangkan tatapan penuh tanda tanya pada Putera Mahkota tersebut. Changmin—masih pada posisinya—menatap kami penuh curiga. Seringai nakal menghiasi bibirnya disertai dengan kilatan jahil pada matanya. Oh, mirip sekali dengan si kembar.

"Apa kalian berencana untuk bercinta disana? Sore hari seperti ini? Saat kami ada di luar dan berteriak kelaparan?" cerocosnya frontal. Eugh-… Dia membuatku malu!

Yunho menggeram kesal. Dapat kulihat dari kedutan dipelipisnya yang menandakan jika ia terpancing emosi. Kukira Yunho akan meledakkan emosinya, namun ternyata tidak. Yunho malah memelukku dari belakang dan berkata tak kalah sengitnya. "Kalau iya, memangnya kenapa?"

Changmin berdecih pelan. Pemuda itu menangkup kedua telapak tangannya didepan dada, memandangku dengan tatapan memelas juga bibir yang bergetar. Padahal tadi bibir lebar itu menyeringai dengan menyebalkannya. Tapi sekarang?

"Jae-… Tolong masakkan makan malam untuk kami. Lovino sedang dalam masa menyebalkannya, sedangkan Feli tidak bisa memasak makanan lain kecuali pasta. Eugh, aku tidak menyukai rasanya yang aneh dilidahku. Ya, Jae? Kumohon-…" ucapan Changmin membuatku tertegun—dia mengucapkan kalimat terakhir kedua dengan pelan, tapi masih bisa kudengar. Matanya yang agak bulat itu berkaca-kaca. Sedikit banyak tingkahnya itu selalu membuatku lupa jika ia adalah seorang Putera Mahkota dari sebuah kerajaan besar. Sikap dan sifatnya disini tidak terlalu mencirikan jika ia seorang Lord. Seperti pemuda biasa yang senang berpetualang dan kelaparan—pastinya.

"Baiklah. Tapi setelah aku membereskan kekacauan disini," ujarku pada Changmin yang dibalas dengan senyuman lebar miliknya yang merekah. Ia menganggukan kepalanya semangat. Kemudian menapaki tangga mengarah ke atas. "Jangan terlalu lama, Jae. Kami menunggu," katanya sebelum menghilang naik ke dek kapal.

Aku pun melepaskan dekapan suamiku dan membalikkan tubuhku untuk membereskan pakaian-pakaian Yunho. Begitu pula dengan Yunho, ia membantuku untuk mengangkat tumpukan pakaian miliknya selagi aku mengambil potongan-potongan kemeja dan celana yang letaknya paling bawah. Setelahnya, aku merapikan tumpukan pakaian tersebut dan memasukkan kembali kedalam peti. Menaruh setumpuk kemeja putih gading dan celana sebelum menutup peti tersebut.

"Oh ya, Yun. Tadi itu jawabannya apa?"

"Errrr-…"

.

.

.

.

.

Lima hari berlalu semenjak kapal ini berlayar dari West. Sejauh ini, keadaan nampak baik-baik saja. Terkadang aku merasa jenuh saat berlayar. Yang kulihat hanya laut dan laut. Tidak ada yang berbeda. Hingga pagi tadi, Changmin menawariku sesuatu yang menarik—yang tentunya dapat mengalihkan rasa jenuhku yang mulai menggerogoti uluhati.

Sekarang aku, Changmin, Gilbert, Francis dan Lovino tengah duduk melingkar di geladak kapal. Mengelilingi beberapa bilah pedang yang tergeletak begitu saja disana. "Apa kalian yakin?" tanyaku agak sangsi. Sangsi karena mereka—terlebih Changmin—memintaku untuk berlatih pedang tingkat dasar. Aku yang mendengar hal tersebut hanya dapat membisu. Bukan, bukannya aku sangsi karena mereka yang akan mengajariku bermain pedang. Tapi aku ragu akan kemampuanku sendiri. Seumur hidup, belum pernah aku memegang benda itu untuk digunakan berkelahi. Dan kini aku berhadapan dengan benda tersebut dan akan menggunakannya secara langsung.

Aku melirik Yunho yang sedang sibuk berbincang dengan Antonio di buritan kapal. Pembicaraan mereka sepertinya serius. Terlihat dari ekpresi mereka yang sedikit mengeras.

"Kau pasti bisa, Jae. Feli saja bisa menggunakannya. Ya-… Walaupun tidak terlalu mahir," ucap Lovino sembari mengedikkan bahunya dan bersidekap.

Kami berlima mendongak bersamaan saat mendengar suara tawa nyaring yang berasal dari atas pilar. Feliciano menggoyangkan tangannya ringan juga tampak raut wajahnya yang berseri-seri. Polos seperti anak kecil.

Oh. Tak ada komentar.

"Kau bisa menggunakan pedangku untuk berlatih. Tidak terlalu berat, ringan juga tidak. Lumayan bagus untuk pemula," tawar Francis. Aku tersenyum simpul lalu mengangguk pelan. "Baik. Terima kasih."

Francis menyodorkan salah satu pedang—yang sepertinya milik pemuda pirang itu—padaku. Bentuknya seperti pedang pada umumnya. Bermata dua dan panjang, berwarna perak serta ukurannya yang tidak terlalu besar seperti pedang yang digunakan para Pangeran West.

Tanganku bergerak mengambil pedang tersebut. Mengangkatnya sebatas dada sambil mengamatinya. Memang benar kata Francis: pedang ini lumayan bagus untuk pemula. Terasa pas digenggamanku.

Hihi-… Aku jadi tidak sabar untuk segera berlatih.

Tapi sebelumnya, apakah Yunho akan mengizinkanku untuk belajar menggunakan pedang?

TAP TAP TAP

Yunho dan Antonio melangkah menghampiri kami yang masih berkumpul di geladak kapal. Kurang dari satu menit memperhatikan kami, Antonio meneruskan langkahnya menuju kabin miliknya yang terletak diatas dapur. Lovino pun ikut bangkit mengikuti sang kekasih.

"Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Changmin pada Yunho. Sedangkan Yunho hanya menaikkan bahunya acuh tak acuh. "Tidak ada sebenarnya. Hanya saja menurut informasi Ludwig yang dari semalam memantau keadaan laut lepas, kita sebentar lagi akan melewati wilayah mediterania. Sebaiknya kita mempersiapkan diri," jelas Yunho seraya mendudukkan dirinya disampingku—tempat Lovino duduk tadi.

Aku menautkan alisku tak mengerti. Mempersiapkan diri? Maksudnya apa?

Sepertinya Yunho mengerti dengan mimik wajah yang kutunjukkan sekarang. Pria itu pun kembali menjelaskan perihal ketidakmengertianku akan apa yang ia bicarakan tadi. "Wilayah mediterania itu laut perbatasan antar wilayah besar. Biasanya digunakan untuk lintas perdagangan dan budaya. Tapi pada sudut-sudut tertentu, ada beberapa pulau tak berpenghuni yang menjadi singgahan para perompak. Waktu lalu, dengan sedikit trik, kami berhasil menghindar dari pengelihatan para penjarah kapal itu. Meskipun begitu, untuk kali ini kita tidak tahu akan kembali beruntung atau tidak.

"Memang ada beberapa jalur lainnya untuk sampai di negeriku. Tapi itu berputar-putar dan jaraknya pun sangat jauh, lebih jauh ketimbang jalur yang kita lewati saat ini. Mulai dari sekarang, kita harus tetap waspada. Mereka bisa datang kapan dan dari mana saja."

Aku termenung sesaat, mencerna penjelasan panjang lebar dari Yunho. Penjarah kapal? Semacam perampok kalau begitu. Laut memang tak sedamai yang kubayangkan…

Keheningan melanda. Semua tampak berpikir—entah apa.

"Ah, apa kau akan belajar menggunakan pedang, Jae?" Yunho tiba-tiba memecah keheningan. Bertanya padaku sembari menyentuh tanganku yang sedang menggenggam sebilah pedang. Aku mengangguk perlahan. Senyum terukir dibibir bentuk hati milik Yunho. Pria itu kemudian melepaskan sentuhannya, beralih pada Changmin dan menepuk bahunya keras.

PLUK

"Tolong latih dia dengan baik, Changmin-ah. Agar dia memiliki sentuhan ajaib yang didapat darimu."

Yunho berkata dengan bahasa yang tak kumengerti pada Changmin yang meringis kesakitan karena tepukan Yunho dibahunya yang lumayan keras. "Ne, araseo," jawab Changmin seadanya.

"Kalau begitu, kalian bisa berlatih sore nanti. Urusan memasak, biar Lovi dan Feli yang mengurusnya. Kau tidak usah khawatir," sahut Gilbert. Pemuda albino itu bangkit bersama Francis yang mengikutinya—menuju dapur. Sontak Changmin langsung bangkit melihat arah tujuan dari dua lelaki itu. "Aku ikuuuut!" serunya heboh sambil berlari menghampiri mereka. Meninggalkanku yang kini hanya berdua dengan suamiku, Yunho.

Mengedarkan pandangan ke sekitar—membuatku mengangkat kedua alisku heran—seolah memastikan situasi aman. Pria yang kucintai itu pun menggeser tubuhnya beserta tubuhku merapat pada pilar. "Sudah lama rasanya kita tidak berduaan seperti ini. Mereka selalu membuat perhatianmu teralih sebagian-" gerutu Yunho sembari mengerucutkan bibirnya lucu.

Aku terkikik melihat tingkahnya yang biasanya dewasa itu malah seperti anak kecil dihadapanku. Manis.

CUP

Kukecup bibirnya sekilas, membuat mata serupa mata rubah itu membelalak seketika. Hihi…

Yunho juga terkekeh, "Kau mulai nakal, Boo-.." gumamnya. Ibu jari dan telunjuknya mengusap sudut bibirku. Senyum pun tak luput dari bibir kami masing-masing. "Aku bahagia bisa memilikimu," ucapnya lagi. Perkataannya yang terakhir itu membuat pipiku memanas. Terlebih dengan sentuhan tangan satunya yang menyibak rambut hitam setengkuk milikku ke sela-sela telinga.

"Kau lebih indah dari yang aku bayangkan selama ini, Boojae."

"Apa yang kaucintai dariku yang orang rendahan ini, Yun?"

Ibu jari Yunho menutup bibirku dan mengusapnya, "Sssstt-… Kau tidak rendahan, Jae. Kau istriku sekarang. Istri seorang Yunho."

Aku terhanyut dengan kilatan bola mata tajam itu. Hati kecilku berbisik, tidak ada kebohongan Yunho pada setiap kalimat yang terurai dari bibir yang selalu aku dambakan milik suamiku. "Aku mencintai semua yang ada pada dirimu, apa adanya. Mata ini-.."

Jemari Yunho mengusap pelipis kiri dan kananku dengan lembut. "Yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya."

"Pipimu seperti buah apel ranum yang selalu membuatku tergoda dengan warna rona merah muda yang selalu muncul ketika aku ada disampingmu-" Telapak tangan Yunho yang besar nan kasar beralih mengusap kedua pipiku lembut. "Hidungmu yang kecil itu selalu membuatku gemas!"

GRAUK

"Aaaaahh!" erangku kesakitan saat merasakan gigitan Yunho yang tidak main-main. Aku mencebilkan bibirku pada Yunho yang tergelak melihatku kesakitan karena gigitannya pada hidungku.

GREP

Yunho memeluk tubuhku erat dan menggoyang-goyangkannya pelan. "Maaf. Aku hanya gemas padamu," ucapnya tanpa nada bersalah setitikpun. Kuelus hidungku pelan untuk sekedar meredakan rasa ngilu yang diakibatkan oleh gigitan pria itu.

Tak lama kemudian, Yunho melonggarkan pelukannya—tanpa melepaskanku tentu saja. "Sini biar aku obati."

CUP

Bibir bentuk hati itu mengecup hidungku mesra. Dapat kurasakan rasa panas yang kembali menjalar dipipiku. Ugh-…

"Bagaimana, sudah sembuh?" tanyanya sembari memamerkan deretan giginya yang berbaris rapi. "Kau harus bertanggung jawab, Pangeran U-Know!" seruku seraya meronta dalam rangkulannya.

"Bertanggung jawab? Aku harus bagaimana lagi, Boo? Aku sudah menjadi suamimu kurang lebih seminggu yang lalu. Aku harus bertanggung jawab seperti apa lagi?" tanya Yunho sedikit berlebihan dengan mimik wajah yang dibuat memelas sekaligus terluka. Persis seperti pemeran teater tragedi—di mana dia merupakan pihak lemah yang selalu tersakiti. Yunho tampak berlebihan.

Eeeeii~ aku jadi ingat masa-masa saat aku kecil dulu…

"Aku-"

"Kalian berdua! Hentikan opera sabun kalian yang menjijikan itu! Kalian membuat perutku mual," suara ketus Lovino membuyarkan teater drama kami yang—sebenarnya—baru saja dimulai. Hehe…

"U-Know, kau dan Ludwig dipanggil si-brengsek-tomat itu ke kabinnya. Dan kau-.." tunjuk lelaki bersurai coklat itu padaku, "-Kau ikut aku ke dapur. Waktunya membuat makan siang."

Lovino berlalu begitu saja setelah menyela obrolan kami. "Baiklah kalau begitu. Aku selalu heran dengan Antonio. Bisa-bisanya dia tahan dengan tipe pasangan seperti Lovino," ucap Yunho sembari menegakkan tubuhnya. Ia juga turut membangunkan tubuhku dari posisi duduk.

"Kekuatan cinta yang menguatkannya, kalau begitu," ucapku lirih. Tanganku menepuk pelan celana bagian belakang Yunho yang nampak sedikit lusuh karena duduk dengan sembarangan diatas geladak kapal—yang sebenarnya rajin dibersihkan setiap hari oleh Francis. Kemudian ganti membersihkan celanaku yang juga sama kusutnya.

Aku mendongak saat merasakan tarikan halus pada daguku. Yunho tersenyum lembut, penuh cinta. Seperti saat hari pernikahan kami. "Kuharap kekuatan cinta kita dapat menyamai bahkan melebihi cinta mereka, Boo."

Mau tak mau aku ikut tersenyum. Dengan semyuman cerah yang terpatri dibibir dan sedikit menjinjitkan kakiku—serta Yunho yang agak membungkuk ke arahku—bibir kami pun menyatu dan melekat begitu manisnya.

Aku dan Yunho sama-sama memejamkan mata. Meresapi sentuhan pada bibir yang sedang menyatu. Bibirku bergerak seirama mengimbangi hisapan bibir Yunho atas ciuman yang memabukkan. Lidahnya yang basah menari dipermukaan bibirku. Menyapunya dengan lembut dan bergairah.

Semuanya terasa sangat indah. Mereguk euforia yang bercampur menjadi satu dengan cinta yang kami miliki melalui kecapan bibir satu sama lain. Sangat indah sampai-…

BRAK

GEDEBRAK

GUBRAK

"BRENGSEK! KELUAR KALIAN DARI DAPURKU!"

KLANG

"Ouch!"

"Aw aw aw aw!"

"Aaaaaaaarrrgh!"

"Apa kau berniat bergabung dengan The-Bad-Touch-Trio, Maximus?!"

"Aaaaaaaa~ Ampuni kami, Lovi!"

"Apa yang kalian lakukan lagi, vee?"

"Diam kau, Feli!"

Ugh. Sungguh hari yang cerah…

.

.

.

.

.

Tanganku mengayun bersamaan dengan ayunan patah-patah yang diinstruksikan Changmin. Berlatih dasar permainan pedang sedikit sulit kulakukan. Namun aku harus bisa menguasainya—walaupun mungkin tidak akan semahir yang lain. Pedang milik Francis yang tengah kugenggam itu berayun kesana kemari sesuai yang Pangeran Max contohkan. Meski sesekali pemuda tinggi berambut hitam pendek itu memarahiku sesekali, tapi ia dengan berbesar hati mengajariku yang amatiran ini.

SRET

"Ya, gerakkan seperti itu. Perlahan saja, tidak usah terburu-buru," sahut Changmin. Tak lupa dibenarkannya posisi pedang yang ada ditanganku kini. "Miringkan sedikit agar sisi tajamnya tepat mengenai lawan," sarannya lagi.

Kuanggukkan kepala paham. Sore hari yang cerah ini memang waktu yang tepat untuk berlatih pedang. Ya-.. Sebenarnya hanya aku, Changmin dan Gilbert yang sedang berlatih. Sedangkan yang lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Yunho bersama Antonio dan Ludwig sedang membicarakan suatu hal penting di buritan kapal bagian atas. Sementara Lovino, Feliciano dan Francis tengah memasak makan malam di dapur.

TEK

Sedikit terlonjak saat merasakan kaki kiriku yang digeser secara paksa. Kulirik Gilbert yang memperhatikan posisi kakiku seksama. "Maaf. Tapi kuda-kudamu kurang lebar sedikit. Dalam posisi tadi, kau bisa dengan mudah dijatuhkan oleh lawan. Cobalah berlatih memantapkan kuda-kudamu. Posisi tubuh amat penting untuk menjaga keseimbangan saat bertarung," saran lelaki albino itu padaku.

Changmin mengayunkan serta menghentak pedangnya kedepan beberapa kali lalu memutarnya sekali dan menghentakkannya kembali. "Ikuti, Jae," titahnya. Aku hanya menuruti apa yang dia instruksikan. Setelah selesai menggerakkannya, baru 'lah Changmin dan Gilbert kembali menyerukan komentarnya. "Coba kau rasakan hentakan pedangnya. Tadi saat kau menghentak, pedangnya bergoyang-goyang. Itu bisa mengakibatkan seranganmu meleset atau bahkan tidak kuat menahan serangan lawan. Usahakan agar pedang itu menyatu dengan dirimu."

Perkataan Changmin membuatku semakin bersemangat. Aku jadi tidak sabar untuk belajar tahap selanjutnya. Waktu luang seperti ini memang enaknya dipakai untuk berlatih sesuatu yang baru, yang bermanfaat tentu saja. Gilbert kemudian mencontohkan beberapa posisi tubuh yang dianggapnya merupakan posisi strategis guna bertahan dan menyerang. Tak hentinya aku memperhatikan ajaran dua pemuda itu dengan seksama lalu kemudian berlanjut ke tahap praktik. Sesekali melayangkan pertanyaan jika ada suatu hal yang belum aku mengerti.

Tak terasa satu jam pun berlalu. Yunho turun dari buritan atas melalui tangga bersama dua orang lainnya. Yunho tersenyum kecil sebelum langkahnya menghampiri keberadaanku. "Latihan hari ini selesai. Kalian bisa melanjutkannya besok pagi-"

Pria itu menepuk pundakku lembut dan berujar, "Bersihkan dulu tubuhmu. Sebentar lagi makan malam."

Aku pun turut mengembangkan senyum padanya. "Iya," balasku. Selanjutnya yang kulakukan adalah turun ke kabin bawah dan langsung berbenah.

.

.

.

.

.

Kupandang langit malam cerah yang menaungi kami saat ini. Bulan sabit bersinar lembut ditemani ratusan bintang mengelilinginya. Biasanya, pada malam cerah seperti ini aku akan keluar dan mandi di air terjun. Itu dulu, saat aku masih tinggal di West. Tak banyak yang mengetahui kebiasaanku itu—karena memang aku selalu keluar secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah menceritakannya kepada orang lain.

Ah-… Aku jadi merindukan mereka. Kira-kira, apa yang sedang dilakukan oleh Alan dan Fred sekarang? Bagaimana dengan kabar semua teman-temanku di dapur?

Tarikan disudut bibirku tak bisa kuelak. Saat-saat menyenangkan itu kembali terbayang dibenakku. Meskipun rasanya di sana sangat menyiksa, tapi tetap tak bisa kupungkiri bahwa teman-temanku disana selalu ada untukku. Terlebih aunt Lily dan si kembar. Aku sangat merindukan mereka…

"Jangan melamun, Jae. Tidak baik," ujar seseorang dari belakang seraya menepuk bahuku. Aku menolehkan kepala, dan mendapati adik dari Lovino—Feliciano yang tersenyum ceria padaku. Kubalas senyum miliknya dengan hal yang sama hingga pemuda mungil itu mendudukkan dirinya di sampingku yang tengah duduk di buritan kapal menghadap lautan lepas.

"Kau tidak menemani Ludwig di atas sana, Feli?" tanyaku memulai percakapan. Feliciano menggeleng pelan, "Tidak, vee. Ludwig sedang sibuk dengan Antonio. Bahkan aku sampai diusir oleh mereka-" balasnya sambil menekuk wajah. Senyum geli terulas, "Mungkin memang pembicaraan yang sangat penting."

Feliciano menengadahkan kepalanya, menatap langit malam dengan kilatan mata takjub. "Malam ini sangat cerah. Bintang-bintang saja sampai berhamburan di atas sana. Tapi-…"

Aku memalingkan wajahku pada pemuda itu, "Tapi apa?" tanyaku penasaran. "Tapi biasanya hal ini yang perlu diwaspadai dari lautan. Laut menyimpan sejuta misteri yang tak akan pernah kauduga sebelumnya. Entah itu keajaiban atau bencana. Aku bahkan pernah mengalami beberapa kejadian aneh saat berlayar di samudera. Saat itu-…"

Aku mendengarkan cerita Feliciano dengan penuh perhatian. Sisi lain daripada Feliciano yang belum pernah kulihat—pemuda itu sebenarnya adalah seorang yang tangguh. Yang sudah mengecap asam-manis berkelana di lautan lepas.

Raut wajah terpana tak bisa kusembunyikan sepenuhnya dari pemuda manis itu. Cerita yang sungguh menakjubkan. Pantas saja, Pappy Joaquin sangat terobsesi dengan ekspedisi mengarungi samudera. Misteri dan keajaiban datang dari tempat ini.

Setelah berpuluh menit kami habiskan untuk bertukar cerita, datanglah Lovino dengan membawa sebuah keranjang kecil—yang aku tak tahu isinya apa. Ia duduk di samping sebelah kiriku—Lovino sebelah kanan. Dan akhirnya aku diapit oleh dua orang sama tapi berbeda usia dan kepribadian itu.

"Ini, aku bawakan sesuatu. Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan."

Terpaku beberapa detik saat melihat senyum tulus—walau kecil—yang pertama kali kulihat dari kakak Feliciano yang galak dan dingin. "Apa itu?" tanya Feliciano penasaran. Lovino pun membuka penutup keranjang—yang ternyata berisi beberapa potong roti isi dan kentang rebus. "Ambil saja apa yang kalian mau."

Tanganku terulur menuju keranjang tersebut. Mengambil sepotong roti isi lalu memakannya perlahan. Enak.

"Terima kasih," kataku. Lovino mengibaskan telapak tangannya, "Tidak perlu sungkan," balas kekasih Antonio itu.

"Kemana tiga orang itu, vee? Biasanya mereka akan seperti kucing kelaparan. Apa mereka tidak tahu kalau kau membuat makanan?" Lovino memajukan tubuh bagian atasnya sedikit guna melihat sang kakak secara jelas dari tempatnya duduk. Lovino menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Tapi tadi aku sempat melihat tiga orang itu naik ke kabin bersama U-Know."

Aku tertegun sejenak. "Apa 'tiga orang' yang kalian maksud itu Max, Gilbert dan Francis?" tanyaku dengan nada pelan. "Siapa lagi kalau bukan tiga penguntil itu, Jae," dengus Lovino seperti biasa.

Sunyi beberapa saat sembari menikmati potongan roti isi dan kentang rebus yang dibawakan oleh juru masak kapal ini. Memandang lautan lepas serta mendengar suara air laut diterjang kapal yang melaju. Feliciano bergumam tidak jelas sedari tadi. Sedangkan Lovino kembali menjadi dirinya yang dingin.

"Umm.. Apa kau dan U-Know pernah berhubungan intim, Jae?"

Uhukk-…

Kutepuk dadaku pelan untuk mengurangi rasa sesak yang tiba-tiba menyerangku. Aku yang tadi sedang enak-enaknya makan malah diberi pertanyaan seperti itu. Oh… Aku butuh air!

Segera kuteguk habis sekantung air yang disodorkan Lovino padaku.

Nafasku jadi sekidit memburu karenanya. Apa-apaan dia?!

"Kenapa kau membicarakan hal seperti itu?" sungutku terhadap pertanyaan konyol yang dilayangkan oleh pemuda aktif itu. Oh, tidak. Pipiku terasa memanas lagi.

Lovino terkekeh usil di tempatnya, "Kekeke-… Dari ekspresimu bisa kutebak jika kalian memang sudah melakukannya."

Hanya aku atau memang dua kakak-beradik ini memang tersenyum miring padaku sekarang. Bahkan kini dapat kurasakan rangkulan akrab dari Lovino—dan aku merasa ini sangat janggal.

"Tidak perlu malu-malu kucing seperti itu, Jae. Sudah wajar, kalian 'kan memang suami-istri," ucap Feliciano santai. Kedua tangannya menopang dagu dengan tatapan mata yang tertuju padaku.

GLEK

Aku menelan ludahku kasar. Kerongkonganku seketika mengering mendengar tiap rentetan kalimat yang diucapkan dua pemuda Vargas itu. Setelah beberapa menit menggodaku—memojokkanku lebih tepatnya, barulah aku—dengan berat hati—memberitahu mereka kapan dan di mana aku dan Yunho pernah berhubungan ehemintimehem.

Kedua mata bulat Feliciano berbinar mendengar kisahku yang kuceritakan dengan banyak potongan disana-sini. Tentu ada beberapa kejadian yang bukan untuk dikonsumsi orang lain. Hanya aku, Yunho, Tuhan dan rumput bergoyang yang mengetahuinya.

"Benarkah? Lalu-.. Apakah U-Know bisa mengalahkan Pangeran West itu?" tanya Feliciano dengan antusias. Aku pun mengangguk semangat, tak kalah antusiasnya dengan pemuda itu. "Tentu saja, Feli. U-Know adalah petarung yang hebat," ucap Lovino meyakinkan adiknya bahkan sebelum aku membuka suara.

"U-Know itu merupakan Panglima Perang di kerajaannya. Adalah hal yang wajar jika ia ahli memainkan pedang. Tapi-…"

Aku dan Feliciano memandang penasaran Lovino yang tiba-tiba memotong perkataannya sendiri. Alisku bertautan melihat Lovino yang bukannya melanjutkan perkataannya malah menyeringai padaku.

"Apa U-Know juga ahli bermain dengan 'pedang'mu?"

Oh, Ya Tuhan-…

Rasanya aku ingin menceburkan diri ke dalam air laut sekarang juga!

Aaaaaahh~ wajahku terbakar!

Aku menutupi wajahku—yang pastinya sudah memerah sempurna sekarang—menggunakan kedua tanganku. Menyembunyikannya sebisa mungkin dari olokan dua pemuda itu. Telingaku menangkap suara tawa keji mereka. Ugh.

"Kalian menyebalkan!" pekikku sembari menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri dengan kencang. Mencoba mengabaikan mereka yang semakin menyudutkanku.

"Jae, Jae, Jae! Aku juga akan menceritakan pengalamanku dengan Ludwig, vee~" celetuk Feliciano. Aku pun segera menghentikan gerakan konyolku saat itu juga. Ada yang lebih menarik ketimbang membalas ledekan mereka. "Baiklah. Ceritakan sekarang juga!" titahku.

Beberapa menit kami habiskan untuk berbincang akrab satu sama lain. Mengenal lebih dekat dengan bercerita pengalaman bersama pasangan masing-masing. Seolah tak ada kata malu diantara kami saat itu. Bahkan dengan berani, aku dan Feliciano memaksa Lovino yang notabene orang paling ganas di sini untuk menceritakan pengalamannya bersama sang Nakhoda kapal, Antonio. Derai tawa menghiasi obrolan kami bertiga. Mengenyahkan hawa dingin laut pada malam hari yang mulai menusuk kulit.

"Sesekali carilah posisi baru. Sensasinya akan terasa berbeda dan lebih nikmat," ucap Lovino tanpa malu-malu. Aku menganggukkan kepala mengerti. Sedangkan Feliciano hanya terkikik mendengar saran nista dari kakaknya tersebut.

"Sebenarnya aku dan U-Know baru melakukannya satu kali. Itu pun dalam keadaan yang kurang menyenangkan karena terasa seperti 'salam perpisahan'. Mungkin untuk yang selanjutkan akan membuatku sedikit canggung. Menurut kalian-… Aku harus bagaimana?"

Lovino melipat tangannya didada. Alisnya bertaut seperti memikirkan sesuatu yang berat. "Menurutku, sebaiknya kau lebih agresif padanya. Tapi itu juga tergantung bagaimana sifat dari suamimu itu di atas ranjang. Beberapa pria bahkan ingin selalu menjadi dominan pada setiap berhubungan. Jika seperti itu, kau mau tak mau harus tunduk padanya saat berhubungan. Karena biasanya, ia akan mengeluarkan kekuatan yang lebih besar-

"Akan tetapi-… Jika pria itu tipe yang romantis dan apa adanya, ia akan lebih menyesuaikan tingkat kenyamanan pasangan. Entah harus ia yang berbaring atau sang pasangan yang bergerak memuaskan dirinya," terang Lovino panjang lebar.

Sebenarnya, aku sendiri belum tahu bagaimana sifat Yunho di atas ranjang. Karena bagaimanapun juga, kami baru melakukannya sekali. Itu pun tidak dilakukan di atas tempat tidur. Posisinya pun-… Akh. Memalukan.

"Vee.. Berbicara tentang sensasi berbeda. Aku dan Ludwig pernah-" ujar Feliciano membuat atensiku teralih padanya. Feliciano melanjutkan perkataannya dengan wajah memerah, "Kami pernah melakukannya satu kali saat sedang banyak orang—maksudku semacam melakukannya sembunyi-sembunyi diantara banyak orang. Itu sangat memacu adrenalin! Dalam kenikmatan dan kewaspadaan sekaligus. Memang sangat beresiko, tapi sensasinya lebih menantang ketimbang di atas ranjang."

Membeku—mendengar Feliciano yang berbicara seperti itu tanpa beban. "Apa kalian tidak takut ketahuan, Feli?" Aku sedikit merinding memikirkannya. Bagaimana jika ternyata ada beberapa orang yang menyadari perbuatan mereka saat itu? Aku sendiri tidak yakin jika mereka bisa pulang ke rumah tanpa lecet sedikitpun.

Pembicaraan seputar hubungan antar kekasih itu terpaksa dibubarkan karena anggota lain yang mulai berdatangan. Sepertinya mereka sudah menyelesaikan urusannya.

Yunho mengembangkan senyumnya yang seksi padaku. Ugh-… Seksi? Oh, tidak. Aku mulai melantur karena obrolan tadi. Aku dan Vargas bersaudara pun beranjak dari tempat kami duduk. Menghampiri Yunho yang kelelahan. Terlihat dari gurat wajahnya yang seperti orang menahan kantuk. Barulah aku ingat, jika akhir-akhir ini Yunho memang kurang tidur.

"Tidur 'lah barang sebentar, Yun. Aku tidak mau kau sampai jatuh sakit," ucapku sembari mengusap pipinya yang agak tirus. "Temani aku kalau begitu."

Senyum terulas dibibirku mendengar jawabannya. "Tentu."

CUP

Sebuah kecupan manis mendarat didahiku, kecupan yang berasal dari Yunho. berselang beberapa detik setelah melepaskan kecupan singkatnya, tangan kekar Yunho merangkulku dan membawaku melangkah ke kabin bagian dalam kapal.

Namun sebelum masuk, lebih dulu aku menoleh pada teman-teman yang lain untuk mengucapkan selamat malam. Dibalas dengan ucapan yang sama oleh mereka sebelum aku dan Yunho benar-benar melangkah turun ke bawah.

Yunho menarik tubuhku untuk ikut berbaring disampingnya. Merebahkan tubuh yang mulai terasa pegalnya. Rasanya nyaman.

Cahaya temaram lilin menghiasi ruang peristirahatan. Membangun suasana yang menghangatkan pada malam hari. Yunho meraih jemari tanganku lalu menautkannya pada belitan jemari tangannya sendiri. Sedang aku hanya terdiam menunggu aksi suamiku itu selanjutnya. Memandang kosong pada tautan jemari kami dan merasakan remasan lembut disana.

Deritan pelan ranjang memecah keheningan. Pria bermata tajam serupa mata rubah itu mengubah posisi rebahannya yang semula terlentang menghadap ke atas menjadi berhadapan denganku.

"Kenapa belum tidur?"

Suara lirih yang kuperdengarkan padanya membuat kedua mata serupa mata rubah itu beralih menatapku. "Aku belum mengantuk, Boo. Apa kau mengantuk? Kalau kau ingin tidur, tidurlah. Aku akan menemanimu sampai kau terlelap sebelum pergantian jaga malam."

Aku merengut tak puas dengan jawaban Yunho. "Kau yang butuh istirahat, Yun. Lihat, matamu kelihatan lelah sekali," kataku seraya mengelus bagian bawah kelopak matanya menggunakan ibujariku. Senyum manis kembali mengembang dibibir bentuk hati milik Yunho. "Terima kasih sudah memperhatikanku. Lagi pula aku sudah terbiasa. Kau jangan berlebihan, aku hanya butuh membaringkan punggungku sejenak."

"Kau ini keras kepala sekali-"

Pria itu malah terkekeh senang. Menyebalkan.

"Kau tahu, kau terlihat semakin manis saat marah seperti ini. Aku jadi gemas," kelakarnya dengan ibujari dan jari telunjuknya menjawil daguku jahil. Kutepis tangan jahil Yunho itu pelan. "Hentikan. Jangan mulai lagi-.."

Kekehan Yunho malah berubah menjadi suara tawa lumayan kencang—yang semakin terdengar menyebalkan ditelingaku. "Kau sangat lucu, Jae!" serunya masih tertawa. Kemudian kedua telapak tangan besarnya beralih menangkup kepalaku lalu menariknya perlahan menuju sisi depan wajah tampan milik lelaki tersebut.

Kucebilkan bibir padanya—kebiasaanku jika merasa sebal pada sesuatu atau seseorang. Perlahan, suara tawa Yunho pun tenggelam seiring waktu berjalan. Goncangan pelan kapal yang melaju menerjang lautan luas menemani kesunyian yang tiba-tiba melanda.

Sedang aku hanya dapat terpaku. Menyelami kedalaman tatapan mata Yunho yang menghujam tajam tepat dimataku. Telapak tangannya masih menempel di tiap sisi kepalaku. Aku jadi sedikit memikirkan ukuran kepalaku sendiri. Hanya dengan dua telapak tangan Yunho saja bisa menangkup sempurna. Ukuran kepalaku yang kecil atau memang ukuran telapak tangan Yunho saja yang kebesaran? Entahlah.

CUP

Dapat kurasakan kecupan basah didahi seperti di atas tadi. Yunho mengecupnya teramat lembut—hingga aku sendiri dapat meresapi kelembutannya sampai memejamkan mataku. Nafas hangat Yunho menerpa bagian depan wajahku. Kubuka kembali kelopak mataku hanya untuk mendapati tatapan penuh arti lagi dari suamiku.

Termangu beberapa saat karena tatapannya, sesekali berkedip meredakan luapan rasa hangat yang mulai menjalar dipipiku. Ujung hidung miliknya dan milikku beradu. Menggesek tiap ujung lembutnya dengan nafas yang saling membaur satu sama lain. Masih dengan tatapan yang terhubung, melemahkan setiap persendian yang membuat lututku bergetar.

"Aku mencintaimu," bisikan Yunho membuatku semakin meleleh dalam rengkuhannya. Tubuh kami semakin berhimpit, meniadakan jarak diantaranya. Sementara jemariku mencoba bermain helaian rambut hitam pendek suamiku untuk kemudian turun menjelajah pada punggung kekarnya.

Aku memejamkan mata sesaat kala bibir Yunho memberikan kecupan ringan bertubi-tubi pada bibirku. Sekilas, memori itu kembali berkelebatan didalam pikiranku. Tentang kalimat yang Vargas bersaudara utarakan padaku agar percintaan tak terlalu kaku dan canggung; aku harus bisa mengimbangi permainan yang disungguhkan oleh suamiku, pasanganku sendiri.

Kembali kubuka mataku saat merasakan jari-jari Yunho yang mengusik keberadaan kancing pakaianku. Karenanya, tubuh kami sedikit merenggang dan aku dapat melihat dengan jelas raut wajah Yunho yang menggoda. Aku sendiri hanya diam, menunggu aksi selanjutnya yang Yunho berikan terhadapku.

"Jae-…" gumamnya dengan nada tersendat.

Aku menggigit bibir bawahku pelan. "Ya?"

Lirikan mata Yunho membuatku membeku seketika. Bulu kudukku meremang tiba-tiba kala perasaan hangat dan panas sekaligus bergairah itu membakar tubuhku. "A-aahh.." desahku lirih saat kedua ibujari pria itu mengelus seduktif dua benda menegang yang tersemat didadaku. Mataku masih terkunci dengan tatapan rubahnya. Dengan nafas yang memburu kencang bak kehilangan udara untuk bernafas.

Tubuhku makin bergetar saat Yunho langsung menyambar bagian leherku. Mengecupnya lembut namun lama-kelamaan berubah menjadi lumatan dan hisapan hangat di sana.

Sadar-sadar, kini posisiku dan Yunho telah berganti dari semula. Terlentang bebas dengan tubuh besar nan kekar Yunho ada di atasnya. Ringisan kecil meluncur dari mulutku saat merasakan sebuah gigitan yang begitu kencang berasal dari leherku. Tetapi kemudian rasa sakit itu dialihkan begitu saja oleh rasa nyaman yang Yunho berikan lagi padaku. Yakin jika esok hari akan nampak bintik-bintik merah dileherku. Aku mendelik melihat pakaian bagian atasku yang entah sejak kapan terlepasnya tergeletak di samping lenganku.

"Eummmbhh-.."

Rasa sakit dibibir tak aku pedulikan. Aku menlonjak tanpa sadar kala Yunho menghisap dadaku tiba-tiba. Hawa dingin yang sempat aku rasakan kini tidak ada lagi—tergantikan dengan rasa panas yang menyesakkan dada.

Kucoba membuka kedua mataku yang terasa lengket akan genangan air mata. Wajah Yunho tepat berada dihadapanku sekarang. Ia tersenyum, senyuman yang sangat memikat dan melambungkan naluriku.

"Kau suka, Boo?" tanyanya pelan bagai bisikan. Kuanggukkan kepala sebagai jawaban tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirku. Pandanganku sedikit memburam karena genangan air mata. Dengan lembut Yunho menyeka kelopak mataku. "Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

Kulingkarkan tanganku dipundak lebar miliknya. Meraihnya dalam pelukan. "Aku juga mencintaimu, Yunh-.."

.

.

.

.

.

"Aaah… Akh."

Gigiku menancap pada bahu bidang Yunho. Pria itu kini tengah menggerakkan pinggulnya dengan lincah dibawah sana—mempertemukan bagian bawah kami yang menyatu padu menjadi satu. Masih dengan punggungku yang menempel di atas kasur serta dadaku yang bertabrakan dengan otot tubuh solidnya yang perkasa.

Rasa panas antar tubuh menyulut gairah, bergelora hingga membuncah dalam dada. Hentakkan kuatnya membuat mataku berkunang-kunang—tak kuasa menahan segala kenikmatan yang Yunho suguhkan.

"Yunh-.. Tunggu—mmmhh—sebentar.."

Yunho pun menghentikan gerakannya kala kudorong dada bidang dan berototnya pelan. "Ada apa, Boo?"

Ingin mencoba posisi baru, sahutku dalam hati. Namun aku tak berani mengutarakannya. Aku malu.

"Berbaringlah-"

Pria itu kemudian mencabut tubuhnya yang semula menyatu denganku—menyuarakan desahan pelan yang mengalun dari bibirku yang terbuka. Raut kebingungan tercetak jelas diwajah Yunho. Sedangkan aku sendiri mencoba untuk bangun dari berbaringku.

Setelah berhasil menguasai tubuhku yang terasa pegal—terutama bagian bawah tubuhku, aku pun dengan segera menindih tubuh Yunho dibawahku. Pria tersebut malah menahan pinggangku yang bahkan belum menyentuh pahanya. "Ah—hei. Apa yang akan kaulakukan? Kau tidak berniat untuk jadi yang 'di atas', 'kan?" tanya Yunho sedikit panik. Aku tersenyum geli melihat tingkah lucunya. Dia pasti mengira yang tidak-tidak.

"Tentu saja tidak, Yun. Kau suamiku-" kataku untuk menenangkan dirinya seraya menyentuh tangannya yang menahan pinggang kecilku. Tangan kananku yang bebas segera meraih kejantanan Yunho yang berdiri tegak.

Oh, ini pertama kalinya aku menyentuh benda itu. Terasa keras dan kokoh juga hangat dalam genggamanku. Ukurannya bahkan lebih besar dari milikku.

Yunho bergerak gelisah. Aku menggigit bibir bawahku saat telingaku menangkap suara desahan berat Yunho. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Sambil berpikir untuk kelanjutannya, kugerakkan tanganku yang menggenggam kejantanan Yunho naik dan turun. Licin.

Dan akhirnya aku memutuskan untuk melakukan hal yang ada dikepalaku. Mungkin memang begini caranya.

Masih dengan menggerakkan tangan kananku, kuangkat tubuhku menggunakan kedua lutut. Maju perlahan sampai bagian bawah tubuhku bersinggungan dengan kejantanan pria bermata serupa rubah itu.

SLEB

"MMMMHHHH-.. Ssssshh.. Ah!"

"Aaaaaaaahh-"

Kami sama-sama memekik nikmat tatkala tubuhku menyatu kembali dengan tubuh Yunho secara sempurna. Lemas menghampiriku seketika, membuatku tak kuat menegakkan tubuhku sendiri. Dan selanjutnya kuletakkan kedua telapak tanganku didada bidang Yunho guna menopang tubuhku yang sedang menyesuaikan diri kembali.

Beberapa menit berlalu. Yunho mencium bibirku dengan lembut, menyalurkan segenap cinta yang ia miliki padaku. Tubuh kami berdua bergerak pelan, seirama. Menikmati suasana panas dan romantis yang tercipta dengan cahaya temaram lilin yang membuat suasana semakin syahdu.

Tak mau kalah, aku pun menggodanya lewat gerakan memutar pinggangku. Yunho memperdalam ciumannya, melumat dan mengulum belahan bibirku dengan lihai. Aku tersenyum dalam hati mendengar geraman nikmat yang Yunho keluarkan.

Lidah panas Yunho menari-nari dalam mulutku. Mengaduknya lalu menjamah lidahku untuk ia ajak bertarung. Lelehan saliva mengalir dari sudut bibirku. Tak peduli itu ludah siapa.

.

.

.

.

.

BRUK

Nafas yang saling bersahutan berderu setelah puncak kenikmatan melanda. Aku menghela nafas panjang sebelum melirik ke arah Yunho yang juga sedang mengatur nafasnya. "Kau lelah?" tanyanya tepat satu detik sebelum aku membuka mulutku.

Aku menggumam pelan sebagai jawabannya. Yunho mengamit kepalaku mendekat ke arahnya dan kemudian mengecup dahiku lembut. "Maaf-" ucapnya lirih.

Seperti waktu itu, aku ingat. Setelah kami memadu kasih untuk pertama kalinya tempo hari, Yunho juga meminta maaf padaku saat ia membawaku ke kamarnya. Oh, jantungku kembali berdetak kencang mengingatnya.

"Tidurlah. Aku akan membersihkan tubuhku lalu naik ke atas untuk jaga malam," ujarnya lalu mencium bibirku sebelum benar-benar beranjak dari tempat tidur dengan tubuh yang masih polos tak berbalut pakaian. Aku memperhatikannya dengan seksama. Yunho berjalan ke sudut ruangan di mana peti pakaiannya ada di sana. Meraih sehelai kain selimut dan menyelimutiku yang masih berbaring lemas di tempat tidur dengan kain tersebut.

Setelahnya, pria itu kembali ke tempat petinya berada. Membuka tutup peti dan mengambil satu setel pakaian bersih miliknya. "Tidurlah." Yunho menghampiriku lagi dan mengecup dahiku. Pria bermata serupa mata rubah itu akhirnya melangkahkan kaki keluar dari ruang peristirahatan. Mungkin pergi ke kamar mandi. Tapi-.. Ya, ampun. Dia masih telanjang. Semoga tidak ada yang memergokinya saat melintas di bawah tangga. Hihi

Oh-.. Aku tersenyum geli dan kemudian memejamkan mataku dalam tidur.

.

.

.

.

.

Aku tidak bisa tidur.

Selama beberapa menit aku hanya berguling-guling tidak jelas di atas tempat tidur—mencari posisi tidur yang nyaman namun tak kutemukan juga. Mataku bahkan masih segar, tidak ada rasa kantuk sedikitpun meski tubuhku pegal luar biasa karena aktivitas tadi.

Dengan terpaksa aku beranjak dari tempat tidur. Tidak mengindahkan perkataan Yunho tadi yang menyuruhku untuk tidur. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sedang tidak mengantuk. Dan dari pada diam di sini tanpa seorang pun menemani lebih baik aku naik ke atas menemani Yunho. Siapa tahu Yunho juga sama kesepiannya saat ini.

Tanganku bergerak mengambil sehelai kain yang tadi kujadikan selimut untuk kemudian kukenakan guna menutupi tubuh polosku. Kubuka tutup peti pakaian lalu mengambil pakaian bersih yang akan kupakai nanti setelah membersihkan tubuhku yang terasa sangat lengket.

Waktu yang kuhabiskan untuk membersihkan tubuh tidak terlalu lama. Aku tidak seperti Yunho yang mandi saja butuh waktu hingga satu jam.

Aku menahan rasa sakit yang berdenyut dibagian bawah tubuhku. Menaiki tangga adalah usaha yang melelahkan dalam kondisi seperti ini. Tapi akhirnya aku sampai di atas dengan keadaan selamat.

Huftt..

Aku menghembuskan nafas berat. Pandanganku kemudian berkeliling melihat keadaan. Kenapa sepi?

Aku menautkan alisku tak mengerti. Biasanya mereka berkumpul di sini, membuat api unggun kecil dengan sebuah alas khusus di tengah geladak kapal. Tapi nyatanya sekarang tidak ada apa-apa. Bahkan Yunho pun tak ada. Kemana mereka?

Seluruh kabin gelap gulita. Hanya cahaya bulan yang tidak begitu terang yang memberikanku pengelihatan dalam tempat gelap ini.

Terus aku bertanya-tanya dalam hati. Tidak mungkin 'kan, aku ditinggalkan seorang diri di kapal ini—di tengah lautan luas yang aku tak tahu di mana.

Seketika rasa panik menghampiriku. Oh, ayolah-.. Siapa yang tidak panik dalam keadaan seperti ini?!

Aku tersentak saat melihat sebuah kilauan cahaya berwarna hijau terang tiba-tiba muncul dari ujung kapal. Kupicingkan mata untuk memperjelas pandanganku. Di sana, terdapat sebuah bayangan yang menyerupai seseorang. Aku kenal dengan bayangan itu. Itu Yunho!

Tersenyum sumringah, dengan segera kulangkahkan kaki menghampiri Yunho. Hampir sampai.

TAP

Aku terkejut saat merasakan kakiku menginjak sesuatu, tapi aku tidak melihat apa-apa.

"Yun?" panggilku pada sosok yang tengah membelakangiku itu. Kulangkahkan kaki pelan menghampirinya. "Kemana semua orang? Dan kenapa-… Semuanya gelap?"

Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dihatiku. Merasa tidak familiar dengan sosok mirip Yunho itu. Aku harus waspada!

Sosok itu berjalan ke depan, kemudian berhenti di ujung buritan kapal. Cahaya hijau itu bergerak mengikuti langkah Yunho. "Kau mau kemana, Yun?" sahutku pada sosok lelaki itu. Aku mendekatinya. Tanganku terulur untuk meraih tepian pakaian yang dikenakannya. Namun-…

GREP

"JAE, APA YANG KAULAKUKAN!?"

Sentakan dan teriakan yang kukenal membuyarkan semua pemandangan yang tadi sempat kulihat. Jantungku berpacu. Terkejut bukan main saat melihat yang sesungguhnya—aku berada di ujung kapal, nyaris menjatuhkan diri ke laut! Bahkan sebelah kakiku sudah melayang di udara.

Yunho, seseorang yang memelukku dari belakang itu menarik tubuhku dari sana. Membawaku ke tengah kapal. Ia membalikkan tubuhku secara paksa. Matanya melotot padaku. Namun gurat kekhawatiran tersirat pada wajahnya yang tanpa sadar membuatku menitikkan air mata dalam diam.

"Kau tidak apa-apa, Jae?" tanyanya dengan telapak tangan yang mengusap pipiku lembut. Kupeluk tubuh pria itu dengan erat. Rasa takut menyelubungiku. Apa yang sudah kuperbuat tadi?

"Ini, minumlah dulu, vee-.." suara Feliciano menginterupsi. Pemuda itu menyodorkan sebotol minuman yang Yunho terima lalu meminumkannya padaku.

"Sudah baikan?"

Kuanggukan kepala. Melihat sekeliling yang ternyata terang benderang oleh obor-obor kecil dan api unggun. Tak lupa semua anggota kapal yang tengah mengelilingiku kini. "A-apa yang telah terjadi, Yun?"

Yunho tidak menjawab. Ia hanya mengusap puncak kepalaku. "Duduklah dulu," ucapnya. Kemudian semua pun mengikuti perkataan Yunho. Suamiku itu membawaku ke depan api unggun dengan anggota lain yang mendudukkan diri mengelilinya.

"Sebelumnya, aku minta maaf karena tidak sempat memperingatkan hal ini padamu, Jaejoong. Kau tadi terkena ilusi. Sepanjang wilayah ini memang memiliki daya magis yang lumayan kuat. Kau tadi terkena magis ilusi itu dan hampir menceburkan diri ke laut. Aahh-.. Itu sangat berbahaya! Maafkan aku-.." kata Antonio sembari menangkupkan kedua tangannya di depan, meminta maaf.

"Dasar bodoh," celetuk Lovino dan Changmin bersamaan.

"Sudah, tidak apa-apa. Tidak perlu diributkan. Yang terpenting sekarang Jaejoong ada di sini bersama kita dengan keadaan selamat," ucap Yunho menenangkan yang lainnya sembari merangkulkan tangannya dipunggungku. Kecupan hangat yang familiar kembali kurasakan.

"Sial. Tadi itu hampir saja-"

Feliciano memotong perkataan Gilbert. "Untung tadi Max berteriak kencang, membangunkan semua orang."

"Iya. Tadi teriakannya kencang sekali. Aku yang tidur di atas saja bisa mendengarnya sangat jelas," timpal Ludwig.

Changmin mendengus pelan, "Jelas saja aku berteriak sekencang itu. Jaejoong menginjak perutku keras sekali. Rasanya bahkan masih berdenyut hingga sekarang."

Aku tersenyum dengan raut wajah bersalah, "Maaf."

"Sejak awal melihat Jaejoong keluar dari kabin, aku sudah merasa aneh. Dia memandang kapal dengan raut wajah kebingungan. Kebetulan aku sedang ada di kabin paling atas, jadi aku melihat semuanya. Tadi kudengar kau sempat memanggil-manggil namaku. Aku ingin menghampirimu tapi kau terus berlari. Sampai saat kau menginjak Max, baru aku bisa menghampirimu. Kupanggil-panggil, tapi kau hanya menatap kedepan sambil terus berbicara. Sebenarnya apa yang kaulihat?"

Mata Yunho berkilat tajam, membuatku gugup dibuatnya. Aku menelan ludahku pelan sebelum menceritakan semua yang tadi kulihat. Tentang keadaan kapal yang gelap gulita juga tentang sosok menyerupai Yunho yang kulihat. Menceritakan semuanya sampai tuntas.

Yunho bahkan memarahiku yang nakal karena tidak menuruti perintahnya untuk tidur. Aku merengut mendengar omelannya.

"Sudah, U-Know. Sebaiknya kau temani Jaejoong tidur, jaga dia. Dan yang lainnya, tetap waspada dan jaga kesadaran kalian masing-masing. Jangan sampai ilusi itu memperdaya kalian. Sebentar lagi fajar, kuharap kalian bisa menggantikan U-Know berjaga malam ini. Sementara aku dan Ludwig akan berdiskusi dulu." Antonio memberikan intruksi pada kami. Sebagai nakhoda—Kapten Kapal, tentu ia mempunyai wewenang penuh akan hal ini.

Semua melaksanakan perintah sang Nakhoda kapal. Yunho berbaringkan tubuhnya disampingku dan mendekapku dalam pelukan hangatnya. Tak lama kemudian, kantuk menjemput. Kami pun tertidur di geladak kapal dekat api unggun yang masih setiap menyala—menghantarkan rasa hangat pada tubuh ditengah hawa dingin lautan. Dengan beralaskan selembar kain dan diselimuti mantel tebal milik Yunho, menggapai tidur tanpa mimpi.

.

.

.

.

.

TRANG

Changmin tersenyum menyebalkan padaku. Pedang hasil meminjam dari Gilbert yang sedang dipegang oleh pemuda bergelar Putera Mahkota itu beradu dengan pedang milik Francis yang kugunakan, menimbulkan suara yang cukup nyaring karena gesekan dua benda tajam tersebut.

Aku menyentak pedangku lumayan keras, hingga membuat diriku dan Changmin mundur beberapa langkah. "Bagus, Jae. Pertahankan!" sahut Gilbert tak jauh dari kami memperhatikan.

Pagi ini kami—aku, Changmin dan Gilbert kembali berlatih pedang. Kembali mempertajam asahan kemampuanku menggunakan pedang.

Satu minggu telah berlalu semenjak kejadian itu—kejadian di mana aku terkena ilusi dan nyaris menjatuhkan diri ke laut lepas. Sudah enam hari pula berlalu setelah kami melewati laut mediterania. Antonio dan Ludwig benar-benar pintar. Mereka mencari jalur teraman untuk dilewati di wilayah mediterania tanpa diketahui oleh para perompak. Meski pada satu waktu kami bertemu perompak dalam koloni kecil, tapi itu tak menjadi masalah. Kapal ini jauh lebih besar ketimbang kapal para perompak berkulit hitam itu. Terlebih Antonio yang menjadi nakhoda kapal ini. Dan disaat itu barulah aku mengetahui jika nama Antonio Carriedo dan The Bad-Touch-Trio sangat dikenal oleh kalangan perompak di wilayah mediterania.

Changmin memutar-mutar pedangnya seakan benda itu ringan dalam genggamannya. Bibir itu masih menyunggingkan senyuman menyebalkan yang ia layangkan padaku. Aku memutar mataku jengah. "Perhatikan lawanmu, Jae. Sebisa mungkin mentalmu harus kuat. Lawan akan menjatuhkan mentalmu sebelum menyerangmu secara langsung. Entah itu dari tatapan atau perkataan. Yang pasti, jangan lengah!"

"Baik, aku mengerti," balasku. Kami maju beberapa langkah secara bersamaan. Changmin mulai menganyunkan pedangnya. Beberapa kali aku mencoba untuk menghindar dan menangkis serangannya.

Ke atas; menghindar.

Ke bawah; tangkis.

TRAK

"Coba serang, Jae. Ayunkan dan tebas!" Gilbert berseru. Aku menatap tajam Changmin yang makin melebarkan senyumannya. "Serang aku, cantik."

TWICH

Eugh. Tak ada boleh yang menyebutku cantik! –Selain Yunho-

TRANG TRANG TRAK

Kuayunkan pedang yang kugunakan dengan segenap tenaga yang kupunya. Changmin yang menahannya saja sampai terdorong beberapa langkah ke belakang. "Kendalikan emosimu, Jae!" sahut Changmin sambil terus menangkis seranganku. "Jangan bilang kalau kau takut, Pangeran Max!" seringaiku mengembang.

"Terus serang dia, Jae! Tadi dia menyebutmu 'cantik'!"

"Jangan terus menprovokasinya seperti itu, Gil!" pekik Changmin pada pemuda albino itu. Sementara di sana, Gilbert tertawa usil dengan tangan tersilang didepan dada. Aku terus menyerang Changmin. Pandanganku meliar guna mencari titik lengah dari pemuda tinggi itu.

Lengan-

Perut-

Pinggang-… Aha!

SRET

BRUGH

Aku meringis pelan merasakan pukulan lumayan keras yang mengenai pundakku, nyaris ke tengkuk. Tubuhku jatuh menelungkup seperti roti isi. Ah, sudah begini aku jadi malas untuk bangun.

"Hei, Jae. Ayo bangun," Changmin menggoyangkan bahuku pelan. Aku menggerutu sebentar sebelum menerima uluran tangan Changmin untuk bangun. Kutepuk pakaianku yang sedikit kusut karena terjatuh tadi.

"Lain kali, jangan terlalu terpaku pada satu titik. Lawanmu akan menerima keuntungannya. Buktinya tadi ada sebuah celah terbuka. Padahal kau yang menyerangku terus-menerus. Huft-.. Tadi itu hampir saja. Ternyata kau memang sangat merepotkan," cerocos Changmin sarkastik. Kuusap pundak sebelah kiriku yang masih terasa sakit. "Jadi begitu… Maaf sudah hampir melukaimu-" ucapku.

"Hei, kalian berdua. Tadi itu mengejutkan sekali. Aku tidak menyangka kalau Jae dapat menyerang Max seperti tadi. Menurutku kau itu memang tipe murid yang cepat belajar, Jae. Kau harus lebih banyak berlatih. Emosimu masih belum stabil," ucap Gilbert—hampir sama dengan apa yang tadi diucapkan Changmin.

Kami bertiga pun beristirahan di bawah pilar tengah geladak. Membicarakan seputar latihan ini dan cara-cara jitu untuk menjatuhkan lawan hingga hal-hal konyol yang diangkat menjadi topic pembahasan oleh dua orang itu.

Aku tertawa mendengar gurauan Gilbert. Mengalihkan sejenak dari mereka berdua saat tertawa. Namun dari kejauhan, mataku melihat sebuah kapal besar yang berlayar ke arah kapal kami. Baru saja aku akan memberitahukan hal ini pada Gilbert dan Changmin, Ludwig sudah lebih dulu turun dari pilar pemantaunya. Pemuda bersurai pirang yang ditata ke belakang itu menghampiri kami. "Gil, Max, ambil peralatan kalian. Ada kapal yang mendekat dari arah timur."

Mendengar ucapan Ludwig, kami pun dengan sigap beranjak dari duduk santai kami lalu mengangguk paham sebelum membubarkan diri.

Beberapa menit berlalu. Tampak Yunho berjalan menghampiriku dengan tangannya yang menggenggam sebilah pedang. "Apa kita akan baik-baik saja?" tanyaku. Yunho hanya memasang senyumnya dan menjawab, "Kukira begitu. Sebenarnya kapal itu tidak terlihat asing bagiku. Tapi tetap saja kita harus waspada."

Aku menatap cemas padanya. Masih dengan senyum yang tertera diwajah tampannya, Yunho mengamit tanganku dan menariknya menuju buritan ujung kapal untuk melihat lebih jelas.

Antonio bertolak pinggang, "Sepertinya itu kapal milik seorang pedagang kaya dari Timur Tengah. Bisa dilihat dari ukiran kayunya, ciri khas sekali," Antonio berujar. "Sepertinya memang begitu. Lebih baik kita tunggu saja," ucap Francis menimpali.

Tak lama kemudian, kapal asing itu sudah berada di samping kapal kami. Anehnya, Antonio malah memerintahkan Gilbert dan Francis untuk menurunkan jangkar. Kugenggam tangan Yunho erat, agak takut sebenarnya. Apalagi saat enam hari yang lalu bertemu langsung dengan perompak membuatku sedikit gentar. Raut wajah mereka sangat menyeramkan, lebih menyeramkan dari Davith dan Edmund jika dipadukan!

Nampak Gilbert—yang dengan beraninya—mendekat ke sisi kapal yang berhadapan langsung dengan kapal asing berwarna putih gading dan berornamen bebatuan kecil beraneka warna. "Selamat siang, Tuan-tuan," sapa Gilbert pada beberapa orang lelaki di kapal asing tersebut.

Seorang pria dewasa bertubuh tinggi besar maju ke depan dan balas menyapa Gilbert, "Selamat siang juga, anak muda." Senyum ramah terpatri di sana.

Aku terpaku melihat pakaian yang mereka kenakan. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pakaian saudagar yang pernah kulihat. Tetapi ini berbeda, ada sebuah kain panjang yang menggulung dikepalanya hingga menutupi rambut secara keseluruhan. Juga ada sebuah batu berwarna biru tersemat di sana, tepat di atas kening sang pria. Pria itu selain terlihat ramah, juga nampak sangat berwibawa.

"Bagaimana dengan secangkir teh merah, anak muda? Aku baru mendapatkannya dari tenggara. Kuharap kau mau menerima tawaranku ini."

Nakhoda kapal kami, Antonio, maju dan berdiri di samping Gilbert. "Tentu, Tuan Abdul. Dengan senang hati kami menerimanya."

.

.

.

.

.

"Ah, jadi kalian sempat dihadang oleh kelompok perompak di Mediterania?"

"Tidak tepat di wilayah itu, sebenarnya. Kami mengambil jalur memutar dan kebetulan bertemu dengan koloni kecilnya."

Aku terus memperhatikan pria itu. Pria dewasa yang ternyata adalah seorang pedagang kaya dari Timur Tengah, Tuan Abdul—seperti yang Antonio katakan tadi. Kami semua di undang untuk minum teh sekaligus makan siang di kapal asing itu.

"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi, Tuan Carriedo. Sudah lima tahun berlalu," ucap Tuan Abdul seraya mengusap janggut tebal miliknya. "Ah-.. Aku juga tidak menyangka akan menemukan dua orang pewaris tahta kerajaan Toho di sini. Apa yang sebenarnya membawa kalian sampai sejauh ini?"

Yunho dan Changmin tersenyum aneh. "Anda pasti ingat dengan perkataan mendiang Ibu Suri beberapa tahun yang lalu saat Anda terakhir kali mengunjungi kerajaan Toho untuk mengantarkan ramuan obat-obatan dari tenggara," ujar Yunho penuh misteri. Mendatangkan sebuah tanda tanya besar dikepalaku. Apa itu tentang perkataan mendiang ibunya perihal 'jodoh yang jauh tapi dekat' itu, hm?

Tuan Abdul terkekeh mengerti dengan arah pembicaraan Yunho. "Panggil aku seperti biasa, Yunho. Aku ingat. Waktu itu, aku membawakan beberapa ramuan obat dan rempah-rempah yang kudapatkan dari Nusantara. Aku mengenal mendiang ayah dan ibumu dengan baik, Pangeran U-Know—dan aku mengerti. Apa itu kekasihmu?" tunjuk Tuan Abdul padaku yang duduk di samping Yunho. Aku mengerjapkan mataku cepat dan mencoba tersenyum ramah pada pria dewasa itu.

"Namaku Jaejoong. Senang bertemu dengan Anda, Tuan Abdul-.."

Mencoba menetralkan rasa gugup yang merasuki diriku, namun gagal—tetap saja terdengar dari suaraku yang agak bergetar.

Derai tawa kembali terdengar dari saudagar Timur Tengah itu. "Tidak perlu canggung seperti itu, nak. Yunho sangat beruntung mendapatkanmu. Kau sangat cantik."

Oh, entah kenapa aku sangat merasa tersanjung di sini.

"Terima kasih," ucapku sembari kembali memamerkan senyum yang kini tak lagi canggung.

Waktu siang yang cerah ini kami habiskan untuk bercengkrama satu sama lain. Selain Tuan Abdul, beberapa awak kapal yang ada di sana pun bersikap sangat ramah kepada kami. Dengan cepat keakraban itu menyatu dengan kami.

Makan siang yang disuguhkan pun terasa lezat sekali. Rasanya berbeda dengan makanan-makanan yang pernah kurasakan sepanjang hidupku ini. Changmin saja makan dengan sangat lahap—ya… Walaupun tidak jauh berbeda seperti biasanya. Tapi ini lebih lahap lagi daripada biasanya.

"Ehm-.. Apa kau suka masakannya, Jae? Juru masak kapal ini memasakkan masakan yang spesial hari ini."

Senyumku menyambut pertanyaan pria dewasa itu, "Tentu. Rasanya sangat lezat, paman."

Paman? Ah, Tuan Abdul sendiri yang menyuruhku untuk memanggilnya begitu, Yunho dan Changmin juga.

Menu utama berganti dengan makanan penutup yang tak kalah spesialnya. Aku tercengang saat salah satu pelayan di sana memberikanku semangkuk kecil makanan kenyal menyerupai kudapan. Kuambil sesendok makanan penutup itu. Emmm… Rasanya sangat lezat, tak kalah lezat dengan makanan utama tadi! Perlahan rasa hangat menjalar dilidahku. Padahal tadi kudapan ini dingin. Tapi kenapa-… Ini sangat menakjubkan!

"Kau suka rasanya, Jae? Makanan penutup ini dicampur dengan beberapa rempah. Hangat yang kau rasakan itu berasal dari rempah. Aku dapat menebak jika kau tipe orang yang rajin dan pandai memasak. Kau bisa bertanya lebih lanjut pada juru masakku. Tetapi setelah makan siang selesai."

Ucapan paman Abdul bagai angina segar bagiku. Aku pun mengangguk senang, "Terima kasih, paman!"

Tak terasa waktu sudah menunjukkan petang hari. Hari ini terasa sangat menyenangkan bagiku. Mendapatkan keluarga baru, makan makanan spesial dan bahkan aku mendapatkan resepnya langsung dari sang juru masak! Ah~ Paman Abdul dan semuanya sangat baik padaku.

Kami mengucapkan banyak terima kasih pada paman Abdul beserta semua awak kapal yang berada di sana. Kulihat Yunho yang masih mengobrol dengan paman Abdul di tengah geladak. Tanpa sungkan, segera kuhampiri mereka berdua.

"Ah, Yunho—satu lagi," tahan paman Abdul sesaat sebelum Yunho dan aku berpamitan.

Pria dewasa itu kemudian meminta kami untuk menunggu beberapa saat sementara ia berjalan masuk ke dalam kabin. "Ada apa?" tanyaku pada Yunho yang hanya dibalas dengan kedikan dibahunya.

Tak lama kemudian, paman Abdul kembali dengan membawakan sekantung kecil dedaunan kering didalamnya. "Sebenarnya, sedari awal aku sudah tahu jika Jaejoong itu adalah seorang lelaki. Memang, wajahnya yang cantik dan menawan itu dapat menipu mata. Namun jika diperhatikan, ia tetaplah seorang lelaki-.."

Perasaanku seketika bergemuruh. Aku takut jika pria dewasa yang sudah Yunho anggap pamannya itu tidak menyetujui hubunganku dengan Yunho. "Aku baru ingat, seorang tabib sakti dari Nusantara pernah memberikanku sekantung ramuan khusus yang diracik olehnya. Berasal dari tanaman langka yang hanya tumbuh tujuh-puluh tahun sekali-" jelas paman Abdul. Aku menaikkan alisku tak mengerti dengan arah pembicaraannya.

Senyum ramah kembali mengembang di wajah saudagar Timur Tengah itu. "Tentu aku tidak mendapatkannya secara cuma-cuma—satu peti safir, emerald dan ruby imbalannya."

Apa dia sedang mempromosikan dagangannya pada kami?

"Ini-.. Aku berikan untuk Jaejoong; cuma-cuma, tak usah membayar. Anggap ini hadiah pernikahan dariku," ujarnya sembari menyerahkan kantung ramuan itu padaku.

Tapi-… Dari mana ia tahu tentang pernikahan kami? Padahal tidak ada satu pun dari kami yang menyinggung hal itu, tidak sama sekali. Kulirik Yunho yang nampak santai dan malah memperlihatkan senyumannya. "Seperti biasa, paman. Sangat tepat," ucapnya kembali penuh misteri.

Paman Abdul terkekeh, "Tentu, Yunho. Semakin tua, semakin menjadi," kelakarnya. Dilanjutkan dengan suara tawa pria dewasa itu dan juga Yunho yang ikut tertawa. Aku memiringkan kepalaku bingung dengan situasi yang terjadi. Jujur, pembicaraan mereka tidak terserap secara sempurna dikepalaku.

"Aku tidak tahu itu ampuh atau tidak—ramuan ini bisa membuat seorang lelaki yang dibuahi mengandung. Minumlah dalam keadaan panas tiap lima hari sekali sebelum kalian berhubungan suami-istri. Memang akan terasa sangat sakit dalam perkembangannya. Tapi hal itu tidak akan sebanding dengan hasil yang akan kalian peroleh."

Entah sudah berapa kali aku tercengang hari ini.

Tuhan-… Apa ini nyata?

Kalaupun mimpi, tolong jangan pernah bangunkan aku. Selamanya…

.

.

.

.

.

JREEEENG~ Hehe :D *ditampol reader*

Maaf, Vans membagi sequel ini menjadi dua bagian karena beberapa hal, mohon dimaklumi u.u *deep bow* Part II akan segera menyusul, ganti setting di kerajaan Toho.

Jangan lupa review ne ^^ *tebar ketjoepan*