"Notre"

Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Rated : T

"Kami tidak mendapatkan keuntungan komersil macam apapun atas cerita ini."

.

.

Story by :

Alice Klein and Suki Pie

.

.

.:: Cerita 4 : Akashi Seijuurou hanyalah Akashi Seijuurou ::.

.

[Biarkan aku di sini.]

.

.

.

At Night

Mari sebut Aomine Daiki itu bodoh. Atau kurang kerjaan—ya, apapun itu terserah.

Sebenarnya, ia bukan tipe orang yang akan tertegun ketika melihat seseorang yang dikenalnya menangis, seperti perangainya yang bisa dikatakan jauh dari peraturan, Aomine pasti akan menertawakannya atau sedikit memberi sindiran dan mengatakan bahwa seorang laki-laki itu tidak pantas menangis.

Namun, begitu ia dihadapkan oleh seorang Akashi Seijuurou—yang notabene bersifat dingin, sinis, dan tertutup—mau tak mau Aomine harus tertegun, terkejut begitu mendapati satu pemandangan yang tidak pernah dipikirkannya. Akashi menangis? Hell, entah karena dirinya yang mengantuk atau karena dunia hampir kiamat, satu dari sekian perasaan di hatinya menolak untuk percaya.

Dan bodohnya, mengapa jantungnya harus berdegup kencang begitu melihat Akashi menangis? Mengapa simpul saraf di otaknya memaksa Aomine harus ikut merasa sendu menatap wajah polos yang tertidur itu?

Terlepas dari status dan kemampuan intelejensinya yang tinggi, Akashi tetaplah seorang remaja labil yang sedang menghadapi masa-masa kuliahnya. Yang berusaha bersikap tegar di depan semua orang yang tidak boleh melihat kelemahannya. Tetapi untuk malam ini, tepat di hari Aomine Daiki menemukan sisi lain dari seorang Akashi Seijuurou, kelemahan itu terpaksa harus keluar dan melesak lewat air matanya.

Jujur saja, Aomine tak tahu harus melakukan apa dalam keadaan seperti ini. Ia tidak mungkin membiarkan Akashi tertidur di meja semalaman, bisa-bisa seluruh otot tubuhnya akan kaku ketika bangun nanti. Tapi, membangunkan pemuda merah saat ini juga bukanlah hal yang baik. Entah bagaimana reaksi Akashi nanti ketika tahu Aomine melihatnya menangis.

"Merepotkan…" Aomine menghela napas panjang, mengembuskannya cepat dalam satu tarikan napas. Ia melempar selimut tipis yang diambilnya tadi secara asal, menunduk sedikit untuk menyamakan posisi berdirinya di depan Akashi, setelah itu mengangkat satu tangannya hanya untuk meraih wajah damai yang tertidur itu.

Tidak, Aomine tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh. Ia hanya membawa satu jemari telunjuknya untuk mengusap pelan sudut kelopak mata Akashi yang basah. Berusaha menghapus jejak kristal-kristal bening yang setia menggantung selama Akashi tertidur. Tidak lebih. Kecuali untuk keping matanya yang tanpa sadar tidak bisa teralihkan pada paras berambut merah itu.

Mata, hidung, bibir, dan rahang tegas, semuanya sempurna.

Sial! Mengapa Aomine malah memandangnya lama seperti ini? Sadarlah! Pemuda merah itu pasti membencinya setengah mati jika ketahuan ia mengamatinya cukup lama.

"Oi, Akashi. Bangun, Akashi!"

Entah dari mana Aomine berhasil menemukan kembali suaranya, satu tangannya pun refleks menyentuh bahu Akashi dan mengguncangnya sedikit keras. Berharap bangun dalam keadaan linglung dan Aomine tidak perlu menjelaskan perihal kelakuannya tadi.

"Uhm? Daiki, itu kau?" perlahan, kelopak mata itu terbuka. Akashi mengerjapkan mata beberapa kali, mengusap belakang kepalanya yang terasa pening ketika ia menegakkan tubuh dalam usaha pengumpulan nyawanya yang tertidur.

"Y-ya," jawab Aomine ragu, melirik Akashi yang sedang sibuk mengusap sebagian matanya. Degup jantung laki-laki biru itu kembali berulah, harap-harap cemas dan memastikan bahwa sudut mata Akashi tidak lagi basah dan mengeluarkan air mata. Aomine berharap ia berhasil menghapus jejaknya sampai benar-benar kering dan bersih. "Kau tertidur…" jeda sejenak, satu tangannya menggaruk tengkuk dengan canggung, "…cukup lama, Akashi."

"Oh." Singkat, sepertinya Akashi tidak sadar dengan tidurnya tadi. "Jam berapa sekarang?"

"Err … tengah malam."

"Hm," Akashi bangkit berdiri, membereskan beberapa buku dan alat tulis, lalu disimpan dengan rapi (bahkan dalam keadaan setengah sadar pun, Akashi tetaplah ingat akan peraturannya sendiri). Ia menutup mulut sejenak sambil menguap, setelah itu berjalan dengan langkah gontai ke arah tempat tidur.

Aomine mendesah panjang, perasaan lega membanjirinya begitu Akashi tidak sadar bahwa sesaat sebelumnya ia tertidur sambil menangis. Setidaknya, Aomine tidak perlu menyiapkan beberapa alasan untuk dikatakan pada Akashi seandainya pemuda itu bertanya.

"Sedang apa kau di situ, Daiki?" suara Akahi terdengar pelan, sangat pelan. Mungkin alam sadarnya belum terkumpul dengan penuh. "Cepat tidur."

Tanpa ucapan terima kasih dan selamat malam? Oh, baiklah, lagipula Aomine bukan tipe-tipe melankolis yang harus mendapat perhatian lebih jika tidur begitu larut malam. Akhirnya ia menyerah, tanpa mengganti dahulu pakaian dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Aomine mengikuti instruksi Akashi dan mendekati tempat tidurnya. Dan ia memang lelah, sepertinya.

"Daiki,"

Satu alis Aomine tarangkat, menatap punggung Akashi yang sudah berbaring dan tertutupi selimut tipis. Rupanya pemuda itu belum benar-benar tertidur.

"Terima kasih."

Dan frasa singkat yang terucap dari bibirnya itu membuat Aomine membelalak. Meninggalkan sepi dan hening di sekeliling atmosfer kamar asrama mereka. Meninggalkan kerutan tidak mengerti yang tercetak samar di sudut pelipis Aomine. Meninggalkan satu pertanyaan yang melintas secara mendadak dalam benaknya yang random.

Entah karena dibangunkan, atau karena menghapus jejak air matanya, Aomine tidak mengerti Akashi mengucap kata terima kasih lebih ke arah yang mana.

.

.


.

.

At Morning

Akashi merasa aneh dengan pagi ini.

Bukan, bukan karena tubuhnya yang tiba-tiba serasa pegal dan kepalanya yang mendadak berat. Ia hanya merasa aneh dengan teman satu kamarnya, ya, ia yakin ada yang aneh dengan Aomine Daiki pagi ini.

"Ada yang salah denganmu," itu bukan pernyataan, sebenarnya. Dan pernyataan datarnya itu cukup berhasil menarik perhatian Aomine dari kegiatan rutinnya ketika pagi hari sebelum berangkat ke kelas untuk mengikuti materi kuliah.

"Aku tidak mengerti maksudmu, hahaha," balas Aomine, diikuti suara tawa yang terdengar aneh dan mencurigakan. Ia sama sekali tidak berpikir sikapnya itu akan semakin mengundang rasa penasaran Akashi. "Mungkin aku terlalu semangat untuk hari ini?"

Pemuda merah itu tidak menghiraukannya, sedikit membuat Aomine keki dibuatnya. Akashi yang bertanya lebih dulu, dan ketika Aomine menjawab dengan jujur, kenapa ia jadi diabaikan seperti itu? Benar-benar, sebenarnya Akashi Seijuurou itu maunya apa, sih?

"Kau pasti akan terkejut jika tahu kenapa aku bisa semangat hari ini," lanjut Aomine sambil menyunggingkan cengiran lebar. Ia sengaja melakukan itu untuk mencairkan suasana yang terasa canggung baginya. Entah mengapa kejadian kemarin malam membuat Aomine tidak bisa lupa. Rasanya menyiksa.

"Aku tidak tahu dan aku tidak ingin tahu."

"Tch, dingin sekali kau."

"Kau yang terlalu menyebalkan, Daiki."

"Lihat adik kelas yang tidak sopan ini," Aomine mendengus, tangannya menarik ikatan ransel kuat-kuat lalu berderap sebal ke arah rak sepatu. "Dan omong-omong, aku merasa semangat hari ini karena kita berdua akan menghabiskan waktu di kelas yang sama, Akashi."

Astaga, itu tidak penting, sungguh. Akashi bahkan tidak pernah berharap bisa satu kelas dengan laki-laki dim pengidap kleptomania terhadap udang itu. Tidak, tidak, dan tidak. Akashi tidak bisa membayangkan bagaimana situasinya nanti jika Aomine berada di kelas yang sama dan malah membuat onar terhadap dosennnya nanti. Bisa-bisa ia juga ikut dipermalukan.

"Aku tidak sudi satu kelas denganmu."

Cengiran Aomine luntur seketika. "Ap—hei, Akashi!"

Pintu asrama dibuka dengan cepat, lalu dibantingnya asal sebelum akhirnya Aomine menahannya dengan cekatan. Akashi tidak peduli ketika Aomine berteriak memanggil namanya terus menerus. Hari ini ia tidak ingin kelihatan bersama laki-laki urakan itu. Titik.

Namun Akashi juga tahu bahwa Aomine tidak bisa dikatakan satu kali untuk berhenti, dan seperti dugaannya, laki-laki itu mengejarnya sepanjang lorong asrama. Lihat kan, belum berada di kelas yang sama saja, Aomine sudah bertingkah. Ia mempercepat langkah, berbelok di tikungan dan berjalan dengan terburu-buru. Akashi bahkan mengabaikan sapaan Mayuzumi ketika bertemu, ia hanya mengangguk singkat agar tata krama tingginya tetap terpakai.

"Akashi, berhenti!"

Sial. Si bodoh itu belum menyerah ternyata.

Hingga langkahnya sampai pada beberapa anak tangga, Akashi sedikit memelankan langkah agar tidak membuat kesalahan fatal. Namun tubuhnya tetap bergerak lincah seiring teriakan Aomine yang semakin mendekat. Akashi mengutuk anak-anak tangga itu yang membuat langkahnya terasa lambat.

Satu, dua, tiga… satu, dua, tiga… satu, dua—

"Aka—OI!"

Lalu semuanya terjadi begitu cepat.

Anak tangga yang berbayang. Jalanan mendadak licin. Pening yang tiba-tiba menyerang.

Akashi merasa tubuhnya melayang sebelum sesuatu yang tegas menahan punggungnya, menarik lengannya.

"Ck! Kau ... bukankah sudah aku bilang untuk berhenti, Bakashi?!"

Suara dengan nada tegas itu menyadarkan Akashi dari lamunan sesaatnya. "Kau … bisa lepaskan aku sekarang," Bahkan ia tetap menjaga keangkuhannya. Well, Akashi sebenarnya masih mencerna apa sudah terjadi tadi.

Ia hampir jatuh dan diselamatkan oleh Aomine. Lagi.

Aomine langsung melepaskan genggamannya pada lengan pemuda merah tersebut. "Dasar, setidaknya perhatikan langkah—"

"Aku minta maaf ..." Kepala merahnya tertunduk. "... Daiki."

Aomine terpaku di tempat. Ia tidak salah dengar? Akashi Seijuurou mengucapkan permintaan maaf? Seharusnya Aomine senang karena sang adik kelas menjadi lebih sopan padanya. Namun justru karena hal itu, Aomine yakin ada yang salah pada diri Akashi.

Sebelum Aomine sempat membalas, Akashi segera angkat kaki dari sana. Namun, kali ini lebih tenang dan menjaga langkahnya agar tidak terpeleset untuk kedua kalinya.

(Atau ketiga kalinya bila terpeleset dari atas gedung fakultas juga dihitung.)

Dan di sana, Aomine terdiam sambil terus menatap punggung Akashi yang semakin lama semakin jauh. Sosoknya seolah tertelan, menghilang dari balik pintu besar asrama.

"Hei, tidak baik kau melamun seperti itu."

Suara yang akrab di telinganya. "Oh, Chihiro," Aomine sedikit terkejut dengan kedatangan Mayuzumi. "Maaf, aku hanya..."

"Aku mengerti maksudmu," Mayuzumi menghela napas. "Sebab sejak awal, aku memang merasakan ada yang tidak beres dengan pemuda itu."

Aomine memilih untuk diam dan mendengarkan.

"Aku paham kalau semua orang bebas memilih pilihannya," Mayuzumi berucap datar. "Dan yang kita miliki di sini ... pemuda dengan tingkat kecerdasan luar biasa yang memilih masuk ke kampus biasa. Bahkan aku tidak akan kaget mendengar seorang Akashi Seijuurou bisa lulus dengan nilai cumlaude dalam waktu singkat."

Pemuda iris navy itu tertegun. Baru kali ini ia mendengar Mayuzumi berbicara panjang lebar seperti tadi. Biasanya pemuda jurusan teknik kimia sekaligus kepala asrama itu hanya akan memberi komentar singkat yang sinis.

"Tapi dengan keadaan itu, bukankah terdengar ... tidak wajar?"

Ada keheningan di sana dan keduanya juga tampak tidak tertarik untuk berbicara. Baik Aomine maupun Mayuzumi sepertinya lebih memilih untuk fokus pada pikiran masing-masing.

"Oh, lihatlah waktunya," ujar Mayuzumi seraya melihat penunjuk waktu pada pergelangan tangannya. "Kau dan aku akan terlambat jika hanya diam di sini saja."

Mayuzumi meniti anak tangga satu per satu sebelum akhirnya berhenti, "Satu pesanku," Kemudian badannya berbalik, menatap Aomine dengan manik abu-abunya, "Jaga Akashi. Aku rasa, ia perlu bantuanmu."

.

.


.

.

Satu menit tepat sebelum bel (bukan bel sesungguhnya sebetulnya, cuma alarm yang sengaja Aomine pasang pada jam tangannya). Fuh, terkadang Aomine bersyukur karena kecepatan larinya bisa disetarakan seekor cheetah yang lapar. Karena dengan begitu, ia tidak akan terkena ceramahan dosen tercintanya akibat terlambat masuk kelas.

Dan kini, di sinilah ia. Di dalam kelas—sebuah auditorium besar, lebih tepatnya—yang sudah hampir penuh dipenuhi oleh mahasiswa maupun mahasiswi.

Ck, kalau padat dan ramai seperti pasar begini, pertanyaannya sekarang adalah Aomine harus duduk di mana?

Manik biru tua seperti samudera itu beredar. Ah! Itu ada satu tempat yang kosong. Dewi Fortuna masih sayang Aomine Daiki, ternyata.

Tapi sebentar ... matanya tidak salah lihat 'kan kalau bangku kosong itu ada di sebelah Akashi Seijuurou?

Oke, coret kalau Dewi Fortuna sayang Aomine. Dewi Fortuna nyatanya lebih senang melihat Aomine menderita dan disiksa lahir batin.

Aomine menelan ludah. Kenapa harus di samping adik kelasnya yang sedang dalam kondisi labil itu? Ya, jujur Aomine masih canggung kalau harus bertemu dengannya dalam waktu dekat ini. Mengingat kecelakan tadi pagi di asrama, entah bagaimana Aomine harus mengawali pembicaraan dengan Akashi.

Apakah Aomine harus menyapanya sambil menepuk pundak? Sambil mengacak-acak asal surai kemerahan itu? Atau menyapa dengan panggilan sayangnya? (Jangan salah paham. Panggilan sayang yang Aomine maksud itu 'Bakashi'.)

Tidak, tidak, dan tidak. Aomine lebih memilih untuk bersikap biasa-biasa saja. Natural dan alami. Menjadi Aomine yang serampangan dan bodoh, dengan begitu ia akan baik-baik saja.

Semoga.

"Y-yo, Akashi! Apa kabar?" Ugh, kenapa kau malah menanyakan kabar, Ahomine?! Jelas-jelas baru tadi pagi kau bertemu dengannya.

Akashi yang semula sempat melamun, sedikit terlonjak dengan kedatangan Aomine, "Daiki, apa yang kau lakukan di sini?"

"Untuk kuliah. Memangnya apa lagi?" Jawab Aomine sekenanya.

"Bukan itu maksudku. Kenapa kau duduk di sini? Carilah tempat lain."

Aiish, kejam sekali Tuan Muda satu ini. "Hanya tempat ini yang aku lihat masih kosong. Jadi jangan banyak perintah, oke?" Aomine meletakan bukunya di atas meja dan duduk di samping Akashi.

Dengusan kesal terdengar. "Terserahlah," Akashi membalas datar.

Tidak lama seorang pria paruh baya memasuki ruangan. Salah satu dosen yang Aomine tandai sebagai yang tidak terlalu killer di antara dosen fakultas manajemen lainnya. Tidak pernah memberi kuis mendadak dan jarang marah-marah. Ya, walaupun begitu tugas-tugas yang diberikan cukup untuk membuat mahasiswa didikannya sebelum mendapat gelar sarjana, terlebih dahulu mendapat gelar sebagai pekerja rodi.

Setelah memberi salam dan mengabsen peserta yang akan mengikuti kuliahnya (hal ini agar meminimalisir praktik titip absen yang biasa dilakukan oleh beberapa mahasiswa), sang dosen pun memulai pelajarannya. Statiska.

Aomine membuka buku catatannya dan mencatat hal-hal yang tengah diterangkan oleh sang pengajar. Berusaha membuat mind map besar. Tidak lupa bagian yang penting ia tandai dengan pulpen bertinta merah. Sub bab diberi warna yang berbeda supaya materinya mudah ditemukan.

Jangan tanya kenapa ia bisa begitu rapi mencatat. Ini karena ia tidak mau terlihat berantakan di mata Akashi Seijuurou yang kini duduk tepat di sebelah kanannya (Aomine punya pride yang tinggi untuk bersaing dengan Akashi). Biasanya ia hanya mencatat seadanya, tanpa warna-warni bertebaran.

Omong-omong soal Akashi, Aomine jadi penasaran bagaimana cara si merah itu menyimak pelajaran di kelas. Siapa tahu dengan meniru caranya, Aomine bisa ikut-ikutan jenius.

Biru tua itu mengintip diam-diam dari ujung mata. Alat-alat tulisnya tergeletak begitu saja. Kepala merah itu pun tampak tersembunyi di antara kedua lengannya, tidak ada gerakan lain selain tubuhnya yang naik-turun akibat bernapas.

Hee, ia tidak salah lihat kalau Akashi tengah tertidur di kelas?

Aomine makin keki. Mentang-mentang sudah pintar jadi tidak usah mendengarkan pelajaran. Sombong sekali.

Aomine menoleh dan sedikit berbisik, "Hei, Akashi jangan tidur di—" Mata Aomine terbuka lebar ketika menangkap sosok Akashi di depannya. Kenapa banyak butir-butir peluh di pelipis Akashi? Dan ia baru sadar kalau napas Akashi bergerak dengan tidak teratur.

Terlintas sebuah pemikiran di kepala Aomine. Dengan sigap punggung tangannya langsung ia letakan di kening Akashi. Aomine berjengit tatkala suhu panas menyerang sensor perabanya. Tidak salah lagi kalau pemuda itu kini tengah terserang demam.

Tanpa berpikir panjang—dan tanpa mempedulikan banyak mata kini memperhatikannya (termasuk sang dosen yang bertanya-tanya karena ulahnya menginterupsi pelajaran)—Aomine mengangkat tubuh Akashi dan beranjak dari ruang kelas. Membawanya keluar dari kelas dan setidaknya membiarkan Akashi istirahat di asrama adalah pilihan yang tepat sekarang.

Sambil berlari, sesekali ia melihat wajah Akashi yang kini tengah berada dalam gendongannya.

"Berhenti untuk menutup diri seperti itu, Akashi." Ucap Aomine pelan—atau panik? Entahlah.

.

.


.

.

At Noon

Delima itu membuka perlahan. Beberapa kali mengerjap untuk membiasakan cahaya yang masuk. Ia berusaha menerka di mana keberadaannya sekarang. Untunglah ia ada di dalam kamar asramanya sendiri. Tapi bukannya sebelum ini ia tengah mengikuti kuliah? Lalu kenapa tiba-tiba ia sudah di sini?

Ia berusaha berpikir, namun kepalanya terasa sangat pening dan rasanya seperti mau pecah. Tidak hanya itu, tubuhnya juga seperti tidak memiliki kuasa untuk bergerak. Ia pun mengigil walaupun selimut tebal sudah menyelimutinya.

"Kau sudah siuman, Akashi?"

Akashi menoleh ke sisi kanan ranjangnya. Ada sosok pemuda bersurai kehijauan yang sedikit acak-acakan dan kacamata yang bertengger tidak dengan semestinya.

"Shintarou," bahkan berbicara saja membutuhkan banyak tenaga. "Tidak seperti biasanya kau terlihat berantakan."

Midorima Shintarou mendengus. "Setidaknya saat kau sakit, kau bisa berhenti mengucapkan kalimat sinis seperti itu, Akashi."

Alis Akashi naik sebelah. "Sakit?"

"Iya, lebih tepatnya flu dan demam tingginya menyebabkan kau pingsan tadi."

Akashi menatap Midorima semakin bingung.

"Jadi kau tidak ingat kalau kau hilang kesadaran saat kuliah berlangsung?" Tanya Midorima.

"Tidak, sepertinya aku tidak ingat." Akashi berhenti sebentar. Kepalanya menjadi pusing karena memaksakan diri untuk berbincang. "Apa yang kau lakukan di kamar asramaku?"

"Aomine. Dia datang ke kamarku dan menyuruhku untuk memeriksa keadaanmu. Mendengar itu, aku langsung buru-buru kemari," Midorima membetulkan letak kacamatanya. "Padahal hari ini aku sengaja ingin beristirahat seharian karena tidak ada jadwal kuliah."

Oh, pantas saja. Itu menjelaskan kenapa penampilan pemuda penyuka ramalan bintang ini terlihat begitu berantakan.

"Dan omong-omong dia juga yang membawamu ke asrama," Jelas Midorima lagi. Entah kenapa, Akashi menangkap nada acuh pada perkataannya.

Rupanya Aomine yang membawanya ke asrama. Mungkin (kalau ingat) setelah sehat nanti, Akashi akan mengucapkan terima kasih padanya. "Souka. Lalu sekarang di mana Daiki?" Akashi hanya penasaran saja karena tidak menemukan pemuda tan itu di kamarnya.

"Aku menyuruhnya untuk mengambil beberapa obat dari ruang kesehatan," jawab Midorima. Iris hijau itu menangkap pergerakan bibir Akashi yang ingin mengutarakan pertanyaan lagi, "Simpan pertanyaanmu untuk lain waktu. Lebih baik sekarang kau istirahat."

"Jangan memberiku perintah, Shintarou."

"Itu bukan perintah, tapi nasihat dari seorang dokter agar pasiennya cepat sembuh."

"Kau bukan dokter."

"Nyatanya seorang psikolog bisa disebut dokter jiwa, Akashi."

Akashi memijat pelan pelipisnya, "Cukup. Kepalaku jadi makin sakit, Shintarou."

Midorima menghembuskan napas berat. "Istirahatlah. Aku akan menunggu di sini sampai kau benar-benar tertidur."

Akashi tidak mudah menuruti perintah orang lain (bahkan saat sakit, sifat keras kepala dan absolutnya tetap ada). Namun mendengar ucapan Midorima semula, memang ada benarnya juga. Ia sedang sakit, otak dan raganya butuh banyak istirahat.

Tidak butuh waktu yang lama, kedua kelopak matanya diserang rasa kantuk. Ia berpikir sejenak darimana ia dapatkan rasa kantuk ini padahal ia belum meminum obat apapun sedari tadi?

Ah, berhentilah membebani pikirannya sendiri. Untuk kali ini saja, tanpa alasan rumit yang berbelit-belit, mungkin ia dapat menganggap kalau dirinya lelah.

Sangat lelah.

.

.


.

.

At Evening

Sebelum Midorima pamit untuk kembali ke kamarnya, pemuda bertubuh jangkung itu sempat memberitahu perihal keadaan Akashi pada Aomine. Ia mengatakan kalau Akashi sempat bangun dan memutuskan untuk tidur lagi karena merasa pusing.

Mendengar kabar itu, Aomine bisa sedikit bernapas lega. Berarti tugasnya setelah ini adalah menunggu Akashi bangun lagi untuk memberinya obat pereda demam. Untuk sekarang, ia hanya akan memberi Akashi kompres air hangat.

Aomine duduk di sebelah ranjang Akashi dan meletakan handuk kecil hangat di kening Akashi. Ia juga menyeka butiran keringat yang membasahi wajah rupawan itu.

Sebenarnya baru kali ini Aomine merawat orang lain yang sakit. Mengingat ia adalah anak semata wayang di keluarganya dan biasanya saat sakit sang ibu yang merawatnya. Sehingga saat ia mengetahui kalau Akashi sakit, jujur saja Aomine jadi agak panik dan langsung meminta bantuan Midorima Shintarou yang ia kenal sebagai mahasiswa psikologi juga rekan Akashi semasa SMA.

Aomine menghembuskan napas panjang. Ternyata lelah juga kalau harus menjaga orang sakit.

Pemuda dengan helaian rambut biru tua itu memandang Akashi yang masih tertidur. Wajahnya terlihat damai. Napasnya sudah sedikit teratur meskipun masih memburu. Aomine baru tahu kalau orang seperti Akashi dapat sakit juga. Ia pikir virus flu takut pada pemuda seperti seorang Akashi Seijuurou.

(Akashi juga 'kan manusia, Aomine Daiki.)

Ah, Aomine tiba-tiba teringat pada masalah yang akhir-akhir ini tengah membebani Akashi. Mungkinkah akibat masalah itu Akashi jadi jatuh sakit? Entahlah. Tapi yang jelas seperti yang telah diutarakan Mayuzumi, Akashi membutuhkan seseorang yang dapat memberinya dorongan. Seseorang yang dapat menemaninya dan tidak akan meninggalkannya, terlepas kalau Akashi adalah orang yang selalu terlihat mandiri dan tegar.

Akashi Seijuurou—selayaknya orang lain juga—hanya seorang remaja yang sedang meniti jalan menuju kedewasaannya dan butuh bimbingan.

"Ugh…"

Aomine tersadar dari lamunannya, "Akashi, kau sudah—"

Kalimat Aomine menggantung tatkala Akashi meraih telapak tangannya dan menggenggamnya erat. Tubuh kecil itu bergerak gelisah dalam tidurnya yang membuat Aomine dapat mengindikasikan kalau Akashi mungkin tengah bermimpi buruk.

Aomine jadi merasakan ada rasa sakit di dadanya saat melihat Akashi. Titel seorang anak muda dengan kemampuan otak yang luar biasa, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, ditambah anak yang keras kepala seolah luntur seketika. Kembali lagi Aomine dipertegas jika Akashi Seijuurou hanya pemuda biasa yang butuh perhatian.

"Akashi…" Satu tangannya yang bebas ia pergunakan untuk mengelus helai kemerahan itu. Memberinya sentuhan perlahan, berharap dengan begitu setidaknya dapat membuat Akashi merasa nyaman dan menghilangkan rasa sakitnya meskipun hanya sedikit.

Jika saat ini ada yang dapat langsung mengabulkan keinginan Aomine, ingin sekali Aomine meminta agar dapat mengetahui isi dari mimpi buruk yang tengah dialami Akashi Seijuurou. Mungkin dengan begitu Aomine dapat membantu untuk mengusirnya—atau kalau bisa menendangnya jauh-jauh—supaya Akashi tidak perlu lagi merasa sakit seperti ini.

Genggaman di tangannya semakin kuat. Akashi enggan melepaskannya seperti seorang anak kecil yang takut kehilangan sang ibu dari sisinya.

"Jangan… pergi… Kaa-san…"

Gerakan tangannya yang mengelus kepala Akashi mendadak berhenti. Pemuda yang menjadi senior Akashi itu terhenyak, membeku di tempat. Sejenak, Aomine dapat merasakan rasa kesepian dan kesedihan pada ucapan—atau igauan—Akashi.

Bibir Aomine terangkat ke atas membentuk kurva tipis, gerakan yang semula terhenti kini kembali memberi kenyamanan, "Aku tidak akan pergi, aku akan selalu di sini," bisik Aomine di dekat telinga Akashi.

Kalimat dari beberapa silabel itu terus Aomine bisikan. Seperti melantunkan sebuah lullaby penghantar tidur, berulang-ulang hingga gelap menjelang. Dengan harapan pemuda bersurai merah tersebut dapat terlelap dengan tenang.

Tangan mungil yang kontras dengan warna kulitnya pun terus mengerat, semakin tak mau untuk dilepaskan. Seolah menjadi perantara yang kasat mata, lewat telapak tangan dingin itu, sedikit demi sedikit Aomine bisa mengerti.

Akashi Seijuurou bukanlah orang yang seharusnya ia takuti maupun yang ia segani.

Akashi Seijuurou hanyalah Akashi Seijuurou, pemuda yang butuh seseorang untuk menemaninya berbagi suka dan duka kehidupan, pemuda yang butuh seorang teman.

'Kalau begini, mau tidak mau aku harus terus menjaga Akashi, 'kan?'

.

.

.

To Be Continued


A/N :

Thank's for : Letty-chan19, Keys13th, neechan, Aoki, kurohime, Kamui-Hime to Kazeko-Kishi, AzuraLunatique, Zhang Fei, 46Neko-Kucing Ganteng, NekoPanda, sei heichou buat review di chapter sebelumnya yaaa~

Alice's Note :

Holaa~ Alice ucapkan terima kasih buat yang udah baca, fave, follow, sama review :) Terus minta maaf karena lama pubblih, terutama buat yang sering teror Alice X'D

Suki's Note :

Haloooo~~~ Aaaaaa, udah lama gak mampir ke akun ini/ngesot. Manalagi kayaknya notre udah bulukan, ya? :'3 hahahaha. Ya, ceritanya perang sedikit udah selesai, kekeke #staph. Btw, terima kasih bagi yang sudah membaca chapter sebelumnya dan chapter ini ya XD Mudah-mudahan masih ada yang suka *wink* Terima kasih juga sudah review~ sini, sini, kasih pelukan dulu :3

Akhir kata,

review please? *tebar kertas ujian*