Tittle : The Stone of Heaven

Main Cast : Byun Baekhyun and Park Chanyeol

Rate : T

.

.

.

Ingatan pertama Baekhyun setelah berada di Rumah Sakit untuk menjalani operasi yang kedua kalinya adalah seorang lelaki bermata bulat yang tiba-tiba menatapnya dengan berkata "Apakah kau baik-baik saja?" di samping tempat tidurnya beberapa detik setelah Baekhyun sadarkan diri.

Seolah mengingat kejadian waktu itu, Baekhyun menggeleng beberapa kali. Ia menggenggam batu yang di berikan oleh Chanyeol, laki-laki yang tiba-tiba masuk dalam ruang inapnya tanpa meminta ijin padanya saat itu.

Batu kerikil berukuran tak lebih dari tiga centi itu di letakkannya di atas antara dua buah batu yang lebih besar beberapa centi dari batu itu. Meja di samping tempat tidur Baekhyun hanya ada batu-batu kerikil pemberian Chanyeol. Tidak ada yang istimewa pada batu yang sudah berjumlah enam buah itu. Hanya batu biasa berwarna abu-abu dengan beberapa lubang di beberapa sisinya karena terkikis. Entah kenapa, kegiatan menata batu pemberian Chanyeol menjadi salah satu kebiasannya selama ia dirawat di Rumah Sakit. Semenjak ia bertemu dengan Chanyeol, rasa bosannya sedikit menghilang.

'Besok, aku akan mengajakmu ke suatu tempat'

Perkataan Chanyeol membuat perutnya terasa geli. Ia mengingat perkataan Chanyeol sembari melihat dari tempat tidur, ibunya yang sedang tertidur menjaganya untuk malam ini. Baekhyun meninggikan suhu AC di ruangannya, ia beranjak dari tempat tidurnya dengan membawa selimut dan bantalnya. Langkah kecil Baekhyun terhenti di hadapan tubuh ibunya yang sedang tertidur menghadap ke arahnya dengan kedua tangan saling menggenggam membuat sebagai bantalan. Tangan Baekhyun terulur, menyingkirkan tangan ibunya dengan pelan dan menaruh bantal miliknya di bawah kepala ibunya. Kemudian ia menyelimuti tubuh ibunya dengan selimut tebal itu.

Satu kecupan mendarat di kening Nyonya Byun. Anak tunggalnya itu sedang mencium keningnya beberapa saat dengan memejamkan mata.

"Terimakasih, umma…"

.

.

Suara sirine ambulan yang setiap hari terdengar di Rumah Sakit itu membuat Baekhyun risih. Siang ini, ia sedang berjalan keluar gedung Rumah Sakit, namun langkahnya terhenti ketika melihat ada segerombol suster jaga yang mendorong brankar dari dalam ambulan dan mendorongnya cepat menuju UGD. Di samping pasien itu, seorang wanita tua meronta di pelukan seorang pria sambil mengejar brankar itu. Saat melewati dimana Baekhyun terhenti, pasien yang berlumuran darah itu membuka mata kemudian melebarkan tatapannya ke arah Baekhyun. Baekhyun ketakutan ketika melihat laki-laki yang berlumuran darah di sekujur tubuhnya menatap Baekhyun dengan tatapan tajam.

'Tunggu aku'

Suara laki-laki yang berlalu di hadapannya itu seakan menjadi satu hal yang menurut Baekhyun menakutkan di dunia ini.

Baekhyun merasa perutnya mual seketika. Saat dipikirannya terlintas wajah laki-laki yang penuh dengan goresan benda tajam juga mulutnya yang hampir robek. Tapi Baekhyun yakin jika suara itu adalah suara laki-laki itu.

Baekhyun mengernyit ketika mendengarkan suara keras yang sama persis dengan suara wanita tua yang beberapa saat lalu berlalu di hadapannya.

"Anakku!"

Langkah Baekhyun terhenti di tempat. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya saat ini.

Melalui celah pintu UGD, ia mengintip ke dalam ruang yang penuh dengan jerit tangis wanita tua itu.

"Waktu meninggal pasien, pukul 16.23 . Tanggal 5 September 2014."

Bersamaan dengan ditutupnya kain penutup mayat, Doktor memberi intruksi pada suster untuk mencatat dalam selembar kertas di atas papan. Wanita tua itu memeluk erat tubuh laki-laki tak bernyawa itu sambil berteriak mengatakan jika ia tak mempercayai apa yang terjadi di depan matanya.

Baekhyun menggeleng cepat, kedua tangannya menutupi kedua telinganya dengan cepat ketika suara-suara aneh yang masuk ke indera pendengarannya itu kembali terdengar. Ia menggeleng, hingga surai coklatnya bergerak ke udara. Suara-suara aneh yang terdengar olehnya seolah membuat perutnya terasa mual. Dengan cepat, ia meninggalkan kawasan ruang UGD itu dan berlari keluar gedung Rumah Sakit.

.

.

Keesokannya, Baekhyun menemukan Chanyeol sedang berjalan melewatinya begitu saja.

"Chanyeol…" Baekhyun memanggil ketika Chanyeol berjalan dengan menundukkan kepalanya berlalu dari koridor ruang tempat ia di rawat. Ia sama sekali tak mengindahkan laki-laki mungil yang memanggilnya. Pandangannya lurus bertumpu pada kaki yang bergantian menapaki lantai Rumah Sakit.

Baekhyun mengikuti langkah Chanyeol. Mereka berhenti di halaman taman Rumah Sakit. Chanyeol menduduki kursi kayu yang mengelilingi sebuah pohon besar di tengahnya. Tanpa berniat mengganggu, Baekhyun duduk di dekat Chanyeol.

Pandangan laki-laki mungil itu tertuju pada tangan Chanyeol yang menggenggam sesuatu.

Chanyeol memandang kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya. Seolah-olah mengamati sesuatu yang penting. Ditatapnya punggung tangannya yang tertutup kemudian di balikkan, dan dibuka telapak tangannya. Nampaknya, Chanyeol menyadari ketika seseorang menggeser tubuhnya mendekati Chanyeol. Baekhyun.

Ringisan Baekhyun terlihat di mata Chanyeol ketika ia menoleh ke arah Baekhyun dengan wajah bertanyanya.

"Sedang apa kau?" Chanyeol bertanya pada Baekhyun, dengan cepat, Chanyeol menggenggam kembali batu kerikil yang ada di tangannya.

"Aku mengikutimu," Jawab Baekhyun. "Sebenarnya aku sedang menagih janjimu semalam ketika kau berjanji akan mengajakku ke suatu tempat hari ini."

"Tidak ingat ya?" Baekhyun bertanya ketika dirinya tak mendapat jawaban Chanyeol atas perkataannya.

Chanyeol menggeleng. Tangan kanannya menggenggam kedua tangan Baekhyun kemudian membuka telapak tangan yang lebih kecil itu.

"Maaf. Sepertinya aku tidak bisa hari ini." Chanyeol berucap dengan nada kecewa, "Tiga atau empat hari lagi… Aku akan mengajakmu ke tempat itu."

Baekhyun mengangguk. Ia mencoba mengerti keadaan Chanyeol yang ia tau dalam keadaan tidak baik.

"Ini…" sebuah benda berukuran kecil terjatuh di telapak tangan Baekhyun ketika Chanyeol melepaskan benda dari genggamannya. Chanyeol menarik tangannya, lalu Baekhyun mendekatkan tangannya di depan wajahnya. Batu kerikil.

"Aku harap kau menyimpannya dengan baik," ujar Chanyeol dengan nada serius.

Ini, batu kerikil ketujuh pemberian Chanyeol.

.

.

Ketika terbangun, Baekhyun merasa sangat pening pada bagian kepalanya. Ia mendapati Doktor yang memeriksanya sedang berbicara pada ibunya di dekat tempat tidur. Wajah Nyonya Byun terlihat sedikit pucat. Ia melototkan mata sipitnya beberapa kali, respon dari beberapa kata Doktor itu. Sedangkan suster, sedang memeriksa Baekhyun akan reaksinya terhadap beberapa obat-obatan yang masuk dari infus yang tersambung di nadinya.

"Dia tidak punya harapan lagi, Nyonya Byun." Samar-samar suara Doktor itu memasuki indera pendengarannya. Ibunya menatap Doktor bername tag Lee Donghae itu tak percaya.

"Mari, ikut ke ruangan saya." Seolah mengerti maksud Doktor Lee Donghae, Nyonya Byun mengikuti dan berjalan beriringan bersama Doktor muda itu.

Baekhyun menoleh ke arah suster yang sedang memeriksa beberapa data kesehatannya. Suster yang bernama Luna itu beberapa kali menggeleng ketika memeriksa kantong infus di dekat kepala Baekhyun tanpa mengindahkan Baekhyun yang sudah membuka kedua matanya.

Ini aneh. Bukankah mereka melihatku sadar? Tapi, kenapa Doktor itu berkata jika tak ada harapan? Apakah Doktor itu buta?, pikir Baekhyun.

Sudah dua hari Chanyeol tidak ke kamarku. Apa aku harus ke ruangannya?, tanyanya pada diri sendiri.

.

.

Park Chanyeol memasuki ruangan Baekhyun dengan membawa sebuah batu kerikil. Mata bulatnya menangkap suatu pemandangan yang tak asing. Baekhyun yang sedang terbaring di atas tempat tidurnya dengan kedua mata yang terpejam, juga tujuh batu yang bertumpuk tinggi. Ia dapat menebak apa yang dilakukan oleh Baekhyun pada batu-batu kerikil yang ia berikan. Chanyeol tersenyum, membayangkan ekspresi Baekhyun yang sedang menumpuk batu kerikil itu. Lalu, tangan Chanyeol berada di atas tumpukan batu kerikil itu, ia menaruh batu kerikil yang ada di tangannya di atas tumpukan batu-batu kerikil yang tertata dibawahnya.

Baekhyun memejamkan mata dan sedang terbaring di tempat tidurnya saat Chanyeol mendekat ke tempat tidurnya. Chanyeol tersenyum ketika melihat wajah Baekhyun yang tampak murung. Laki-laki yang lebih tinggi darinya itu merebahkan diri di samping Baekhyun. Ketika sadar, ada sesuatu yang asing terbaring di sampingnya, Baekhyun menoleh. Senyum lebar Park Chanyeol, seolah membuat Baekhyun kembali merasakan jika matanya seakan diliputi kabut tipis dan perutnya yang bergejolak. Akhirnya, ia dapat melihat batang hidung Chanyeol setelah tiga hari mereka tak bertemu.

Baekhyun mendongak dan menyipitkan mata, "Apa yang kau lakukan?" katanya.

Chanyeol mengetahui maksud pertanyaan Baekhyun yang mengusirnya turun dari tempat tidur itu.

"Aku tidak mengusirmu. Turunlah, ini terlalu sempit," seolah membaca pikiran Chanyeol, Baekhyun mendorong kecil lengan Chanyol sebagai isyarat agar tubuh besarnya mengalah.

Dengan satu kali gerakan, Chanyeol beranjak kemudian berdiri di ambang jendela ruang inap Baekhyun. Seolah tak cukup hanya menikmati pemandangan di luar Rumah Sakit, ia menggeser jendela itu, membuka dengan perlahan. Angin musim gugur seolah membuatnya hanyut dalam perasaan yang nyaman. Baekhyun yang sudah berada di samping Chanyeol, mengikuti gerakan tangan Chanyeol yang terangkat di udara selama beberapa saat dengan kepala maju keluar jendela.

"Angin ini… Sangat menyenangkan, bukan?"

Baekhyun mengangguk, matanya masih terpejam menikmati hilir angin tersebut.

Chanyeol menekan pelipisnya dengan jari. Seketika, kepalanya terasa berat dan pening, Baekhyun menoleh pada Chanyeol.

"Ada apa Chanyeol?"

Laki-laki itu menjawab dengan gelengan kepala. "Sejujurnya aku tidak ingat dengan baik sebelum aku berada di Rumah Sakit ini."

"Hnn? Mungkin itu hanya efek dari obat yang masuk di tubuhmu." Baekhyun sebenarnya agak terkejut karena Chanyeol mengatakan itu, kemampuannya untuk meyakinkan orang membuat Chanyeol merasa lebih baik.

"Semoga saja, Baekie."

Baekhyun menoleh dengan cepat ke arah Chanyeol, wajahnya seolah mengisyaratkan pertanyaan 'Kenapa kau berkata seperti itu?'

"Kau suka panggilan barumu?"

"Panggilan baru?"

"Ya. Kau tidak keberatan kan mulai sekarang aku memanggilmu seperti itu?"

Baekhyun menggeleng dalam tundukannya. Ia menunduk menyembunyikan senyumnya yang merekah dari bibir mungil miliknya.

"Itu panggilan yang bagus. Aku akan memberimu panggilan baru juga."

"Apa?"

Baekhyun terdiam. Mereka dalam keheningan. Chanyeol memberi waktu pada Baekhyun untuk berpikir sejenak.

"Channie?"

Chanyeol menggeleng cepat, "Tidak. Itu terlalu aneh." Ujarnya.

"Yeolie? Chanyeolie?" Baekhyun terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Itu lumayan enak di dengar." Jawab Chanyeol dengan wajah masamnya. "Setidaknya tidak terlalu seperti perempuan. Iya kan Baekie?"

"Yah… Salahkan namamu yang terlalu aneh. P-A-R-K-C-H-A-N-Y-E-O-L…" Baekhyun tertawa kecil menggoda Chanyeol.

"Hnn… Terserah kau saja. Baek, bagaimana jika hari ini aku mengajakmu ke suatu tempat?"

"Kemana?"

.

.

Mereka di sini, di halaman taman belakang Rumah Sakit. Terbaring sembari menatap hamparan awan di hadapan mereka, kedua pasien itu terdiam karena pikiran masing-masing. Lengan tangan Chanyeol yang terulur menjadi bantalan untuk kepala Baekhyun. Baekhyun tidak takut jika baju Rumah Sakitnya harus terkena kotor karena mereka terbaring di atas lahan rumput yang luas, begitu dengan Chanyeol. Akhir-akhir ini, tatapan kosong ibunya membuat pikiran Baekhyun terkuras. Tatapan kosong yang selalu ibunya tampakkan ketika masuk ke ruangannya. Nyonya Byun juga selalu menangis saat melihat keadaan Baekhyun.

"Chanyeol…"

"Hnn?"

"Aku melihat umma akhir-akhir ini dengan keadaan yang tidak baik." Ujar Baekhyun dengan wajah muram. Chanyeol menatap Baekhyun dengan pandangan bertanya.

"Setiap aku menjalani perawatan Rumah Sakit. Aku berpikir…" Beberapa detik, Baekhyun menghembuskan nafas beratnya, ia melanjutkan, "Akan lebih baik jika aku tidak terbangun saat beberapa kali menjalani operasi."

Dengan perlahan, Chanyeol menoleh ke arah Baekhyun. Seakan mengerti, Baekhyun kembali melanjutkan perkataannya, "Umma selalu bekerja keras setelah aku mendapatkan perawatan rumah sakit. Dia selalu bangun pagi ketika aku akan berangkat kuliah. Dia menyiapkan makanan setiap hari untukku."

"Jika aku tidak bangun, mungkin ia tidak lagi bekerja keras seperti itu lagi." Ucapnya dengan lirih.

Chanyeol memandang wajah Baekhyun beberapa saat, kemudian berkata, "Aku ragu kalau bibi Byun berpikiran seperti itu."

Jarak di antara sepasang alis mata Baekhyun yang lebat dan hitam itu menyempit sekitar satu centimeter.

"Kenapa? Apakah kau bisa membaca pikiran umma?"

Tak mejawab pertanyaan Baekhyun dengan suara, Chanyeol menggeleng. Tatapan intensnya, seolah memberi ruang Baekhyun untuk melanjutkan perkataannya,

"Aku belum pernah membanggakkannya. Aku tidak punya apa-apa untuk dia. Semua yang ku lakukan membuat umma memikul beban yang berat."

"Selama kau bersama orang yang kau cintai. Kau akan melakukan itu." Ujar Chanyeol dengan memandangi wajah Baekhyun, seolah menaksir nilai wajahnya, "Mungkin itu yang bibi Byun rasakan."

Baekhyun membisu, "Ada apa?" ucapnya setelah menyadari tatapan penuh arti Chanyeol pada dirinya.

"Tidak." Chanyeol meyakinkan dengan senyum yang mengembang lebar.

Beberapa saat kemudian, Chanyeol beranjak kemudian mendekat ke sebuah kolam ikan yang di sisinya terdapat batu-batu besar yang mengelilingi kolam itu. Baekhyun mendekat pada Chanyeol dan duduk berjongkok di samping laki-laki itu.

"Apa kau mengambil batu kerikil disini lalu memberikan padaku?" pertanyaan Baekhyun terucap ketika melihat Chanyeol yang mengambil sebuah batu kerikil dari sela-sela bebatuan yang besar.

Chanyeol mengangguk.

"Benar. Aku selalu mengambilnya kesini."

Baekhyun tidak tau jika batu kerikil menjadi sesuatu yang menarik perhatiannya sejak ia bertemu Park.

Pada pertama kali, ia tak mengetahui kenapa Chanyeol selalu memberi batu kerikil saat mereka bertemu. Ia sempat bertanya pada Chanyeol kenapa ia selalu memberinya batu kerikil. Dan Chanyeol hanya menjawab jika ia tak mempunyai sesuatu yang berarti untuk diberikan pada Baekhyun. Menelisik jawaban Chanyeol, Baekhyun menyimpulkan jika Chanyeol gemar mengumpulkan batu kerikil berbagai bentuk.

Setelah memperoleh jawaban Chanyeol, ia selalu menunggu saat-saat Chanyeol memberikan batu kerikil itu padanya.

Batu kerikil yang menurut Chanyeol adalah sesuatu yang penting.

Dan ini batu kerikil ke delapan pemberian Chanyeol.

Ia tak menyadari jika itu adalah batu kerikil ke sembilan.

.

.

Baekhyun memasuki ruangan tempat di mana Chanyeol di rawat. Chanyeol pernah memberitahunya jika ia dirawat di lorong ini, namun pada saat itu, Chanyeol tak memberinya ijin untuk datang ke ruang inapnya. Ini pertama kali untuknya. Baekhyun baru saja memasuki lorong yang memanjang. Ada jendela kaca besar yang menghadap ke halaman. Lorong itu tak jauh dari lorong dimana ia di rawat. Jika pemandangannya sebagus ini, ia menyesal kenapa ia tak mendatangi ruangan Chanyeol sebelumnya. Walaupun ia mendatangi tanpa sepengetahuan Chanyeol. Di depan jendela besar itu tersambung teras dengan pot bunga yang berjajar rapi.

Ia membaca satu persatu papan nama yang berada di samping pintu ruang pasien di lorong itu. Sudah beberapa pintu ia lewati, namun tak menemukan ruangan Chanyeol. Sampai ketika, ia mendapati papan nama bertuliskan,

Park Chanyeol.

21 tahun.

Koma.

Baekhyun sedikit tak mengerti.

Ia membuka gagang pintu di sebelahnya dengan degup jantung yang tak biasa. Langkahnya semakin terasa berat ketika pemandangan di balik pintu yang baru saja ia buka menampilkan sesuatu yang sedikit membuat hatinya tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Chanyeol… Bangunlah…"

Seorang laki-laki yang tampak lebih muda beberapa tahun dari Chanyeol sedang menggenggam erat tangan Chanyeol dan menenggelamkan kepalanya di badan Chanyeol terus menggumamkan kata-kata untuk Chanyeol. Tangan Chanyeol yang tersambung dengan infus juga mulutnya yang terpasang alat bantu pernafasan, tampak tak bertenaga. Baekhyun segera berjalan medekati tempat tidur Chanyeol. Di samping tempat tidur, terdapat electrocardiograph yang terus menyala. Baekhyun berhenti beberapa centi di hadapan Chanyeol

"Yeolie. Ayo bangun." Ucap Baekhyun dengan memandangi wajah Chanyeol yang datar. Wajah yang sama ketika menemuinya akhir-akhir ini. Matanya terpejam, seolah merekat satu sama lain.

Chanyeol tidak menyahut.

Laki-laki asing di depan Baekhyun sama sekali tak menyadari keberadaan Baekhyun. Baekhyun menggoyangkan sedikit badan Chanyeol dengan kedua tangannya. Pulupuknya telah penuh dengan air mata yang sewaktu-waktu dapat terjatuh.

"Ini sudah 4 bulan kau tertidur. Maka bangunlah, hyung." Perkataan laki-laki asing yang dapat dipastikan adalah adik dari Chanyeol seolah membuat kepala Baekhyun harus berpikir cepat.

Jika dia sudah tertidur selama 4 bulan. Kenapa aku bisa bertemu dengan Chanyeol?, batin Baekhyun.

"Kau tidak ingatkah? Seminggu lagi, kau dan Yejin menikah. Apa kau ingin membuatnya sedih?"

Baekhyun berlari, segera meninggalkan tempat itu. Perasaan aneh yang tiba-tiba menyerang dirinya membuat pelipisnya berdenyut hebat. Sekeliling kepalanya sakit, seolah ditindas perlahan-lahan. Baekhyun berlari menuju ruang inapnya, ia berhenti di depan ruang inapnya, kemudian membuka pintu ruangan itu dengan perasaan yang tak menentu.

Hanya tersisa sensasi lemas yang samar di dalam tubuhnya, pandangannya mulai meremang.

Chanyeol,

Park Chanyeol,

Yang baru saja ia temui di ruang inapnya dengan keadaan koma itu…

Berdiri di depannya sembari membawa batu kerikil di genggamannya.

"Baekie?" panggil Chanyeol ketika menyadari seseorang telah masuk dalam ruangan itu.

Baekhyun terdiam, kaki pendeknya membeku di tempat. Ia tak bisa bergerak sama sekali.

"Aku menunggumu dari tadi. Kau kemana saja?" tanya Chanyeol tersenyum renyah. Langkah kaki Chanyeol mendekat ke arah Baekhyun.

"Kau…" Baekhyun menggigit ujung bibir bawahnya, "Siapa kau sebenarnya?" lanjutnya.

Chanyeol membisu ditempatnya ia berdiri. Air wajahnya menyiratkan tanda tanya besar.

"Siapa kau sebenarnya, Park Chanyeol?"

.

.

.

TO BE CONTINUED

A/N:

Saya terinspirasi dari KARA Love Secret, tapi saya ubah sebagian besarnya.