Tomodachi?

.

.

.

SpindleTree

.

.

.

Naruto Masashi Kishimoto

.

.

.

Friendship, Family

Rate T

Alternative Character. OOC, Typo(s).

.

.

Sasuke-Sakura-Naruto

Enjoy Reading

.

DLDR

.

NO PAIRING!


Dia selalu sendiri. Ah tidak. Sebenarnya ia tidak benar-benar sendiri. Ia masih memiliki teman, tetapi itu hanya sebatas 'nama'. Ia tertawa dan tersenyum bersama teman-temannya atau orang lain yang mengajaknya bicara.

"Sakura, hari ini aku dan teman-teman akan ke Konoha Park. Kau ingin ikut?" Sakura berhenti sejenak lalu menjawab.

"Tidak, aku ada acara hari ini. Maaf sekali, Ino. Mungkin lain kali." Ucap Sakura seraya tersenyum.

"Haaah, kau ini, selalu menolak ajakan teman-temanmu. Setiap kami mengajakmu, kau selalu menolak dengan berbagai alasan. Aku tidak tahu kau benar-benar ada acara, atau hanya alasanmu saja?" ucap Ino memojokkan Sakura.

"Sudahlah, Ino. Mungkin Sakura memang benar-benar ada acara yang lebih penting. Kau tidak boleh menuduhnya." ucap Hinata.

"Oh ayolah Hinata. Aku terus memperhatikannya dan aku mulai berpikir. Apa hidup Sakura tidak membosankan? Jika aku jadi Sakura, aku bisa mati bosan. Ketika jam sekolah habis, ia segera pulang." ucap Ino seraya mengibaskan tangannya ke udara.

Sakura berlalu tanpa memperdulikan kata-kata Ino. Gadis itu adalah Yamanaka Ino, teman satu kelasnya —jika Sakura benar-benar menganggapnya teman satu kelas— Sakura tahu, gadis itu hanya berbasa-basi kepadanya. Lebih tepatnya tidak benar-benar mengajaknya. Seperti yang di sampaikan Ino tadi. Hari ini teman satu kelasnya akan mengunjungi Konoha Park. Saat dikelas tadi ia mendengar pembicaraan Karin, Karin sendiri yang mengusulkannya. Untuk hiburan, itulah alasannya.

...

Angin bertiup kencang menerbangkan helaian merah muda miliknya. Ia berjalan dengan perlahan di sinari cahaya senja. Berjalan sendirian tanpa ditemani seseorang. Beberapa meter didepannya, terlihat dua orang gadis yang sedang berbincang, sesekali terdengar kikikan dari kedua gadis itu.

"Teman" satu kata yang tidak pernah ia mengerti definisinya. Tidak pernah merasakan, percaya, bahkan ia tidak tertarik untuk sekedar mengetahuinya.

Ia pernah mencari definisi kata 'teman' di kamus serta internet, terdengar berlebihan memang. Itu semua ia lakukan hanya untuk memuaskan rasa penasarannya. Menurut kamus serta beberapa sumber, definisi teman adalah seseorang yang ada ketika kamu dalam kesulitan ataupun senang. Namun, definisi tersebut tidak sejalan dengan kenyataannya. Menurut Sakura, teman adalah seseorang yang ada disaat orang itu membutuhkan temannya ketika dalam kesulitan, dan pergi disaat ia senang. Begitulah kira-kira definisi teman menurut Sakura.

Bukannya ia tidak pernah mencoba memiliki teman, pernah sekali ia memiliki teman, merasakan bagaiman rasanya berteman. Tapi itu bukan benar-benar teman. Orang itu hanya mendekatinya ketika ia kesulitan, dan pergi ketika senang. Pernah sekali ia percaya kepada teman, tapi kepercayaannya berakhir dengan pengkhianatan. Sejak saat itu ia tidak lagi tetarik untuk memiliki teman.

Karena menurutnya, 'teman' hanyalah sebuah kata yang tidak nyata.

"Aku pulang..." ucap Sakura ceria. Tidak ada jawaban. Selalu seperti ini. Lelah? Tentu saja. Ia selalu mencoba terlihat baik-baik saja. Kedua orangtuanya terlalu sibuk bekerja. Dulu ia tidak seperti ini, namun sekali lagi, itu dulu. Setidaknya ketika 'dia' masih ada disampingnya.

Sakura melepaskan sepatu sekolahnya dan menggantinya dengan sandal rumah. Memasuki salah satu kamar yang berada disebelah kanan tangga, menutup pintunya dengan keras, lalu membanting tubuhnya dan terisak.

Ia benci saat seperti ini, saat-saat ia terlihat lemah. Ia membenci dirinya yang seperti ini. Harusnya ia lebih pandai mengatur emosinya. Hanya karena mengingat 'dia' saja ia sudah seperti ini. Padahal, ia sudah sering sendiri seperti ini.

...

Drrrt ... drrtt...

"Halo ... Haruno Sakura disini."

"Hai, Sakura. Kau ada di mana?"

"Hm? Siapa di sana? Aku ... dirumah." Ucap Sakura ragu.

"Ara~ kenapa kau tidak ikut kami pergi ke Konoha Park?"

"Aku harus cepat pulang. Hari ini ayah dan ibuku akan pulang dari rumah paman. Jadi, aku ingin menyambut mereka. Maaf..." ucap Sakura seraya merotasikan matanya.

"Begitu ... Jika nanti kami kembali mengadakan acara jalan-jalan seperti ini, apa kau akan ikut?"

"Akan aku pikirkan. Aku harus melihat keadaan dahulu."

"Baiklah, sampai jumpa."

Tuuut ... sambungan telepon terputus.

Sakura menghela napasnya lelah, "Are? Aku lupa dia tidak menyebutkan namanya!" ucap Sakura histeris.

"Sial, aku jadi penasaran!" Sakura terdiam sejenak lalu tertawa keras, terselip kesedihan di setiap tawanya.

"Menyambut mereka datang, huh? Omong kosong macam apa itu? Bahkan aku tidak tahu kapan mereka kembali, beruntung mereka percaya. Setidaknya aku jadi aktris terbaik di hidupku." Ucap Sakura seraya tersenyum miris.

...

"Selamat pagi, Sakura." Ucap Ino riang.

"Hm, pagi."

Sakura menoleh ke arah kanan. Ia merasa sedikit heran dengan tingkah dan perilaku Hinata pagi ini. Biasanya Hinata akan menyapa Sakura. Tetapi pagi ini gadis itu bungkam dan menundukan kepalanya. Mencoba untuk mengabaikannya, Sakura mengambil novel dari dalam tas miliknya.

"Pagi…" sapa Tenten kepada teman-teman sekelasnya. Beberapa orang membalas sapaannya, yang lain hanya tersenyum menanggapi. Tenten duduk di samping Hinata. Sekali lagi Sakura merasa aneh dengan keadaan ini. Biasanya Tenten akan menyapa serta mengajak Hinata bicara, tapi pagi ini Tenten tidak menyapa Hinata dan lebih memilih mendiaminya. Terdengar isakan kecil dari arah Hinata. Namun, Sakura tidak mendengarnya karena terlalu fokus dengan novel yang ia baca.

"Psst … Sakura, Hinata menangis, ya?" tanya Ino setengah berbisik.

Sakura cukup kaget, lalu segera menoleh kearah Hinata. Wajah Hinata benar-benar tidak terlihat. Hanya saja bahunya sediki berguncang.

"Aku tidak tahu." Sakura kembali melanjutkan bacaannya. Tiba-tiba Sakura mendengar suara tangis yang semakin mengeras. Ia kembali menoleh ke arah Tenten dan ia melihat Hinata menangis di pangkuannya. Sakura terus memperhatikan mereka berdua. Hinata yang terus terisak di pangkuan Tenten dan Tenten yang mencoba untuk menenangkan Hinata. Terlihat perubahan air wajah Sakura. Entah mengapa jauh di dalam hatinya ia merasa iri. Sakura mencoba menepis rasa itu dan mengalihkannya dengan membaca, namun rasa itu tetap ada. Sakura berdiri dari tempat duduknya dan keluar. Ia tidak bisa menahan atau menepis perasaan yang tiba-tiba muncul ini.

Sakura pergi dari kelasnya untuk menenangkan perasaanya. Membolos pelajaran pertama dan kedua mungkin tidak masalah, pikir Sakura. Air mata menetes dengan perlahan namun pasti. Butiran-butiran air itu semakin deras. Sakura menyekanya beberapa kali. Mendengus sebal karena air matanya tidak juga berhenti 'Sial, kenapa air mata ini tidak berhenti juga!' umpat Sakura di dalam hatinya.

"Hei, kau menangis?" ucap seorang pemuda. Sakura tersentak kaget kemudian menghapus air matanya secepat kilat dan menoleh ke arah datangnya suara.

"Hei, Teme, di sini ada gadis yang menangis! Cepat kemari!"

'Sial' umpat Sakura.

"Aku tidak menangis. Sepertinya kau salah lihat." Ucap Sakura seraya memberikan senyum terbaiknya kepada pemuda pirang di depannya. Kemudian, muncul seorang pemuda lagi dengan rambut mencuat yang nyaris mirip dengan bokong ayam. Sakura nyaris saja mengeluarkan tawanya, mati-matian ia menahannya. Mencoba bersikap sewajarnya lalu beranjak dari posisinya dan bermaksud meninggalkan dua pemuda yang menghampirinya. Gerakan Sakura tertahan ketika lengannya di tarik paksa oleh pemuda berambut pirang tadi.

"Maaf, bisakah kau melepaskannya?" ucap Sakura mencoba menahan emosinya.

"Tidak bisa sebelum kau memberi tahu kepadaku apa alasanmu menangis. Aku sangat yakin tadi kau menangis." Ucap pemuda bersurai pirang itu santai.

"Aku rasa itu bukan urusanmu. Lagipula aku tidak mengenalmu. Jadi untuk apa aku memberi tahumu alasanku?" ucap Sakura ketus.

"Sudahlah, Dobe. Dia benar itu bukan urusanmu. Biarkan dia pergi." Sasuke yang sejak tadi diam memperhatikan akhirnya angkat bicara.

"Ck, kau tidak seru, Teme." Pemuda bersurai pirang itu mengerucutkan bibirnya.

"Hooo.. Haruskah aku berterimakasih kepada tuan berambut bokong ayam ini karena telah membantuku?" terselip nada bercanda di setiap kata-kata Sakura.

Urat-urat kekesalan muncul di dahi Sasuke. Sakura segera berlalu dari hadapan kedua pria itu ketika melihat gurat-gurat kekesalan yang muncul di dahi Sasuke.

"Sampai jumpa, tuan-tuan aneh." Ucap Sakura kemudian berlari meninggalkan atap. Sepertinya atap bukan tempat yang bagus untuknya.

...

"Teme, apa kau melihat warna bola mata gadis itu?"

"Hn, hijau."

"Bukan itu maksudku, Sasuke!" ucap Naruto geram. Sasuke memandang Naruto dengan pandangan bertanya.

"Bola mata gadis itu terlihat redup. Entah mengapa aku tidak suka melihatnya. Mungkin akan lebih baik jika bola matanya lebih bercahaya."

"Kau tidak lihat jika gadis bodoh itu terlihat amat sangat ceria dan bercahaya?"

"Ck, berbicara dengan orang sepertimu hanya akan menghabiskan waktu Sasuke!" Naruto beranjak dari tempatnya kemudian berjalan menuju pintu atap.

"Aku ingin memesan ramen. Kau ingin ikut?"

"Tidak."

"Baiklah. Aku sarankan kau kembali ke kelas sebelum pelajaran Orochimaru di mulai."

"Hn."

Sunyi. Hanya terdengar suara desau angin serta helaian daun yang berguguran. Sepertinya musim gugur sebentar lagi akan di mulai. Sasuke memandang jauh kedepan, lalu sudut-sudut bibirnya terangkat. Membentuk satu garis tipis.

"Aku mengerti apa yang kau maksud, Dobe." kemudian beranjak menuju tempat menghilangnya Naruto tadi. Sepertinya ia harus hadir pada mata pelajaran Orochimaru.

...

Uzumaki Naruto dan Uchiha Sasuke, duo terkenal seantero Konoha Highschool. Terkenal dengan ketampanan serta kharisma yang mereka miliki masing-masing. Selalu bersama-sama dimana pun mereka berada. Memiliki banyak penggemar, namun tidak pernah terlihat dekat dengan lawan jenis. Heran? Tentu saja. Jangan berpikir mereka memiliki hubungan khusus yang menyimpang.

"Haruno, kau harus memindahkan data murid di kelasmu di kertas ini. Isi data ini selengkap-lengkapnya. Aku menunggumu." ucap Kakashi seraya menyodorkan beberapa lembar kertas ke hadapan Sakura.

"Baik," Sakura menyusun kertas-kertas tersebut lalu melangkah keluar.

"Jadi, Naruto, ada apa?" ucap Kakashi to the point.

"Ck, bukankah paman sendiri yang memanggilku? Harusnya aku yang bertanya ada apa."

Kakashi terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

"Tunggu sebentar. Aku akan mengingat apa yang ingin aku sampaikan kepadamu. Ahh, bisakah kau tidak membolos saat pelajaranku, Naruto?"

"Itu … aku punya alasan tersendiri, Paman." Naruto menggaruk tengkuknya. Sasuke yang berada di samping Naruto hanya merotasikan kedua bola matanya.

"Hm, jadi?"

"Saat aku di atap, aku bertemu dengan gadis berambut gulali yang tadi bicara denganmu. Aku melihatnya sedang menangis, jadi aku menanyainya karena khawatir." Naruto mengutarakan alasnnya. Sasuke kembali memutar bola matanya bosan.

"Haruno Sakura, maksudmu? Dan … menangis? Entah mengapa aku sulit mempercayai alasanmu, Naruto."

"Demi seluruh sake milik kau, aku melihatnya menangis. Yah, meskipun dia tidak mengakuinya. Tapi kau dapat menanyakannya dengan Sasuke."

Kakashi melemparkan pandangan bertanya kearah Sasuke dan di jawab dengan anggukan.

Kakashi berdehem untuk mengatur nada suaranya.

"Bukan aku tidak percaya padamu, Naruto. Tapi Haruno memiliki pengendalian emosi yang sangat baik. Ia selalu ramah dengan orang, tersenyum, atau pun bercanda. Namun, aku belum pernah melihat dan mendengar secara langsung atau hanya sekedar gosip jika Sakura menangis. Jadi aku sulit untuk percaya."

"Menangis itu manusiawi, Paman. Apa lagi untuk seorang gadis."

"Ya, ya … aku mengerti, Naruto. Hanya saja cukup mengagetkan ketika mendengarmu mengatakan dia menangis. Aku mengenalnya cukup lama. Kau tahu Tsunade?" tanya Kakashi

"Tentu saja!" ucap Naruto semangat.

"Sakura adalah putri Tsunade."

"Apaaaa? Kau yakin?" Ucap Naruto terkejut.

"Tentu saja. Kau tidak percaya? Kau bisa menanyakannya langsung dengan Tsunade."

"Akan aku tanyakan. Baiklah paman, aku rasa aku harus kembali ke kelas." Naruto beranjak dari tempat duduknya kemudian menuju pintu.

Di kursi kerjanya Kakashi tersenyum penuh misteri.

...

Pernahkah kau merasa jenuh berada di dunia? Merasa seolah-olah kau telah mencapai batasannya dan berada pada sebuah titik balik. Pada titik itu kau tidak dapat berbuat apa-apa lagi dan merasa kau tidak berguna serta kehilangan eksistensi di dunia ini. Pernahkah?

Beberapa kali di pikiran Sakura pernah terlintas hasrat untuk mengakhiri hidupnya. Membayangkan ia menodongkan senjata api ke bagian organ tubuhnya yang sangat sensitive, atau ia berharap ada sniper handal yang berniat membunuhnya. Tapi sekali lagi, itu hanyalah bayangan serta harapan Sakura yang tersimpan rapat di dalam pikirannya. Ia bukan orang yang bodoh. Ia lebih berharap Tuhan mencabut nyawanya dengan segera.

Sesorang pernah mengatakan padanya, "Hidup tidak akan sesulit itu jika kau melakukannya dengan sepenuh hati. Dan mati tidak akan semudah itu jika kau tahu kau punya sesuatu yang layak untuk dipertahankan dalam hidup."

Kata-kata itu benar. Sakura tidak menyangkalnya. Namun, kenyataanya membuat Sakura dapat menyangkal kalimat itu dengan mudah. Hidupnya sangat sulit karena ia tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa ia melakukannya dengan sepenuh hati jika takdir selalu mempermainkannya. 'Mati tidak akan semudah itu jika kau tahu kau punya sesuatu yang layak untuk dipertahankan dalam hidup' . Nah, apa lagi untuk kalimat yang satu ini. Sakura bahkan tidak punya lagi sesuatu yang layak di pertahankan untuk hidup semenjak kepergian 'dia'.

Senja telah tiba, Sakura masih berada di dalam kelasnya, menyelesaikan laporan yang Kakashi minta tadi. Sesekali ia menghela napas lelah.

"Yak, selesai!" Sakura mengangkat kertas yang sejak tadi ia tulis lalu tersenyum. Membenahi mejanya dari ceceran kertas kemudian meraih tas yang berada di samping kakinya lalu melangkah pergi. Sakura masuk ke ruangan Kakashi setelah di beri izin oleh Kakashi. Segera ia menyerahkan kertas-kertas tersebut lalu berpamitan kepada Kakashi.

"Hati-hati di jalan, Sakura."

"Terima kasih." Sakura memberikan senyuman kepada Kakashi lalu beranjak pergi. Baru beberapa langkah Sakura berjalan, Kakashi mengucapkan sesuatu.

"Jangan menyimpannya sendiri. Sesekali berbagilah kepada orang lain." Sakura menghentikan langkahnya.

"Apa yang harus kubagi, sensei? Tidak ada sesuatu pun yang dapat kubagi kepada orang lain. Lagi pula kau tahu aku tidak suka berbagi." Sakura menjawabnya tanpa perlu repot-repot berbalik menghadap Kakashi.

"Kata siapa kau tidak punya hal yang bisa dibagi? Kau punya banyak hal yang dapat dibagikan kepada orang lain. Ada orang yang menunggumu untuk berbagi. Di dunia ini kau tidak hidup sendiri. Jika kau tidak ingin berbagi kepadaku, setidaknya kau memiliki teman untuk berbagi. Aku yakin mereka akan senang jika kau membagikan sesuatu kepada mereka."

"Tidak ada seorang pun yang menungguku untuk berbagi kepada mereka. Mungkin ada, tapi mereka tidak sungguh-sungguh ingin aku berbagi. Mereka hanya ingin mengetahui hal apa saja yang aku miliki. Jika begitu lebih baik aku menyimpannya untuk diriku sendiri."

"Tapi ada kalanya kau tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Cobalah untuk terbuka, Sakura. Itu tidak akan membuatmu menderita."

"Keterbukaan? Sepertinya kata itu tidak akan berlaku bagiku." Sakura melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.

Saat ini kedua emerald Sakura berkaca-kaca. Sungguh, kata-kata terakhir Kakashi sedikit menohok hatinya. Namun dengan cepat ia menghapus air matanya lalu memasang kembali topeng yang sempat retak tadi. Menyunggingkan senyum manisnya.

"Tidak ada lagi orang terpenting dalam hidupku yang bisa memberiku kesempatan untuk berbagi seperti yang kau bilang." ucap Sakura seraya berlalu dari aula sekolah.

Tampak sepasang onyx yang tajam nan dingin memperhatikannya dari atap sekolah dan Sakura tidak sadar bahwa ucapannya didengar oleh pemuda pirang di aula tadi.


A/N : holla~ aku kembali dengan fict multichap baru ^_^ kritik, saran, dan konkrit dan kawan-kawannya di tunggu ^o^