Mystery Club

Naruto © Masashi Kishimoto

Rated T

Mystery, Friendship, Supranatural, Fantasi, Drama.

Main Chara: Naruto U. & Hinata H.

Warnings: AU, OOC, OC, Typo, Alur Maksa, etc.

Kalimat miring adalah Flashback!

.

.

Silakan Membaca! ^^

.

.

Jam istirahat hampir berakhir, anak-anak kelas juga mulai berdatangan kembali, namun Naruto masih tak beranjak dari tempat duduknya ditemani ponsel dan buku catatan yang dicoret-coretnya. Beberapakali pemuda tersebut terlihat menelpon seseorang, lalu berucap terima kasih dan mencoret sesuatu di buku itu.

Shikamaru yang sedari tadi tidur cukup penasaran dengan yang dilakukan Naruto, ingin tahu sebenarnya siapa orang yang ingin teman kelasnya itu telpon? Beberapa kali Shikamaru mendengar nama Hinata disebut. Yang memunculkan kembali pertanyaan dibenak Shikamaru. Siapa itu Hinata? Teman sekelasnya tidak ada yang memiliki nama itu. Atau mungkin saudaranya? Kenalannya?

Shikamaru menegakkan badan, memijat lehernya yang sedikit kaku dan menatap Naruto yang masih tak menghiraukannya. "Kau terlihat sangat sibuk?"

"O-oh, Shikamaru," Naruto tampak sedikit terkejut. "..aku sedang mencari informasi," lanjutnya. Kemudian ia membelakangi Shikamaru dan berbicara dengan telponnya.

Shikamaru menunggu. Telpon kali ini sepertinya lebih lama dari sebelum-sebelumnya.

"Apa soal Hinata?" itu yang bisa disimpulkan oleh Shikamaru. Naruto mengangguk.

"Aku tidak tahu siapa Hinata, tapi sebaiknya kau simpan ponselmu karena jam istirahat sudah berakhir," ucapnya sambil menguap dan pergi.

Naruto hanya tersenyum. Ia tatap buku catatan telpon yang kemarin diberikan bibi Hanabi. Dari semalam, pagi dan tadi, Naruto sudah mulai menghubungi mereka. Memang nomornya masih banyak yang aktif tapi kebanyakan orang yang Naruto cari atau dalam hal ini adalah teman-teman Hinata dulu sedang tidak ada di rumah ataupun memang sudah pindah, entah itu karena pekerjaan maupun karena keluarga baru mereka. Dan sayangnya meminta nomor yang bisa dihubungi juga tak mudah, beberapa orang tak mempercayainya begitu saja.

Sepertinya Naruto harus meminta bantuan Nagato. Ia menyenderkan punggungnya dan memejamkan mata. Ia akan menganggap tugasnya hari ini telah selesai.

Hinata? Sulit menemukan teman seperti dia lagi.

Dia benar-benar gadis yang ambisius.

Sudah lama sekali tidak ada yang menanyakan Hinata, dia itu gadis yang penuh semangat.

Aku memang tak begitu dekat tapi sulit melupakan namanya.

Aku tidak tahu bagaimana dia menghilang, dia menghilang begitu saja.

Naruto tengah mengingat perkataan teman-teman Hinata yang berhasil ia hubungi dari semalam. Semuanya mengatakan tidak tahu dan tidak menemukan ada keanehan saat sebelum Hinata menghilang.

Naruto kembali berpikir. Berpikir apa lagi yang akan ia kerjakan nanti selain menghubungi Nagato.

"Naruto, ada buku aneh di lemari kerja Anko, saat aku menyentuhnya, aku mendapat penglihatan aneh yang sebelumnya tidak pernah ada dalam ingatanku"

Naruto terlonjak dari duduknya. Perkataan Hinata tadi pagi mengingatkannya pada Anko. Benar, ada sesuatu pada gurunya itu dan Naruto harus mencari tahu. Tapi bagaimana? Mengingat gurunya itu benar-benar memasang sikap defensive terhadapnya.

Ditengah ia mencoba menemukan solusi. Matanya terpaku pada Ino yang baru masuk dan menuju ke bangkunya –disebelah Naruto. Tatapan Naruto tak lepas bahkan hingga gadis itu duduk yang tentu saja membuat Ino risih.

"Apa ada yang salah?" tatap gadis itu heran.

"Ino, kau dekat dengan Anko-sensei, kan?" alis Ino naik sebelah. Kalau iya, memang kenapa?

"Dia guru pembimbingku dalam lomba debat, kenapa?" Ino memasang raut waspada.

Mendadak raut Naruto berubah, tatapannya melembut disertai cengiran yang menurut Ino aneh. "Ino, aku butuh bantuanmu," ucapnya manja.

"Eh?!"

.


.

Ino tak mengerti, bisa-bisanya ia menuruti keinginan Naruto dan membawanya kesini. Apa yang akan ia coba katakan nanti pada Anko-sensei? Gurunya itu pasti curiga tiba-tiba muridnya datang mengunjungi tempat tinggalnya tanpa ada pemberitahuan apapun dulu.

"Jika kau macam-macam di dalam, aku akan membunuhmu, Naruto!" delik Ino pada pemuda disampingnya.

Naruto menelan ludah gugup. Ino sangat mengerikan seperti itu. Namun ia tetap berterima kasih karena meskipun dengan umpatan dan omelan, Ino masih mau membantunya.

Ino menghela napas. "Aku tidak pernah berbohong sebelumnya pada Anko-sensei, harus bagaimana ini." Gumam Ino, wajahnya benar-benar terlihat lelah. Naruto jadi kasihan.

"Aku yang akan menanggung dosamu." Ucap Naruto mencoba menghibur, tapi justru dibalas delikan oleh Ino.

"Mengerti apa kau soal dosa!" bentak Ino. Naruto merunduk dan bergumam maaf.

"Kenapa Anko-sensei lama sekali," Ino mencoba kembali memencet bel apartemen, "..apa dia tidak ada di dalam ya?" Ino menatap Naruto dan tersenyum, seolah mengatakan; untunglah jika dia tidak ada di dalam.

Naruto cemberut, tentu saja itu tidak menguntungkan untuk dirinya. Sebelum Naruto mengeluarkan protes, pintu apartemen tiba-tiba terbuka.

"Oh-sensei," Ino segera membungkuk hormat.

"Ino?" ucap Anko heran. Dan saat pintu terbuka semakin lebar, Anko semakin bingung dengan kehadiran muridnya yang lain.

"Kau?" Naruto juga membungkuk memberi salam.

"Ada apa kalian kemari?"

"Ah, sensei boleh kita masuk dulu?" Ino bertanya dengan senyum manis yang sebenarnya dipaksakan.

Meski tak suka, Anko tetap membiarkan mereka masuk. Wanita itu masih sadar akan profesinya sebagai orang yang harus memberi contoh baik pada anak didiknya. Anko membiarkan mereka duduk tapi tidak dengan dirinya, ia masih berdiri dan menatap muridnya, meminta penjelasan terutama kepada Ino.

"I-itu sensei, buku yang sensei minta agar aku membacanya. Aku tidak menemukannya dimeja, sedangkan sensei memintaku untuk segera meresumenya. J-jadi aku kemari,"

"Dengan dia?" Anko kini menatap Naruto, membuat pemuda itu menegakkan badannya gugup.

"Naruto mengantarku. Akhir-akhir ini kan banyak kasus pembunuhan, dan pihak sekolah juga mengajurkan untuk tidak pergi sendirian. Karena itu aku mengajaknya, sensei."

Naruto mengangguk menyakinkan. Dalam hati, ia mengagumi kecepatan Ino berpikir untuk berbohong. Dirinya saja bahkan tak terpikirkan soal masalah itu.

"Baiklah.." Anko tampaknya menerima alasan Ino yang memang terdengar cukup logis, meskipun tetap ada rasa curiga dalam diri guru itu.

"Tunggu disini," Ino dan Naruto mengangguk patuh. Dan setelah Anko benar-benar pergi memasuki kamar. Mereka berdua menghela napas lega berbarengan.

"Rasanya mau mati,"

"Tapi kau benar-benar keren,"

Ino memukul pundak Naruto jengkel, "..Sekarang apa yang ingin kau cari tahu? Kupikir itu tidak akan mudah," Ino menatap sekeliling, ruangannya terlihat lebih kosong dari yang biasanya Ino lihat juga terdapat beberapa kardus. Terlihat seperti sedang dirapikan. Mungkin itulah alasan Anko tak masuk hari ini.

Naruto mengerti maksud Ino. Kini ia berdiri dan berjalan menuju meja disudut ruangan, disana terdapat figura-figura dan beberapa hiasan meja juga ada kardus. Sepertinya baru akan dirapikan. Ino mengikuti Naruto, tidak mau pemuda itu melakukan hal-hal aneh tanpa pengawasannya.

"Siapa ini?" Naruto tampak tertarik dengan sebuah foto pernikahan.

"Suaminya," Ino menjawab. Naruto menghela napas. Tentu saja bukan itu yang ditanyakan Naruto. Semua orang juga akan tahu jika pria yang berdiri disebelah Anko dengan setelan jas pengantin itu adalah suaminya.

"Maksudku, pria ini?" Naruto menunjuk seorang pria lagi disebelah Anko, ia mengenakan pakaian adat khas Jepang.

"Oh, itu ayahnya. Bukankah sudah jelas?"

"Apa!" Naruto kaget. Jika lelaki itu bukan sosok yang Naruto kenal mungkin ia akan percaya. Tapi ini..

"Kenapa reaksimu berlebihan begitu?" Ino memicing heran "Kau kenal dengan ayahnya sensei?"

"Eh?" Naruto menggeleng, "Bukan, a-no maksudku mereka tidak terlihat mirip?" sangkal Naruto gugup.

"Oh, memangnya setiap anak harus mirip dengan ayahnya?" Ino meniru jawaban senseinya dulu ketika ia menanyakan hal yang sama seperti Naruto ketika melihat foto ini.

Naruto terdiam, mengingat jika dirinya sangat mirip dengan ayahnya, Hinata dan bibi Hanabi juga mirip dengan kakek Hiashi –orang yang berada di foto tersebut. Maka,

"Iya." Tentu anak harus mirip dengan ayahnya.

"Tentu tidak bodoh. Anak itu memiliki gen kedua orang tuanya. Jadi bisa saja dia meniru ayahnya atau ibunya atau perpaduan keduanya. Kau tidak pernah belajar ya?"

"Tapi mereka tidak ada mirip-miripnya."

"Mata Anko-sensei itu mirip keluarga ibunya, dan rambutnya sensei bilang kalau dulu warnanya coklat tapi dia mewarnainya saat masuk smp karena dia merasa tidak cocok dengan warna matanya. Lalu kulitnya juga putih, padahal ibu sensei memiliki kulit gelap."

"Lihat!" Ino menunjuk foto itu, Naruto juga mengikutinya.

"Jika warna mata Anko sensei mengikuti ayahnya dan rambutnya masih coklat. Mereka jadi sangat mirip kan?"

Naruto tak lagi mendengarkan apa saja yang dikatakan Ino. Ia juga melupakan pertanyaan dari mana Ino tahu itu semua. Jika yang dikatakannya benar, berarti Anko bersaudara dengan Hinata dan Hanabi. Lalu kenapa hubungan mereka tidak baik? Hinata juga sepertinya tidak tahu. Ah- bukan tidak tahu, Hinata mungkin melupakannya. Lalu Hanabi? Dia pasti tahu. Tapi,

Naruto menelan ludah. Pemikirannya tadi sedikit membuatnya takut tentang kakek Hiashi yang selingkuh dengan wanita lain dan Anko anak dari hari perselingkuhan itu. Naruto segera menggeleng. Kakek Hiashi adalah orang baik, dan sangat menyangi anak-anaknya tidak mungkin ia menghianati istri dan anak-anaknya kan?.

"Naruto, kau baik-baik saja?" tingkah aneh temannya membuat Ino sedikit khawatir, melupakan rasa kesal karena ocehannya ternyata tak dihiraukan.

"Kupikir aku tak menyuruh kalian menunggu disini." Naruto dan Ino terlonjak. Dibelakang mereka ada Anko dengan dua buku tebal ditangannya.

"Maaf sensei kami hanya melihat."

Anko mendengus. "Sebaiknya kalian pulang, aku sedang sibuk." Ucapnya dan berjalan kearah pintu. Naruto dan Ino mengerti, mereka berjalan mengikuti sensei-nya itu.

"Ini bukunya,"

"Terimakasih sensei, tapi kupikir hanya satu?"

Anko tersenyum, "Tugas tambahan, kau perlu banyak membaca untuk referensi debatmu." Balasnya. "Dan, aku ingin besok hasil resume-mu sudah ada di mejaku."

"Tapi bukannya biasanya dua hari sensei?" Ino bertanya cemas. Bagaimana bisa dia meresume dua buku tebal berbahasa inggris ini dalam waktu semalam?

"Seperti katamu tadi, aku ingin kau segera meresumenya." Anko menekankan disetiap katanya.

Ino hanya menghela napas pasrah. Dalam hati mengutuk Naruto, ini pasti salahnya yang membuat mood senseinya memburuk dan Ino yang menjadi sasaran pelampiasan. Ugh, menyebalkan. Ino pastikan ia mendapat bayaran lebih dari sekedar makan gratis di kantin selama seminggu seperti yang di janjikan Naruto tadi.

"Kami permisi sensei, maaf mengganggumu." Naruto dan Ino membungkuk pamit.

"Ah, Naruto…" sebelum berbalik, Anko tiba-tiba berbicara. Keduanya pun menghentikan langkahnya dan menatap bingung senseinya.

"Aku tahu sebagai guru aku tak pantas mengatakan hal ini," Anko memberi jeda, menatap Naruto yang bingung dan penasaran.

"Tapi, apa yang kau dan teman-teman club-mu lakukan itu adalah hal yang tidak berguna." Anko tahu tatapan Naruto kini berubah.

"Kau pikir, yang kau coba pecahkan adalah hal biasa? Harusnya kau lebih menghargai waktu dan keselamatanmu." Naruto tampak terkejut. Apa Anko-sensei tahu apa yang sedang mereka kerjakan?

"Akan lebih mudah jika kau tak ikut campur." Lagi, Anko memberi jeda.

"Kau tidak tahu siapa Hinata sebenarnya, siapa Nagato dan Kabuto sebenarnya."

"Bukankah kau harusnya tak semudah itu mempercayai orang lain?"

Naruto melebarkan matanya, menatap Anko tajam mencoba mencari maksud dari perkataannya. "Apa maksudnya?" Naruto berujar lirih dan berat.

Anko hanya memicingkan mata dan menggeleng. "Tidak ada, hanya aku akan melaporkan kau pada Kabuto. Kupikir pasti kalian tak mengatakan yang sebenarnya pada guru pembimbing kalian itu."

"A- sensei- " Anko tersenyum remeh. Dan sebelum Naruto mengeluarkan protes, ia masuk dan menutup pintu.

Kepalan tangan Naruto semakin menguat. Menatap geram pintu dihadapannya. Ia marah dan binggung. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Siapa yang harus ia percaya?

.


.

Hari semakin sore. Tapi Nagato masih belum mendapatkan laporan yang memuaskan. Ini entah sudah hari keberapa sejak awal kasus ini muncul dan tiga hari yang lalu korban ke-tiga ditemukan lagi. Kali ini jarak kematian korban dan waktu penemuannya tidak lama, setelah itupun langsung dilakukan autopsi dan olah TKP. Nagato pikir kali ini ia akan menemukan sesuatu, namun sama saja. Tak ada bukti apapun disana, bahkan pagi tadi Nagato kembali menyisir lokasi dan tak ada yang didapat.

Bukankah pembunuhnya terlalu rapi dalam mengeksekusi? Atau jangan-jangan memang ini bukan kasus pembunuhan? Tapi fenomena alam yang disebabkan karena kotanya di kutuk?

Nagato mengerang. Sejak kapan dirinya percaya dengan mitos-mitos yang beredar di masyarakat? Pasti ada hal ilmiah yang bisa menjelaskan situasi ini. Meskipun jika ternyata tak ada hal ilmiah yang mendasari. Nagato tetap tak menyetujui tentang kotanya yang dikutuk. Enak saja, kota kelahiran dan kesayangannya ini dicap buruk seperti itu.

Sembari memijit pelipisnya yang terasa lelah, Nagato mencoba mengingat masa lalunya dengan Hinata. Dulu Nagato memang tidak benar-benar ikut campur dengan urusan Hinata, tapi ia yakin pernah sekali membantu gadis itu. Sayangnya Nagato tak terlalu ingat. Nagato tak pernah berpikir jika hal-hal kecil yang dilakukan Hinata dulu mungkin ada sangkut pautnya dengan menghilangnya gadis itu dan kasus pembunuhan ini. Ucapan Naruto waktu itulah yang membuatnya akhir-akhir ini mencoba mengingat-ingat apa saja yang Hinata lakukan menurut pengetahuannya.

Merasa ada suara langkah sepatu gaduh, Nagato yang tengah bersender santai di kursi kerjanya sedikit membuka mata merasa terganggu. Mendapati teman kerjannya yang terlihat sudah bersiap-siap akan pergi.

"Kau mau pergi?"

Teman kerja Nagato sedikit terlonjak. "Oh ya, aku akan menjemput istriku di Kuil. Aku tinggal dulu ya, Nagato." Pamitnya dan pergi terburu-buru.

"Kuil ya?" Nagato hanya bergumam, dan memejamkan kembali matanya. Mencari kembali ketenangan agar dapat berpikir dengan fokus dan jernih.

.

Nagato berjalan cepat ke arah tempat petugas penjaga perpustakaan Konoha. Tujuannya bukan untuk meminjam buku, mengembalikan buku ataupun mengisi daftar kehadiran pengunjung. Tetapi teman baiknya –Hinata tengah berdiri disana sendirian.

"Sedang apa?" Nagato berbisik ditelinga Hinata. Gadis itu terlonjak dan menutup mulutnya rapat dengan kedua tangan kerena hampir berteriak. Bahkan matanya berair dan tangannya sedikit bergetar.

"Kau baik-baik saja Hinata?" Nagato merasa bersalah dan khawatir.

Hinata hanya menatap tajam Nagato jengkel napasnya memburu menahan sesuatu. Namun gadis itu kemudian mengabaikannya. Tatapannya tak fokus, kesana-sini seolah memastikan sesuatu. Dan dengan cepat Hinata mengambil buku hitam yang terletak agak jauh dari jangkauannya di meja petugas, segera memasukkannya ke dalam tas dan menarik Nagato keluar dari perpustakaan.

Tingkah gadis itu membuat Nagato heran. Jika boleh menuduh, Hinata nampak seperti mencuri buku itu dan sekarang sedang mencoba kabur sebelum ketahuan. Dengan kasar Nagato melepaskan cengkraman Hinata di tangannya. Tujuannya sih agar Hinata berhenti dan berbalik menatapnya tapi gadis itu malah mengabaikannya dan berjalan lurus hendak menyebrang jalan.

Gelagat Hinata aneh, gelisah dan seolah terburu-buru. Jengah, Nagato berlari menghampiri Hinata. Sebelum gadis itu menyebarang, Nagato berhasil menarik dan mencengkram kedua bahu Hinata, memaksa gadis itu untuk menghadap dan menatapnya.

Hinata lagi-lagi terlonjak kaget. Ingin berteriak marah, namun saat melihat tatapan khawatir temannya, Hinata sadar jika dia yang salah.

"Ada apa denganmu, Hinata?" tanyanya geram.

"Aku mau pergi.." jawab Hinata mencoba tenang.

"Kemana?" tanpa sadar Nagato mengeratkan cengkramannya. Hinata meringis dan menatap Nagato untuk mengatakan jika dirinya kesakitan.

Mengerti dan tersadar akan kelakuannya, perlahan cengkraman itu mengendur. "Kau mau pergi kemana?" nadanya kini lebih lembut.

"Kuil Hi no Tera?" Hinata terdengar ragu. Jelas sekali jika ini pertama kalinya ia mengucapkannya. "Apa kau tahu dimana kuil itu? Dan caranya pergi kesana?"

"Kurasa itu nama kuil yang terletak di bukit Konoha. Kuil itu sudah tidak digunakan lagi. Untuk apa kau kesana?"

"Kalau begitu aku hanya perlu menggunakan bus." Gumam Hinata. Nagato menggeram mencoba bersabar karena diabaikan.

"Jika kau menggunakan bus dari sini, kau harus berjalan kaki lagi menaiki bukit sejauh hampir satu kilometer. Kuil itu sudah tidak beroperasi lagi, jadi tidak ada kendaraan umum lagi yang lewat." Hinata membatu. Jika Nagato benar, maka itu perjalanan yang sangat panjang.

"Dan lagi, apa kau mencuri buku itu, Hinata?" Nagato berujar pelan agar tak ada orang lain yang mendengarnya.

Hinata menatap Nagato. "Aku meminjamnya." Jeda beberapa saat, Hinata mengalihkan pandanganya. "Aku akan mengembalikannya."

"Meminjamnya tanpa ijin. Itu sama saja mencuri." Hinata menatap tajam Nagato –lagi.

"Sekarang aku sedang tak peduli apa aku mencuri atau tidak.."

"Lalu apa yang sedang kau pedulikan!?" bentak Nagato marah. Gadis ini sudah benar-benar menguras kesabarannya. Sebenarnya apa sih yang diinginkannya?

Hinata menatap Nagato dalam diam. "Berapa lama waktu yang aku butuhkan jika harus berjalan kaki menaiki bukit dan.." Hinata menjeda, menikmati sedikit perubahan ekpresi lawan bicaranya yang berubah tak percaya. "..apakah aku akan sampai dengan selamat atau mati karena kelelahan dan dikejar babi hutan.." Hinata tersenyum manis mengakhiri kalimatnya. Berniat segera pergi, ia benar-benar tak mau lebih lama lagi berdebat. Hanya akan membuang waktu berharganya saja. Namun, tentu saja tak mudah karena tangannya berhasil dicengkram erat kawannya itu. Hinata keras kepala, begitupula Nagato.

"Kau gila? Apa sih yang ada di otakmu?" umpat Nagato jengkel.

"KALAU BEGITU KAU HANYA PERLU MENGANTARKU!" Hinata berteriak dan cukup membuat mereka menjadi perhatian.

"Oke aku akan mengantarmu. Tapi tidak sekarang. Kita bahkan masih mengenakan seragam, Hinata.."

"Jika begitu biarkan saja aku berjalan kaki seorang diri di dalam hutan."

Nagato menggeram. Temannya ini, tak bisakah meminta tolong dengan cara yang lebih normal? Bukan menakut-nakutinya seperti ini. Sialan Hinata. Siapa yang bisa menolak jika begitu?.

Kenapa pula harus ke Kuil itu?

.

Mendadak Nagato membuka mata dan menegakkan badannya. Benar, dulu ia pernah mengantar Hinata pergi ke Kuil Hi no Tera yang terletak jauh di atas bukit Konoha. Kuil yang sudah sangat lama di tinggalkan karena kebakaran hebat yang merenggut banyak nyawa pendeta disana.

Buru-buru Nagato mengambil jaket dan kunci mobilnya. Ia harus segera pergi ke tempat itu juga. Nagato sempat berhenti sejenak, memikirkan apakah harus memberi tahu Naruto soal ini? Namun ia mengurungkannya. Memang Naruto meminta bantuannya tapi alangkah lebih baik jika pemuda itu dan teman-temannya tidak terlibat semakin jauh dengan masalah ini.

.


.

Bangunan disini tak berbeda dari terakhir kali Nagato mengunjunginya –tujuh belas tahun lalu. Bahkan bisa dibilang jauh lebih parah. Lebih sepi dan lebih mencekam. Apalagi sekarang dia seorang diri ditengah bukit seperti ini. Padahal seiingatnya, dulu mereka bertemu dengan seorang wanita yang tengah menyapu halaman kuil tempatnya berdiri sekarang ini. Wanita itu juga yang menyambut mereka dan berbincang cukup lama dengan Hinata. Nagato menyesal dulu tidak ikut mendengarkan obrolan mereka, dia justru pergi mengamati bangunan kuil yang terbilang masih kokoh untuk seukuran bangunan yang diberitakan mengalami kebakaran hebat sepuluh tahun yang lalu waktu itu.

Dengan perlahan Nagato mengitari bangunan. Tak habis pikir kenapa bangunan bersejarah macam ini dibiarkan terbengkalai begitu saja. Sudah tujuh belas tahun berlalu dan dua puluh tujuh tahun berlalu sejak kebakaran itu. Nagato kira itu waktu yang cukup lama untuk pemerintah berpikir merekonstruksi bangunan ini. Namun nyatanya kuil ini semakin terlupakan. Seolah kesucian dan kepopuleran kuil ini dimasa itu ikut hangus bersama bangunan ini.

Nagato tak berpikir untuk memasuki bangunan. Bukannya takut, ia hanya sedikit gugup. Ia seorang diri di tempat tak berpenghuni jauh di atas bukit dengan langit yang menggelap disertai suara guruh yang sesekali terdengar dan angin yang bertiup menghantarkan gigil mengingatkan jika hujan sebentar lagi akan membasahi bumi.

Tapi pemuda itu tetap melangkah. Dirinya kini sudah berada di belakang bangunan tadi yang merupakan kuil utama untuk pemujaan. Dan sekarang Nagato menemukan sebuah pintu gerbang, sepertinya pintu itu menuju ke bangunan lain kuil. Dulu Nagato tak bisa membukanya karena terkunci, namun kini nampaknya pintu itu sudah rapuh. Ia melewati pintu perlahan, untuk menemukan bangunan kokoh yang lebih besar dari di depan tadi. Bangunan itu juga terlihat sama, sangat nampak bekas kebakaran dan kayu-kayu yang berserakan dan berlumut. Rumput-rumput liar juga tumbuh di seluruh tempat ini. Kemungkinan tempat ini adalah tempat tinggal para pendeta dan pengurus kuil. Di sekitar bangunan utama juga ada bangunan-bangunan yang sama namun dengan ukuran lebih kecil. Sayangnya bangunan itu sudah benar-benar hancur.

Nagato menarik napas. Entah mengapa hawa disini jauh lebih berat di banding di depan tadi. Langit pun lebih gelap namun hanya mengantar gerimis dan angin juga berhembus lebih kencang. Mungkinkah sebuah kesalahan memasuki area kuil ini? Namun sudah terlambat bukan untuk menyesalinya? Nagato tak mau pulang sebelum mendapat sesuatu. Sudah sejauh ini masa harus kembali?

Maka entah keberanian dari mana, Nagato melangkah memasuki bangunan utama di hadapannya. Ia ingin menemukan sesuatu, jika bukan tentang masalah pembunuhan itu mungkin tentang bagaimana api bisa menghanguskan seluruh bangunan kuil sedangkan jarak antar bangunan cukup jauh. Ya dari tadi Nagato bertanya-tanya soal itu. Nagato menyalakan ponselnya agar ia bisa mendapat cahaya untuk melangkah lebih ke dalam. Ia harus berhati-hati karena pasti bangunan sudah rapuh dan berbahaya.

Nagato berhenti. Napasnya tercekat, tenggorokannya kering, dan bulu kuduknya merinding seketika. Dirinya terpaku tak bisa bergerak, matanya tetap lurus memandang kegelapan di depan sana. Ia tak percaya hantu, Nagato pun juga tak melihat apapun. Tapi, bisakah ia berkata jika ia merasakan sesuatu dibelakangnya?. Demi tuhan, ada yang tengah menatapnya tajam tepat di belakang lehernya. Kepalan di ponselnya mengerat. Ingin menoleh tapi tak bisa. Berat, tekannya terlalu berat. Bahkan napasnya menjadi sesak. Dan lagi suasananya terlalu sunyi. Kemana suara bising angin yang berhembus dan guntur yang sedari tadi bergemuruh? Sialan, apa-apaan ini semua!.

Jantung Nagato berdegup semakin cepat. Ia merasakan ada sesuatu yang mengarah kelehernya. Sebuah tangan? Apa ia akan mati tercekik? Sial!. Nagato mengumpat. Apakah ia akan mati tanpa ada perlawanan dan tanpa tau siapa pembunuhnya? Tidak, Nagato menolak. Tentu saja, hey! dia itu polisi. Jadi, bergeraklah. Breksek! Nagato terus mengumpat dalam hati tapi tak ada yang terjadi. Hawanya terlalu berat dan kuat. Badannya membatu ditempat. Berkedip saja ia tak mampu.

Sungguh. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?!

Drrrt drrrtt drrrrt

Nagato terlonjak kaget. Napasnya memburu dan cepat seolah baru terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Hawa dingin nan berat itu sudah menghilang. Ia pun dapat merasakan hembusan angin dan mendengar suara guruh dan hujan di luar sana. Badannya sudah bisa ia gerakkan pula. Ia bergerak memutar dan menoleh kesana-sini. Namun tak ada apapun yang dilihatnya selain gelap.

Drrrt drrrtt

Ponselnya masih bergetar. Menyadarkan Nagato untuk segera mengangkat telponnya. Nama Naruto terlihat di layar ponsel pintar miliknya. Tanpa menunggu lebih lama, Nagato segera menerima panggilan itu.

"Ya, Naruto?" ucapnya masih terengah. Matanya masih meneliti sekitar mencoba waspada.

"Kau baik-baik saja paman? Suaramu terdengar aneh?" disebrang sana Naruto terdengar khawatir. Nagato meneguk ludah mencoba untuk tenang, meski sebenarnya ia masih sedikit terkejut dengan kejadian aneh tadi. Apakah itu nyata? Atau halusinasi?.

"Ya, tidak apa-apa. Ada apa Naruto?"

"Syukurlah, aku hanya ingin bertanya sesuatu. Jadi bisakah kita bertemu?"

"Aku sedang bertugas dan tidak ada di kantor. Akan lama jika harus menungguku kembali sekarang. Besok saja, bagaimana?" Nagato melihat jam tangannya dan mengernyit heran mendapati sudah hampir jam setengah tujuh malam. Selama itukah dia berada disini? Nagato merasa baru beberapa menit yang lalu ia masuk bangunan ini.

Mungkin dia harus pergi sekarang. Bukan keputusan bijak melanjutkan mencari sesuatu setelah kejadian aneh tadi.

"Begitu ya, baiklah paman. Sampai nanti."

Sambungan terputus. Nagato berbalik untuk keluar dari tempat ini. Namun,

Astaga! Jantungnya serasa jatuh dari tempatnya. Ia merasa umurnya berkurang seratus tahun saat itu juga.

Dihadapan pemuda itu, tiba-tiba ada perempuan berusia lima puluh tahun-an lebih yang membawa lentera tengah menatapnya meneliti dan khawatir?

"Sedang apa anda disini?" wanita tua itu bersuara. Meski cahaya yang ada hanya bersumber dari lentera wanita itu dan ponselnya. Nagato cukup dapat melihat wajahnya dan memastikan jika wanita itu adalah manusia sungguhan. Dan tunggu, sepertinya Nagato telah bertemu dengan wanita yang sama dengan tujuh belas tahun yang lalu.

Entah kenapa, Nagato benar-benar merasa bersyukur sekarang.

.


.

Naruto tak mengerti kenapa langkah kakinya membawanya kesini. Setelah dari rumah Anko-sensei tadi, Naruto mengantar Ino ke rumahnya, setelahnya Naruto merasa tak ingin pulang. Pikirannya kacau karena ulah ucapan senseinya itu.

"Kau tidak tahu siapa Hinata sebenarnya."

Kata-kata itu benar-benar mengganggunya. Dan tanpa sadar kini ia sudah berdiri di ruangan klubnya, di depan Hinata yang tengah menatapnya heran.

"Kau tidak pulang?" Hinata memicing heran. Sudah hampir senja dan sekolah sudah sangat sepi. Jika sekarang adalah beberapa minggu yang lalu, mungkin jam segini sekolah masih cukup ramai.

"Bukannya sekarang gerbang dikunci jam enam?" Benar. Naruto juga tak mengerti kenapa dia malah kesini saat sebentar lagi pintu gerbang akan tertutup. Bukankah akan merepotkan jika ia tak bisa keluar? Dan bukankah seharusnya sekarang ia tersadar dan berlari keluar?

Namun, kenapa ia masih saja disini menatap roh itu tajam. Tanpa suara. Membuat heran saja.

"Kau kenapa?" lagi, Hinata bertanya. Tak sabar.

"Hinata.."

"Ya?"

"Siapa.. kau sebenarnya?"

Hinata mengernyitkan alisnya. Siapa dirinya sebenarnya? Mana Hinata tahu. Naruto sudah tahu kan jika roh di depannya ini tak terlalu banyak mengingat? Pemuda itu juga sudah mengerti kan tentang memori roh yang tersembunyi karena roh itu memang sengaja tak mau mengingatnya? Bahkan Naruto sendiri lah yang menjelaskannya. Lalu kenapa pemuda ini bertanya lagi?

Apa sekarang Naruto tak percaya padanya?

"Apa yang terjadi?" Hinata bertanya selembut mungkin. Ia ingin marah, tapi sekarang bukan saatnya untuk itu. Naruto sedang bingung, terlihat sekali di wajahnya. Dan Hinata mencoba memahami. Pasti sesuatu telah terjadi, dan hal itu yang membuat Naruto seperti ini.

Naruto menghembuskan napas lelah. Namun sekarang ia terlihat jauh lebih santai.

"Entahlah, aku tidak tahu apakah harus memberi tahumu." Naruto menatap papan tulis yang masih berisi nama-nama korban pembunuhan seperti kemarin.

"Katakan saja,"

"Aku hanya takut, hal ini akan menyakitimu.."

"Kau tahu, aku pernah merasakan hal yang lebih sakit dari yang kau bayangkan," Naruto menoleh ke arah Hinata. Ia cukup terkejut mendengar penuturan gadis itu.

Hinata tersenyum, "Tidak apa-apa, aku hanyalah roh. Kau tidak perlu takut aku akan balas dendam atau apa. Roh ada bukan untuk balas dendam asal kau tahu."

"aku tahu," ujar Naruto lirih. Hinata mengangguk, dengan sabar menunggu Naruto untuk bercerita.

"Aku pergi ke rumah Anko-sensei tadi." Naruto menatap Hinata. Saat melihat gadis itu yang masih setia menatapnya, Naruto tahu dia harus benar-benar memberi tahu Hinata apa yang ia dapat dari rumah itu. "Dan aku melihat foto pernikahan."

"Lalu?" Hinata tahu Anko sudah menikah saat mendengar obrolan Anko dan Kabuto waktu itu. Jadi apa yang salah dari sebuah foto pernikahan?

"Ada seorang pria disebelah sensei. Dan Ino bilang pria itu adalah ayah sensei." Naruto kini menatap Hinata. Ragu-ragu.

"Benarkah? Siapa pria itu? Kau mengenalnya?" Naruto terlihat takut-takut dan ragu saat mengucapkannya jadi Hinata berpikir jika pria yang jadi ayah Anko itu adalah sosok yang tidak pemuda itu sangka. Hinata juga mendadak merasa takut untuk mendengar kelanjutannya. Tapi ia berusaha untuk tenang. Di posisinya saat ini, harusnya Hinata sudah siap sejak lama kan dengan segala fakta yang ada seputar dirinya dan kematiannya.

"Pria itu, Kakek Hiashi.."

"A-," Hinata tercekat, ia tatap Naruto lekat. Mungkinkah Naruto berbohong? Namun,

Tidak.

Pemuda itu menatapnya jujur.

"Ayah?" tidak mungkin kan? Bagaimana bisa?

Hinata melangkah mundur. Naruto menatap khawatir. "Hinata?" Panggilnya.

Ia tak ingat apapun soal itu. Jadi bagaimana bisa? Kenapa?

"Ayah.."

"Wanita itu mencari ayahmu di rumahmu waktu itu!"

Hinata tersentak. Apa tadi? Suara siapa? Wajah siapa itu yang tiba-tiba dilihatnya?

"Hinata?" Naruto semakin khawatir.

Hinata menggeleng. Air mata turun membasahi pipinya. "Tidak mungkin," gumamnya.

"Tidak.."

.

"..mungkin"

"Tidak mungkin, itu pasti bohong. Hiks" Hinata berlari diantara kerumunan orang yang berlalu lalang di malam natal.

Napasnya memburu, wajahnya benar-benar kacau karena air mata. Dengan kasar ia menggedor sebuah pintu apartemen. Tak peduli jika nantinya ia mengganggu penghuni apartemen lainnya. Dari matanya terlihat jika ia benar-benar sedang marah. Air mata itu tak hanya air mata kesedihan tapi juga kekecewaan dan kemarahan.

Pintu itu di buka, menampakkan orang yang ia kenali menatapnya kaget dan heran. Sebelum sang pemilik berucap. Dengan kasar Hinata mendorongnya dan masuk ke dalam. Anko mengernyit marah, ia mengejar Hinata yang begerak membuka setiap pintu dengan kasar.

"Apa yang kau lakukan!" Anko berhasil menghentikan Hinata dan mencengkram lengan gadis itu kuat.

"Dimana wanita jalang itu?" Hinata mendesis, matanya tak fokus.

"Apa yang kau bicarakan?" Anko benar-benar tak paham siapa yang gadis ini cari sebenarnya?

Hinata menatap Anko tajam dan membuat Anko tersentak. "Kau pasti menyembunyikannya?" Siapa?

"WANITA JALANG ITU! PEMBUNUH IBUKU! KAU PASTI MENYEMBUNYIKANNYA!" Anko benar-benar terkejut. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Hinata tampak marah dan menyedihkan seperti ini. Tapi sekarang Anko mengerti siapa yang dicari oleh gadis ini.

Tubuh Hinata bergetar, air matanya semakin deras. Ia terisak. Hinata tak bisa mengendalikannya. Ia benar-benar merasa marah dan kecewa. Juga, lelah.

"Dia tidak ada disini," Anko menjawab dan menarik Hinata menuju pintu. Hinata tersentak. Saat mereka sudah hampir dekat pintu, dengan kasar Hinata menepis tarikan Anko.

"Kau pasti menyembunyikannya! Katakan Dimana dia berada! AKU AKAN MEMBUNUHNYA!" Hinata berteriak.

"Sudah ku katakan dia tidak ada disini!" Anko juga berteriak.

Hinata tersenyum remeh. "Tentu saja, kau pasti melindungi wanita jalang itu, karena kau juga jalang!"

Pllaaak!

"YANG KAU SEBUT JALANG ITU ADALAH IBUKU, BRENGSEK!" Anko hilang kesabaran. Anko memang tak menyukai ibunya. Tapi sebagai seorang anak tentu saja ia tak terima ketika orang lain menghinanya begitu.

Hinata menatap benci Anko. Baginya, rasa panas dipipinya tidak sepanas hatinya. Hinata tertawa. "Ibumu pembunuh. Dan kau adalah gadis menyedihkan. Keluarga kalian sungguh menyedihkan."

Plaak!

Lagi. Hinata mendapat tamparan dipipinya.

"Ya, ibuku memang pembunuh. Lalu apa? Kau mau membunuhnya? Lakukan itu setelah kau melangkahi mayatku!" Anko berteriak.

"Ya, aku memang juga akan MEMBUNUHMU!"

Anko tertawa mengejek. "Gadis sepertimu memang bisa apa? Kau hanyalah gadis manja tidak tahu diri! KAU BODOH DAN LEMAH SAMA SEPERTI IBUMU! HARUSNYA AKU YANG ADA DIPOSISIMU! KAU TELAH MEREBUT AYAHKU!"

Plaakk!

Kini giliran Anko yang mendapat tamparan. Tatapannya nyalang menatap Hinata semakin benci.

"Tak tahu diri? Bodoh? Lemah? Harusnya kau katakan itu pada dirimu sendiri dan ibumu! Harusnya kau berada diposisiku? Merebut ayahmu? Yang seharusnya adalah KAU TIDAK PERNAH TERLAHIR DI DUNIA INI!"

Grebb

Anko hendak menampar Hinata. Namun tangannya berhasil Hinata tahan. Anko makin menatap benci. Ia berusaha melepasnya, tapi Hinata menggenggamnya sangat erat.

"Akk.." Anko menahan jeritan saat Hinata memelintir tangan putih gadis itu.

"Ini yang kau sebut lemah? Aku bahkan bisa mematahkannya sekarang juga."

Anko meringis. Ia tahu Hinata tak main-main dengan ucapannya. Sebelum itu terjadi, tangannya yang bebas menjambak rambut Hinata kuat.

"Akh.." Hinata melepaskan cengkramannya pada tangan Anko. Kedua tangannya berusaha melepaskan tarikan tangan Anko di rambutnya.

Anko benar-benar menarik rambut Hinata sekuat tenaga. Menyeretnya keluar dari apartemenya. Dan dengan kasar mendorong gadis itu sehingga jatuh terduduk.

"Kau harusnya bersyukur aku tidak membunuhmu sekarang." ucapnya dan menutup pintu apartemennya kasar.

Hinata segera bangkit dan kembali menggedor pintu di hadapannya.

"Anko buka pintunya! Katakan dimana wanita jalang itu berada!" Hinata menjerit dan menangis. Ia gedor dan tendang pintu dengan brutal. Beberapa orang yang datang karena mendengar keributan mencoba menenangkannya. Tapi Hinata tetap menangis.

Gadis itu terduduk lemas dan masih menangis. Orang-orang tadi pun sudah menyerah dan meninggalkannya. Menyisakan Hinata terisak seorang diri duduk di depan pintu apartemen Anko.

"Hiks.. Ibu.."

Hinata memegangi dadanya. Sakit sekali. Sesak.

"Ibu… apa yang.."

.

".. apa yang terjadi?"

"Ibu.. hiks..hiks" Hinata menangis histeris di lantai. Ia pegangi dadanya erat. Rasanya sakit sekali.

Naruto panik. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada roh itu. Tiba-tiba jatuh terduduk dan menangis histeris seperti itu.

Naruto mendekap roh itu dalam pelukannya. Ia menepuk pundak gadis itu. Mencoba memberi sedikit ketenangan. Naruto merasakan Hinata mencengkram seragammnya erat.

"Aku takut.." Hinata tak mampu berbohong lagi. Ia benar-benar takut untuk menerima kenyataan-kenyataan yang ada. Jika ternyata dirinyalah yang bersalah. Jika ternyata selama ini dialah orang jahatnya.

"Ssst.. tidak apa-apa," Naruto semakin mengeratkan pelukannya. Tak peduli lagi pada sensasi dingin yang membuatnya merinding. Naruto hanya bisa menyimpulkan, jika Hinata mengingat sesuatu tadi. Dan kali ini, Narutolah yang akan menunggu Hinata untuk bercerita kepadanya.

.

.

"Kau yakin baik-baik saja?" Hinata menganguk mantap. Menurutnya bukan saatnya Naruto khawatir kepadanya. Harusnya dia mengkhawatirkan dirinya sendiri yang tengah terkunci di sekolahnya.

Hinata mendongak, menatap gerbang di depannya. "Kau yakin akan naik?"

"Mau bagaimana lagi," Naruto mengedikkan bahu.

"Harusnya kau menemuiku besok saja," Hinata merasa sangat bersalah, ia sudah banyak sekali merepotkan pemuda itu.

"Ini sudah terjadi, Hinata. Aku tidak mempermasalahkannya." Hinata mengangguk. Ia tersenyum mengikuti senyuman Naruto.

Naruto mulai menaiki pagar. Pelan, hati-hati namun mantap. Dan ketika sudah dipuncak, ia kembali menatap Hinata. "Kau yakin tidak apa-apa aku tinggal?"

Hinata pasti masih syok mengenai hubungan ayahnya dan Anko, juga ingatannya yang mengerikan dengan Anko karena mereka saling mengancam untuk membunuh.

"Aku baik-baik saja jika kau baik-baik saja," Hinata tersenyum. Naruto pun tak sanggup menahan cengirannya. Baiklah sepertinya Hinata tidak apa-apa.

Deg

Deg

"Hina-"

"Naruto cepat pergi!" raut Hinata berubah panik. Dengan kasar mendorong-dorong kaki Naruto.

"Apa.."

"Sedang apa kau menaiki pagar begitu, Naruto?"

Bruuk

"Aaakh.." Naruto meringis sakit.

Suara itu mengagetkan Hinata dan Naruto. Mereka tersentak. Dan Naruto kehilangan keseimbangannya, jatuh dengan tangan kirinya dulu menyentuh tanah diluar bangunan sekolahnya.

Naruto bangkit berdiri, memegangi lengan kirinya yang terasa sakit. Untungnya bukan cedera parah, tak sampai patah atau keseleo.

"Apa kau terluka?" Hinata menatap bingung seseorang yang membuatnya dan Naruto terkejut.

Kabuto tengah menatap khawatir muridnya. Jarak mereka dekat, hanya terhalang pagar. Jadi Naruto bisa melihat senseinya yang merasa bersalah.

"Tidak sensei.." cengirnya menyakinkan.

"Harusnya kau tidak menaiki pagar." Kabuto menggeleng heran. Lalu berjalan melewati Hinata, menuju pagar kecil yang hanya dibatasi tembok kecil di sebelah gerbang yang besar dan panjang. Kabuto membukannya dan kini sudah berada di samping Naruto.

Bibir pemuda itu berkedut. Menatap senseinya tak percaya. Ia garuk pelipisnya –malu.

"Jadi pintu itu belum dikunci?" Naruto merasa bodoh. Harusnya ia mengecek dulu bukan langsung memutuskan untuk manjat pagar seperti tadi.

Kabuto mengangguk sebagai jawaban.

"Err, tapi kenapa sensei masih disini?"

"Aku sedang membuat soal tadi, dan ketiduran. Teman-temanku tidak ada yang membangunkanku. Sampai penjaga sekolah yang melakukannya. Mereka juga yang memberitahuku jika gerbang utama sudah dikunci dan aku tidak bisa membawa mobilku." Jelas Kabuto tenang. Naruto hanya ber-oh saja. Sesekali melirik Hinata yang masih setia memperhatikan obrolan mereka.

"Lalu kau? Kenapa masih disini?"

"Ah, aku juga ketiduran tadi di ruang klub.. hehe" ucapnya bohong.

Kabuto bergumam. Guru itu kemudian menoleh menatap gerbang itu lurus. Selama dua detik tak ada yang berbicara. Naruto juga sibuk mencari topik untuk dibicarakan dengan senseinya.

"Hinata.."

Hinata mebulatkan matanya. Naruto menoleh terlalu cepat hingga lehernya sakit.

Kabuto-sensei? Tidak mungkin kan?

Naruto menatap Kabuto dengan keterkejutan yang tak disembunyikan. Lalu mengikuti arah pandang pria dihadapannya. Tepat ke arah Hinata berada. Naruto bisa melihat gadis itu juga sama terkejutnya.

"Sensei? Apa yang kau lihat?" Naruto mencoba untuk berbicara dengan nada penasaran yang wajar.

Kabuto menoleh, dan menatap Naruto. "Melihat ke arah yang kau lihat," Eh?!

"..dari tadi kau melihat ke arah sana terus. Aku jadi penasaran." Tambah Kabuto.

"Benarkah?" Kabuto mengangguk. "..Ah, itu hanya perasaan sensei saja," Naruto tertawa canggung setelahnya.

"Tapi, aku mendengar sensei menyebut nama Hinata tadi. Ada apa dengan Hinata?" tanya Naruto hati-hati.

"Benarkah? Mungkin hanya perasaanmu saja." Kabuto tersenyum. Naruto mengangguk gugup.

"Sudah, ayo pulang. Kau naik bus kan? Biar ku antar sampai halte. Aku juga akan naik taksi." Naruto tak punya pilihan, ia mengangguk dan mengikuti senseinya.

Naruto menoleh kebelakang. Menatap Hinata yang masih terpaku.

Dan tentu saja, tingkah Naruto tak luput dari perhatian Kabuto.

.

.

Hinata menatap punggung Kabuto dengan bingung. Dia yakin tadi merasakan aura kelam yang pernah dirasakannya sebelumnya. Namun hanya sebentar, mendadak aura itu menghilang dan tergantikan dengan kehadiran Kabuto dibelakangnya yang mengejutkan.

Dari tatapan Naruto kepadanya. Hinata juga yakin, pemuda itu sempat juga merasakannya.

Hanya kebetulan kah?

.

.

Halte tak terlalu ramai, hanya ada tiga orang termasuk Naruto yang masih menunggu bus. Saat awal Naruto pindah kesini –beberapa minggu yang lalu. Di jam segini masih ada banyak anak-anak sekolahnya yang juga menunggu bus tapi sekarang mereka pasti sudah berada di rumah masing-masing yang dianggap aman.

Naruto menghela napas dan menatap langit. Lagi-lagi tidak ada bintang, hanya langit dengan awan gelap. Sebentar lagi pasti akan ada hujan lebat. Angin sudah berhembus kencang dan gerimis sudah memberi peringatan.

Naruto mengambil i-phone di kantong celananya. Ia ingin menghubungi Nagato. Bukankah tadi siang dia sudah merencanakannya kan? Ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan. Termasuk tentang Anko.

Tuuut

Tuuut

Tak ada jawaban hingga bunyi ke-tiga. Naruto memutuskannya. Mungkinkah paman Nagato sedang bertugas? Dia sedang sibuk?. Naruto memasukkan kembali ponsel pintarnya.

Ia berpikir sebentar dan kembali mengambil ponselnya lalu menghubungi Nagato. Entahlah, Naruto hanya ingin menghubungi paman itu. Bisa dibilang ia cemas tanpa alasan yang jelas.

Tuut Tuut.

Masih tak ada sahutan. Tapi Naruto memutuskan untuk menunggu sampai suara operator yang nanti mengambil alih.

Tuut Tuut..

"Ya, Naruto?" Naruto lega akhirnya panggilannya di angkat. Tapi segera mengenyit menyadari nada Nagato yang aneh.

"Kau baik-baik saja paman? Suaramu terdengar aneh?" Mungkinkah terjadi sesuatu? Naruto makin penasaran ketika Nagato diam beberapa saat.

"Ya, tidak apa-apa. Ada apa Naruto?" meski tak terlalu percaya. Naruto mengangguk saja.

"Syukurlah, aku hanya ingin bertanya sesuatu. Jadi bisakah kita bertemu?"

"Aku sedang bertugas dan tidak ada di kantor. Akan lama jika harus menungguku kembali sekarang. Besok saja, bagaimana?" Naruto bergumam, tugas apa yang membuat polisi itu sampai terdengar sedang waspada begitu?.

"Begitu ya, baiklah paman. Sampai nanti."

Naruto memutuskan sambungannya. Apakah ia harus menunggu Nagato saja di kantornya? Atau langsung pulang?. Jujur saja Naruto penasaran sedang kemana polisi itu. Dia pasti sedang menyelidiki kasusnya kan?.

Ting

Naruto melihat ponselnya. Sebuah pesan di grub chat kelasnya. Sang ketua mengingatkan tentang tugas yang harus di kumpulkan besok.

Naruto mendengus. Benar, tak hanya tugas klubnya. Dirinya juga masih harus mengurusi tugas-tugas sekolahnya kan?

Ting

Ting

Kali ini pesan dari Ino yang berisi umpatan kepadanya. Naruto meringis. Ya, untuk sekarang dia harus segera pulang sepertinya. Tak hanya tugas pribadinya, ia juga harus menyelesaikan salah satu tugas resume milik Ino sebagai ucapan terima kasih dan permintaan maaf tadi.

.


.

"Silakan diminum tehnya," Nagato mengangguk. Ia kemudian meminum tehnya perlahan. Kini ia sudah berada di rumah wanita tua yang ditemuinya di kuil tadi. Rumahnya terletak jauh di bawah kuil. Di bawah bukit, hampir dekat dengan jalan raya.

"Terima Kasih,"

"Kau sendirian? Tidak dengan temanmu?" Teman? Nagato cukup terkejut. Apakah,

"Apakah bibi masih mengingatku,"

Wanita tua itu tersenyum ramah. Rambutnya sudah banyak yang memutih, kulitnya juga lebih kendur tapi tetap terlihat cantik. "Sudah ku bilang, tidak ada lagi orang yang mengunjungi kuil itu selama puluhan tahun."

Nagato mengerti. "Jadi apakah bibi masih merawat kuil itu sendirian?"

Bibi itu menggeleng. "Kau bisa melihat tempat itu jauh lebih tidak terawat kan? Aku sudah tua. Dan aku harus memikirkan keluargaku."

Nagato meminum kembali tehnya. Tak ada yang istimewa, hanya saja tidak tahu bagaimana, teh yang diminumnya ini ampuh membuat perasaan dan tubuhnya lebih ringan.

"Lalu kenapa bibi bisa kesana?" yang ditanya diam beberapa saat.

"Tiba-tiba saja aku ingin berjalan-jalan ke bukit. Dan melihat ada mobil di depan kuil, jadi aku masuk untuk memeriksaanya." Di cuaca seperti ini? Di usianya yang sekarang? dan lagi jarak kuil dan rumahnya sangat jauh. Memangnya seberapa ingin wanita ini jalan-jalan?

Nagato mengernyit curiga. Jelas sekali pasti bukan kebetulan wanita dihadapannya pergi kesana.

"Tak seharusnya kau pergi ke tempat itu,"

"Ada yang aku cari."

"Apa? Kau sudah menemukannya?"

Nagato menggeleng. "Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang kucari. Aku hanya berpikir mungkin aku akan menemukan sesuatu disana,"

"Apa ada yang bisa kubantu?" Nagato mengangguk dan tersenyum.

"Mungkin, aku ke sana karena memang ingin bertemu denganmu."

"Bibi, masih ingat dengan temanku kan?. Aku ingin tahu apa yang kalian bicarakan waktu itu?"

"Temanmu tidak memberi tahumu?" Nagato menggeleng.

"Sebenarnya, temanku itu dia menghilang tujuh belas tahun yang lalu. Mungkin beberapa minggu setelah dia datang ke kuil saat itu."

Wanita tua itu menutup mulutnya. Dia sangat terkejut.

"Aku tidak tahu. Aku turut berduka."

"Apakah dia menghilang karena ceritaku?" lanjutnya.

"Mungkin tidak. Dari ceritamu, dia pasti mengetahui sesuatu. Jadi aku juga ingin mengetahuinya, bi."

Ia terlihat ragu. Bagaimanapun, bukankah ceritanya membuat seseorang dalam bahaya?

"Tidak apa-apa, bi. Aku adalah seorang polisi sekarang, aku bisa menjaga diri, dan aku punya tim di kepolisian yang akan membantuku. Dulu Hinata melakukannya sendiri, jadi dia terluka."

"Jadi, Bibi Matsuri. Anda tidak perlu mencemaskan aku."

.

Sudah sepuluh tahun lamanya Matsuri merawat kuil ini sendirian sejak peristiwa itu terjadi. Setiap pagi dan sore seperti ini, ia akan datang untuk menyapu halaman. Selama itu pula tidak ada lagi yang pernah datang ke tempat ini, selain suami dan adiknya yang terkadang ikut membantu atau sekedar menjemputnya. Karenanya ketika ada pemuda-pemudi yang masih mengenakan seragam sekolah menghampirinya di senja hari begini, dia terkejut.

Kedua anak muda itu membungkuk memberi salam, pun sebaliknya.

"Tidak ada apa-apa disini. Aku hanya membawa air, maafkan aku."

Hinata menggeleng. "Tidak apa-apa, bi. Kami kemari hanya sebentar."

Kini Hinata dan Matsuri duduk di teras bangunan pemujaan yang luas. Nagato memilih pergi berkeliling. Hinata memperhatikan keadaan bangunan di dalam dari tempatnya duduk saat ini.

"Jadi ada apa kalian kemari?"

"Ah," Hinata tersentak. Ia segera tersadar dengan tujuannya. Buru-buuru ia membuka tasnya dan mengambil buku bersampul hitam dan memberikannya pada Matsuri.

"Aku dengar, buku itu di tulis oleh salah satu pendeta dari Kuil ini."

Matsuri tampak tak percaya dengan yang dilihatnya. "Benar.." Jawabnya masih membolak-balikkan halaman buku itu. Dia tak membacanya, hanya melihatnya saja. "..Harusnya buku ini sudah ditarik dan dimusnahkan dua belas tahun yang lalu. Dari mana kau mendapatkannya?" Hinata hanya mengangguk. Dari wajahnya Nampak dia sudah pernah mendengar informasi tersebut.

"Aku memin- mengambilnya dari perpustakaan kota." Ucapnya tak enak. "Jadi, bi. Aku ingin tahu ada apa dengan buku ini?"

Matsuri menghela napas. "Kami hanya tahu, apa yang boleh kami ketahui saat itu."

"Dan yang kau dengar, mungkin juga bukan sebuah kebenaran."

"Tak apa, aku ingin tahu." Hinata menatap yakin.

Matsuri menatap Hinata. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Dulu, kuil ini di pimpin oleh Sembilan pendeta pelindung. Dan salah satu dari pendeta memiliki kemampuan untuk berbicara dengan makhluk-makhluk tak kasat mata. Dia tidak melihatnya hanya mendengar dan berbicara dengan mereka."

"Hingga kemudian dia melakukan kesalahan."

"Kesalahan?"

Matsuri mengangguk. "Dia menggunakan kemampuannya untuk menulis buku ini," Matsuri meraba buku dipangkuannya.

"Dia mencari segala informasi dari makhluk-makhluk itu dan bekerja sama dengan mereka. Dan menuliskannya."

"Jika dengan buku hasil cetakkan seperti ini. Mantra-mantra atau apapun itu memang tak berpengaruh secara langsung terhadap orang-orang yang membacanya. Mereka hanya bersifat sebagai pengetahuan. Kecuali dengan buku asli yang ditulis sang pendeta. Namun tetap saja, jika banyak orang yang membacanya dan percaya mereka bisa menggunakan mantra itu untuk memanggil iblis ataupun bekerja sama dengan siluman.."

"Maka itu akan terjadi. Dengan keyakinan, harapan dan keputus asaan dalam diri manusia. Mereka bisa memanggil iblis, ataupun menciptakan iblis."

"Karenanya, sebelum beredar semakin luas. Buku ini ditarik, dan di bakar. Dan untuk memulihkan nama baik kuil, pendeta itu ditangkap dan diadili sendiri oleh ke-delapan pendeta yang lain,"

"Tidak ada yang tahu bagaimana pendeta itu di adili. Hanya saja, malam itu, seluruh penghuni kuil diminta langsung oleh para pendeta untuk berdoa di sini." Matsuri melihat ke dalam ruangan. Disanalah dia dan teman-temannya berkumpul dan berdoa. Hinata mengikuti arah pandang wanita itu.

"Sembilan jam lamanya kami disini. Tak ada yang boleh pergi ataupun tertidur. Apapun yang terjadi kami harus tetap terjaga dan berdo'a."

"Sebenarnya kami sangat ketakutan dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Apalagi terdengar suara teriakan dan jeritan dari gedung utama kuil –tempat para pendeta. Tapi tak ada yang berani menentang atau mencoba beranjak dari tempat ini.."

"Hingga.. kami melihat asap yang membumbung tinggi. Itu berasal dari area kuil di belakang gedung ini. Kami pun berbondong-bondong melihat apa yang terjadi,"

Dan disana, Pendeta itu tengah di bakar bersama buku asli yang ditulisnya." Hinata menutup mulutnya tak percaya. Ia berpikir jika itu sungguh kejam.

"Kami tidak tahu, apakah sebelum di bakar pendeta itu sudah mati atau belum."

"Tapi keanehan terjadi, saat api sudah padam buku itu masih ada, masih utuh tak ikut menjadi abu bersama tuannya."

"Ke-delapan pendeta yakin itu bukanlah pertanda baik. Karena itu mereka menyegel dan menyembunyikan buku itu entah dimana dibagian kuil ini."

"Dua tahun setelah kejadian itu. Peristiwa lain terjadi disini. Tepat di tanggal, bulan dan jam yang sama ketika pendeta itu dibakar. Kuil ini terbakar. Hampir semua penghuni tengah berada di dalam kuil beserta kedelapan pendeta karena bersamaan seusai kami mengadakan upacara berdo'a bersama."

"Dari puluhan penghuni. Hanya dua belas yang selamat." Matsuri menatap Hinata. "Itulah cerita yang kutahu, Hinata."

"Tapi, bukankah penulis buku ini adalah pendeta. Ku pikir tak mungkin pendeta menginginkan orang menciptakan iblis, bukan?" ada beberapa hal dalam cerita, yang tak bisa Hinata terima.

"Karena itulah, mereka mengatakan dia melakukan kesalahan."

"Lalu dimana buku asli itu sekarang?"

Matsuri menggeleng. "Kami yang selamat saat itu mencoba mencarinya. Tapi tak pernah menemukannya. Itulah kenapa aku masih disini, meski teman-temanku telah pergi."

"Bibi masih disini hanya karena buku itu?"

"Tentu saja tidak. Dibanding temanku yang lain yang selamat. Akulah yang paling tua diantara mereka. Aku pula yang paling lama berada dan belajar disini. Mungkin kau bisa menyebutnya sebagai loyalitas?"

Hinata tersenyum kagum, "Kau dan ceritamu sangat luar biasa, bi."

"Tapi.. boleh ku tahu nama.."

.

"..nama kesembilan pendeta itu, bi?" Tatap Nagato penasaran. Ia ingin tahu siapa mereka dan siapa pendeta yang dihukum itu.

Matsuri tersenyum, "Tentu saja,"

.

.

24 Desember 1997

Aku menemukannya,

Pembunuhnya,

Orang yang sudah ku duga,

.

.

To Be Continue

.

.

A/N: Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelambatan story ini berlanjut. Saya juga tak menginginkannya tapi ya begitulah. Saya rasa kali ini adalah chapter terpanjang yang pernah saya buat. Banyak flashback juga fakta baru?

Maaf jika reader merasa jika alur cerita ini terkesan muter-muter dan berbelit. Saya juga tidak ingin jika story ini punya banyak chapter. Tapi jika saya cepetin dan persingkat, takut malah ngga ada feelnya dan terkesan maksa. Karena itu, mungkin di chap berikutnya panjang wordnya akan seperti ini. Semoga tidak membosankan.

Terima kasih, bagi readers yang setia mereview, favourite dan follow. Hal kecil yang kalian lakukan, benar-benar bernilai besar bagi saya. :))

See yaa,

.

Jakarta, 8 january 2017

Salam, mey Lv