.

.

.


DISCLAIMER


EXO SEHUN DAN LUHAN ADALAH MILIK TUHAN, MILIK ORANGTUA MEREKA MASING-MASING, MILIK DIRI MEREKA SENDIRI, DAN JUGA AGENCY TERKAIT. NAMA SEHUN DAN LUHAN SERTA SEMUA TOKOH YANG TERLIBAT HANYA DIPINJAM UNTUK KEBUTUHAN CERITA. KARAKTER SEHUN DAN LUHAN DALAM MALE DEPOSE HANYALAH CIPTAAN SAYA, KARENA ITU, KARAKTER MEREKA DALAM FANFIKSI INI BUKANLAH KARAKTER ASLI MEREKA DI DUNIA NYATA.


~oo0oo~


PROLOG

.

.

.

Udara berhembus dingin, gorden jendela berkibar. Detak-detik jarum jam dinding bergerak memutar. Meskipun jam itu membisu, namun detik halusnya memecahkan kesunyian di ruangan kamar itu. Seorang pria manis berkaus hitam duduk agak condong ke depan. Perutnya menempel pada sisian meja, dan bokongnya menekan bantalan kursi dengan posisi tubuh tidak tegak. Jari-jari kanannya memegang mouse, bersiap men-dial internet. Matanya yang berkelopak redup menatap lurus pada layar notebook berbingkai hitam, dengan bibir terbuka sedikit ketika koneksi internetnya tersambung. Ia menekan beberapa tombol keyboard dengan cepat, dan layar notebook menampilkan setumpuk e-mail yang masuk ke inbox-nya dengan tepat.

"Sampah."

Kembali ia memutar mouse, iseng-iseng meng-klik salah satu 'e-mail sampah' itu.

'Congratulations, your e-mail address has won! Dear Winner, we are pleased to announce to you as one of the bla bla bla…'

Ia tersenyum kecut. Hadiah? Lucu sekali –pikirnya. Jarinya kembali bergerak, mengalihkan kursor ke e-mail lain.

'Drugstore with 75% discount! Products : hydrocodone ($ 35,24 per box), Viagra ($ 17,45 per box), Cialis ($ 2,25 per pill), and anything else you might desire. Visit to WWW. HAPPYSEX. COM.'

"Sial!" ia mengumpat. Ia arahkan kursor menuju deleted items. "Aku mungkin akan mencoba memesan, tapi tidak sekarang. Maaf, anda belum beruntung," ia menggumam sembari memutar kursor ke e-mail lain. Matanya menyusuri inbox-nya satu-persatu hingga letih. Ia bosan, tidak ada yang menarik. Bukan semua e-mail itu yang membosankan, melainkan hidupnya.

Namanya Luhan. Tampan, berpendidikan, juga mapan. Tidak ada yang salah dengan dirinya. Tapi sayang, pengalamannya untuk urusan asmara dapat dihitung dengan jari tangan. Huh, salah! Yang benar adalah, pengalaman asmaranya bahkan tidak ada, masih sebatas angan-angan. Memangnya lelaki mana yang sudah berumur dua puluh sembilan, tapi belum pernah berpacaran?

Posisi duduknya ia tegakkan karena merasa pegal, kemudian ia berputar-putar di kursi itu sambil menatap langit-langit kamar apartemen yang ia huni. Otaknya mendidih ketika pikirannya tiba-tiba saja melayang pada sesosok lelaki tinggi. Lelaki itu bernama Kris Wu, pria tampan yang juga mapan, dengan kualitas premium nomor satu. Tidak ada yang mengganggu, tapi Luhan kesal karena Kris Wu mudah sekali menggaet perempuan. Dunia memang tidak adil, seolah ingin membuatnya menjadi tampak kerdil. Bukan cemburu, ia hanya heran. Kris memang tampan, ia modis, dan juga maskulin. Hampir tidak ada gadis yang tidak akan terpikat olehnya. Sampai-sampai sekretaris bertubuh aduhai yang baru saja debut di kantor mereka beberapa waktu lalu, dalam sekejap telah terjatuh oleh pesona Kris hanya karena beberapa kali mereka bertemu. Agak sialan memang.

Luhan mendesah lelah sebelum ia terkekeh pelan. Menggelikkan, -otaknya bersuara. Terus terang saja, ia sendiri pun bahkan pernah tertarik pada Kris, tapi harga dirinya yang tinggi menahannya untuk menunjukkan semua gelagat itu. Ia tidak menyukai perempuan, belum pernah sekalipun. Ia tidak tahu sejak kapan ia seperti itu. Mungkin saja ia memang sudah menyimpang sejak lahir? atau sejak remaja? atau sejak kapan? ia sendiripun sejujurnya tidak terlalu merasa peduli akan hal itu.

Ketika Luhan lelah, ia menatap ke bawah. Ia tidak lagi menatap langit-langit kamarnya yang bermotif petir. Ia beralih menatap seisi ruangan kamarnya yang di cat hitam kelam selayaknya hunian vampir. Ranjangnya mewah, diimpor dari Eropa. Sayangnya terlihat kaku dan juga dingin. Beberapa furniturmodern yang berada di sekitar kamar juga sengaja dipilihnya dari kualitas yang paling baik. Uang sama sekali bukan masalah. Ia kaya. Ia adalah pria mapan yang sukses, hanya agak kesepian saja.

Seperti kebanyakan orang-orang, tentu saja ia juga ingin mempunyai pasangan, dan tentu ingin menikah. Tapi tampaknya hal itu terasa sulit untuk ia lakukan. Padahal jika melihat fisik dan juga kondisi finansialnya, sudah barang tentu tidak ada wanita yang tidak mau dengannya. Bukan sedikit gadis-gadis genit di kantor mencoba menggodanya dengan berbagai cara, tapi ia tidak tertarik, itu saja alasan utamanya. Pokoknya dia tidak menyukai wanita, titik. Pokoknya, dia berbeda, titik.

Sejujurnya, menjadi berbeda membuatnya terus-menerus gelisah. Perbedaan ini terkadang membuatnya merasa jijik pada dirinya sendiri. Lalu bagaimana kalau sampai orang lain yang melihatnya? Pasti akan menjadi lebih menjijikkan lagi. Maka dari itu, ia menutup jati dirinya rapat-rapat. Sampai matipun ia tidak berencana membongkarnya. Semua hanya karena alasan arogan bahwa ia adalah seorang pria yang terhormat.

Memiliki seksualitas yang menyimpang adalah sebuah aib, sudah barang tentu ia harus bersembunyi. Ia bahkan tidak mampu membayangkan kalau sampai orang-orang tahu jika ia merupakan salah satu dari golongan kaum penyuka sesama jenis yang laknat itu. Jika hal demikian sampai terjadi, masa-masa itu sudah pasti menjadi masa dengan tragedi paling buruk dalam sejarah hidupnya. Hanya dengan memikirkannya saja, kepalanya mendadak pusing. Ia memijit pelipis untuk mengurangi sakit, memejamkan mata dan mengatur napas. Matanya terpejam bukan karena mengantuk, ia hanya sedang berusaha menyingkirkan semua animo yang menari di dalam otak. Ia tidak ingin terperangkap kedalam hasrat besar yang lama terpendam itu. Tidak munafik, ia memang membutuhkan kasih sayang dari seseorang. Hasrat itu begitu kuat, namun ia ragu untuk berpura-pura menyukai perempuan ataupun memilih come out.

Jarum jam terus berputar, waktu terus berlalu. Tidak ada yang dilakukan Luhan selain memejamkan mata. Terlalu banyak yang sudah ia pikirkan, membuatnya pusing. Motif abstrak dan juga huruf acak memenuhi kepalanya. Ia mulai memikirkan tentang liburan, dan film bioskop, dan apapun yang terlihat menyenangkan. Semua ia bayangkan dengan mata terpejam, sampai ia mulai melihat dirinya kencan dengan seseorang yang tampan, dengan tangan yang saling menggenggam, dan ia yang lebih dominan. Memikirkan itu saja sudah membuatnya terangsang dan senang. Ia bisa melakukan apa saja dengan kekasih hayalannya. Ia bisa membelikannya apa saja, uangnya banyak, dan...

Mata Luhan terbuka. Mendadak, ia mendapatkan pikiran aneh yang nyeleneh tentang menyewa seseorang untuk menjadi kekasihnya. Bayangan uang-uangnya yang banyak, melintas begitu saja. Benar juga, mengapa ia tidak menggunakan semua uang itu untuk memperoleh kebahagiaan meskipun hanya sekedar kebahagiaan semu? Lagipula siapa yang akan peduli? yang penting kan ia bahagia. Uang adalah dewa dari segalanya bukan? Semua kehidupan berpusat padanya, mau setuju ataupun tidak. Tidak ada manusia yang mampu hidup tanpa uang di zaman modern ini. Kalaupun ada, hidupnya pasti sangat mengenaskan sekali.

Luhan memijit pelipis. Ia mulai merasa gila. Ingin rasanya ia menghina isi otaknya sendiri. Sebungkus rokok ia raih dari atas meja, lalu ia sulut isinya satu batang. Ide tadi masih saja menari-nari di kepalanya, yang dengan aneh membuat jantungnya berdebar tak biasa. Keningnya berkerut karena ia sedang berpikir dan menimbang-nimbang, lalu tak berapa lama, ia menegakkan posisi duduknya. "Yah, tak ada salahnya di coba. Lagipula ini hanya iseng," ia menggumam sambil mengangkat bahu. Ujung rokoknya yang baru ia hisap sedikit ia tekan ke permukaan asbak berwarna merah sampai apinya yang oranye menghilang. Tiba-tiba semangat untuk menghisap rokok mahal itu lenyap begitu saja karena ada semangat lain mengambil alih dirinya dalam sekejap.

Luhan menatap notebook-nya lagi setelah benda itu menontonnya melakukan ini dan itu sejak tadi. Ia berpikir, bimbang menentukan kalimat pertama. Tapi beberapa menit kemudian, jari-jarinya sudah mengetikkan sebuah kalimat pembuka dengan lincah, dengan kalimat yang ia rasa paling pas, tanpa basa-basi, tanpa bertele-tele, penuh dengan keyakinan. Ia mengetikkan beberapa kalimat lagi hingga akhirnya ia sampai pada kalimat penutup. Untuk beberapa saat, ia baca ulang hasil curahan otaknya itu dan mengedit beberapa bagian, sebelum akhirnya ia menarik napas dan memutuskan koneksi internet. Ia beranjak dari kursi, bergegas ke ranjangnya sendiri untuk tidur. Ia sudah mengantuk. Lagipula, besok ia harus bekerja pagi-pagi sekali, karena itu ia tidak boleh tidur terlalu larut malam ini.

.

.

.

Namaku Xi. Aku pria independen, tampan dan mapan, tapi aku gay. Aku mencari seorang pria yang siap untuk kujadikan simpanan. Aku akan memberikan gaji yang besar bagi siapapun yang bersedia menjadi kekasihku. Aku tidak akan memberikan syarat yang berat. Aku hanya membutuhkan pria yang mampu menutup mulutnya rapat-rapat. Karena aku sangat terhormat, kuharap pria yang datang kepadaku setidaknya memiliki intelegensi yang sepadan. Tidak perlu repot melakukan apapun untukku, karena aku bukan mencari budak. Aku hanya butuh di sayangi, lalu aku tidak akan meminta apapun lagi. Jangan takut, aku tidak akan menuntut seks. Aku hanya ingin seseorang memberikan perhatian padaku seperti seorang kekasih sungguhan. Jika berminat, hubungi aku segera dan kita akan adakan pertemuan.

Xi. Seoul, 20 October 2014 –

.

.

Hai Tuan Xi, namaku Sehun, 23 tahun. Jadi kapan kita bisa bertemu?

.

.

.

.

.

A/N : Cerita ini sedang saya revisi. Maka dari itu chapter 1 sampai 8 saya hapus dahulu, maaf. Saya sedang berusaha memperbaiki tulisan saya yang amburadul, merombaknya agar lebih realistis dan nyaman dibaca untuk semua usia, serta menyesuaikannya dengan guidlines FFN. FF ini akan saya repost kembali setelah revisinya selesai. Untuk readers saya, makasih sudah memfavoritkan dan memfollow FF ini, saya mohon pengertian kalian ya. Thanks.