CHAPITRE 1 : ENTREÉ

[Seorang chef sejati adalah gabungan dari kimiawan jenius, pelajar yang tekun, seniman artistik, pembau yang handal, petarung yang kuat, pengguna bahasa yang jitu, dan seorang yang tengah jatuh cinta.]

...atau begitulah kata ibuku. Tapi aku, yang anaknya ini, bahkan tidak paham akan jalan pikiran dari perkataan ini. Sebegitu tidak pahamnya aku akan teori ini sampai-sampai aku mau menjedugkan kepala ke dinding ketika bertemu dengan cowok yang mirip sekali dengan deskripsi ibuku, hanya tanpa jatuh cinta-jatuh cintaannya.

.

.

.

I Like It Hot and Fast (And Yummy)

By : Biskuit Coklat Hati

Disclaimer : Hetalia isn't mine, mind you. No financial benefit is being reaped from this act of fiction so...

Pairing : Het deh pokoknya.

Genre : Gourmet!AU. romance. Comedy.

Warning : Fem!Indonesia, crack-pair, OOC tingkat ASEAN, kesalahan dalam referensi gourmet, Typo, kata tidak baku dan lain-lain, beberapa kesalahan dalam referensi hetalia, mungkin adegan rate M di bagian-bagian selanjutnya jadi di tag sebagai rate M saja deh. No Mary Sue. Sorry to disappoint you, Mary-Sue Hunters.

Francis : France / Lovino : Romano / Antonio : Spain / Anri : Belgium / Mona : Monaco / Bumi : Indonesia (OC), Hatta Gibran(OC) : Padang

.

.

Chapitre 1

.

.

Prancis, Paris

Suasana di dapur restoran bintang tiga michelin itu terasa seperti neraka. Yah, bagaimana tidak—wong malaikat maut yang mestinya patroli di neraka sekarang lagi nongkrong sambil teriak-teriak di dapur restoran itu kok. Suasana hiruk-pikuk berdentingan dengan suara teriakan, suara pisau bertemu dengan rounde(1), suara patukan pisau, suara menggoreng ikan, suara mengoseng. Seperti orkestra harmonik yang dipimpin oleh sang sous chef dengan garis wajah keras namun berwajah rupawan. Rambut berwarna cokelat tanah itu tertutup oleh topi tinggi khas chef. Tidak lupa satu helai rambut panjang yang melingkar, lengkaplah sudah ketampanan sang sous chef.

"Oi, entreé(2)! Cepat bawakan amuse untuk tamu. La sell déjà compléte, déchepez(3)!" seruan berat itu terdengar, dan jawaban 'Ouí(4)!' yang keras membahana di dalam dapur. Belum sempat sang entreé muda membawakan amuse-nya, tiba-tiba sang naga berteriak, "Woi, anak bocah! Kenapa mayonaise-nya lengket begini? Kau mau menyuguhkan yang seperti kotoran ternak ini untuk para tamu? Mau ku-poche kepalamu sampai hancur? Ulangi lagi!" dan dengan begitu sang entreé cuma bisa menunduk pasrah dan mengulang kembali saladnya dengan sedikit perasaan kecut. "Viande(5)! Ikannya harus dipanggang dengan benar-benar matang, salah satu derajat saja kita bisa habis! Tidak, kau yang bakal habis!" sang viande mengangguk dan berteriak, 'Ouí!' Dengan cukup keras. "Lalu handkitchen(6)! Jangan cuma bergerak tak karuan, bantu mengupas kentang!" salah satu handkitchen kikuk hanya mengangguk kecil. "Mana jawabmu, sialan?!" bentak sous chef itu sadis. "Y-yes!" seru handkitchen itu sedikit mencicit. "Jawab pakai bahasa Perancis..." ucap sang chef dengan aura super sadis dan sama sekali mengintimidasi. "O-Ouí, Chef!" dan dengan itu si handkitchen malang segera ngacir pergi menjauhi orang-orang disekitar mereka. "Tableu trois, six menus! Tableu onz, vingt menus! Tableu huit, dix menus(7)!" teriakan servant terdengar membahana, dan suasan semakin hidup.

"Hari ini pun Chef tetap sparta, ya..." bisik salah satu commis de chef kepada temannya. "Namanya juga lulusan Le Cordon Bleu(8) yang asli. Dia pasti mau semuanya perfekto. Keren banget nggak sih, dia?" jawab temannya dengan wajah mengagumi. "Ah, tapi aku merasa takut jika harus dekat-dekat dengannya. Aku pernah melihat dia menonjoki vending machine tanpa alasan yang jelas..." mereka berdua masih bergosip walau tidak sadar aura pekat yang berada di belakang mereka.

"Hei, Para Bocah. Apa aku menyuruh kalian untuk mengobrol seperti tante-tante tidak ada kerjaan, ha?" suara ala mafia itu terdengar begitu dekat dengan kuping mereka, yang seketika membuat mereka memucat dengan sempurna. Ketika mereka berbalik, wajah dingin sous chef yang mereka hormati sudah terpampang jelas, dibumbui dengan sedikit amarah dan rasa kesal. "Ma-ma-ma-maafkan kami Cheffff!" dan dengan itu mereka langsung memotong-motong lobak putih yang seharusnya mereka lakukan sejak tadi. Sang sous chef(9) tersebut hanya mendecak sambil berlari menuju konternya.

Fricasse poulet, adalah ayam kuah fresh cream. Tangan cekatan sang sous chef memotong-motong ayam, menaburinya dengan lada dan garam. Sambil menunggu lada dan garam meresap, dia memasukkan thymes, wortel, bawang bombay jadi satu. Dia kemudian menggoreng ayam lada garam tersebut dengan api simmer. Disini adalah poin pertama tersulit dalam membuat fricasse poulet, yaitu adalah warna ayam yang tidak boleh mendekati kecokelatan yang bagus. Hal itu akan menyebabkan rasa yang tidak segar dan bau berminyak. Warna ayam harus tetap pucat, dan ketika warna pucat itu sudah terlaksana harus segera dicampurkan dengan thymes, bawang bombay dan wortel serta tepung putih.

Sous chef itu berkeringat sangat banyak. "Oi Hand kitchen, lap wajahku. Hati-hati nanti terkena masakan." Ucapnya dengan suara yang pelan. Dengan gemetar salah satu handkitchen mengelap keringat yang mulai akan berjatuhan dari dagu sang pria tampan. Sementara itu, sous chef tersebut sibuk memisahkan tulang ayam dan merasakan fondué. Setelah kaldu ayam putih tersebut dicampurkan dengan ayam serta thymes, tepung dan bawang bombay, beliau segera mengangkat ayamnya dan mencampurkannya dengan fresh cream, merebusnya sebentar, dan kemudian menghidangkannya diatas bowl plate. Sambil mencoba pouletnya ia mengangguk sebentar dan meletakkan empat fricasse poulet diatas konter, siap untuk disajikan.

Hari ini pun dia bisa menghidangkan makanan enak.

.

.

.

.

"Tes-tes. Rekorder ini sudah nyala?"

..."Itu sudah bekerja sejak tadi, Monsieur."

"Oh ya, benar juga. Jangan pasang wajah begitu dong, Ma cheré Mona—nanti cantiknya jadi hilang." Srek, srek. "Sudah siap dengan penamu, Mona? baiklah, kita bisa mulai interviewnya. Jadi, nama kamu... Bumi Adhiswara?"

"Benar, Pak."

"Bumi...?"

"Adhiswara. A-d-h-i-s-w-a-r-a."

"Nama kamu cukup sesuatu ya. Disini kamu mau signin jadi... saucier. Saucier(10) bukanlah posisi yang mudah, kamu mengerti itu kan?"

"Tunggu, Monsieur, ngomongnya jangan cepat-cepat..."

"..."

"Saya mengerti bahwa saucier adalah posisi yang cukup sulit, Pak. Tapi saya yakin saya bisa menambah kualitas restoran anda dengan kemampuan saya. Walaupun wajah saya seperti ini, di negara asal saya saya merupakan salah satu murid dengan nilai tertinggi, dan saya bisa dan mampu menjadi salah seorang chef de parties yang handal."

"Aku mengerti. Karena teman dekatku sendiri yang merekomendasikan kamu padaku, karena itu kamu bisa aku interview dengan mudah saat ini. Menilik betapa maniaknya dengan masakan prancis dan betapa tahunya dia kepentingan dari sebuah dressing dalam gourmet kami, aku mempertimbangkan rekomendasinya. Kualifikasi sertifikat kamu pun legite, dan kamu terlihat cukup mapan dalam bidang yang kamu kuasai."

"...Tapi?"

"Tapi sayangnya, posisi saucier restoran kami, sudah ada yang menduduki."

"Apa? tapi... Pak Hatta bilang pada saya bahwa posisi saucier tempat ini kosong..."

"Berarti Hatta sedang mempermainkanmu. Kamu yang seharusnya sudah bersamanya bertahun-tahun, pasti tahu kalau Hatta tidak akan memberikan segala sesuatunya dengan mudah, kan?"

"...!"

"Dan tentunya dia itu sadis tingkat tinggi yang suka melihat orang-orang disekelilingnya megap-megap seperti ikan mas koki sementara dia tertawa-tawa. Kan?"

"...!"

"Jangan terlihat terkejut begitu. Aku sangat tahu bagaimana tingkah bejatnya itu. Dia memang tidak pernah berubah ya... nah. Kalau sudah begini, apa yang akan kamu lakukan, Ma cheré?"

"Saya datang kesini untuk memeperbaharui teknik memasak saya—dan juga menaikkan pamor negara saya. Apa tidak ada lagi pilihan untuk saya selain... pulang dengan wajah tertunduk, Pak?"

"Sebenarnya ada, tapi kamu yakin kamu mau melakukannya?"

"Apa saja akan saya lakukan, Pak!"

"...Monsieur, wajahmu jadi menakutkan."

.

.

.

.

.

Jam sepuluh malam, Le Roi ditutup. Semua pekerjanya sudah pulang, tinggallah cowok dengan sehelai rambut susah diatur di dahinya. Wajah aristokratik yang berwarna tembaga muda tersebut terlihat datar seperti biasa ketika handphone -nya bergetar di kantungnya. Dia segera menyalakannya dan menyapa orang diseberang. "Halo?"

Hening. "Antonio? Kenapa kau menelponku?" pertanyaan retoris—bukankah setiap hari setiap saat setiap jam sang pria yang sudah bersamanya semenjak kecil itu selalu menelponnya? Tidak perduli jam berapa? Tidak perduli bill phone-nya yang seakan meraksaksa? Tidak peduli apakah itu saat yang tepat untuk melakukan international call? Lovino Vargas sudah biasa dibombardir orang-orang tak tahu diri nan tidak tahu tempat, dan bersyukurlah dia, dia tidak tumbuh menjadi cetakan biru dari orang diseberang telpon ini, Antonio Carriedo.

"...Tidak usah menelponku, bodoh. Kau fikir aku masih bayi apa? perlu kau tuntun setiap saat? Sudah, kau benar-benar membuatku pusing!" bilangnya sih begitu, tapi Lovino tak juga menutup handphone -nya sendiri. "Kompetisi masaknya masih tiga bulan lagi, jadi calm your fucking titties dan biarkan aku berfikir masakan apa yang tepat untuk kompetisi sialan itu." Lovino si mulut vulgar is on action, suara dari ujung telpon berkata seperti itu. "Diam. Atau aku akan marah." Lovino menaiki motornya dengan wajah orang kecapekan. Hari ini memang sungguh seperti hari dimana orangtuamu kepingin tahu nilai rapor UTS-mu. Menguji kecekatan tangan (untuk menyembunyikan rapor), mengeringkan tenggorokan (untuk mencari alasan-alasan supaya mereka amnesia mendadak dan lupa ingin mengecek rapor-mu) dan menguras keringat dingin (karena nervous) bukan berarti Lovino pernah merasakan amarah dari orangtuanya, karena dia kan tidak punya orangtua.

"Kudengar di restoranmu akan ada anak baru?"

Antonio, Oh Antonio. Orang ini ibu-ibu penjual koran atau seorang matador, sih? Kenapa dia bisa tahu semua hal begini? "Aku nggak tahu. Darimana kau tahu itu?" Lovino mengetatkan syalnya. "Francis yang memberi tahuku. Yah, berarti aku spoiler, ya?" suara diseberang sana masih terdengar begitu hiperaktif, Lovino jadi capek mendengarkannya. "Aku tidak tahu apakah bakalan ada anak sialan yang mau masuk ke dapur, tapi kalau dia bodoh dan tidak bisa diajari, maka lebih baik aku buat hidupnya menderita nanti." Deklarasi Lovino, cukup membuat kerdil orang-orang. "Jangan begitulah. Kudengar dari Francis kalau anak itu cukup manis. Bagaimana kalau kau pacari saja dia dulu?"

"Aku tidak tertarik dengan siapapun. Dan walaupun dia manis, aku tidak akan mau bersama dengan kenalan satu dapur. itu sangat tidak bergintegritas dan tidak profesional."

"Ayolah, jangan jadi spoiled sport gitu. Kau kan sudah lama tidak tidur dengan siapapun, pantaslah kau jadi begini frigidnya."

Lovino mengerutkan dahi tidak percaya. "Siapa yang baru saja kau katai frigid, Antonio? Aku bisa membuat tiga orang wanita bertekuk lutut jika aku mau."

"Oh ya? Siapa ya, yang dulu menggumam sendirian sambil memasak cokelat untuk Anri dan ketika Anri memuji si pemasak, dia langsung jadi merah dan hampir pingsan?"

Mendengar reminisken dari potongan masa lalu Lovino yang cukup bernoda, Lovino menggeram dengan nada yang cukup berbahaya, membuat Antonio, yang tadinya tertawa buas, berhenti dengan deheman malu-malu. "Pokoknya, jangan terlalu memikirkan kompetisi itu, oke? Kau tidak akan mau membuat dirimu sakit. Jangan lupa makan siang, hanya karena kau sibuk dengan Mise en Place kau bisa seenaknya mengabaikan kebutuhan tubuhmu. Kau butuh gula untuk menghasilkan tenaga. Jangan lupa keramas rambutmu, cuci kotoran dibelakang telinga dan lutut—"

"Sudahlah, bastardo! Kau bisa membantuku dengan berhenti berbicara. Aku sudah besar dan jelas sekali sudah bisa mandi sendiri, tak usah didiktekan sekalipun." Dan dengan itu, konversasi mereka yang berat sebelah segera diselesaikan dengan kejam oleh sang pria berambut brunet hitam tersebut. Dia memandang motor Kawasaki RX-nya dengan pandangan tidak terbaca. Memang lebih baik dia jalan kaki saja, karena orang-orang disekitar sini sangat sensitif dengan suara mesin bermotor dan sebagainya, tapi mau bagaimana lagi? Rumahnya cukup jauh dari boulevard ini, dan untuk apa dia membeli motor kalau bukan untuk dipakai? Lagipula Kawasaki kesayangannya ini tidak manja, berisik, ataupun cengeng seperti motor-motor kelas tiga yang sering dia lihat di Italia dulu. Kawasaki-nya berbeda.

(Biasanya, orang-orang disekitar Lovino akan menjauh sejauh sepuluh inci ketika Lovino sudah mulai membicarakan motornya. Lovino punya tendensi untuk menyebut nama merk motornya dengan kerinduan yang amat sangat)

Dan bersamaan dengan suara starter motor tersebut, suara angin, dan suara tersibaknya syal—Lovino pergi dari depan Le Roi, menuju ke apartemennya.

.

.

.

.

.

"...Ap-apa maksud anda ini, Pak?!"

"Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau akan melakukan apapun demi menjadi salah seorang kru dapur restoranku?"

"Saya—saya memang bilang seperti itu, tapi—"

"Dan bukankah kamu juga sudah menandatangani perjanjian 'Le Roi' sedetik setelah kami mengamini semua jawabanku?"

"Saya memang melakukan itu, tapi!"

"Bukankah di perjanjian ini, yang namanya pembatalan itu hampir non-existent?"

"Sa-saya tahu... tapi..."

"Jadi kamu seharusnya tahu kalau penolakan dari pihakmu berarti penantangan kepada pihak kami. Kamu tahu, Ma cheré, aku memiliki banyak relasi jaksa yang bahkan rela melemparkan dirinya didepan peluru jika peluru itu berada di depanku. Kamu tahu itu berarti apa, kan?"

"Itu..."

"...Hmmm?"

"—Tidak maafkan saya saya janji saya akan melakukan segala hal sekuat tenaga Pak."

"Honhonhon, itu baru Ma jollie fi—maksudku, Mon jollie garçon! Nah, besok kamu boleh datang ke Le Roi sepagi mungkin. Karena kamu bukanlah sauteé jadi bersiap-siaplah dikerjai oleh senior-seniormu, oke?"

"Tapi pak... bukankah hal ini... uh, apa ya dalam bahasa prancisnya?"

"Apa?"

"...Hmm... tidak diperbolehkan? Ilegal, bukan?"

"Ilegal? Non, non non, ! Aku tidak akan melakukan hal yang mendekati kata ilegal! Tidakkah kau dengar aku? Aku punya relasi sedemikian banyak jaksa. Siapa yang mau menuntutku jika hal ini diketahui publik? Il n'y a pas un! Tidak ada seorangpun."

"...Begitukah..."

"Lalu, persiapkan mentalmu. Hari pertama selalu menjadi hari yang berat."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak!"

.

.

.

.

.

.

.

"Benarkah itu, pak tua?"

Lovino meneguk madeira yang diberikan oleh salah seorang temannya yang baru datang dari India. Dia mengusek-usek rambut basahnya. Dia baru saja keluar dari shower ketika handphone-nya berdering. Mengingat Antonio, awalnya dia sudah mau mengabaikan dering telpon tersebut, tapi kemudian dia ingat lagi kalau Francis sama sekali belum menghubunginya.

"Uh-huh. Besok akan menjadi hari yang benar-benar membahagiakan! Kamu pasti akan tercengang melihatnya, sayang manisku! Dia begitu menggoda!"

Lovino tidak percaya telinganya yang berintegritas hampir sempurna baru saja dicemari oleh perkataan menjijikkan seorang pria paruh baya yang tampil sok funky. "Jangan tidak bertanggung jawab begitulah. Apa kau bahkan sudah membicarakannya dengan Arthur? Kenapa kau selalu saja ingin berada di atas Arthur, hah? Bukan berarti karena dia sekarang sedang pergi untuk menghadiri konfrensi di Wina kau bisa berbuat seenaknya saja. Dia Chef di restoranmu, tidak ada dia mampus kau!" omel Lovino seperti biasa menarik urat marahnya sampai ia serak. Mau bagaimana lagi, kadang Francis Bonnefoy sulit untuk disadarkan kalau tidak memakai bogematau urat leher.

"Untuk apa aku memberi tahu dia? Tanpa aku harus beritahu dia pun, Mona akan selalu memberitahu Arthur!" ucap Francis sedikit kesal, dan Lovino diam-diam berterima kasih kepada sekutunya, sang wanita pendiam dengan rambut panjang terpilin. "Lalu bagaimana Arthur bereaksi?" kurang lebih sama dengan Lovino namun dikalikan seribu kali lipat, Lovino yakin. Arthur Kirkland, mengesampingkan wajahnya yang terlihat lembut dan begitu kemayu, adalah pria ter-pria diantara para pria. Alis tebalnya yang begitu... begitu... mencengangkan akan naik keatas satu, wajahnya yang sempurna akan mengkerut bak kertas dicelupkan ke minyak, dan kemudian mulut yang terpatri indah tersebut akan terbuka, menyemburkan kata, "You bloody, bloody git." Dengan penekanan 12/10, seenak udel kakeknya.

"Dia bilang berbicara dengan bahasa lain, yang aku bisa tangkap hanyalah git dan bloody saja." Lovino menahan tawanya yang tersedak ditenggorokan. "Aku tidak mau menerima anak itu, Francis. Arthur sendiri tidak akan menerimanya. Kita tidak tahu bagaimana kinerja anak itu, dan menerimanya sebagai handkitchen? Tidak, tidak. Terlalu tinggi untuknya. Kau terlalu memanjakan anak itu." Protes Lovino keras sekali.

"Apa kau mengenal Hatta, Lovino?" tiba-tiba Francis berkata.

"Tentu saja aku mengenalnya." Bingung dengan arah topik, pikiran Lovino melanglang buana ke wajah seorang pria datar berkacamata tebal. Dia adalah legenda dari para legenda masak dunia—seorang jenius, si Tangan Mukjizat, Hatta Gibran. Dia adalah juru masak White House yang telah membuat ratusan negara yang berniat memutuskan tali bilateral dengan Amerika membatalkan keinginan mereka. Orang bilang, politik dimulai di atas meja makan dan itu adalah hal yang benar, menilik kesuksesan Hatta Gibran dalam dunia politik dan dunia masak. Dia sudah terlibat dengan begitu banyak intrik politik, banyak orang menginginkan dia sebagai juru masak mereka. Sekarang, Hatta Gibran kembali ke Indonesia, tanah airnya dan bekerja sebagai kritikus masakan oriental, fusion maupun western yang tersoar disana.

"Anak ini adalah anak murid Hatta."

Mau tak mau diafragma Lovino bagaikan ditonjok. Bagaimana tidak? Hatta Gibran mungkin seorang prodigi, namun kejeniusan selalu datang dengan kearogansian. Salah satu trademark terkenalnya adalah bahwa dia "Tidak akan pernah menyalurkan ilmunya pada siapapun dan kapanpun." Dan sekarang Francis bilang bahwa Hatta memiliki murid? Impossible. "Siapa namanya?" tanya Lovino sedikit penasaran. Apakah anak ini adalah anak yang terkenal? Apakah anak ini anak yang sudah sohor namanya di bidang kuliner, seperti Hatta? Kenapa media tidak menggembar-gemborkan hal besar seperti ini?

"Namanya Bumi Adhiswara."

"Bumi... Adhiswara?" tidak. Lovino tidak mengenalnya.

"Kau tidak mengenalnya, bukan? Sudahlah, tak ada gunanya kau meng-google nama anak itu di otakmu. Anak ini bukanlah selebriti macam Hatta atau kau atau Arthur. Dia hanya anak bertalenta yang berkeinginan besar." Ucap Francis. "Arthur sendiri diam ketika aku menunjukkan fakta ini. Sudah cukup bukti kalau anak ini berguna untuk Le Roi, kan? walaupun dia tidak berguna dalam dapur, tapi namanya dimasa depan akan cukup menarik perhatian massa."

Lovino tidak terima. Jadi... anak ini anak biasa. Apa? dia bertalenta? Jadi kenapa kalau dia bertalenta. Mau tak mau Lovino merasa sedikit iri dengan anak ini. Anak biasa yang mungkin tidak memiliki keistimewaan apapun, menjadi murid Hatta? Oh, betapa Lovino rela membunuh sepuluh anak anjing plus anak kucing untuk menjadi murid Hatta.

Perasaan tidak suka, mulai muncul di hati Lovino.

Strike one.

.

.

.

.

.

rounde(1) : panci bulat untuk merebus telur.

entreé(2) : pembuat appetizer atau amuse.

Le sells déjà compléte, déchepez(3) : hall penuh, gerak cepat.

Ouí(4) : ya

Viande(5) : chef de parties yang bertanggung jawab atas ikan

handkitchen(6) : orang yang membantu peralatan dapur. hampir seperti errand boy/errand girl.

Tableu trois, six menus! Tableu onz, vingt menus! Tableu huit, dix menus(7) : meja tiga, 6 menu. Meja sebelas, dua puluh menu. Meja delapan, sepuluh menu.

Le Cordon Bleu (8) : sekolah kuliner yang sudah berdiri semenjak tahun 1895. Merupakan sekolah kuliner paling terbesar didunia. Berada di London.

Sous chef (9): second-in-command chef.

.

.

.

.

MAAF.

MAAF KALAU ADA TYPO.

MAAF KALAU ADA SEGALA-GALANYA.

SAIA HANYALAH MANUSIA BIASA DENGAN SEGALA KEKURANGAN.

HUHUHU.

Oh iya, tadi kan ada kata 'Il n'y a pas un'. Sebenernya saya bingung antara itu sama 'Il n'y a rien'... kalo ada perbaikan silahkan dikasih tau yaa!

Dan emang, saya tahu kalau sejarah sejarah nggak ada hubungannya antara Romano sama Indonesia, tapi fantasi…. Fantasi yang membuat saya tetap berkarya, bung!

Baiklah. Ini adalah ff pertama saya di fandom Hetalia – Axis Power. CIEEEEEEE... ehem. Karena ini ff pertama jadi tolong dikasih tau kalau ada yang salah yaa. Sujud syukur.

-Saa-cchi,2014-