Special Chapter Part 3

.

.

Ayaka bingung harus jawab bagaimana. Mika begitu bersemangat sedangkan Keiichi sendiri, terlihat tidak peduli. Ayaka sebenarnya tidak masalah, kalau di rumah ini hanya ada Mika. Tapi disini ada Keiichi, dan Ayaka tidak bisa begitu saja menginap disini. Lagipula dia tidak bawa persiapan apa-apa. Bagaimana dengan baju gantinya, sikat gigi dan semacamnya. Dia tidak bawa apa-apa kecuali tas kecil berisi ponsel, dompet, dan sapu tangan yang sekarang ada di kakinya.

"Tunggu, Mika-chan," sahut Ayaka lagi, berusaha mendapat perhatian Mika yang sedang ingin menelepon Ayumi. "Aku tidak bisa. Orang tua kalian tidak ada. Aku tidak bisa menginap begitu saja."

"Tidak apa. Orangtuaku pasti mengizinkan. Ayumi juga pernah menginap disini saat orangtuaku pergi ke luar kota dulu."

"Tapi tetap saja...,"

"Kenapa lagi?"

Ayaka bingung harus bilang bagaimana. Dia hanya melirik ke arah Keiichi. Dan Mika pun langsung mengerti.

"Oh... Nii-chan...," ujar Mika membuat Keiichi menoleh ke arahnya. "Kalau dia sih biarkan saja. Dia itu pasti akan main video games sampai pagi dengan Yuki-Nii. Apalagi sekarang mama tidak ada," jelas Mika seolah Keiichi tidak ada disana.

Yuki yang sedari tadi asyik menonton televisi menambahkan, "Tidak usah malu Ketua. Bukannya enak? Kamu dan Keiichi bisa terus berduaan sampai besok," sahutnya jahil.

Ayaka berusaha menahan rona merah wajahnya saat mendengar komentar itu. Keiichi pun terlihat terganggu karena dia langsung bangkit dari duduknya menuju dapur.

"Jadi mau bagaimana Ayaka-san?"

Ayaka tidak menjawab dan berusaha mencari alasan yang lain. Dia bukannya tidak mau, tapi masih banyak yang harus dipertimbangkannya.

"Kalau dia tidak mau, tidak usah dipaksa Mii," sahut Keiichi dari arah dapur.

Ayaka tersenyum. "Maaf ya Mika-chan."

"Lalu bagaimana kamu pulang? Aku rasa dengan kaki seperti itu, kamu tidak bisa kemana-mana," ujar Mika yang dari tadi masih berdiri di depan Ayaka.

Ayaka menunduk, lalu mengangkat bahu.

"Telepon ayahmu saja bagaimana senior? Biar dijemput kesini," usul Keiichi kembali dari dapur dan duduk di tempatnya semula.

Ayaka menjawab ragu, "kalau itu... Sebenarnya saat ini orangtuaku lagi pergi."

"Oh iya," sahut Mika teringat sesuatu. "Ayumi sering cerita kalau setiap tahun kalian selalu pergi berlibur saat tahun baru. Tapi karena kalian sudah besar, kalian tidak mau ikut lagi."

Ayaka tersenyum serba salah, "yaah seperti itulah."

Keiichi menghela napas heran. "Sama saja dengan orangtuaku."

"Nah, jadi... Karena kamu tidak bisa kemana-mana dan Ayumi tidak bisa di rumah sendirian saja, jadi aku akan telepon Ayumi. Ya, Ayaka-san?"

.

.

Ayumi sudah datang dengan wajah cerianya. Dia dengan Mika sudah naik ke lantai dua ke kamar Mika. Sedangkan Ayaka, hanya bisa duduk di sofa ditemani dengan Keiichi dan Yuki.

"Kamu baik-baik saja senior?"

Ayaka tersadar dan menoleh, "aku? Oh, aku baik-baik saja."

"Bilang padaku kalau kamu nanti mau ke atas. Aku bisa menggendongmu."

Ayaka tersenyum. Itu dia masalahnya. Dari tadi dia ingin ke atas dan mengobrol bersama Ayumi dan Mika. Dari pada di bawah sini bersama dua lelaki yang menonton film di televisi. Tapi dia tidak bisa bilang itu ke Keiichi. Kalau dia bilang, Keiichi akan mengantarnya. Dengan menggendongnya! Ya ampun, seandainya kaki ini tidak terlalu sakit. Saat jalan dari halte bus sampai ke rumah Keiichi yang jaraknya dekat pun sebenarnya Ayaka sudah tidak sanggup lagi. Tapi dia tidak mau mengatakannya pada Keiichi.

"Bukannya Jii-san punya obat oles untuk luka memar, Keiichi?" tanya Yuki.

"Memang ada. Tapi sudah habis dan belum beli lagi."

"Kalau begitu, aku ambil ke rumah dulu. Di rumah rasanya masih ada." Yuki bangun dari duduknya.

"Terima kasih Kobayakawa-kun," ujar Ayaka tersenyum.

Akhirnya mereka hanya ditinggal berdua. Ayaka tidak tahu harus bicara apa, karena dari tadi, dia sudah menahan sesuatu. "Mm, Hiruma-kun. Aku mau, ke kamar kecil."

Keiichi menoleh. "Baiklah. Ayo." Keiichi merangkul pinggang Ayaka untuk membantunya berdiri.

"Tunggu. Hiruma-kun," sela Ayaka. "Bisa panggilkan Ayumi atau Mika-chan saja?" katanya ragu.

"Memang kenapa kalau sama aku? Aku tidak akan mengintip," ujar Keiichi.

"Bukan itu masalahnya," ujar Ayaka lagi.

Mereka pun saling berpandang-pandangan beberapa saat.

"Baiklah," sahut Ayaka menyerah. "Antarkan aku sampai depan pintu saja tapi kamu jangan menungguku."

"Oke," jawab Keiichi tersenyum.

Ayaka berdiri dengan bertopang pada Keiichi dan dia merangkul pinggang Keiichi agar mudah berjalan. Rasa sakitnya jadi lebih terasa saat dia menekan kakinya untuk berjalan seperti ini. Ayaka berhenti dan mengistirahatkan kakinya sebentar. Dia lalu menarik napas.

"Tambah sakit?"

Ayaka mengangguk. Dia lalu berjalan lagi karena kamar mandi cuma beberapa langkah lagi di depannya. Mereka akhirnya sampai ke dalam kamar mandi dan masuk ke toilet. Setelah itu Keiichi meninggalkan Ayaka dan berkata, "kalau sudah selesai, panggil aku."

"Ya. Terima kasih."

Ayaka menutup pintu. Sebenarnya dia sangat malu dengan keadaan seperti ini. Tidak berdaya, sampai-sampai harus diantar sampai kamar mandi. Yang lebih parahnya, diantar oleh Keiichi! Yah, Ayaka mengakui kalau dia tampan, karena itu dia tidak mau kalau harus menginap di tempatnya. Bisa-bisa perasaannya meledak-ledak karena terlalu dekat dengan Keiichi seperti ini. Semalaman ini pun, mereka dengan wajarnya bergandengan tangan. Keiichi dengan wajarnya merangkul Ayaka dan Ayaka dengan sama wajarnya berpegangan pada tubuh Keiichi.

Ayaka sudah berhasil keluar kamar mandi dengan usahanya sendiri dan berpegangan pada dinding.

Keiichi menoleh dan melihat Ayaka. Dia menghela napas dan langsung bangun dari duduknya lalu mendekat ke Ayaka, "sudah kubilang panggil aku. Kamu ini keras kepala sekali senior." Keiichi berjongkok di depan Ayaka. "Sudah. Ayo aku antar ke atas."

"tapićƒ¼"

"Tidak pakai tapi."

Keiichi lalu menggendong Ayaka sampai ke lantai dua. Tidak terlalu susah memang, dan dengan mudahnya Keiichi menggendong Ayaka seolah dia tidak membawa apapun di punggungnya.

Keiichi membuka pintu kamar Mika sehingga membuat kedua sahabat karib yang sedang mengobrol seru di dalam itu menoleh ke arah mereka.

"Akhirnya... Ayaka-san mau juga naik ke atas," sahut Mika.

Ayaka hanya membalas tersenyum. Keiichi lalu dengan hati-hati menurunkan Ayaka di atas ujung tempat tidur Mika agar bisa langsung duduk. Keiichi berlutut di depan Ayaka dan membuka sapu tangan yang dililit di kaki Ayaka.

"Sebentar lagi Yuki datang dengan obatnya. Jadi aku akan ambil perban," ujar Keiichi.

Ayumi yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mereka, akhirnya bersuara dan menyikut Mika. "Hei Mika, aku rasa kita akan jadi saudara ipar nanti," sahutnya dan mereka bersorak senang.

Ayaka yang mendengarnya, menoleh dan melotot ke Ayumi, "bicara apa kamu Ayumi."

Keiichi pun bangun dari berlututnya. "Kalau begitu aku ambil perban dulu."

.

.

Keiichi menuruni tangga menuju kamar mandi untuk mengambil perban di kotak obat. Dia lalu menoleh dan melihat Yuki datang. "Ada obat olesnya?" tanyanya sambil berlalu masuk ke kamar mandi.

"Ya."

Beberapa saat Keiichi keluar dan menerima obat oles itu. Dia lalu naik kembali ke kamar Mika, diikuti oleh Yuki. Keiichi membuka pintu dan duduk di sebelah Ayaka. Dia lalu mengangkat kaki Ayaka ke atas pahanya.

"Aku bisa sendiri Hiruma-kun," sahut Ayaka.

"Sudah terlanjur."

"Oh. Yuki-Nii tidak boleh masuk sini!" Keiichi menoleh kaget mendengar Mika teriak dan melihatnya langsung berlari ke pintu dan mendorong Yuki keluar. Dia dengan cepat menutup pintunya kembali.

Ayumi yang tertawa menyaksikan itu, lalu ikut turun dari tempat tidur dan keluar mengikuti Mika.

Pintu kembali tertutup. Ayaka hanya bisa kebingungan menyaksikan adegan itu. Sedangkan Keiichi berdecak lalu kembali mengobati kaki Ayaka lagi.

"Memang ada apa di kamarnya?" tanya Ayaka bingung sambil melihat ke sekitar. Dia tidak juga menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Ada apa memang?" tanyanya lagi kepada Keiichi.

"Aku tidak tahu," jawab Keiichi. Setelah selesai dia melilitkan perban agar kaki Ayaka tidak terasa sakit.

Keiichi selesai mengobati Ayaka dan tersenyum ke Ayaka. "Nah, kalau ada apa-apa, bilang saja padaku."

"Terima kasih," balas Ayaka. "Tapi, Hiruma-kun. Kenapa kamu begitu baik padaku?" Ayaka melihat wajah Keiichi yang kebingungan. "Ya, maksudku, aku kira kamu menganggapku menyebalkan."

Keiichi tersenyum lagi, "aku tidak pernah menganggapmu menyebalkan. Mungkin kamu yang menganggapku menyebalkan."

"Yah, memang. Kamu memang suka membuatku kesal dengan sikapmu."

Keiichi tertawa. "terima kasih."

Ayaka tersenyum. "Apa ada yang pernah bilang kalau kamu manis saat tersenyum?"

Keiichi berhenti tertawa dan terlihat jengkel. "Senior, laki-laki tidak suka dibilang manis."

Kali ini Ayaka yang tertawa. "Tapi memang benar. Aku sangat suka senyummu."

"Oke, kamu mulai menyebalkan." Keiichi bangun dan menyingkirkan dengan perlahan kaki Ayaka. "Aku mau keluar."

Ayaka menahan lengan baju Keiichi, "tunggu, aku ikut."

Keiichi menoleh, "aku kira kamu mau disini."

"Ya, memang. Tapi Mika-chan dan Ayumi di luar. Untuk apa aku disini sendirian."

Pintu kamar terbuka lagi, dan muncul Mika disana. "Hei, sebentar lagi jam dua belas. Ayo ke beranda Ayaka-san," ujarnya lalu pergi lagi dari ambang pintu.

Ayaka tersenyum. "Ayo Hiruma-kun," ujarnya. Dan kaget saat Keiichi tiba-tiba mengangkatnya. Ayaka langsung berpegangan ke leher Keiichi. "Oh ya ampun. Kamu bikin kaget. Aku bisa jalan sendiri."

"Oh ya. Butuh berapa jam untuk sampai beranda?" balasnya tersenyum meledek.

"Lucu sekali."

Keiichi lalu berjalan ke beranda dan menurunkan Ayaka kembali.

"Oh, sudah mulai," sahut Mika.

Mereka semua terkesima memandangi kembang api di langit malam. Membentang dengan berbagai warna dan cahaya yang indah.

"Indah sekali," gumam Ayaka, dengan wajah bahagia memandangi langit malam.

Keiichi menunduk ke bawah memandangi Ayaka lama, tertegun dalam pikirannya sampai Ayaka mendongak dan menatapnya balik. "Indah kan Hiruma-kun?"

Keiichi tersenyum dan menatap dalam-dalam ke mata Ayaka. "Ya. Indah."

Ayaka balas tersenyum, "Selamat tahun baru."

"Selamat tahun baru."

.

.

END