I don't own the characters. Copyright: Mangaka Eyeshield 21

Original artwork of cover book is not mine. Just modified it.

DiyaRe De present : US

Ini bukan sekuel. Tapi ini cerita dari kelanjutan fic You & I. Yaitu cuplikan-cuplikan setelah ceritanya.

Tidak. Saya tidak akan buat cerita yang menyebalkan atau yang menyedihkan. Disini saya ingin membuat cerita yang ringan dan menyegarkan. Setiap chapter tidak berhubungan (apa ya kalo gitu namanya) dan memiliki tema berbeda di setiap chapternya.

Jadi kalau ada yang ingin chapter berikutnya mau menceritakan tentang apa, kasih saran aja XD

So guys, let's begin~~!

.

Chapter 1 : Chaotic Honeymoon (Parfume)

.

.

Bosan. Rasanya bosan setengah mati. Sekarang masih jam tujuh. Baru tiga jam Hiruma meninggalkan Mamori sendirian di kamar hotel. Selama tiga jam itu, sudah cukup hebat bagi Mamori untuk bisa bersama kebosanannya. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Sedari tadi, dia hanya mengganti-ganti saluran televisi yang kebanyakan berbahasa Italia. Hanya sebagian yang menggunakan bahasa Inggris, itupun saluran olahraga. Jadi, selama satu setangah jam tadi, Mamori hanya menyaksikan tayangan tinju dengan setengah hati menontonnya.

Hiruma bilang dia akan kembali sekitar jam sembilan nanti. Jadi masih tersisa dua jam lagi. Mamori tidak bisa berbuat apa-apa. Siang tadi dia sudah puas jalan-jalan bersama Hiruma. Kalau dia masih ingin pergi keluar pun, Hiruma tentu tidak akan mengizinkannya. Hiruma terlalu berlebihan kalau sudah menyangkut keselamatannya, begitulah pikir Mamori. Jadi kalau tidak mau membuat Hiruma marah dan merasa cemas yang berlebihan, Mamori lebih memilih menanggung rasa bosannya.

Sebenarnya Mamori ingin ikut, tapi Hiruma melarangnya. Tentu saja alasan utamanya karena ada Risa disana. Padahal menurut Mamori, hubungannya dengan Risa sudah membaik. Apalagi sekarang Mamori dan Hiruma sudah menikah. Alasan keduanya tentu karena tidak ada orang lain yang menemaninya di bangku vip. Dan itu membuat Hiruma cemas. Jadi, Hiruma hanya menyuruh Mamori menunggu di hotel dan sebagai gantinya, besok pagi sampai siang, mereka akan jalan-jalan lagi. Tidak masalah untuknya.

Mamori perlahan membuka matanya. Oh, dia bahkan tidak sadar kalau dia sudah tertidur. Mamori melihat ke jam dinding di atas televisi, sudah hampir jam sebelas. Ternyata dia sudah tidur selama tiga jam lebih. Dan tampaknya, Hiruma juga belum pulang. Mamori bangun dan berjalan ke kulkas mengambil apel yang dibelinya tadi siang. Karena memang dia kelewat jam makan malam. Lagipula dia sudah bekeliling mencicipi makanan Italia tadi, jadi sekarang Mamori tidak begitu merasa kelaparan.

Mamori mendengar pintu kamar hotelnya terbuka. Beberapa detik kemudian Hiruma muncul sambil menaruh tas bawaannya di sofa.

"Belum tidur, heh?" tanya Hiruma melihat Mamori yang masih berdiri di depan kulkas.

"Sudah. Ketiduran, dan bangun lagi." Mamori menutup kulkasnya dan berjalan ke Hiruma. Satu langkah lagi dia mendekat ke Hiruma, namun tiba-tiba di menghentikan langkahnya. "Kau dari mana?"

"Ada kumpul-kumpul dulu tadi."

"Cerita yang lengkap," tegas Mamori.

Hiruma menatap sesaat lalu menjawab, "Tadi kumpul-kumpul di bar dekat stadion bersama tim lawan. Kau ini kenapa, heh? Kenapa juga aku harus nurut seperti ini menjawab pertanyaan sialanmu?"

Mamori menghela napas, "sudah kubilang ceritakan dengan lengkap."

"Apa lagi?" tuntut Hiruma. "Katakan saja apa maksudmu. Jangan berputar-putar terus bodoh."

"Aku mencium parfume wanita dari tubuhmu. Kau kira aku bodoh? Laki-laki tidak akan ada wangi seperti itu kalau tidak ada wanita yang menempel-nempel dengannya."

Hiruma menunduk dan menciumi jaketnya sendiri. Dan jujur saja, dia tidak mencium bau lain selain bau jaket dan tubuhnya sendiri. Jadi dia tidak mengerti bau seperti apa yang dicium Mamori.

"Teganya kau Youichi. Padahal ini bulan madu kita," ujar Mamori lagi. "Kau malah main-main dengan wanita lain."

Hiruma lalu menajamkan tatapannya dan selangkah ke depan tepat di depan Mamori. "Jadi maksudmu, aku di bar bersama perempuan-perempuan sialan yang menempel kepadaku?" tanyanya dan Mamori membalas tatapan meyakinkan. "Ada mereka memang. Banyak malah. Tapi tidak ada yang menempel padaku, bodoh."

"Kamu pikir siapa yang akan percaya kepadamu?"

"Kau, yang seharusnya percaya padaku," balas Hiruma sama tajamnya. "Kutanya balik. Teori sialan dari mana itu, heh? Kau selalu menempel-nempel padaku setiap saat tapi tidak ada bau parfume-mu di tubuhku?"

Mamori menahan rona merah di wajahnya, "itu karena aku tidak pakai satu liter parfume di tubuhku. Lagian aku jarang memakainya."

Tidak mau kalah, Hiruma lalu melancarkan pertanyaan lagi. "Menurutmu apa ada perempuan lain yang berani dekat-dekat denganku, heh?"

"Mungkin saja. Wanita-wanita luar negeri itu lebih berani dan agresif. Siapa tahu kau tipe mereka," balas Mamori asal.

Hiruma terdiam sesaat mengamati Mamori. "Sudahlah. Aku capek. Minggir."

Mamori memandang tidak percaya melihat Hiruma yang melewatinya. "Kau," panggilnya, "Hiruma Youichi. Beraninya kau―"

Hiruma tidak menggubrisnya dan masuk begitu saja ke kamar mandi.

.

.

Seharusnya Mamori tidak marah-marah seperti tadi. Tapi entah kenapa saat ini emosinya sedang tidak stabil. Dia merasakan kekecewaan yabg mendalam. Dia jadi mudah curiga kepada Hiruma. Padahal saat ini Hiruma sudah menjadi suaminya. Tapi kepercayaan yang selalu dipegang oleh Mamori, kalah dengan emosinya yang tidak stabil ini. Mamori jadi sebal dengan dirinya sendiri, ditambah dia juga merasa kesal dengan kelakuan Hiruma. Karena jelas-jelas Mamori mencium farfume wanita dari jaket Hiruma. Dia bisa menciumnya, sangat jelas dan saat itu juga, Mamori merasa dikhianati oleh Hiruma.

Sudah tiga puluh menit Mamori berada di kamarnya bersama Hiruma. Mereka sama-sama terdiam. Mamori tidur dengan memunggungi Hiruma. Dia masih saja memikirkan kejadian saat Hiruma pulang tadi. Semuanya, Mamori sendiri tidak mengerti kenapa dia bisa sesedih ini. Yang jelas, dia sangat kecewa.

"Jangan nangis, bodoh."

Mamori menghapus air matanya diam-diam dan mengatur napasnya. "Aku tidak menangis."

"Itulah yang dikatakan oleh orang yang kepergok lagi menangis."

"Jangan sok tahu, dan jangan peduli padaku," tukas Mamori. Bergeser menjauh walaupun dia sudah berbaring hampir ke pinggir ranjang.

Hiruma menompang kepala dengan tangannya dan menghadap ke Mamori, "Kau bikin kesal saja, bodoh. Emosi sialanmu itu bisa membahayakan bayiku."

Mamori berbalik dan mendapati Hiruma yang memandanginya. "Ini bayiku. Kau urus saja wanita pemilik parfume itu. Atau mungkin 'wanita-wanita' pemilik parfume itu."

"Kau," Hiruma tambah melototinya. "Masih soal parfume sialan?"

"Kau tidur saja sana di luar. Aku tidak mau tidur bersamamu."

Hiruma sudah tidak tahan dan langsung mengurung Mamori dengan lengan yang satunya. "Sialan, sudah cukup. Jangan membuatku kesal. Kau seperti sedang datang bulan saja."

"Tahu apa kau soal itu? Kalau aku hamil aku tidak akan datang bulan."

"Karena itu jaga bayiku. Kau sendiri sadar kalau kau sedang hamil bodoh!"

"Jangan mengataiku bodoh terus. Minggir sana. Aku tidak mau dekat-dekat denganmu."

Hiruma menyeringai menatap jahil ke Mamori. "Oh ya? Tapi aku mau dekat-dekat denganmu." Kali ini Hiruma menahan Mamori dengan kakinya dan menarik Mamori ke arahnya. "Nah, begini lebih nyaman kan."

"Berat, Youichi," sahut Mamori berusaha melepaskan diri dari Hiruma.

Hiruma lalu memutar tubuh mereka sehingga sekarang Mamori berada di samping pelukan Hiruma. "Kalau begini tidak berat lagi kan?" balasnya lalu menyeringai. "Sudah. Aku mau tidur."

Hiruma tidak memegang Mamori erat-erat walaupun tangannya masih ada di pinggang Mamori. Tapi Mamori sama sekali tidak berniat untuk menjauh dari Hiruma. Jadi, dia ikut memejamkan matanya dan tidur di pelukan suaminya.

.

.

Di lain pihak. Beberapa jam sebelumnya...

"Kau jadi membelinya? Padahal kau bilang tidak mau membelinya karena mahal," sahut Yamato yang duduk di sebelah asisten kedua pelatih, Sayuri. Yamato melihat rona merah di wajahnya lalu tersenyum, "Pasti Darren yang membelikannya untukmu?"

Sayuri menatap Yamato, dan saat itu terlihat kepanikan di wajahnya yang membuat Yamato tertawa sendiri. "Yamato-san? Apa aku terlihat begitu jelas? Kenapa kau bisa tahu? Ya ampun, aku malu sekali. Aku tidak enak kepada Darren-san karena selalu membeli barang-barang yang aku inginkan padahal aku tidak pernah mengatakan apa-apa kepadanya."

Yamato tertawa, "itu artinya Darren sangat perhatian kepadamu. Bukannya anak-anak klub sudah pada tahu kalau dia menyukaimu. Kenapa tidak kamu terima saja?"

Sayuri terlihat ragu dan menundukkan kepalanya, "dia orang luar negeri. Bagaimana kalau orangtuaku tidak bisa menerima kami?"

Yamato merangkul Sayuri untuk menyemangatinya. "Tidak ada orang yang tidak suka Darren. Dia itu baik dan ramah. Kau sendiri sudah pasti tahu itu, ya kan? Tidak ada keberhasilan tanpa mencobanya."

Sayuri tersenyum, "terima kasih Yamato-san. Tapi, kata-kata itu juga seharusnya berlaku padamu."

Yamato memandang ke depan dan berpikir, "Ah ya. Aku memang tidak pernah mencoba. Tapi itu karena aku tahu dari dulu aku bertepuk sebelah tangan. Dan akhirnya ditinggal nikah. Beda kasus denganmu. Jangan sampai kau menyesal sepertiku, Sayuri," jawabnya dan tersenyum ceria ke Sayuri.

"Aku tidak meyangka ada wanita yang tidak menyukaimu," sahut Sayuri. "Hei Yamato-san. Lepaskan rangkulanmu. Bagaimana nanti kalau ada yang masuk dan melihat kita seperti ini?"

Yamato memamerkan giginya kemudian melepaskan rangkulannya. "Paling-paling aku kena pukul Darren," balasnya asal. "Ngomong-ngomong, seperti apa wangi parfume itu?"

Sayuri lalu membuka tutup botol dan menyemprotkannya ke leher dan kedua lengannya. "Wanginya enak," sahutnya lalu tersenyum sambil menutup botol parfume-nya lagi tanpa tahu kalau kursi yang didudukinya tersampir jaket Hiruma yang sudah terkena semprotan parfume itu.

.

.

Keesokan sorenya...

"Mana parfume-mu?"

Mamori menatap curiga, "Kau mau apa?"

"Berikan saja."

"Tidak."

Hiruma mendekat. "Aku mau memakainya. Cepat," perintahnya karena dia sudah harus keluar lagi untuk latih tanding dengan tim Italia yang lain.

"Untuk apa? Laki-laki tidak boleh memakai parfume wanita."

"Memang siapa yang buat peraturan seperti itu, heh?"

"Itu tidak umum. Tidak. Kau tidak boleh memakainya," tolak Mamori dengan tegas. Dia berpikir beberapa saat. Sepintas ide lewat di pikirannya dan dia langsung memandang curiga ke Hiruma. "Oh, aku tahu. Kau pasti mau mengelabuhiku dengan memakai parfume-ku agar kau bisa dekat-dekat dengan wanita lain tanpa khawatir akan tercium baunya kan?" tebaknya sambil bertolak pinggang.

"Apa sih, bodoh!" Hiruma menarik tangan Mamori dan merangkul pinggangnya. Dia lalu menyeringai dan mengecup bibir Mamori. "Itu agar orang-orang bisa tahu kalau aku sudah punya wanita di sampingku dan aku tidak butuh wanita lain. Kau puas sekarang?"

Mamori tidak termakan rayuan Hiruma, walaupun wajahnya sudah merona . "Kau ini. Lepaskan. Sudah pergi sana. Dan lupakan soal parfume."

"Harusnya aku yang berkata seperti itu kemarin. Tapi kau tidak mau dengar aku." Hiruma mencium Mamori lagi, "Kau memang wanita sialanku."

"Aku ini istrimu, tahu." Mamori melepaskan tangan Hiruma yang sudah membuka pintu untuk pergi. "Bagaimana kalau aku juga ikut?"

Hiruma berbalik dan menatap Mamori sesaat, "kau mau ikut?" tanyanya. Mamori lalu mengangguk dan Hiruma langsung melebarkan senyumannya. "Kalau kau mau ikut, kau naik taksi saja sendiri. Itu pun kalau kau bisa sampai ke stadionnya."

Mamori melipat kedua tangannya di depan dada, "oke. Aku pasti bisa sampai dengan selamat. Tanpa bantuanmu," balas Mamori. "Aku mau siap-siap dulu."

Hiruma menarik tangan Mamori, dan membuat Mamori berhenti lalu menoleh. "Kalau kau berani keluar selangkah saja dari kamar ini―"

"Kau akan apa?" sela Mamori. "Kau tidak bisa lagi mengancamku dengan apapun."

"Keh, terserah. Tapi awas saja kau kalau berani." Dia lalu melepaskan tangan Mamori.

Mamori tertawa. "Hati-hati. Usahakan langsung kembali dan jangan main-main di bar lagi. Jangan ada wanita-wanita lagi."

"Kau―" Hiruma langsung terdiam saat melihat Mamori tersenyum kepadanya. Dia tidak jadi menjawab dan menyeringai menatap istrinya, "keh, akan kupikirkan." Dia lalu menutup pintunya.

"Bukan akan kamu pikirkan. Tapi akan kamu lakukan, Youichi," sahutnya dengan sedikit berteriak dan tersenyum memandangi kepergian Hiruma.

.

.

Catatan Kecil:

Gimana~~ Bagus ga? Bagus aja yaa XD

Oke, sampai bertemu lagi di chapter 2 dengan konflik berbeda dan kesegaran yang berbeda (apa sih, kayak slogan iklan XD)

So guys, please Read and Review ^.^ ~!

Salam: De