Chapter 6

"How I Marry Your Mother Part 2"

.

.

"Dan tepat saat mata kita bertemu… entah darimana datangnya keyakinan itu, hatiku berkata kau adalah sosok ibu yang sempurna untuk anak – anakku kelak"

.

.

.

.

Seoul 2013

Sudah tiga jam lamanya Sehun berdiri di depan rumah Luhan. Sehun merasa sudah mengelilingi seluruh dunia untuk mencari Luhan. Sejak Luhan meninggalkan rumahnya sekitar pukul 2 siang tadi hingga waktu menujukkan pukul 10 malam, Sehun masih belum mengetahui keberadaan kekasihnya.

Remaja tampan itu pun sudah berulang kali meminta bantuan Yifan untuk mencari tahu dimana keberadaan Luhan namun nihil, tak satupun orang yang Sehun hubungi memberikan informasi yang Sehun inginkan.

Dddrrrrttt

Ponsel Sehun bergetar, namun helaan napas kecewa harus kembali Sehun hembuskan ketika melihat nama kontak orang yang menelponnya saat ini adalah Oh Yifan.

"Apa Hyung menemukan Luhan?"

"Tidak, tapi… Sehun-ah…"

"Apa Hyung mendapatkan informasi keberadaan Luhan?"

"Itu juga tidak, Sehun-ah… dengarkan aku dulu…."

Pip

Sehun mematikan ponselnya begitu saja. Remaja itu merasa tidak peduli apapun yang akan Yifan sampaikan jika itu bukan tentang Luhan. Sehun mengerti jika apa yang kakaknya ingin katakan adalah permintaan agar Sehun bisa cepat pulang.

Sehun mengacak acak rambutnya dengan kasar sambil mengeluarkan sebuah teriakan tertahan. Sehun tidak mau seluruh penghuni rumah yang berdampingan dengan rumah Luhan keluar malam – malam karena mendengar teriakan Sehun. Jujur saja, remaja tampan bermarga Oh itu sudah sangat tidak punya tenaga untuk berhadapan dengan siapapun kecuali Luhan. Dan keputusan Sehun untuk terus menunggu Luhan di depan rumahnya membuahkan hasil,

Tepat pukul 11 malam, Luhan muncul di persimpangan jalan menuju ke rumahnya. Sehun yang duduk karena sudah tak mampu lagi untuk berdiri melihat siluet tubuh Luhan yang dia yakin juga sedang menatapnya saat ini.

"Luhan!"

Entah dari mana asalnya Sehun mendapatkan kekuatan untuk berdiri. Matanya yang sayu kini berbinar hanya dengan melihat siluet tubuh wanita yang amat sangat dicintainya. Namun diluar dugaan Sehun, Luhan malah berbalik arah dan berlari.

Sehun mengejar Luhan dengan segala keputus asaannya. Anak itu tahu jika tenaganya sudah sama sekali tak tersisa. Namun tetap saja, dia tidak boleh kehilangan Luhannya. Sehun berlari dan berlari sekuat tenaganya yang tersisa.

GREB

"Luhan!"

Sehun berhasil meraih lengan Luhan, namun gadis itu menampik Sehun dan tetap berlari. Sehun kembali berlari mengejar Luhan hingga akhirnya dia berhasil menarik bahu Luhan dan mendekap gadis itu erat – erat.

"Lepaskan aku!" ujar Luhan dengan nada putus asa.

"Tidak, aku tidak akan melepaskanmu," jawab Sehun tenang meskipun napasnya kini tersengal.

"Lepaskan aku, ku mohon.." Luhan berkata sambil menahan getaran pada suaranya karena gadis itu kembali menangis.

"Tidak, aku tidak mau." Sehun membenamkan wajahnya di bahu sempit Luhan. Berharap gadis itu tidak memberontak pelukannya lagi. Jujur saja, Sehun sudah sangat lelah berlari hari ini. Telapak kakinya terasa begitu membeku dan perih. Sehun berharap jika Luhan bisa memaki atau memukulnya atau apapun asalkan jangan berlari lagi. Sehun merasa tidak kuat jika harus mengejarnya lagi.

Luhan menundukkan kepalanya dan membiarkan air matanya terjatuh. Isakannya yang lemah tak bisa lagi ia tahan. Melihat Sehun menunggunya pun membuat hatinya terasa begitu tercabik. Dada Luhan rasanya penuh sesak, dikepala gadis itu tersirat sebuah pikiran yang entah kenapa baru saja dia sadari saat Nyonya Oh berbicara kepadanya sore tadi.

Apa yang Luhan miliki sehingga dia berhak atas cinta dari seorang Oh Sehun?

"Jangan pergi lagi, Luhan, aku mohon" ucap Sehun memecah keheningan malam. Luhan begitu jelas mendengar bagaimana Sehun mencoba untuk menahan sesuatu dalam perasaannya. Pelukan Sehun pada tubuhnya semakin erat. Bisa Luhan rasakan napas hangat Sehun di bahunya. Bisa gadis itu rasakan pula bagaimana Sehun mencoba untuk mengatur emosinya saat ini.

Luhan kembali menundukkan kepalanya. Tangannya terangkat untuk mengusap air mata yang membuat pipinya basah. Gadis itu kembali menunduk dan saat itu baru Luhan menyadari, telapak kaki Sehun penuh luka lecet dan berdarah. Mata Luhan terbelalak ketika melihat bagaimana Sehun berdiri tanpa alas kaki, memeluk tubuhnya agar tak lagi bisa pergi.

"Sehun-ah…"

"Ya?"

"Telapak kakimu… telapak kakimu terluka"

"Hhhmmmmm"

Sehun hanya menghembuskan napas berat untuk menjawab kalimat Luhan. "Aku lupa memakai alas kaki saat mengejarmu yang pergi begitu saja dari rumahku" ucap Sehun akhirnya.

Luhan seketika berbalik dan meneliti wajah Sehun. Remaja tampan itu terlihat begitu kacau. Rambut hitamnya lepek berkeringat, wajahnya pucat, bibirnya kering dan napasnya pun masih tersengal. Luhan menatap seluruh tubuh Sehun senti demi senti, hingga akhirnya Luhan terpaku pada telapak kaki remaja tampan di hadapannya itu.

"Kau, berlari tanpa mengenakan apapun di kakimu?"

Sehun terdiam, anak itu hanya bisa memegang pergelangan tangan Luhan dengan begitu erat. Sehun takut jika sedetik saja dia melepaskan Luhan, gadis itu bisa pergi begitu saja.

"Kenapa kau melakukannya?"

Sehun masih tetap diam, entah apa yang harus dia katakan saat ini. Haruskah dia meminta maaf atas apapun yang telah ibunya katakan kepada Luhan, haruskah dia bertanya terlebih dahulu kemana Luhan pergi setelah dari rumahnya, atau haruskah Sehun berkata pada Luhan bahwa dia sangat mencemaskan Luhan.

"Apa kau … baik – baik saja?" tanya Sehun akhirnya.

Dari segala pertanyaan yang mengisi kepalanya saat ini, pertanyaan itulah yang akhirnya keluar dari bibir tipis Sehun. Apakah Luhan baik – baik saja? Karena lebih dari apapun saat ini, yang Sehun khawatirkan adalah Luhan, perasaan Luhan, keadaan Luhan dan semuanya tentang gadis yang terlanjur dia cintai itu.

"Ani…" jawab Luhan yang kini menatap kedua mana Sehun dengan pandangan penuh kekecewaan.

Luhan akhirnya menyerah. Gadis itu kecewa. Benar – benar kecewa saat ini. Dan entah mengapa rasanya ingin sekali dia melimpahkan segala rasa kecewanya pada Sehun yang kini nampak sangat menyedihkan itu.

"Apa kau terluka?" tanya Sehun lagi. Sorot mata lelah Sehun mengabsen seluruh tubuh Luhan yang kini masih menatapnya dengan tatapan yang sangat ingin Sehun hindari.

"Eoh… aku terluka." Ujar Luhan singkat.

Mata tajam Sehun yang lelah menatap Luhan dengan penuh rasa bersalah, air mata anak itu pun tak bisa lagi dibendung. Sehun menangis di hadapan Luhan.

"Kenapa kau seperti ini, Oh Sehun? Kenapa kau melakukan ini?"

"Lu…"

"Apa kau bodoh? Apa kau tidak tahu caranya pakai sandal atau sepatu sebelum keluar rumah?"

"Luhan…"

"Kenapa kau mencari dan menghawatirkan aku? Aku bisa saja pergi karena aku memang ingin pergi, kenapa kau harus mengejarku dan membuatmu terlihat sebodoh ini, eoh?"

"Luhan dengarkan aku…"

"Kenapa aku harus mendengarkanmu? Apa yang akan kau jelaskan? Apa kau ingin menunjukkan pada dunia bahwa kau telah banyak berkornban demi aku ?"

"LU HAN!"

Sehun meninggikan suaranya dan itu seketika membungkap ucapan Luhan yang Sehun rasa sudah sangat keterlaluan saat ini. Apa yang gadis itu katakan barusan benar – benar sudah melewati batas kesabaran Sehun. Tidakkah Luhan sedikit saja mau terbuka kepadanya, atau tidakkah gadis itu merasa bahwa ada hal yang perlu dibcarakan saat ini?

"Apa yang ibuku katakana padamu?"

"Itu bukan urusanmu"

"Lalu kenpa kau meninggalkan rumahku tanpa memberitahuku?"

"Itu juga bukan urusanmu"

"Dan kemana kau pergi setelah meninggalkan rumahku?"

"Itu bukan urusanmu, Oh Sehun!"

"ITU URUSANKU!"

Sehun kembali meninggikan suaranya. Semua rasa lelah, kepanikan, amarah dan kekalutan yang Sehun rasakan seharian membuncah. Sejujurnya Sehun tidak mau meninggikan suaranya terhadap Luhan, hanya saja, anak itu tidak tahu bagaimana caranya agar Luhan mau berbicara dengannya.

"Itu semua urusanku, aku mencintaimu, aku peduli terhadapmu, aku menghawatirkanmu!"

Luhan hanya menatap Sehun yang kini sudah terlihat benar – benar frustasi di hadapannya. Luhan, seberapapun gadis itu mencoba untuk tak peduli, namun tetap saja Luhan tak bisa mengabaikan keadaan Sehun yang berantakan di hadapannya. Tentu dalam hati Luhan pun terasa amat tersiksa harus berada dalam keadaan seperti ini dengan Sehun.

"Bisakah kau berhenti untuk menghawatirkanku?"

Ucapan Luhan mengundang tanda tanya besar di kepala Sehun, anak itu mengerutkan keningnya. Berhenti menghwatirkan Luhan? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Sehun berhenti menghawatirkan gadis yang sangat dia cintai sementara Sehun tahu betul ada yang tidak baik – baik saja dalam hubungan mereka, terlebih lagi, Luhan pasti sedang amat tersakiti saat ini. Jika tidak begitu, Luhan tidak mungkin bersikap sedingin ini padanya.

"Kenapa aku harus berhenti menghawatirkanmu, Lu? Kau… kekasihku tentu saja aku berhak menghawatirkanmu"

"Kalau begitu berhentilah jadi kekasihku agar kau tidak berhak lagi untuk menghawatirkanku."

"Luhan, bukan begitu…"

"Bukan begitu?"

"Ya! Bukan begitu, itu bukan penyelesaian yang tepat untuk apa yang sedang terjadi"

"Lalu apa? Apa penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan ini? Teorema Phytagoras? Persamaan Logaritma? Turunan Fungsi Aljabar? Atau Teori Probabilitas?

"Luhan…."

Sehun kembali memanggil nama Luhan, namun kini nada yang Sehun gunakan bukanlah nada bujukan seperti sebelumnya. Sehun memanggil nama Luhan dengan nada muak. Tentu saja, Sehun merasa dihina saat ini.

"Apa kau pikir yang aku tahu hanyalah rumus – rumus matematika? Apa kau pikir yang ada di kepalaku hanyalah persoalan angka dan urusan pelajaran?"

"…"

"Tidak bisakah kau menghargai aku sebagi seorang laki – laki yang mencintaimu dan ignin menyelesaikan permasalahan kita dengan baik?"

"Apa yang kita bisa lakukan? Ani… bukan kita, apa yang bisa aku lakukan untuk masalah ini?"

"Bicara padaku, bicarakan semuanya denganku dan kita cari jalan keluar."

"Jalan keluar apa yang kau punya?"

"Apapun, apapun itu asalkan tidak berpisah denganmu"

Luhan terdiam, gadis itu bisa merasakan betapa Sehun sungguh – sungguh mengatakannya. Luhan sejujurnya hanya perlu berterus terang, namun itu semua sulit baginya. Terlalu sulit untuk Luhan mengakui seberapa menyakitkannya perkataan yang diucapkan oleh Nyonya Oh tadi siang.

Luhan melunak, Sehun yang bisa merasakan amarah Luhan mereda langsung mendekap gadis itu dalam pelukannya. Dadanya yang bidang begitu hangat dan nyaman bagi Luhan. Sehun memeluk erat gadis itu, membelai pundak Luhan dengan lembut untuk kembali menenangkan Luhan. Sehun berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan semua rasa marahnya terhadap apa yang Luhan katakan barusan, terlebih lagi, Sehun masih menyimpan semua rasa bingungungnya. Karena yang terpenting saat ini adalah Luhan merasa tenang.

Setelah beberapa saat, Luhan melepaskan pelukan Sehun dengan perlahan. Gadis itu bisa melihat wajah lelah Sehun tersenyum. Luhan tidak bisa bohong, senyuman Sehun membuat hatinya begitu tenang. Senyuman itu mengusir kegelisahannya. Senyuman itu membuat Luhan merasa seseorang benar – benar mendukung dan mencintainya. Namun, ketika Luhan menyadari itu, gadis itu kembali teringat satu pertanyaan.

Apa yang Luhan miliki sehingga dia berhak atas cinta dari seorang Oh Sehun?

"Ayo kita pulang, disini dingin, besok kau harus ke kampus, bukan?" ujar Sehun sambil mengelus lembut pipi Luhan.

Luhan tak bergebming. Bibirnya sedikit bergerak seiring dengan kepalanya yang sedang sibuk berpikir tentang apa yang harus Luhan katakan untuk mendapat jawaban atas pertanyaan yang ada di benaknya.

"Sehun-ah…"

"mmm?"

"Kenapa kau mencintaiku?"

Akhirnya Luhan bertanya. Sehun nampak terkejut mendengar pertanyaan itu. Tak pernah terpikirkan oleh Sehun jika dirinya harus menyimpulkan perasaannya dalam sebuah kalimat.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Sehun balik bertanya pada Luhan.

"Karena…"

"Karena?"

"Karena itu adalah pertanyaan yang ibumu tanyakan kepadaku. Apa yang ada pada diriku hingga kau begitu mencintaiku seperti ini?"

"Mwo?"

"Jadi, kenapa… kau mencintaiku?" tanya Luhan lagi.

"Haruskah aku menjawabnya?"

"Ya, kau harus."

"Tidak bisakah aku hanya mencintaimu tanpa harus mendefinisikannya?"

"Tidak bisa"

"Kenapa?"

"Kau tentu tahu, aku adalah seseorang dengan latar belakang yang tidak menyenangkan. Aku tidak punya keluraga, aku tidak punya ayah ataupun ibu yang bisa aku miliki. Memang benar, jika kau mencintaiku, tapi apa kau yakin jika aku juga mencintaimu? Apa kau yakin jika aku sama tulusnya denganmu?"

Sehun mengerutkan keningnya tidak mengerti. Sejak awal Sehun memang merasa jika masalah yang ia dan Luhan miliki saat ini bukanlah perkara sederhana. Ada hal lain, yang lebih besar dan serius.

"Apa kau tidak berpikir jika aku memanfaatkanmu? Bukankah kau tahu jika sejak awal aku mengetahui siapa dirimu? Aku tahu jika kau berasal dari keluarga mapan dan terpadnang. Dan itu akan sangat menguntungkan bagiku yang bukan siapa – siapa ini jika dicintai oleh pria sepertimu bukan?"

"…"

"Kau bisa menaikkan derajatku, kau bisa mengubah status sosialku, kau bisa memberikanku segalanya yang aku mau. Aku bisa memanfaatkan cintamu dengan mudah."

"…"

"Tidakkah kau pernah berpikir jika aku bisa melakukan itu padamu?"

Rahang Sehun tercekat, kerongkongannya terasa begitu kering dan degupan jantungnya mulai tidak stabil. Kedua telapak Sehun mengepal, menahan semua amarah yang tersulut dalam dirinya. Pertanyaan Luhan, Sehun yakin didapatkan gadis itu dari Ibunya. Luhan yang Sehun kenal, Luhan yang Sehun cintai tidak akan pernah memikirkan hal seperti itu.

"Apa Ibuku yang berkata seperti itu?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab saja pertanyaanku, Oh Sehun."

"Itu bukan pertanyaanmu."

"Itu pertanyaanku!"

"Itu adalah pertanyaanmu setelah bertemu dengan ibuku."

"Oh Sehun…"

"Ya, benar, Ibukulah yang berkata seperti itu. Iya kan?"

"Jangan bawa ibumu. Aku tidak peduli apa yang ibumu katakan, aku hanya ingin tahu jawabanmu"

"Jika kau tidak peduli pada kata – kata Ibuku, kau tidak akan menanyakan alasanku mencintaimu"

"Aku – hanya – ingin – tahu"

Sehun menatap Luhan dengan tatapan mata tajamnya yang beku. Sedetik kemudian Sehun bergeming, meninggalkan Luhan. Sehun melangkah dengan kaki panjangnya meninggalkan Luhan yang masih terpaku menatap punggung Sehun menjauh saat ini. Gadis itu tidak bisa berkutik, sementara Sehun semakin jauh pergi meninggalkannya.

Luhan tidak mengerti, kenapa Sehun malah pergi. Bukankah anak itu yang ingin membicarakan masalah mereka? Tapi kenapa malah Sehun yang pergi begitu saja? Dan hati Luhan semakin sakit ketika mengingat keadaan telapak kaki Sehun yang penuh luka dan lecet.

.

.

.

"Apa kau sudah mendapatkan kabar dari adikmu?" tanya nyonya Oh pada Yifan yang saat ini masih sibuk dengan ponselnya.

Tuan Oh yang sedari tadi duduk di sofa sambil memegang secangkir teh dengan lemon di dalamnya masih tidak mengerti akan keadaan yang terjadi di rumahnya. Setahu Tuan Oh, ketika dia pulang dari urusan pekerjaannya, lelaki itu mendapati sang isteri dan anak sulungnya saling sibuk dengan ponsel satu sama lain. Dan juga, lelaki itu mengerti bahwa mereka mencemaskan Sehun, tapi yang Tuan Oh tidak mengerti, kenapa mereka mencemaskan Sehun dengan wajah panik. Pertanyaan "ada apa" yang Tuan Oh tanyakan pada isterinya dan Yifan sama sekali tak terbalas.

BLAK

Pintu utama rumah mereka terbuka dengan kasar. Sontak Tuan Oh, Nyonya Oh dan Yifan kaget mendengar suara hantaman pintu yang menggema cukup keras di ruang tamu keluarga Oh. Sesaat kemudian, mereka melihat Sehun datang dengan aura mencekam disekujur tubuhnya.

Tanpa harus ada penjelasan apapun, Yifan tahu betul, adiknya sedang marah. Tidak, saat ini bisa dibilang bahwa Sehun sedang amat, sangat marah.

"Apa kau sudah menemukan Lu…."

Pertanyaan Yifan terputus, Sehun mengabaikan sang kakak dan langsung berdiri di hadapan ibunya.

"Syukurlah kau sudah pulang, kau sudah makan?" tanya nyonya Oh seolah tak ada yang salah

"Sehun-ah… ada apa dengan telapak kakimu?" tuan Oh berdiri menghampiri putera bungsunya, ini pemandangan yang tak wajar bagi tuan Oh mendapati putera bungsunya dalam keadaan seperti itu.

"Ada apa ini? Adakah yang bisa menjelaskan situasi ini pada Ayah?" tanya tuan Oh dengan raut wajah kebingungannya

"Ada satu orang, Isteri ayah. Ayah bisa tanyakan padanya" ketus Oh Sehun sambil menatap ibunya tajam

"Oh Sehun! Kenapa kau bicara seperti itu dihadapan Ibumu? Itu tidak sopan!" tegur Tuan Oh pada puteranya

"Untuk apa aku bersikap sopan pada seseorang yang juga tidak bisa bersikap sopan terhadap orang lain?"

"Ya! Jaga cara bicaramu Oh Sehun!" sela Yifan. Yifan tahu jika Sehun sedang marah saat ini, tapi Yifan tetap tidak bisa mentoleransi siapapun yang berbicara seperti itu kepada Ibunya, meskipun orang itu adalah Oh Sehun.

"Baiklah, sekarang aku akan berbicara dengan sopan…. Apa yang ibu katakan pada Luhan?" tanya Sehun datar.

"Ibu tidak mengatakan apapun padanya"

"Aku tanya sekali lagi, apa yang ibu katakan kepada Luhan?"

"Oh Sehun, ibu tidak mengerti apa yang kau bicarakan, sekarang naik ke kamarmu dan.."

"APA YANG IBU KATAKAN PADA LUHAN?"

"OH SEHUN!"

"Ku mohon, bilang padaku apa yang ibu katakan pada Luhan?"

Air mata kembali menetes dari kedua mata Sehun. Wajah Sehun memerah dan keringatnya kembali bercucuran. Seumur hidup Sehun, Sehun tidak pernah ada dalam kondisi seperti ini. Sehun terlihat begitu berantakan dengan amarah yang sekuat tenaga dia tahan dalam – dalam.

"Maafkan aku ibu, tapi kali ini aku benar – benar sangat kecewa kepadamu. Selama ini aku sangat menghormati dan menyayangi ibu, tapi hari ini, aku benar – benar tidak bisa menahan kekecewaanku" ujar Sehun dengan suara bergetar yang coba ia tahan, Sehun tidak mau berteriak lagi pada Ibunya.

"Hanya karena gadis itu, kau memperlakukan Ibumu seperti ini?" akhirnya Nyonya Oh buka suara. Wajah Nyonya Oh sama merahnya dengan wajah Sehun saat ini. Wanita cantik itu memancarkan kemarahannya melalui sorot mata tajam yang dia arahkan pada si bungsu.

"Ani, aku begini karena apa yang telah Ibu lakukan pada Luhan"

"Semua yang Ibu lakukan adalah untuk melindungimu!"

"Dengan cara menyakiti perasaan orang lain? Tidak, Luhan bukanlah orang lain. Luhan adalah gadis yang amat sangat aku cintai."

"Kau terlalu naif, Oh Sehun. Kau terbutakan oleh cintamu! Kau masih kecil, kau belum mengerti apa itu cinta!"

"Lalu apakah karena Ibu adalah orang dewasa jadi Ibu bisa seenaknya mengatakan apapun dan menyakiti perasaan orang lain?"

"…"

"Ibu… Luhan adalah gadis yang malang. Dia tidak punya Ibu, dia tidak punya ayah… apakah Ibu tidak punya sedikit pun empati terhadapnya?"

"…"

"Apakah tidak memiliki ayah dan tidak memiliki ibu adalah hal yang memalukan untuk Ibu?"

"Oh Sehun!"

"Ibu! Kau adalah seorang wanita yang beruntung. Kau terlahir di keluarga yang sempurna, kau tumbuh menjadi puteri keluarga terpandang, kau menikah dengan pria hebat yang memiliki latar belakang tak kalah luar biasanya dari keluarga ibu!"

"…"

"Ibu tentu… tidak akan tahu bagaimana rasanya jadi Luhan."

"…"

"Ibu tidak tahu bagaimana rasanya terlahir di keluarga sederhana, ibu tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang anak yatim saat ibu masih anak – anak, Ibu juga pasti tidak tahu rasanya dikhianati oleh seseorang yang melahirkan Ibu, Ibu tidak tahu rasanya harus tumbuh sebatangkara seperti Luhan!"

"…"

"Tapi ibu tidak berhak menghinanya seperti itu!"

Sehun mengatur napasnya dengan kasar, anak itu merasa sebentar lagi jantungnya bisa meledak. Dalam benaknya, Sehun ingin sekali melemparkan semua barang yang ada disekitarnya. Perasaan marah ini adalah perasaan yang baru untuk Sehun. Karena semumur hidupnya, Sehun tak pernah semarah ini. Anak itu pun tak pernah membayangkan jika alasannya menjadi sangat marah adalah Ibunya sendiri.

"Apa yang ibu lakukan, adalah untuk melindungimu. Kau terlalu muda untuk ini semua. Ibu hanya tidak mau kau berhubungan dengan orang yang salah dan menghancurkan masa depanmu. Ibu tidak mau seorang pun menghancurkan masa depan putera Ibu!"

Kepala Tuan Oh berdenyut tidak nyaman. Keadaan dihadapannya membuatnya tiba – tiba merasa sangat pusing. Pria itu mencoba menebak – nebak situasi yang terjadi antara sang putera bungsu dan sang isteri. Disisi lain, Tuan Oh mengetahui hubungan Sehun dan Luhan sejak cukup lama. Jujur saja, pria itu tidak masalah jika Sehun memiliki hubungan khusus dengan salah satu mantan siswi di sekolahnya itu. Tapi Tuan Oh tidak pernah mengira jika masalah percintaan Sehun, bisa meledakkan bom di dalam rumahnya.

"Sehun-ah… tenangkan dirimu, ayo aku antar kau ke kamarmu" ujar Yifan meraih bahu Sehun dan menepuknya lembut.

Yifan tidak memandang Ibu atau ayahnya saat ini. Yifan hanya melihat kearah adiknya yang sangat menyedihkan. Yifan berusaha keras untuk mengerti isi hati sang adik, tentu saja, Sehun tidak akan bersikap seperti ini jika keadaannya baik – baik saja. Yifan mengerti betul bagaimana sifat Sehun.

"Lalu… apa alasnmu mencintai gadis itu?" ujar Nyonya Oh ditengah keheningan mencekam yang tercipta di ruang tamu keluarga Oh.

Sehun terdiam. Pertanyaan itu mengganggu hatinya, mengganggu pikirannya, mengganggu otaknya, mengganggu jantungnya dan

"hhhhmmmmm"

Sehun menghembuskan napasnya yang sesak sepanjang mungkin, "Apakah aku harus mendefinisikannya? Apakah aku harus punya alasan untuk itu?" ujarnya seiring air mata yang di pipinya lagi.

"Tentu saja, kau harus punya alasan untuk itu."

"Bagaimana jika aku tidak punya?"

"Itu berarti kau tidak mencintainya, kau hanya kasihan kepada gadis itu karena gadis itu begitu menyedihkan. Dengan begitu kau akan dengan mudah dimanfaatkan oleh gadis itu untuk mendapatkan apa yang dia inginkan."

"…"

"Rasa kasihan yang salah kau artikan sebagai rasa cinta bisa menjadi senjata bagi gadis itu untuk menjadikanmu alat yang…."

"CUKUP IBU!!!"

Mata nyonya Oh terbelalak mendengar teriakan itu. Begitu pula dengan Tuan Oh yang kini mengamati putera sulungnya yang baru saja berteriak. Ya, bukan Sehun yang meminta Ibunya untuk berhenti, tetapi Yifan.

"Aku mohon cukup, semakin ibu berbicara maka bukan hanya Sehun yang kecewa pada Ibu. Tapi aku juga." Ujar Yifan yang berhasil membuat kedua orang tuanya terkejut akan situasi yang terjadi di hadapan mereka.

"Ayo Sehun, Hyung antar kau ke kamarmu" kata Yifan sambil menggiring tubuh adiknya yang lemah.

Sementara itu Sehun yang sudah tak mampu lagi melawan sang Ibu, ia hanya mampu menuruti sang kakak. Sehun meninggalkan ruangan itu Bersama Yifan.

"Kau… benar – benar berpikir seperti itu tentang Luhan?" tanya Tuan Oh dengan lembut pada isternya setelah kedua puteranya naik keatas dan suara pintu kamar Sehun ditutup terdengar.

"Aku hanya melindungi puteraku" ketus Nyonya Oh tanpa menatap wajah suaminya

"Apakah kau benar – benar sudah mengenal Luhan dengan baik?"

"Yeobo!"

"Luhan, adalah salah satu siswi terbaik diangkatannya. Aku mengenal anak itu cukup baik karena dia menerima beasiswa dari yayasan. Seharusnya kau bertanya padaku sebelum kau memutuskan sesuatu."

"Apa kau sekarang juga menyalahkanku?"

"Sebagai seorang ayah, aku tidak bisa berkata apapun. Aku menghormati ini atas caramu sebagai seorang ibu. Sebagai seorang suami, aku juga tidak bisa berkata apapun karena tentu kau punya alasan untuk melakukannya. Tapi…"

"…"

"Sebagai seorang kepala sekolah, dan sebagai seorang pendidik… aku merasa cukup tersinggung jika kau menilai salah seorang siswi terbaikku seperti itu. Terlebih lagi, kau belum mengenal Luhan dengan baik"

Tuan Oh meninggalkan Nyonya Oh sendirian di ruang tamu. Wanita cantik itu merasa sangat terhianati saat ini. Nyonya Oh berpikir bagaimana bisa tak seorang pun di keluarganya sendiri memihak kepadanya, bagaimana bisa tak seorang pun di dalam keluarganya mengerti apa yang saat ini sedang ia khawatirkan.

.

.

.

"Tahan sedikit, mungkin ini akan sakit." Ujar Yifan yang duduk di ujung tempat tidur Sehun sambil membawa sebuah kotak pertolongan pertama. Dari apapun yang ingin Yifan tanyakan atau katakan, menurutnya akan lebih baik jika telapak kaki Sehun mendapatkan pertolongan terlebih dahulu.

Sehun hanya terduduk di atas tempat tidurnya, entahlah, Yifan sendiri tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh adiknya itu. Yang Yifan tahu, Sehun saat ini pasti sedang amat sanagat terpukul.

"Apa hyung tahu kenapa Ibu berpikir seburuk itu tentang Luhan?"

Kebisuan terpecah ketika satu pertanyaan Sehun lontarkan pada Yifan, sorot keputusasaan jelas terpancar dari sinar mata redup Sehun saat ini. Tanpa mengalihkan focus pandangannya dari kaki – kaki Sehun yang lecet, Yifan pun berkata, "Ibu hanya belum mengenal bagaimana Luhan,"

"Tapi kita berdua mengenal bagaimana keras kepalanya Ibu, jika dia sudah tidak menyukai seseorang, maka dia akan selamanya tidak suka."

Kalimat Panjang Sehun berhasil membuat Yifan mengalihkan pandangannya. Pria yang lahir 2 tahun lebih awal dari Sehun itu memandang wajah adiknya lekat – lekat. Dalam hati Yifan tertegun, tiakkah sang ibu bisa melihat bahwa Sehun amat sangat mencintai Luhan?

"Tapi, Ibu hanya bertanya, apa alasanmu mencintai Luhan. Mungkin saja Ibu tidak mengerti karena…. Kau tidak menjelaskannya?" kata Yifan dengan nada lembut. Yifan sama sekali tidak bermaksud untuk membela sang Ibu, namun Yifan juga tidak ingin masalah ini berakhir menjadi sebuah perpecahan keluarga. Menurut Yifan bahkan, ini adalah masalah yang cukup sederhana, hanya saja perasaan manusia yang kadang membuat suatu masalah ringan menjadi sangat rumit.

"Tentu aku punya alasan kenapa aku mencintai Luhan, hyung" ujar Sehun yang kini menatap wajah kakaknya dengan tatapan lelah. "Tapi apakah alasanku akan diterima oleh Ibu?" sambungnya lagi.

"Well, kau harus mencobanya." Sahut Yifan dengan satu senyum lembut menenangkan. "Bagaimanapun juga, kau harus mempertahankan apa yang kau yakini dengan setulus hatimu. Mungkin ini terlalu cepat, tapi tidak ada salahnya kan untuk bertanya lagi pada dirimu sendiri, apakah kau benar – benar mencintai Luhan? Dan apakah Luhan, memiliki cinta yang sama besarnya untukmu?" sambung Yifan dengan nada yang sangat lembut. Yifan harap apa yang dikatakannya bisa masuk dalam hati Sehun yang mungkin saat ini sedang sanagt terluka.

Tentu Yifan menyadari bahwa ini semua tidak mudah untuk Sehun. Demi Tuhan, anak itu baru berusia 17 tahun. Terlalu dini untuk Sehun menentukan sebuah perasaan yang serius. Yifan sendiri saat masih beruisa 17 tahun masih belum tahu apa itu kesungguhan dalam mencintai. Dalam benaknya, Yifan berharap ada sesuatu yang bisa Yifan lakukan untuk membantu adiknya menyelesaikan masalah ini.

Yifan mengambil ponselnya lalu mengetik sebuah pesan kepada seorang temannya. Seorang teman yang berhasil membuat sang adik berselisih paham dengan sang ibu, seorang teman yang bisa membuat adiknya yang selama ini nampak tak punya perasaan jadi nampak seperti orang gila, seorang teman yang Yifan tahu bahwa dia memiliki sikap dan sifat yang baik, hanya saja mungkin temannya itu punya nasib yang cukup tidak beruntung.

To: Luhan

Aku tahu kau tidak bertanya, Tapi, Adikku sudah sampai di rumah. Luka di telapak kakinya sudah aku obati. Tapi aku tidak bisa mengobati luka yang ada di hatinya, Bisakah kau membantu aku melakukannya?

.

.

.

.

Seoul 2025

Chaeri memeluk erat tubuh sang ayah bersamaan dengan isakan tangisnya. Gadis kecil yang mewarisi wajah Sehun itu mulai terisak sedih ketika tahu bahwa dulu neneknya sempat sangat tidak menyukai ibunya. Chaeri tidak pernah menduga jika sang nenek yang selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang padanya dan kedua sepupunya itu pernah menilai ibunya dengan begitu kejam.

"Sudahlah sayang… itu semua terjadi di masa lalu.." bujuk Sehun sambil menepuk bahu puteri kecilnya.

Satu sisi dalam hati Sehun merasa bersalah karena telah menceritakan kisah hidup yang berat pada buah hatinya itu. Tentu saja Sehun tidak mau membuat puterinya jadi benci kepada sang nenek. Hanya saja memang benar itu yang terjadi.

Chaeri melepaskan pelukannya dari sang ayah lalu mengusap air matanya dengan lengan piama yang menutup kedua lengannya. Sehun membenahi posisi selimut yang menutupi tubuhnya dan Chaeri. Lelaki tampan itu melipat bibirnya sambil menatap sang puteri yang masih mencoba untuk menyudahi tangisannya.

"Apa appa berbohong tentang cerita itu?" tanya Chaeri dengan suara yang masih serak

"Tidak, appa tidak berbohong. Itu semua memang terjadi" ujar Sehun yang memang tidak punya niat berbohong sedikitpun dalam keseluruhan ceritanya

"Lalu mengapa sekarang nenek dan eomma sering melakukan kegiatan bersama. Bahkan waktu nenek sakit, nenek hanya mau eomma yang merawatnya. Kita bahkan harus tinggal di rumah nenek saat nenek sakit karena nenek tidak mau jauh – jauh dari eomma"

Chaeri melontarkan kalimat panjang bernada protes pada sang ayah. Sehun mengerti jika Chaeri sebenarnya hanya tidak ingin menerima kenyataan bahwa nenek dan ibunya dulu pernah ada di posisi yang tidak menyenangkan. Karena memang Chaeri tidak pernah melihat neneknya memperlakukan ibunya dengan buruk. Nenek yang Chaeri kenal adalah nenek yang selalu menyayangi Ibunya, bahkan nenek selalu akan banyak bicara dengan ibunya ketika mereka berkunjung ke rumah orang tua ayahnya itu.

"Dulu memang nenek pernah salah paham dan tidak menyukai eomma. Tapi sekarang… nenek bahkan lebih menyayangi eommamu daripada appa. Nenek Chaeri sudah menganggap eomma seperti puterinya sendiri."

"Jadi nenek dulunya tidak suka pada eomma tapi sekarang nenek malah sayang sekali pada eomma?"

"Yuuup!"

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena Appa, mempertaruhkan seluruh dunia yang Appa miliki untuk bisa mengetuk hati nenekmu."

Chaeri memandang wajah ayahnya dengan tatapan berbinar. Rasa penasaran gadis kecil itu begitu jelas tergambar dari sorot matanya.

"Apa yang Appa lakukan?"

Sehun mengacungkan tangan kirinya keatas dan melipat lengan piamanya sampai ke siku. "Kau lihat bekas luka ini?"

Chaeri menarik tangan kekar ayahnya mendekat dan menatap sebuah bekas luka samar di tangan Sehun. Bekas luka sepanjang kurang lebih 5 cm itu membuat Oh Chaeri mengerutkan keningnya lalu meringis ngeri.

"Luka ini bisa jadi saksi betapa Appa benar – benar berjuang untuk bisa bersama eomma."

"Ceritakan padaku appa…"

"Baiklah, akan appa ceritakan besok. Ini sudah malam kau…"

"NO! Ceritakan sekarang. Aku tidak akan tidur jika appa tidak menyelesaikan ceritanya!"

Chaeri mempoutkan bibir tipisnya dan membuat ekspresi wajah ngambek yang lucu. Sehun terkekeh geli melihat betapa menggemaskannya sosok puteri kecil yang dia ciptakan bersama Luhan itu.

"Tapi janji ya, setelah cerita ini selesai, Chaeri harus langsung tidur!"

"Ay! Ay! Captain!!!"

Sehun membenarkan posisi bantalnya kemudian memiringkan tubuhnya agar dia bisa menatap kedua mata Chaeri untuk kembali bercerita tentang perjuangannya untuk bisa bersama Luhan.

.

.

.

Seoul 2013

Luhan tersentak begitu membuka pintu depan rumahnya. Seorang pria tampan dengan rambut platina berdiri dengan senyum lebar yang tidak biasa.

"Kenapa kau bisa ada di depan rumahku, Oh Yifan?" tanya Luhan dengan nada ketus.

"Semalam kau menangis sampai jam berapa?" bukannya menjawab pria itu malah balik bertanya.

"Bukan urusanmu!"

"Kalau begitu… apa kau akan ke kampus?"

"Tidak, aku akan berangkat ke Sunny Daycare, tempatku kerja part time, wae?"

"Kenapa kau tidak membalas pesanku semalam?"

Luhan memalingkan wajahnya ke arah lain pertanda dia tidak suka membicarakan topik yang disebutkan Yifan. Demi Tuhan, Luhan sangat ingin untuk melupakan permasalahannya. Atau setidaknya, bisakah hari ini masalah itu tidak dibahas?

"Sebenarnya apa yang kau lakukan disini?"

"Aku ingin menjemputmu, seseorang memintaku untuk membawamu ke suatu tempat."

"Oh Sehun?"

"Bingo!"

"Kemana?"

"Ke rumah kami."

"TIDAK!"

Luhan sontak meninggalkan Yifan dan melangkah dengan cepat meninggalkan rumahnya. Yifan pun mengejar Luhan, sesuai dengan prediksinya, Luhan bukanlah anak yang mudah untuk di bujuk.

"Aku yang menjemputmu kemari karena Sehun tidak bisa berjalan dengan baik. Luka di kakinya cukup parah, maka dari itu aku yang menawarkan diri untuk menjemputmu"

Luhan tak bergeming dan tetap berjalan sambil tidak mengacuhkan perkataan Yifan.

"Jadi… bisakah kau ikut ke rumahku sebentar?" tanya Yifan ketika Luhan tak kunjung menanggapi omongannya.

"Aku sibuk. Aku harus bekerja."

"Aku tahu, maka dari itu aku akan ikut ke tempatmu bekerja dan mengajakmu ke rumahku setelah kau pulang kerja"

"Tidakkah kau ada kuliah atau sesuatu lain yang lebih penting untuk kau kerjakan?"

"Tidak, untukku Sehun adalah yang paling penting."

Luhan masih bersikap pasif dan tidak mengindahkan permintaan Yifan hingga mereka berdua sampai di halte bus terdekat dari rumah Luhan.

"Oh Yifan! Apa kau benar – benar akan mengikutiku?"

"Iya"

"Aku yakin kau tidak cukup bodoh untuk melakukan hal seperti ini"

"Ini bukan hal bodoh"

"Sudah lah, busku sudah datang. Berhenti mengikutiku"

Sebuah bus berwarna hijau dengan kode 0452 berhenti di halte, Luhan bergegas akan menaiki bus itu namun

GEB

Yifan menarik lengan Luhan untuk menahan gadis itu. "Ku mohon, ini demi adikku" ujar Yifan dengan tatapan matanya yang sangat serius. Luhan belum pernah melihat tatapan Yifan yang satu itu. Dan tatapan itu berhasil menghentikan pergerakan Luhan hingga bus itu melaju pergi meninggalkan mereka.

"Kau adalah orang yang sangat berharga bagi adikku. Dan adikku adalah orang yang paling berharga untukku"

"Dia adikmu, bukan urusanku"

"Ku mohon…"

"…"

"Apa aku perlu berlutut padamu?"

"Aku tahu dia adikkmu, Oh Yifan. Tapi melakukan ini, apakah tidak berlebihan? Ini masalahku dan Sehun, bukan masalahmu"

Yifan melepaskan genggamannya pada lengan Luhan dengan perlahan. Sorot mata memohonnya berubah jadi sorot mata kecewa dan itu membuat Luhan sangat tidak nyaman.

"Maafkan aku" ujar Luhan

"Tidak, mungkin apa yang dibilang ibuku benar. Kau mungkin hanya bermain – main dengan Sehun"

"Waaah… baiklah, jika itu yang kau nilai tentang diriku."

"Adikku sangat mencintaimu. Seumur hidupnya dia tidak pernah meneriaki orang tuaku, tapi semalam dia bertengkar hebat dengan Ibuku hanya untuk memperjuangkanmu. Hanya untuk membela dirimu yang bahkan…"

"…"

"Tidak peduli sama sekali kepadanya."

"Oh Yifan!"

"Baiklah.."

"Aku begini bukan karena aku tidak peduli pada Sehun. Aku juga sangat menyayanginya tapi apa yang bisa aku lakukan untuk mengubah penilaian ibumu terhadapku?"

"Maka dari itu ikutlah denganku ke rumah. Sehun punya satu rencana untuk menyelesaikan ini semua.."

"…"

"Sehun akan melindungimu, aku janji"

"Jika Sehun melindungiku, siapa yang akan melindungi Sehun?"

"Aku. Aku yang akan melindungi adikku."

Gadis itu berpikir sejenak. Dalam kepalanya Luhan masih meragukan apa yang baru saja dia dengar. Melindunginya? Apa yang akan Sehun lakukan untuk melindungi dirinya? Seberapa berharganya kah dirinya sampai Sehun rela menentang ibunya?

Dan untuk pertanyaan itu, Luhan akhirnya memutuskan untuk ikut Bersama Yifan ke kediaman keluarga Oh. Luhan harus tahu jawabannya. Dan jika dia harus tersakiti lagi, itu bukan masalah besar, bukankah Luhan paling tahu bagaimana caranya ikhlas dengan segala rasa sakit yang orang lain berikan untuknya?

.

Luhan berjalan bersama Yifan memasuki halaman keluarga Oh, ujung – ujung jemari Luhan sudah mulai terasa dingin dan perut Luhan mulai terasa mual. Yifan membuka pintu rumahnya dan seperti beku, Luhan tak mampu melangkah lagi. Luhan hanya bisa melihat bagaimana Yifan menganggukkan kepalanya demi meyakinkan Luhan untuk masuk ke dalam rumah keluarga Oh. Luhan akhirnya pasrah, gadis malang itu pun akhirnya hanya bisa mengikuti Yifan yang membawanya ke ruang tengah, tempat dimana kemarin dia merasa amat sangat tersakiti akibat perkataan Nyonya Oh.

Namun kedua mata rusa Luhan membulat ketika Luhan mendapati sebuah vas bunga kaca diatas sebuah meja di ruang tengah. Vas bunga itu terisi rangkaian bunga yang kemarin Luhan berikan pada Nyonya Oh. Luhan kira bunga yang dia berikan sudah dibuang ke tempat sampah, gadis itu kembali dibuat bingung oleh sikap ibu kekasihnya. Kenapa wanita itu meragukan dan menghina Luhan sementara bunga pemberian Luhan dipajang dengan apik di ruang tengahnya.

"Yifan-ah… darimana kau pagi – pagi begini? Eoh…"

Senyum lebar Nyonya Oh yang baru saja menyapa putera sulungnya memudar ketika dia melihat Luhan di belakang tubuh Yifan.

"Kenapa dia ada di sini?" tanya Nyonya Oh pada Yifan

"Aku yang meminta hyung untuk menjemputnya datang kemari." Sehun berkata sambil menuruni tangga rumahnya. Nyonya Oh hanya bisa menghela napasnya keras, wajah cantiknya membeku melihat Sehun turun dengan sebuah tas ransel di tangannya.

"Eoh… Luhan, kau datang… apa kabar?"

Tuan Oh yang datang dari arah dapur menyapa Luhan dengan ramah. Seperti yang Tuan Oh katakan pada isterinya semalam, untuk masalah ini pria itu tidak bisa setuju dengan isterinya begitu saja. Dan karena ini adalah rumahnya, Tuan Oh merasa berhak untuk menyambut Luhan sebagai tamunya.

"Annyeonghaseyo seonsaengnim" sapa Luhan dengan penuh hormat pada Tuan Oh.

Tuan Oh tersenyum kemudian berkata "Jika ada yang ingin kalian bicarakan, silakan duduk."

Yifan menggiring Luhan untuk duduk di salah satu sofa di ruang tengah, Sehun kemudian mengikuti Yifan dan duduk tepat di sebelah Luhan, sementara Yifan duduk di sebuah sofa single di sisi lainnya.

"Ayah, Ibu… aku juga ingin bicara dengan ayah dan ibu" ujar Sehun tegas.

"Yeobo… ayo" Tuan Oh mengajak isterinya untuk duduk sofa lain yang masih kosong.

Gadis cantik bermata rusa yang duduk di samping Sehun hanya berani menatap ujung slipper yang dia kenakan. Gadis itu berusaha menutupi kegugupannya dengan mencengkram erat lututnya yang kurus. Sementara Sehun, remaja tampan itu menatap kedua orang tuanya dengan tatapan lurus yang penuh keyakinan. Dan setelah kedua orang tuanya duduk, Sehun kemudian berkata,

"Aku ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara yang aku pilih. Jadi tolong, dengarkan aku"

Sehun kini beralih menatap Yifan, sorot matanya mengisyaratkan sebuah permintaan persetujuan dari sang kakak. Dan setelah Yifan sedikit mengangguk, Sehun meneruskan perkataannya.

"Kalian semua punya pertanyaan yang sama untukku."

"…"

"Kalian semua bertanya, apa alasanku mencintai Luhan dan apa yang Luhan miliki sehingga aku mencintainya. Baiklah, akan aku jawab."

"…"

"Selama ini aku percaya jika sesuatu bisa dijelaskan secara matematis maka hasilnya bisa diterima secara logis. Maka dari itu, aku mencoba menerjemahkan perasaaku yang abstrak ke dalam suatu bentuk matematika untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut agar semuanya bisa menerima penjelasanku dengan logis"

"…"

"Bagiku, Luhan adalah bilangan angka 0."

"..."

"Arti Luhan untukku sebesar angka 0"

Semua orang terlihat bingung dengan pernyataan Sehun. Namun hanya Luhan yang menatap Sehun dengan tatapan mata berkaca – kaca.

"Seperti angka 0, banyak orang tidak menyukainya, banyak pula orang yang mengabaikan keberadaannya dan tidak menganggap angka 0 ada karena bagi mereka angka 0 tidak memiliki arti atau nilai yang sesuai dengan yang mereka igninkan."

"…"

"Sama seperti Luhan, bagi banyak orang mungkin dia tidak memiliki arti, hanya menyusahkan dan bukan sesuatu yang mereka inginkan."

"…"

"Tapi bagi seseorang yang seperti aku, angka 0 memiliki peran yang sangat penting. Karena tak akan ada perhitungan matematika yang berhasil tanpa angka 0"

Kening Nyonya Oh mengerut, berusaha paham akan apa yang dikatakan oleh putera bungsunya. Tentu saja, wanita cantik itu bukanlah pecinta matematika seperti sang suami dan kedua puteranya. Namun wanita itu tetap coba mendengarkan penjelasan yang Sehun berikan.

"Dengan adanya angka 0, kita akan memahami arti penting angka 1,2,3…. Begitu pula Luhan, dengan adanya Luhan disisiku, aku jadi paham betapa pentingnya arti orang – orang yang ada disekitarku. Sejak bertemu Luhan aku mengerti seberapa beruntungnya aku dilahirkan di keluarga yang sempurna, memiliki ayah dan ibu yang selalu memikirkan dan mengkhawatirkanku, dan memiliki seorang kakak yang selalu mendukungku. Sejak bertemu Luhan aku mengerti rasanya resah dan ingin melindunginya, seperti apa yang ayah selalu lakukan pada ibu"

"…"

"Pada moment tertentu, kita juga mungkin pernah mendengar kalimat 'dimulai dari titik nol'. Begitu pula Luhan, Luhan adalah titik 0 dalam hidupku, karena sejak bertemu Luhan aku bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Karena sejak bertemu Luhan aku selalu merasa ingin memulai segala hal yang bisa membuatnya bahagia. Karena melihat senyum Luhan, aku merasa seperti sebuah bilangan yang telah memberikan arti pada angka 0 itu."

Sebuah pikiran terbersit di ingatan Nyonya Oh. Memang benar, semenjak Sehun masuk sekolah menengah atas, anak itu jadi bersikap lebih baik. Sehun mulai bisa menghargai sikap overprotectivenya, Sehun lebih membuka dirinya dan bersikap lebih ramah pada kakaknya, dan bukankah Sehun pernah tiba – tiba memeluk Nyonya Oh saat Sehun pulang larut malam, anak itu bahkan pernah berterima kasih kepada ibunya karena telah dikhawatirkan.

"Dan bila hidup ini adalah sebuah lingkaran maka posisi Luhan dalam hidupku adalah titik (0,0) yang artinya Luhan adalah pusat hidupku. Aku mengatakan ini tidak bermaksud untuk menyepelekan posisi ayah, ibu dan kakakku yang selama ini sudah bersamaku, tapi seperti yang aku bilang tadi, karena Luhan lah, keberadaan keluargaku menjadi lebih berarti. Luhan adalah posisi 0 yang netral yang bisa mengimbangiku. Membuatku seimbang diatara positif dan negatif."

"…"

"Jadi… bisa disimpulkan aku adalah sebuah bilangan yang membutuhkan angka 0 untuk menentukan arti dalam hidupku."

"…"

"Dan jika apa yang aku rasakan terhadap Luhan adalah sebuah bilangan yang dibagi dengan 0, maka perasaanku ini tidak bisa terdefinisikan. Karena perasaan cinta ini adalah bentuk abstrak yang hanya bisa dirasakan oleh hatiku. Aku tidak bisa mendefinisikannya. Tapi bukan berarti ini tidak bisa dibuktikan."

"…"

"Dalam penghitungan sehari-hari, angka nol yang hadir berurutan merupakan sebuah kelipatan, bisa berlipat makin kecil atau makin besar. Jika angka 0 berada di sisi kiri suatu bilangan maka nilai bilangan tersebut akan berlipat semakin kecil, … 1 – 0,1 – 0,01 – 0,001 – dan seterusnya."

"…"

"Namun jika angka 0 itu ada disisi kanan suatu bilangan, maka nilai bilangan tersebut akan berlipat semakin besar…. 1 – 10 – 100 – 1000 – dan seterusnya."

"…"

"Maka dari itu, di hadapan Ayah, Ibu, Hyung dan Luhan saat ini. Aku ingin membuktikan apakah Luhan adalah bilangan 0 yang membuatku tambah bernilai atau malah semakin tak bernilai."

"…"

Nyonya Oh tak bergeming, raut wajahnya masih sama dinginnya sejak tadi. Raut wajah dingin itu juga tersirat dari wajah Sehun yang masih Luhan tatap sejak tadi. Mendengar penjelasan Sehun atas dirinya yang memiliki arti sebesar bilangan angka 0, membuat hati Luhan semakin sesak. Gadis itu merasa sesak akan penyesalannya, Luhan merasa begitu bodoh karena sudah meragukan Sehun dan tersakiti oleh apa yang dikatakan Ibu Sehun, sementara Luhan sendiri tahu seberapa tulus perasaannya pada Sehun.

"Jadi apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan itu semua?"

Nyonya Oh akhirnya buka suara. Satu kalimat bernada tantangan itu seakan menantang putera bungsunya sendiri untuk berntindak.

"Aku akan meninggalkan semuanya. Aku akan meninggalkan semua yang aku punya untuk membuktikan bahwa Luhan memang benar – benar tulus mencintaiku" ucap Sehun dengan penuh ketegasan pada kalimatnya.

"Oh Sehun, apa maksudmu?" tanya Tuan Oh.

"Aku akan meninggalkan keluarga ini. Sampai Ibu mengakui bahwa perasaanku dan perasaan Luhan dalam hubungan ini adalah perasaan yang tulus. Aku akan meninggalkan semua yang aku punya. Aku akan hidup sama seperti Luhan, tidak punya ibu, tidak punya ayah, tidak punya hyung dan tidak punya segala kemewahan dan fasilitas yang keluarga ini berikan padaku."

"Ya! Sehun-ah… jangan bicara sembarangan!"

Yifan terlihat panik mendengar pernyataan Sehun. Pernyataan itu tidak Sehun ceritakan semalam ketika Sehun meminta Yifan untuk menjemput Luhan dan membawanya ke kediaman keluarga Oh.

"Seperti yang Ibu bilang, Luhan bisa saja hanya memanfaatkanku karena latar belakang yang aku miliki."

"Se… Sehun-ah… aku rasa kau berlebihan" ucap Yifan lagi.

Sehun kini mengalihkan pandangannya dari kedua orang tuanya menuju Luhan yang duduk disampingnya. Sehun menatap kedua mata rusa Luhan yang kini sudah dibanjiri air mata.

"Aku akan mengaku kalah jika Luhan meninggalkanku" ucap Sehun sambil menatap kedua mata Luhan. Sehun kemudian meraih satu tangan Luhan lalu bangkit dari duduknya.

"Ayo, kita pergi dari sini. Mulai sekarang sampai Ibuku merestuimu, ini bukan lagi rumahku" ujar Sehun dengan senyum manis tulus dia berikan pada Luhan

"Sehun-ah… kau tidak bisa melakukan ini" ucap Luhan setelah berusaha menelan air matanya.

"Wae?"

"Kau tidak boleh meninggalkan keluargamu hanya demi aku." Isak Luhan, entah kenapa hari ini gadis itu begitu lemah. Tak biasanya Luhan dengan mudah menangis, tapi kali ini entah darimana asalnya, air mata itu terus mengucur.

Sehun berlutut di hadapan Luhan dan menghapus air mata Luhan dengan kedua tangannya lalu berkata, "Bukankah aku sudah berjanji untuk jadi orang yang akan tetap tinggal untukmu?"

"Ketika semua yang berarti meninggalkanmu, aku akan terus menepati janjiku untuk selalu ada bersamamu dan memilihmu, memilih untuk ada bersamamu dan tidak akan meninggalkanmu. Aku akan menepati janjiku itu" sambung Sehun dengan senyum manisnya yang menenangkan.

Hati nyonya Oh terasa remuk mengetahui bahwa Sehun memilih untuk meninggalkan keluarganya untuk membuktikan bahwa Luhan bukanlah seperti apa yang Nyonya Oh pikirkan. Dalam kepala Nyonya Oh bertanya, apakah kehilangan Sehun sepadan dengan rasa curiganya sendiri terhadap gadis yang dicintai putera bungsunya itu?

Namun sepertinya harga diri Nyonya Oh memang tidak bisa ditawar. Wanita cantik bernama Kim Jaejoong itu berdiri dari duduknya dan berkata, "Pulanglah saat gadis itu sudah menghianatimu". Mata tajam Jaejoong seperti sebilah pedang yang bisa menembus jantung Sehun kapanpun wanita itu mau.

"Aku tidak akan menghianati Sehun," lirih Luhan yang sedari tadi duduk diam di sebelah Sehun.

Luhan pun ikut berdiri dan menghampiri Ibu Sehun, gadis itu seakan menantang wanita yang ada di hadapannya.

"Aku dan Sehun memang masih terlalu muda untuk sebuah hubungan yang serius. Tapi jika anda meragukan perasaan saya terhadap Sehun, sepertinya saya tertantang untuk membuktikan bahwa anggapan anda salah" ujar Luhan dengan berani sambil menatap kedua mata Nyonya Oh. Tak sedikitpun Nyonya Oh mengira jika Luhan cukup punya keberanian untuk balik bicara padanya.

PRANG

Nyonya Oh menyapu sebuah vas kaca tempat ia menyimpan rangkaian bunga yang Luhan berikan. Vas itu pecah dan berserakan di lantai. Kali ini Sehun, Tuan Oh dan Yifan ikut berdiri karena reaksi Nyonya Oh. Dan beberapa saat kemudian Nyonya Oh kembali berkata,

"Camkan kata – kata ibu, tidak seorang pun bisa menjamin bahwa gadis itu tidak akan meninggalkan ananknya sendirian seperti apa yang ibunya lakukan padanya. Tidak juga kau, Oh Sehun!"

Rahang Sehun tercekat. Sehun merasa seperti disumpahi oleh Ibunya sendiri. Sehun benar – benar tidak menyangka jika ibunya akan mengatakan kalimat itu di hadapan Sehun. Bahkan kata – kata itu tak hanya seperti sumpah, rasanya Sehun seperti baru saja menerima sebuah vonis hukuman atas perbuatan salahnya. Sementara itu, Yifan terhenyak di sofa yang dia duduki sementara Tuan Oh hanya bisa memandangi putera bungsunya itu. Bukan, Tuan Oh bukannya tidak memiliki kekuatan untuk mencegah isterinya melakukan hal itu atau tidak mau membantu Sehun dalam hal ini. Tuan Oh hanya tidak mau memilih antara apa yang dipercaya oleh isterinya atau apa yang dipercaya oleh puteranya.

Baru saja Nyonya Oh akan meninggalkan ruang tengah, Luhan lebih dulu berkata dengan tatapan tegas.

"Dan tak seorangpun bisa menjamin perkataan anda akan terbukti! Karena aku tidak akan melepaskan Sehun sampai kapanpun!"

Luhan yang selama ini dikenal sebagai gadis dengan mulut pedas yang bisa membakar siapa saja dengan kata – katanya kini membuktikan bahwa julukan itu memang tepat untuknya.

Nyonya Oh yang hilang kesabaran mengangkat tangannya untuk menampar Luhan namun Sehun lebih dulu menarik Luhan menjauh dari Ibunya.

"Akh!"

Sehun terjatuh akibat tamparan Nyonya Oh yang begitu keras. Luhan dan Nyonya Oh sama – sama terbelalak begitu melihat tangan Sehun terluka menganga. Luhan dengan sigap mengambil tasnya dan melakukan pertolongan pertama untuk Sehun. Sebagai mahasiswa keperawatan tentu Luhan selalu punya kotak pertolongan pertama di tas yang selalu dia bawa. Dan melihat bagaimana Luhan menangani Sehun membuat Nyonya Oh cukup terluka akan apa yang dia perbuat. Wanita itu tidak pernah bermaksud untuk melukai puteranya, dan sebelum keadaannya semakin parah, Nyonya Oh akhirnya pergi meninggalkan ruang tengahnya.

"Apa lukanya parah?" tanya Yifan pada Luhan.

"Tidak, tapi ini perlu beberapa jahitan karena ada luka terbuka di kulitnya"

"Bawalah Sehun ke klinik dan obati dia dengan baik" ujar Tuan Oh pada Luhan, "Kau bisa menjaganya kan?" sambung Tuan Oh lagi.

Luhan dan Sehun saling bertukar pandang sesaat. Dari perkataan Tuan Oh, apakah lelaki itu membiarkan Sehun pergi bersama Luhan?

Tuan Oh kemudian menatap wajah putera bungsunya, ada rasa cemas bercampur menguatkan dari mata itu, "Ayah… selalu akan mendukung apapun yang kau lakukan. Bukan berarti ayah memihakmu, tetapi… ayah hanya ingin memberikanmu kesempatan untuk membuktikan apapun yang kau percayai. Ayah yakin kau adalah anak yang cerdas. Kau mengerti bagaimana cara menyelesaikan masalahmu. Dan ayah percaya, kau tidak akan mungkin memutuskan ini tanpa pertimbagan atau pun rencana. Maka dari itu… kau bisa hubungi ayah kapanpun kau membutuhkan bantuan" ucap Tuan Oh.

Sehun mendengarkan kata – kata Ayahnya dengan seksama. Anak itu agak sedikit tidak percaya bahwa sang Ayah mengucapkan kalimat – kalimat yang membuatnya yakin bahwa apa yang dia lakukan adalah hal yang benar, atau setidaknya bukanlah hal yang salah.

Yifan pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun pada Sehun dan Luhan. Entahlah, mungkin perasaan Yifan kali ini seperti sebuah bilangan yang dibagi dengan 0. Tak terdefinisi.

.

.

.

Sehun meninggalkan rumahnya bersama Luhan. Sejak Sehun melangkahkan kaki, remaja tampan itu tak sedetikpun mau melepaskan genggaman tangannya pada Luhan. Bahkan saat lengannya harus dijahit untuk membenahi lukanya, tak sedetikpun Sehun mau melepaskan genggaman tangannya dari Luhan. Meskipun begitu, tidak ada satpun dari mereka yang berbicara sampai mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah bus. Sesekali Luhan hanya menatap Sehun yang kini sedang menatap layar ponsel Luhan. Remaja itu tampak sangat serius membaca informasi yang dia cari di sebuah aplikasi pencarian.

"Kau benar – benar meninggalkan rumah tanpa membawa apapun?" tanya Luhan begitu Sehun mengembalikan ponselnya. Sehun mengangguk singkat lalu merebahkan kepalanya di bahu Luhan.

"Kau bahkan tidak membawa ponselmu?" mata rusa Luhan membulat seiring pertanyaan yang dia lontarkan. Luhan terlihat begitu imut dengan wajah kagetnya saat ini.

"Aku tidak membawa apapun kecuali seragam dan buku – bukuku untuk sekolah." Jawab Sehun santai sambil memamerkan sebuah ransel yang dia bawa kabur bersamanya.

"Kau juga tidak bawa uang sepeserpun?" tanya Luhan lebih kaget lagi.

"Wae? Apa kau sudah menyesal ada bersamaku saat ini?" Sehun bertanya dengan tatapan mata yang cukup tajam dan itu berhasil membuat Luhan merasa tidak enak.

"Bukan begitu… maksudku, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Kau tidak punya uang juga tidak membawa apapun bagaimana kau bisa bertahan hidup? Bukankah sebentar lagi kau akan mengikuti ujian SATmu?" Luhan menatap Sehun penuh kekhawatiran.

Sehun tersenyum geli melihat bagaimana Luhan menghawatirkan dirinya. Semburat kepanikan yang tersirat jelas di raut wajah Luhan membuat Sehun sedikit gemas pada gadis bermata rusa itu.

"Kau pikir aku melakukan ini tanpa perhitungan dan rencana?" tanya Sehun sambil menyipitkan matanya

"Kau punya rencana?"

"Tentu saja. Apa kau sungguh mengira aku tidak punya rencana dan mengambil tindakan gegabah?"

"Aku mengkhawatirkanmu, Oh Sehun!"

"Terima kasih!"

"Aku serius…"

"Auuuchhh"

Luhan mencubit pinggang Sehun yang masih sempat – sempatnya bercanda ketika Luhan benar – benar sedang menghawatirkannya. Tidak kah Sehun mengerti jika sejak tadi Luhan berusaha untuk tenang dan menunggu Sehun untuk menjelaskan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Karena bagaimanapun juga Luhan merasa jika apapun yang terjadi pada Sehun setelah anak itu meninggalkan rumahnya adalah tanggung jawab Luhan sepenuhnya.

"Baiklah – baiklah… akan aku beritahu rencanaku setelah kau selesai bekerja. Aku akan menemanimu bekerja di Daycare hari ini"

.

Sehun benar – benar membuntuti Luhan selama gadis itu mengerjakan tugasnya sebagai seorang perawat daycare. Hari ini adalah jadwal anak – anak di daycare tempat Luhan bekerja merekam pertumbuhan mereka. Dengan seksama Luhan mengukur tinggi badan, menimbang berat badan, mengecek keadaan gigi mereka, kulit, kuku, rambut, mata hingga perkembangan saraf motorik mereka. Luhan sang calon perawat melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Sehun bisa dengan sangat jelas melihat bagaimana Luhan menikmati interaksinya bersama anak – anak. Tak jarang Luhan memangku anak – anak yang nampak takut melihat beberapa alat yang Luhan gunakan untuk merekam pertumbuhan mereka. Bahkan ketika ada salah satu balita yang menangis, Luhan terlihat begitu alami menggendong balita itu dan menenangkannya dengan sebuah dekapan hangat dan nyanyian merdunya.

"Aku masih tidak tahu apakah keputusan yang aku ambil untuk menantang Ibuku adalah keputusan yang tepat, tapi… saat aku berada di dekatmu, aku merasa benar – benar nyaman" ucap Sehun dalam hatinya. Mata sipitnya masih terus melihat bagaimana Luhan memangku seorang bocah sambil mengecek telinga bocah itu.

"Yang aku tahu, berada berasamamu membuatku merasa sangat baik. Mampu melindungimu dan mendampingimu disaat seluruh dunia bertolak darimu membuatku merasa berarti di dunia ini" ujar Sehun dalam hatinya lagi. Jujur saja ada rasa takut yang tak bisa Sehun ungkapkan saat ini. Sehun takut jika dia tidak bisa membuktikan bahwa Luhan adalah angka nol yang bergerak ke kanan untuknya. Tapi semakin lama Sehun melihat Luhan dan senyuman gadis itu, Sehun makin yakin jika apa yang dia rencanakan akan berhasil.

Sehun sungguh tidak merasa keberatan jika harus tersiksa dan menderita demi tidak meninggalkan Luhan. Remaja itu benar – benar tulus menderita untuk bisa menjadi orang yang tetap tinggal bersama Luhan. Sehun paham betul jika jalan yang dia pilih akan menjadi sangat terjal dan berliku.

Dan dari segala rasa yakin yang susah payah Sehun kumpulkan, lagi – lagi kalimat kutukan sang Ibu terngiang di telinga Sehun. Anak itu sadar jika saat ini dia tengah melawan Ibunya sendiri. Tentu mulai detik ini juga, Sehun mau tidak mau sudah harus siap menjadi seorang anak yang durhaka, hanya untuk ada disisi Luhan.

Luhan yang merasa daritadi diperhatikan oleh Sehun akhirnya menatap seorang remaja pria yang duduk tidak jauh dari meja kerjanya. Sehun menatap Luhan dan gadis itu melebarkan senyumnya sambil melambaikan tangan seorang balita cantik di pangkuannya kepada Sehun,

"Dan tepat saat mata kita bertemu… entah darimana datangnya keyakinan itu, hatiku berkata kau adalah sosok ibu yang sempurna untuk anak – anakku kelak"

.

.

.

.

.

.

.

Seoul 2025

Luhan mengemas semua barang – barangnya. Ini sudah hampir pukul 2 dini hari, semua yang tinggal di rumah Oh Yifan sedang tertidur pulas. Dengan cekatan kedua tangan Luhan memasukkan satu persatu barang miliknya ke dalam sebuah koper besar berwarna abu – abu. Dan ketika Luhan mengunci koper itu, Luhan berbalik ke arah box bayi yang ada di sebelah tempat tidur yang selama ini ia tempati. Dalam box bayi itu Luhan memandang sesosok bayi mungil dengan paras lembut dan tenang sedang tertidur begitu pulasnya. Luhan menghampiri bayi yang sudah selama seminggu ini menemaninya tidur. Wanita cantik itu mengelus pipi gembul si bayi lalu menggenggam erat tangan bayi itu.

"Terima kasih sudah menemani bibimu yang labil ini, Oh Shin" ucap Luhan dengan senyum manis yang lembut.

"Shin-ah… apa menerutmu paman Sehun akan memaafkan sikap kekanakan bibimu ini?" tanya Luhan masih memandangi wajah mungil sang keponakan.

Selama seminggu ini memang Oh Shin selalu bisa membuat Luhan tenang, aroma tubuh Oh Shin dan senyum lucu Oh Shin meredakan segala amarah dan kekalutan tak mendasar yang muncul dalam hati Luhan. Wanita itu tahu betul bahwa marah dan kabur dari rumah selama seminggu ini adalah perilakuk yang sangat kekanakan, namun entah meangapa rasanya sangat menyesakkan melihat bagaimana Sehun selalu meninggalkannya untuk masalah pekerjaan, bahkan disaat Luhan benar – benar membutuhkan pria itu ada di rumah.

Komunikasi adalah masalah utama diantara Luhan dan Sehun. Isteri Oh Sehun itu sadar, bahwa dirinya salah dalam mengkomunikasikan perasaannya dan suaminya itu juga terlalu sibuk untuk peka terhadap apa yang dia rasakan saat ini. Memang jika diperhatikan, Luhan hanyalah ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengurus Chaeri, Sehun dan rumah tangganya. Tapi disisi lain Luhan juga seorang manusia yang bisa saja jenuh akan segala rutinitasnya yang hanya berkutat di dalam rumah. Dan hal itu gagal untuk disadari Sehun karena lelaki tampan itu sibuk dengan tanggung jawabnya bekerja sebagai tulang punggung keluarga.

Dan sebagai seorang wanita dewasa, sebagai seorang isteri yang amat mencintai suaminya, terlebih lagi sebagai seorang ibu yang hidup matinya demi sang anak, Luhan memilih untuk menghadapi Sehun dam meluapkan segala amarah yang menggumpal di dadanya. Meskipun harus melalui perenungan Panjang selama Luhan tinggal di rumah Yifan, namun Luhan yakin, suaminya adalah lelaki tersabar dan satu – satunya manusia di muka bumi ini yang selalu akan memperjuangkannya.

"Shin-ah… Bibimu pamit pulang, ya… Nanti kita main lagi, okay?" ujar Luhan lalu mengecup seluruh wajah ponakannya itu.

Luhan kemudian keluar dari kamar Shin dan turun menuju pintu keluar utama rumah Yifan. Seluruh ruangan hanya disinari cahaya temaram yang membias dari lampu taman yang sinarnya masuk melalui celah celah jendela yang tersamarkan kain tipis.

"Butuh tumpangan?"

Luhan sontak terkaget ketika mendengar suara Yifan tepat sebelum wanita itu membuka pintu utama. Yifan yang masih mengenakan piamanya berdiri dengan senyum lembut menatap Luhan yang kini nampak seperti seorang gadis yang akan kabur dari rumah.

"Kebetulan aku sedang berada di dapur saat aku melihatmu keluar dari kamar Shin. Lagipula sebentar lagi adalah waktunya Shin ganti popok"

"Aku sudah mengganti popoknya sebelum pergi" ujar Luhan setelah degupan jantungnya mulai normal.

"Bagus kalau begitu, aku bisa langsung mengantarmu"

"Tidak usah, aku akan naik taksi saja"

"Apa kau benar – benar ingin menciptakan perang saudara antara aku dan Sehun?"

"Bukan begitu…"

"Aku lebih baik mendengar ocehanmu daripada harus dipenggal Sehun karena membiarkan isterinya naik taksi di jam 2 pagi"

"…"

"Let's go, shall we?"

Luhan akhirnya tidak bisa menolak, karena apa yang Yifan katakan memang benar. Sehun bisa marah besar pada Yifan jika sesuatu terjadi pada Luhan. Wanita itu akhirnya pulang diantar oleh sahabat yang selama ini sudah menjadi kakak ipar terbaik untuknya.

Jarak rumah Yifan dan Sehun tidak begitu jauh, apalagi ini sudah pukul 2 pagi menuju pukul 3. Jalanan begitu lengang.

"Katakan apapapun yang ingin kau katakan pada Sehun" ucap Yifan begitu mobilnya terparkir tepat di depan sebuah rumah minimalis dengan nuansa warna natural.

"Seperti yang kau tahu, Sehun adalah manusia biasa. Dia adalah laki – laki sederhana yang hanya mencintaimu dihidupnya. Jadi… apapun yang kau ucapkan adalah hal yang penting untuknya. Mungkin Sehun sudah melakukan kesalahan dengan bekerja sampai jadi terlalu sibuk, maka dari itu, sudah tugasmu untuk menegurnya agar dia bisa memperbaiki pola hidupnya."

"…"

"Dia tidak akan pernah tahu dengan jelas jika kau tidak memberi tahunya."

"Ya… Oh Yifan!"

"Ng?"

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"

"Silakan saja, adik iparku…"

Luhan tersenyum ketika Yifan memanggilnya adik iparku. Sapaan yang paling Luhan suka atas statusnya sebagai isteri dari Oh Sehun dan Ibu dari Oh Chaeri.

"Kenapa dari dulu kau selalu membela dan melindungi Sehun? Maksudku, kau melakukan peranmu sebagai kakak dengan sangat baik… aku sampai ingin Chaeri bisa menjadi kakak yang sepertimu jika dia punya adik"

Luhan mengutarakan pertanyaan yang selama ini dia simpan dalam sebuah rasa penasaran yang besar.

"Mmmm… entahlah, mungkin karena aku benar – benar menginginkan seorang adik? Yah, meskipun jarak usia kami hanya 2 tahun, tapi sejak aku sadar bahwa Sehun adalah adikku, aku mulai merasa bahwa menjaganya adalah salah satu alasan mengapa Tuhan membuatku terlahir lebih dulu darinya. Terlebih lagi ketika banyak orang yang salah paham akan sikap dan tabiat Sehun, aku jadi semakin ingin melindunginya."

"…"

"Tapi semenjak ada kau, aku mulai merasa seperti punya dua orang adik. Dan menjaga kalian adalah hal yang benar – benar membuatku bahagia. Dan yang aku sadari adalah di dunia ini aku hanya punya kalian. Ketika ayah dan ibu sudah tidak ada nanti, aku hanya punya kalian berdua untuk aku andalkan, dan mau tidak mau… kalian berdua juga hanya punya aku dan keluarga kecilku untuk kalian andalkan"

Suasana hati Luhan menghangat, wanita itu kini menyadari betapa beruntungnya dia terlahir ke dunia.

"Dengan kabur meninggalkan Sehun dan Chaeri, aku merasa seperti orang terbodoh di dunia. Tapi sepertinya aku belum terlambat untuk menyadari bahwa satu – satunya keluarga yang aku punya adalah Sehun. Dan karena aku beruntung dicintai oleh Sehun, aku jadi punya seorang puteri yang luar biasa, aku jadi punya kakak ipar sepertimu dan Zitao, aku jadi punya dua orang tua yang hebat seperti ayah dan ibu, dan aku pun punya keponakan yang keren seperi Jun dan Shin. Seharusnya aku bersyukur, bukan?"

Luhan menundukkan kepalanya sambil menahan isakan tangis yang bisa lolos kapan saja, terlebih lagi kedua mata rusanya sudah mulai terasa panas.

"Hei… kau tidak meninggalkan Sehun dan Chaeri, jika kau meninggalkan mereka kau tidak akan tinggal dan bersembunyi di rumahku. Kau hanya sedang marah, dan Sehun mengerti itu." Ucap Yifan yang mencoba untuk membesarkan hati adik iparnya.

"Bicaralah dengan Sehun. Luapkan lah semua perasaan yang membuatmu marah padanya… Lagipula, apa kau masih ingat apa arti dirimu baginya?"

Luhan tersenyum. Tentu saja Luhan masih mengingat itu semua. Luhan masih jelas mengingat pernyataan yang membuat Luhan yakin untuk menjalani seumur hidupnya dengan Sehun.

"Ya… aku bernilai sebanyak bilangan 0 untuk Sehun." Ujar Luhan dengan senyum manis.

"All right… kalau begitu, silakan masuk dan temui adikku. Dan ku mohon, jangan seperti ini lagi"

"Ne…"

.

.

.

Seoul 2013

Luhan dan Sehun turun di sebuah halte bus di daerah Sinchon. Sehun masih meminjam ponsel Luhan untuk menghubungi seseorang yang sedang tersambung dengannya melalui telepon.

"Baiklah, kami akan segera menuju ke sana." Ucap Sehun sesopan yang dia bisa. Remaja itu kemudian mengembalikan ponsel Luhan dan berkata, "Ayo, antar aku ke suatu tempat!"

"Kemana?"

"Ng? Bukannya saat di bus tadi kau bertanya aku akan tinggal di mana?"

"Ya, apa kau sudah menemukan tempat tinggal?"

"Wae? Kau sedih karena aku tidak tinggal di rumahmu?"

"Oh Sehun!"

"Okay… okay… iya aku sudah menemukan tempat tinggal yang cukup untukku. Maka dari itu, ayo antar aku kesana"

Keduanya berjalan hingga menemukan sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi namun terlihat bersih karena memang lokasinya tidak jauh dari Universitas Yonsei. Hanya butuh sekitar 3 menit berjalan kaki dari halte bus tempat Luhan dan Sehun turun barusan, tapi tentu saja tempat ini lumayan jauh dari sekolah Sehun.

Luhan menggerakkan bibirnya tanpa suara saat menbaca sebuah tulisan di atap gedung itu, "Sanggoong Goshiwon". Mata rusanya kemudian berkedip beberapa kali saat sadar bahwa Sehun akan tinggal disebuah Goshiwon. Luhan baru saja akan bertanya namun Sehun lebih dulu mengajaknya masuk dan bertemu seorang pria berusia sekitar 30 tahun.

"Annyeonghaseyo, saya Oh Sehun" Sehun kemudian membungkuk memberi hormat pada lawan bicaranya.

"Annyeonghaseyo, saya Jung Haein, pemilik Goshiwon ini." Ujar pria berpostur tubuh tinggi itu lengkap dengan senyum ramahnya.

"Ya! Muka besi!"

Sehun memalingkan perhatiannya ketika mendengar sebuah teriakan dari suara yang sangat dikenalnya. Sahabatnya, Kim Jongin, datang dari dalam sebuah kamar Goshiwon.

"Jongin-ah" sapa Sehun dengan senyum bahagia di wajahnya.

"Ne, Jongin sudah memberitahuku tentang keadaanmu, dan dia menjamin bahwa kau adalah orang yang bisa dipercaya." Kata Tuan Jung si pemilik Goshiwon.

"Pak Jung adalah salah satu kariawan yang bekerja di rumah sakit kakek. Jongdae hyung bilang dia punya satu gedung Goshiwon di dekat kampus Yonsei. Salah satu teman Jongdae hyung juga tinggal disini." Ujar Jongin lalu menepuk bahu Sehun.

Kim Jongin adalah sahabat terbaik yang pernah Sehun miliki di muka bumi ini. Semalam saat Sehun merencanakan tindakannya, Sehun menelpon Jongin berjam – jam untuk mendiskusikan langkahnya. Tentu pada awalnya Jongin menentang keinginan Sehun untuk keluar dengan suka rela dari rumahnya. Namun, disisi lain anak itu mengerti bagaimana keras kepalanya Sehun jika anak itu sudah bertekad.

Satu – satunya hal yang bisa Jongin lakukan untuk membantu Sehun adalah mempertaruhkan nama baiknya. Jongin sudah menawarkan Sehun sejumlah uang, menggunakan ponsel dan laptop miliknya bahkan anak itu menawari Sehun untuk tinggal di rumahnya. Tapi Sehun tidak mau, remaja keras kepala itu beralasan untuk tidak mau memanfaatkan sahabatnya. Dan hal terkahir yang bisa Jongin lakukan untuk Sehun adalah, menjamin Sehun dengan nama baiknya. Jongin memastikan pada Tuan Jung Haein jika Sehun akan membayar sewa Goshiwon disetiap akhir bulan. Biasanya orang yang menyewa Goshiwon tuan Jung harus membayar uang sewa di muka, namun karena Kim Jongin menjaminkan nama baiknya, Sehun mendapatkan pengecualian dan bisa membayarnya setiap akhir bulan.

Entahlah, Jongin sendiri masih tidak tahu bagaimana Sehun akan membayar uang sewa kamar yang akan dia tempati. Sehun masih seorang anak SMA dan dia juga tidak punya pekerjaan, dia juga tidak pernah punya pekerjaan paruh waktu seumur hidupnya. Namun Jongin tetap memilih untuk jadi salah satu garda terdepan yang akan membantu sahabatnya itu, apapun keadaannya.

"Yah… ini adalah kamar yang akan kau tempati. Bagaimana?"

Tuan Jung membuka satu kamat yang tadi sempat Jongin masuki. Kamar itu sangatlah sempit. Tidak banyak gerakan yang bisa Sehun lakukan di dalamnya. Namun Sehun bersyukur ada sebuah kamar mandi sekaligus toilet kecil yang bisa Sehun gunakan secara pribadi.

"Ini memang bukan gedung baru, tapi semua kamar yang ada di goshiwon ini sudah direnovasi dua tahun lalu. Jadi semua furniture dan perlengkapannya masih sangat bagus dan bisa dibilang cukup baru. Pendingin dan pemanas ruangannya juga sudah baru, dan yang terbaik adalah kau bisa menikmati mandi dengan air hangat setiap saat, kau juga bisa menyimpan makananmu di kulkas kecil yang sudah tersedia." Kata tuan Jung lagi sambil menunjuk satu kulkas berukuran mini dibawah meja belajar.

Kamar berukuran 3 x 3 meter itu memang ditata cukup rapi. Sebuah tempat tidur, lemari kecil, meja belajar dan beberapa rak penyimpanan yang di gantung di dindingnya. Untunglah ada sebuah jendela besar yang mengisi satu sisi penuh kamar itu, jadi kamar sempit Sehun bisa terlihat lebih terang, luas dan memiliki pencahayaan yang baik.

"Goshiwon ini punya beberapa fasilitas umum seperti ruang makan, ruang belajar dan ruang laundry yang bisa kau manfaatkan secara gratis." Tambah Tuan Jung.

Sehun medudukkan dirinya di atas tempat tidur dan meneliti setiap sudut ruangan dengan seksama. Kamar itu bisa dibilang 3 kali lebih kecil dari kamar Sehun di rumahnya. Namun menerima fakta bahwa kemampuannya saat ini hanya bisa untuk memiliki tempat tinggal yang sangat minimalis, membuat anak itu selalu tetap bersyukur lalu berkata, "Baiklah, mulai hari ini aku akan tinggal disini."

"Keputusan yang tepat sekali, sewa perbulan 420.000 won. Kau bisa membayarnya ke rekeningku setiap akhir bulan"

Luhan cukup kaget mendengar harga sewa kamar goshiwon Sehun. 420.000 won bukanlah uang yang sedikit. Gajinya sebulan bekeja part time di day care saja hanya dibayar 500.000 won. Dan bagaimana Sehun akan makan nanti?

"Haaah…" Luhan menghela napasnya cukup berat. Gadis itu memikirkan bagaimana Sehun yang sebelumnya tidak pernah mengecap rasa sulit dalam hidupnya bisa menjalani kesehariannya saat ini. Luhan benar – benar merasa bersalah. Gadis itu memaki dirinya sendiri dan sempat berpikir bahwa jika Sehun gagal maka dia adalah penyebab utamanya.

Sudah beberapa jam berlalu sejak Luhan mulai membantu Sehun untuk menata kamar mungil yang akan dia tempati. Sehun benar – benar tidak membawa banyak barang. Anak itu hanya membawa buku – buku dan seragam yang dia perlukan, Sehun juga hanya membawa satu sepatu yang tentunya akan anak itu gunakan untuk sekolah. Selain keperluan sekolah, Sehun hanya membawa baju yang menempel di tubuhnya saat ini.

"Lalu apa rencanamu sekarang?" tanya Luhan yang kini duduk di kursi meja belajar di kamar mungil itu. Berjarak hanya 1 meter dari Luhan, Sehun tengah duduk memandangi jendela besar di kamarnya.

"Aku akan bekerja" jawab Sehun tanpa ekspresi yang berarti. Anak itu menegaskan jika bekerja adalah hal yang mudah dilakukan.

"Kau mau kerja apa?" Luhan bertanya lagi untuk menjawab pertanyaan di kepalanya sendiri.

"Entahlah, mungkin aku akan bekerja paruh waktu seperti yang siswa – siswa lakukan di dalam drama," ujar Sehun enteng. Jelas sekali dari raut wajah Sehun dapat Luhan baca jika anak itu pun masih belum tahu apa yang akan dia lakukan untuk bisa bertahan hidup.

"Kau pikir kerja paruh waktu itu gampang? Apalagi kan kau sudah harus mempersiapkan SATmu, Oh Sehun"

"Lalu apa kau punya ide untuk masalah ini?"

Kali ini Sehun memalingkan pandangannya ke arah Luhan. Gadis itu pun beranjak dari kursi untuk duduk di sebelah Sehun.

"Aku punya sedikit tabungan, kau bisa menggunakannya sampai kau menyelesaikan SATmu dan masuk ke Universitas yang kau mau."

Kalimat Luhan membuat Sehun menatap gadis itu dengan tatapan mata tajam yang cukup mengerikan. Kening Sehun mengerut, apa kata Luhan barusan? Sehun bisa menggunakan uang tabungan Luhan?

"Ya, kau pikir aku ini lelaki macam apa Lu?"

Pertanyaan dengan nada tersinggung itu Sehun lontarkan begitu saja. Luhan yang gugup karena sadar jika kalimatnya barusan menyinggung harga diri Sehun sebagai seorang lelaki langsung menggenggam tangan Sehun dan berkata,

"Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya merasa bahwa aku juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi padamu saat ini. Kau meninggalkan seluruh duniamu yang nyaman karena aku"

"Ani… aku tidak meninggalkannya karenamu"

Giliran Luhan yang mengerutkan keningnya karena reaksi Sehun yang diluar dugaan gadis itu. Tatapan mata Sehun yang semakin tajam membuat Luhan bergidik ngeri. Sehun pasti sangat marah saat ini.

"Aku meninggalkan keluargaku karena itu adalah pilihanku. Aku ingin membuktikan kepada ibuku jika kau memang mencintai aku sebagai seorang Oh Sehun. Aku hanya ingin membuktikan kepada ibuku bahwa yang kau cintai bukanlah aku sebagai putera dari Oh Yunho, bukanlah aku sebagai siswa terbaik di Korea Selatan, dan bukanlah aku sebagai putera yang terlahir di keluarga terpandang. Aku tidak pernah bilang ini semua hanya karena dirimu"

"Tapi tetap saja, aku adalah salah satu penyebabnya…"

"Jadi kau merasa bahwa kau harus bertanggung jawab atas aku?"

Luhan terdiam, gadis cantik itu tentu tahu jalan pikiran Sehun sangatlah berbeda dari kebanyakan orang. Tapi demi Tuhan, Luhan hanya ingin membantu Sehun untuk menjalani ini semua.

"Bukan begitu…" ujar Luhan setelah beberapa saat mereka hanya saling tatap. "Aku hanya tidak mau kau berjuang sendirian." Sambung Luhan.

Sehun menarik Luhan ke dalam pelukannya. Remaja tampan itu memeluk kekasihnya dengan satu usapan lembut di kepala belakang Luhan. Gadis itu bisa merasakan hawa hangat napas Sehun di telinga kanannya dan kemudian Sehun memeluk gadisnya lebih erat.

"Kau hanya perlu bertahan di sisiku. Kau hanya perlu mencintaiku. Kau hanya perlu ada untukku."

Suara berat Sehun yang lembut membuat hati Luhan menghangat dan sesak disaat yang bersamaan. Luhan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Sehun untuk membalas pelukannya.

"Sudah aku bilang kan, aku melakukan ini bukan tanpa pertimbangan dan rencana. Kau tidak perlu menghawatirkan aku." Ucap Sehun kemudian melepaskan pelukan Luhan.

"Tapi bagaimana kau bisa bertahan? Beri tahu aku agar aku tenang!" tuntut Luhan dengan kedua mata rusanya yang berkaca – kaca.

"Baiklah… aku punya sejumlah penghasilan yang aku kelola dari uang jajanku. Aku melakukan ini sejak memulai kelas akselerasi. Aku mengelola uang jajan yang aku simpan sejak junior school, dan hasilnya lumayan."

Luhan belum mengerti ucapan Sehun, apa maksud remaja tampan dihadapannya itu. Melihat ekspresi wajah tersesat kekasihnya, Sehun pun tersenyum kecil lalu menjelaskan keadaannya.

"Kedua orang tuaku memberikan uang jajan yang cukup banyak, tapi aku tidak begitu suka belanja jadi aku putuskan untuk mengumpulkannya saja. Dan ketika aku naik ke kelas akselerasi, Jongin yang mempelajari management bisnis mengajariku tentang pengelolaan uang. Akhirnya aku putuskan untuk mengelola uang yang aku kumpulkan selama beberapa tahun dalam bentuk investasi saham. Aku melakukannya bersama Jongin, dan hasilnya juga lumayan. Akhir bulan ini adalah tepat setahun kami berdua melakukannya, jadi keuntungan saham dari investasi yang aku tanam sudah bisa aku ambil."

Wajah terkejut yang Luhan tunjukkan setelah mendengar penjelasan Sehun membuat remaja tampan itu tertawa puas. Wajah Luhan begitu menggemaskan, Sehun sampai harus menahan dirinya untuk tidak mencubit kedua pipi Luhan.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Lu?"

Sehun menghentikan tawanya ketika Luhan hanya diam melihat betapa hebatnya sosok yang mencintainya itu. Tak terpikirkan oleh Luhan bagaimana bisa seseorang berusia 17 tahun melakukan itu semua.

"Aku masih tidak percaya. Kau pun belum cukup umur untuk melakukannya."

"Tentu saja. Aku meminta ayah untuk mengelolakannya atas namaku. Jadi jangan khawatir, itu tetap uangku, hanya saja aku meminta bantuan pada ayah untuk menjadi penanggung jawabnya"

"Itu sama saja dengan kau meminta bantuan orang tuamu, Oh Sehun"

"Tidak, itu berbeda, itu semua uangku, lagi pula… Oh Yunho adalah kepala sekolah tempatku bersekolah saat ini. Dia bisa jadi ayahku dan wali siswaku. Kau juga melakukannya kan dulu? Kau meminta ayahku untuk jadi wali siswamu ketika kau mendaftar ke Seoul National University."

Luhan mempoutkan bibirnya di hadapan Sehun, gadis itu sengaja membuat ekspresi wajah pura – pura kesal dihadapan kekasihnya itu. Sejujurnya Luhan merasa sangat lega dan kagum pada Sehun. Gadis itu tidak pernah menyangka jika lelaki yang menjadi kekasihnya adalah lelaki yang sangat hebat.

"Sehun-ah…"

"Ya?"

"Terima kasih"

Sehun mengangkat kedua alis tebalnya setelah mendengar ucapan terima kasih dari Luhan. Kali ini Sehun menganggap Luhan aneh, kenapa tiba – tiba saja Luhan mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Sejak aku dicintai olehmu, aku selalu merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Dimiliki olehmu saja sudah menjadi anugerah yang sangat besar untukku."

Sehun menegakkan tubuhnya, remaja tampan itu merasakan keseriusan dalam kata – kata Luhan. Kedua mata rusa Luhan menatapnya begitu lekat. Ada ketulusan dalam tatapan mata itu, sebuah ketulusan yang menggerakkan tubuh Sehun untuk mendekat ke arahnya. Tangan kiri Sehun terangkat untuk merengkuh pipi Luhan, "Aku mencintaimu" ucap Sehun sebelum sebuah kecupan lembut dari bibir tipisnya mendarat di bibir mungil Luhan.

.

.

.

Tiga bulan telah berlalu sejak Sehun pertama kali menempati satu kamar goshiwon di daerah Sinchon. Setiap pagi, Luhan akan datang tepat pukul 6 pagi ke goshiwon yang Sehun tinggali untuk mengantar sarapan. Gadis bermata rusa itu ingin Sehun selalu memulai harinya dengan makanan yang bergizi dan sehat. Meskipun makanan yang Luhan bawakan tidak dibuat dari bahan – bahan organik yang mahal seperti buatan Nyonya Oh, namun gadis itu selalu berhasil membuat masakan yang lezat dari bahan – bahan sederhana yang mampu Luhan beli.

Hari ini Luhan datang membawa telur gulung dan sup kimchi untuk sarapan Sehun. Seperti biasa Luhan pasti mendapati Sehun sudah mandi dan tengah sibuk belajar setiap jam 6 pagi. Remaja tampan itu seperti tidak mau membuang waktunya sedetikpun untuk belajar dan belajar. Sementara itu, setiap Sehun kembali sibuk belajar setelah menyantap sarapan yang Luhan bawakan, gadis itu pasti langsung membantu Sehun merapikan kamarnya. Meskipun goshiwon tempat Sehun tinggal punya fasilitas laundry, tetpai Luhan lah yang lebih sering membawa baju kotor Sehun kerumahnya untuk dicuci dan diseterika. Sehun dan Luhan sudah benar – benar seperti sepasang suami isteri, hanya saja mereka tidak tinggal serumah.

"Kau sudah siap?" tanya Luhan sesaat setelah Sehun keluar dari dalam kamar mandi dengan seragam lengkapnya

Sehun mengangguk sebentar kemudian mengambil tumpukan file di hadapannya. Ini adalah hari yang sangat penitng bagi Sehun karena hari ini dia akan diinterview oleh satu universitas yang diincarnya. Anak itu tentu saja tidak mau menyia – nyiakan kesempatan yang dia miliki saat ini. Meskipun Sehun memiliki track record yang sempurna selama dia bersekolah di Hyundai School, tapi tetap saja, untuk bisa berkuliah dengan beasiswa penuh Sehun harus melewati berbagai macam tantangan. Anak itu sudah mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk bisa mendapatkan beasiswa penuh untuk perkuliahannya. Mulai dari essay, portfolio, nilai raport, hasil SAT nya, piagam penghargaan hingga daftar pengabdian masyarakat yang Sehun lakukan selama dia bersekolah di Hyundai School.

"Kau masih tidak mau mengatakan padaku universitas mana yang akan menginterviewmu hari ini?" tanya Luhan lagi ketika Sehun sibuk mengikat tali sepatunya. Setelah selesai dengan sepatunya, Sehun pun berdiri lalu menatap kedua mata rusa di hadapannya dan berkata "Akan aku beritahu jika aku sudah dinyatakan lolos. Kau hanya perlu mendoakan aku" sambil mengusak rambut Luhan yang terikat cantik.

"Baiklah, apapun itu… aku pasti akan mendoakan yang terbaik untukmu."

"Terima kasih, nona Lu"

"Kalau begitu ayo berangkat, aku juga harus segera ke kampus!"

"mmmm"

Pagi itu Sehun mengantar Luhan ke kampusnya. Ada banyak siswa berseragam sekolah memadati areal tertentu di kampus Luhan. Bisa ditebak jika siswa – siswa itu mengincar kampus tempat Luhan berkuliah, Seoul National University adalah kampus terbagik di Korea Selatan. Banyak siswa rela mati untuk mendapatkan satu kata lolos dalam ujian masuk ke SNU.

"Sehun-ah…"

"Ya?"

"Apa kau diinterview oleh SNU?"

Luhan bertanya ketika gadis itu sadar jika hari ini adalah hari dimana kampusnya menginterview calon mahasiswa yang mendaftar lewat jalur prestasi akademik.

"Mungkin saja" jawab Sehun enteng.

"YA! OH SEHUN!"

Sebuah suara berat memanggil Sehun dari kejauhan. Ketika Sehun dan Luhan menoleh ke sumber suara, mereka bisa melihat Yifan dan Jongin yang datang menghampiri mereka.

"Apakah sudah tiba giliranmu?" tanya Yifan pada Sehun yang membuat Luhan menakup bibirnya karena kaget.

"Giliranku?" Sehun malah balik bertanya.

"Hyung… Sehun kan tidak mendaftar di SNU" ucap Jongin yang membuat Yifan dan Luhan sama – sama kaget.

Selama tiga bulan ini Yifan memang sangat kesusahan untuk menghubungi Sehun. Nomor ponsel baru yang Sehun miliki pun tak bisa Yifan hubungi. Sesekali Yifan pun mengunjungi goshiwon yang Sehun tempati, anak itu pun tidak ada di sana. Yifan sempat kesal karena mengira Sehun menjauhinya namun beberapa hari yang lalu sang ayah bilang jika Sehun melakukannya karena dia sangat ingin berkonsentrasi pada tujuannya, maka Yifan bisa memaafkan anak itu.

Tapi satu kenyataan yang keluar dari bibir Jongin tidak bisa Yifan terima. Sehun tidak mendaftar di SNU? Kenapa anak itu menyia – nyiakan otak cerdas dan kesempatan emasnya?

"Lalu kau mendaftar kemana?" tanya Yifan yang berusaha sekeras mungkin untuk tidak kesal pada adiknya.

"Sehun mendaftar di…"

"Kim Jongin, jika kau membocorkannya kau bukan sahabatku lagi"

"Ne, arrasoo…"

"Aku tahu kalian penasaran, tapi akan segera ku beritahu jika sudah ada kabar baik. Kalau begitu, aku permisi dulu…"

Sehun melangkahkan kakinya keluar area kampus tanpa peduli bagaimana sang kakak memaki dan meneriakinya dengan penuh kekesalan. Sehun hanya tersenyum, anak itu tahu kakaknya tidak benar – benar marah padanya. Hanya saja, membuat sang kakak penasaran adalah sesuatu yang menarik untuk dia lakukan saat ini.

Sehun turun dari sebuah taksi yang membawanya ke sebuah hotel bintang lima di pusat kota Seoul. Sehun melangkah masuk dengan mantap, ditangannya ada sebuah amplop berwarna merah maroon berukuran 15 centimeter persegi. Dengan mengikuti instruksi yang sudah diberikan, Sehun langsung menuju salah satu ruang pertemuan di lantai 3 The Shillas Hotel Seoul. Dan begitu pintu lift terbuka, sudah ada beberapa siswa berseragam sekolah yang duduk berjajar di ruang tunggu. Sehun menyapa beberapa siswa itu dengan ramah lalu duduk di kursi yang sudah tertulis namanya.

"Oh Sehun"

1 jam 30 menit Sehun harus menunggu hingga namanya dipanggil dan dipersilakan masuk ke dalam ruang interview. Sehun berdiri dengan mantap dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas untuk tiga orang di dalamnya.

Ada sebuah meja berbentuk oval di tengah ruangan itu. Tiga orang duduk mengitari satu sisi meja sementara di sisi lain ada sebuah kuris kosong yang Sehun yakin itu adalah kursi dimana ia harus duduk. Tanpa basa – basi Sehun langsung menuju kursinya dan menatap tiga orang di hadapannya dengan tatapan percaya diri. Di hadapan Sehun ada seorang pria Korea sementara dua lainnya adalah pria dan wanita berkulit putih.

"Selamat datang, Oh Sehun. Namaku Cho Kyuhyun, terimakasih sudah mendaftarkan diri anda di Jurusan Teknin Arsitektur, Massachusetts Institute of Technology. Kami sangat senang membaca essay, resume dan portfolio yang anda buat" sambut seorang pria yang Sehun tahu adalah alumnus MIT, sebuah intitusi teknologi terbaik di dunia.

"Selamat pagi, nama saya Oh Sehun."

"Jadi, bisakah anda menjelaskan kenapa kami harus menerima anda di Massachusetts Institute of Technology?"

Sehun menarik napasnya dalam – dalam, dengan tatapan mata tegas dan penuh keyakinan, Sehun menjawab pertanyaan yang diberikan.

.

.

.

Tepat pukul 7 malam Sehun berdiri di depan pintu rumahnya. Menurut informasi dari Yifan, seluruh anggota keluarganya ada di rumah saat itu. Sehun dengan tekat bulatnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya.

"Ayo masuk!"

Yifan menarik lengan Sehun ke dalam rumahnya begitu ia membuka pintu. Tuan dan Nyonya Oh sempat kaget begitu melihat Yifan menarik sang adik menuju ke ruang makan keluarga Oh.

"Sehun-ah. Kau pulang?" sambut sang ayah. Disamping Tuan Oh, Nyonya Oh terlihat begitu bahagia melihat sang putera yang sudah tiga bulan ini tidak ia temui.

"Aku kemari untuk meminta tanda tangan Oh Seonsaeng sebagai wali siswaku" ujar Sehun dengan wajah kaku tanpa ekspresi.

"Ya… ini rumahmu, ini bukan sekolah, panggil dia ayah!" hardik Yifan pada adiknya. Pria tampan itu masih tidak habis pikir akan kekeras kepalaan sang adik yang masih saja tetap menganggap kedua orang tua mereka orang asing.

"Tanda tangan untuk apa, Sehun-ah?"

"Kau tidak sedang ingin menikahi Luhan kan?"

"Wu Yifan!"

"Mian, Appa!"

Sehun lantas memberikan sebuah amplop cokelat berukuran kertas A4 kepada Tuan Oh. Kertas itu berisi sebuah surat yang mengabarkan bahwa,

"KAU DITERIMA DI MASSACHUSETTS INSTITUTE OF TECHNOLOGY??!!" pekik Tuan Oh kaget

"MWO??" Yifan yang berdiri di sebelah Sehun pun ikut terkejut mendengar pekikan ayahnya.

"Ne, Aku diterima di MIT, dengan beasiswa penuh. Aku hanya membutuhkan tanda tangan untuk izin keberangkatan dan keperluan Visa" ujar Sehun mantap

"Kau… benar – benar tidak mendaftar di SNU, tapi kau mendaftar di MIT?"

"Ne,"

"Kau benar – benar akan berkuliah di Amerika?"

"Ne, dan aku kemari untuk meminta izin"

Nyonya Oh terdiam di kursinya duduk, dalam hatinya wanita itu tentu bangga atas pencapaian yang Sehun raih. Putera bungsunya berhasil diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik dunia. Tuan Oh mengajukan segudang pertanyaan pada Sehun sebelum akhirnya dia menandatangani berkas yang Sehun butuhkan. Dan Nyonya Oh, karena harga dirinya yang tinggi, wanita itu hanya bisa diam melihat puteranya, meskipun dia benar – benar ingin memeluk Sehun saat ini.

"Kalau begitu, aku pamit pulang."

"Sehun-ah… makan malam lah dulu, kau pasti belum makan malam kan?"

Tuan Oh mencegah putera bungsunya yang baru saja akan beranjak ketika makan malam sudah siap dihidangkan.

"Tidak, terima kasih. Luhan pasti sudah menyiapkan makan malam untukku. Aku sudah berjanji akan pulang lebih awal hari ini"

"Jadi selama ini kau tinggal bersama Luhan?"

Tuan Oh mengerutkan keningnya mengira selama ini sang putera tinggal berdua bersama Luhan. Sehun benar – benar kurang ajar, bahkan ayahnya sendiri tidak tahu selama ini dia tinggal dimana.

"Tidak, Appa… Sehun punya tempat tinggal sendiri dan itu sangat jauh dari rumah Luhan. Tapi selama ini Luhan memang selalu mengantarkan sarapan dan makan malam untuk Sehun setiap hari. Appa tidak usah khawatir, aku siap bersaksi!"

Yifan buru – buru menengahi situasi yang baru saja akan menjadi buruk jika Sehun tidak menjelaskannya dengan baik. Yifan memang benar – benar akan selalu membela adiknya.

"Begitukah?" Tuan Oh memastikan

"Ya, itu makanya Sehun selalu sehat meskipun tidak tinggal di rumah. Bahkan Luhan pun mencuci dan menyetrika baju Sehun"

"Mwo?"

"Luhan juga yang selalu merapikan kamar yang Sehun tempati!"

"Jinjja?"

"Mmm Appa! Jika tidak ada Luhan, Sehun pasti hidup berantakan, dia kan anak manja!"

"YA! OH SEHUN!"

Sebuah teriakan dari suara merdu nyonya Oh membuat seluruh lelaki di ruangan itu terkejut dan menatap wanita cantik yang kini memandang geram pada Sehun.

"Bagaimana bisa laki – laki menyusahkan perempuan seperti itu? Kau pikir Luhan itu pembantumu? Apa kau benar – benar mencintainya?"

"…"

"Ibu pikir kau akan memperlakukan gadis itu dengan baik karena kau bilang sangat mencintainya. Tapi apa kata Yifan barusan? Luhan merawatmu dengan melakukan segala hal? Waah… Atau jangan – jangan selama ini malah kau yang memanfaatkan Luhan??"

Yifan menganga mendengar bagaimana sang ibu mengomeli adiknya. Begitupula Tuan Oh yang tidak menyangka jika reaksi Nyonya Oh akan seperti itu. Apalagi Sehun, remaja yang sebentar lagi menjadi mahasiswa MIT itu hanya bisa menatap ibunya dengan tatapan mata kaget.

Nyonya Oh kemudian berdiri lalu mengepak beberapa bahan makanan di kulkasnya. Selama Nyonya Oh melakukan itu, tidak satupun dari tiga lelaki tampan di ruangan itu berani berkutik. Mereka masih benar – benar kaget akan perubahan sikap si lebah ratu di rumah itu.

"Jja! Berikan ini pada Luhan. Katakan padanya jika Ibu memintanya untuk memasakkan sup rumput laut untuk merayakan keberhasilanmu besok pagi. Ibu tahu, jika ibu yang melakukannya kau tidak akan mau memakannya!"

"Ibu…"

"Jadi kapan kau akan berangkat ke Amerika?"

"Ibu…"

"Pulanglah sebelum kau berangkat. Kami tentu perlu menyiapkan tempat tinggal dan teknis perkuliahanmu disana, bukan? Ibu akan menelpon pamanmu di Boston untuk mengabari bahwa kau akan berkuliah di sana"

GREB

Sehun langsung memeluk ibunya erat – erat. Sehun tidak mau memastikan lagi, anak itu yakin Ibunya sudah bisa membuka hatinya untuk Luhan. Satu keberhasilan Sehun ternyata mampu membuat Ibunya melunak. Sehun benar – benar berharap Ibunya bisa menerima Luhan dengan baik. Nyonya Oh membalas pelukan Sehun dan mendekap puteranya penuh kerinduan. Jauh di dalam lubuk hati terdalam wanita itu amat sangat merindukan puteranya. Tiga bulan belakangan pikiran Nyonya Oh dipenuhi kegelisahannya akan masa depan Sehun dan jalan yang Sehun pilih. Dan tentu saja, Nyonya Oh bukanlah wanita yang jahat, ibu dari Yifan dan Sehun itu masih punya perasaan yang mampu mencerna keadaan. Nyonya Oh juga bukan wanita bodoh yang tidak melakukan appaun untuk menjawab kegelisahannya. Karena tanpa sepengetahuan Sehun, wanita itu telah melalui banyak hal sampai akhirnya percaya jika perasaan Sehun dan Luhan adalah murni perasaan cinta.

"Tunggu disini, Ibu ambilkan sesuatu lagi"

Nyonya Oh berjalan cepat ke kamarnya, meninggalkan Yifan yang saling bertukar pandangan bingung dengan Sehun. Pria tampan yang terlahir sebagai kakak dari Oh Sehun itu memang amat sangat pandai bersandiwara. Yifan tentu tidak diam saja selama ini, sebagai seorang kakak, Yifan merasa itu adalah tugasnya untuk membantu sang Ibu mendapatkan jawabannya lebih cepat,

"Terima ini"

Nyonya Oh menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna biru muda pada Sehun. Dengan wajah polosnya anak itu menerima apa yang Ibunya serahkan. Sehun membuka kotak itu dan kembali harus terkejut pada apa yang ibunya lakukan.

"Jika kau benar – benar mencintai Luhan sebanyak itu, kau boleh melamarnya sebelum berangkat ke Amerika."

Wania itu lantas kembali ke tempat duduknya di meja makan seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Tuan Oh tersenyum lebar pada isterinya lalu menggenggam tangan wanita yang memberinya dua putera itu. Tuan Oh sangat bahagia karena akhirnya sang isteri bisa membuka hatinya pada wanita baik yang Sehun pilih. Tapi tetap saja, Tuan Oh tidak menyangka jika isterinya memberikan Sehun sebuah cincin putih berpotongan sederhana yang dulu pernah Tuan Oh berikan pada Nyonya Oh saat pria itu melamarnya.

"Yah… Ibu memang benar – benar pilih kasih antara aku dan Sehun" Yifan pura – pura ngambbek dan mempoutkan bibirnya lalu duduk di kursinya sendiri.

"Sudah sana temui Luhan! Jangan lupa lamar dia secepatnya" gerutu Yifan dengan wajah lucu.

.

.

.

Sehun menaiki tangga Goshiwonnya dengan senyum yang tak bisa kuncup dari bibirnya. Anak itu lupa, mimpi apa dia semalam hingga hari ini jadi begitu sempurna untukknya.

"Katanya kau akan pulang cepat hari ini, tapi kenapa terlambat?"

Luhan yang sudah berada dalam kamar Sehun menyambut kekasihnya itu dengan tatapan tajam. Namun wajah Sehun yang penuh senyum itu malah membuat Luhanmemgerutkan kening. Sehun tersenyum terlalu lebar.

"Apa interviewmu berjalan lancer?"

"Tentu saja"

"Apa kau diterima?"

"Tidak ada yang bisa menolak seorang Oh Sehun!"

"Auuuh… sombong sekali"

Sehun hanya kembali tersenyum geli melihat Luhan.

"Lalu kau diterima dimana? Yonsei? Kyunghee? Hanguk? KAIST?"

"No… no.. no…"

"lalu dimana?"

"Massachusetts Institute of Technology. Boston, Amerika"

Luhan baru saja ingin mendebat Sehun, tetapi sebuah amplop cokelat berlogo MIT di atas meja Sehun tentu mendukung pernyataan kekasihnya itu.

"Amerika?"

"Ya, Amerika"

Luhan kembali tertegun. Cobaan macam apa lagi ini. Jika Sehun berkuliah di Amerika itu artinya Sehun dan Luhan akan berhubungan jarak jauh?

"Maka dari itu aku pulang terlambat, aku mampir ke rumah untuk meminta tanda tangan ayah sebagai wali siswa"

"Kau pulang ke rumah?"

"Mmm… dan ibu memintaku untuk memberikanmu bahan masakan itu. Dia juga memintaku untuk memberitahumu agar kau membuatkan sup rumput laut untukku sarapan besok"

"Ibumu?"

"Ya…"

"Ibumu menyuruhku apa?"

Sehun lantas menjelaskan apa yang terjadi di rumahnya saat Sehun berkunjung. Gadis itu tidak bisa menutupi rasa bahagianya mendengar cerita Sehun tentang bagaimana ibunya akhirnya melunak dan membuka kesempatan untuk Luhan.

Selama Sehun bercerita, lelaki itu dengan lahap memakan makan malam sederhana yang telah Luhan siapkan. Namun entah kenapa rasanya Luhan tidak bisa merasakan bahagia sepenuhnya. Setelah makan, Luhan kemudian berdiri dan merapikan baju kaos dan rok yang dia kenakan. Luhan baru saja akan mengenakan coatnya dan bersiap untuk pulang, tetapi Sehun lebih dulu menahannya.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku"

Luhan tertunduk, gadis itu memang tidak pernah bisa berbohong dihadapan Sehun. Seberapapun Luhan mencoba untuk menyembunyikan raut sedihnya, Sehun tentu masih bisa melihatnya. Tak kuasa Luhan menitikan air mata ketika dia menatap Sehun. Belum juga Sehun meninggalkan Luhan ke Amerika rasanya Luhan sudah begitu merindukan kekasihnya itu.

"Kau kenapa Lu?"

Luhan menggelengkan kepalanya kemudian menghapus kasar airmata di pipinya. Selama tiga bulan terakhir Luhan memang jadi lebih cengeng dari biasanya. Itu semua karena seorang Oh Sehun.

"Apa Boston dan Seoul sangat jauh?" tanya Luhan setelah Sehun hanya mampu melihat tangisan gadis itu dalam hening.

Sehun tersenyum dan menarik gadisnya itu kedalam pelukannya. "Mmmm… kau memikirkan itu?"

"Tentu saja! Berada dalam satu negara seperti ini saja kita berdua tidak banyak berkomunikasi. Apalagi jika kau ada di negara yang berbeda. Bagaimana jika… bagiamana…."

Kalimat Luhan terjeda oleh isakan tangisnya, entah kenapa Sehun malah tersenyum melihat Luhan menangis seperti itu dihadapannya.

"Bagaimana jika kau nanti malah meninggalkanku, atau…"

CHUP

Sehun mengecup bibir Luhan dengan cepat dan itu berhasil membuat tangisan dan kalimat Luhan tertahan.

"Aku hanya pergi sekolah. Hatiku tidak akan aku bawa, hatiku tetap ada padamu" Sehun berkata lalu mengusak rambut Luhan. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di atas tempat tidur sempit Sehun. Sehun pun menyingkirkan coat dan tasnya ke meja belajar agar dia bisa duduk di samping Luhan.

"Apa kita akan baik – baik saja jika kita berada dalam hubungan jarak jauh?"

"Apa kau meragukan aku?"

Luhan menggeleng

"Lalu apa kau meragukan dirimu sendiri?"

Luhan kembali menggelengkan kepalanya.

"Lalu apa yang membuatmu ragu bahwa kita tidak akan baik – baik saja?"

Luhan terdiam. Kedua matanya hanya mengedip seraya mengabsen tiap lekuk wajah Sehun. Gadis itu bertingkah seakan dia bisa saja melupakan seberapa tampan wajah kekasihnya itu.

"Belajarlah yang baik disana, dan pulanglah secepatmungkin"

"Aku akan pulang tiap musim panas. Aku janji"

Luhan mengangguk kemudian tersenyum. Sehun mendekatkan tubuhnya pada Luhan dan satu tangannya bergerak untuk menghapus sisa air mata di pipi gadis itu. Wajah tampan Sehun kini sudah berada tepat di hadapan Luhan, beberapa detik kemudian Luhan memejamkan kedua matanya seperti memberitahu insting lelaki Sehun untuk mendekat dan melakukan apa yang ingin ia lakukan pada Luhan. Dan mengikuti dorongan isntingnya, Sehun menempelkan bibir pada bibir Luhan.

Beberapa saat kemudian, Sehun pun melumat lembut bibir mungil itu. Entah darimana Sehun belajar untuk melakukannya, tapi setiap kali bibir Luhan berhadapan dengan bibir Sehun, Luhan merasa selalu melayang. Sapuan demi sapuan lembut yang memagut bibir Luhan membuat jemari lentik gadis itu merambat dada Sehun. Tangan kanan Sehun merengkuh pinggang Luhan lalu dengan cepat dia membaringkan tubuh Luhan di atas tempat tidur sempit kamar goshiwonnya.

Mata Luhan yang tadinya terpejam kini perlahan membuka. Dapat Luhan lihat bagaiama Sehun begitu menikmati bibirnya. Tubuh kurus Sehun yang berada di atas Luhan saat ini menekannya dengan lembut seiring dengan jemari Luhan yang semakin erat mencengkram kemeja yang Sehun kenakan. Ciuman Sehun berubah, bibir tipisnya sudah meninggalkan bibir mungil Luhan. Bibir tipis itu kini tengah menjelajahi leher dan dada Luhan. Tangan Luhan terangkat lalu membelai rambut hitam Sehun yang bisa Luhan lihat karena wajah tampan remaja itu terbenam di dadanya.

"Sehun-ah"

Suara lembut Luhan yang lebih cocok disebut sebuah desahan itu memanggil nama Sehun. Degupan jantung Sehun berpacu lebih cepat saat telinganya mendengar namanya diucapkan dalam bentuk desahan merdu. Sebuah desahan merdu yang membuat insting lelaki Sehun mengeras. Tubuh Sehun terasa panas, ini adalah pertama kali dalam seumur hidup remaja itu merasakan sebuah hasrat menggila yang membuat tubuhnya bergerak seperti di luar kendali.

Tangan kanan Sehun meluncur turun ke pinggang Luhan dan dengan cepat tangan itu sudah menyusup ke dalam baju kaos yang Luhan kenakan. Gadis itu tentu bisa merasakan jemari Sehun yang dingin meremas lembut payudara kirinya yang masih bersembunyi di balik bra yang dia kenakan. Remasan Sehun pada payudara Luhan berbanding Lurus dengan remasan tangan Luhan di rambut Sehun yang kini sudah berantakan.

Tentu saja, tidak hanya Sehun yang memiliki hasrat dan insting lelaki disaat seperti ini. Gadis bermarga Lu yang saat ini berada di bawah tubuh Sehun itu pun merasakan degupan jantung yang sama kencangnya. Setiap aliran darah di arteri Luhan terasa panas dan membangkitkan sebuah dorongan untuk terus mendesahkan nama Sehun. Luhan juga punya insting kewanitaan yang mengerakkan kedua kakinya untuk membuka dan membiarkan tubuh bagian bawah Sehun menekan tubuh bagian bawahnya. Bisa Luhan rasakan ada yang mengeras dibalik celana yang Sehun gunakan saat ini.

Tek

Kedua mata Luhan membulat ketika gadis itu sadar bahwa jemari kurus Sehun berhasil membebaskan payudaranya dari kungkungan bra yang dia kenakan. Luhan pun terlambat menyadari jika kini Sehun sudah menyikap baju kaosnya ke atas dan menciumi kedua payudaranya dengan lembut. Luhan tidak bisa bohong, gadis itu menyukai sensasi hangat bibir Sehun saat remaja tampan itu menghisap puting payudaranya.

"Ooohh Sehun…"

Desahan Luhan kembali lolos. Desahan itu senantiasa membakar tubuh Sehun untuk bergreak lebih intens. Dengan satu hentakan, Sehun berhasil menelanjangi tubuh bagian atas Luhan. Dengan jelas gadis itu melihat bagaimana kedua mata sipit Sehun terbelalak melihat dua payudara Luhan dihadapannya. Kedua payudara yang selama ini hanya bisa Sehun tebak bagaimana bentuknya kini tersuguh manis di hadapannya. Otak nakal Sehun sempat berpikir "ini lebih besar dari yang aku bayangkan"

Sehun kembali menekan tubuh Luhan dan bibirnya kembali melumat bibir mungil Luhan. Gadis itu terus membalas lumatan bibir Sehun dengan hisapan menggemaskan pada bibir bawah Sehun. Seperti tertantang, Luhan tidak mau hanya berdiam diri. Kedua tangan lembutnya membuka satu persatu kancing kemeja Sehun hingga semuanya terlepas, semua terlepas dari tubuh bagian atas Sehun.

Tak ada sehelai benangpun menutupi tubuh bagian atas Sehun dan Luhan. Kedua tangan Sehun tidak berhenti meremas payudara Luhan yang setiap Sehun meremasnya maka akan timbul gejolak menyenangkan pada insting lelakinya. Terlebih lagi, jemari lentik Luhan yang terus membelai punggung Sehun dengan lembut membuat Sehun menginginkan hal yang lebih.

Sehun mengangkat bibirnya dari bibir Luhan dan menatap wajah gadisnya yang memerah. Raut wajah Luhan yang terbaring di bawahnya begitu manis dan menggemaskan disaat yang bersamaan. Wajah cantik dan lugu itu begitu menggoda Sehun untuk menikmatinya.

"Kenapa.. berhenti..?"

Luhan bertanya lembut namun malu jika harus menatap langsung kedua mata Sehun yang tajam. Luhan hanya berani menatap bahu putih Sehun yang terekspose. Langit sore kemerahan yang merasup dari celah – celah tirai membuat tubuh terlihat sempurna di mata Luhan.

"Aku ingin menikmati wajahmu dulu, kau sangat cantik dengan ekspresi seperti ini"

Sebuah cubitan lembut Sehun terima karena anak itu masih sempat menggoda Luhan. Jujur saja, membiarkan kedua payudaranya terekspose polos dihadapan Sehun belum pernah masuk dalam rencana Luhan. Tapi situasi yang terjadi saat ini, membuat Luhan takut sekaligus menginginkan sesuatu yang lebih terjadi padanya dan Sehun.

"Aku sangat mencintaimu" ucap Sehun dengan suara mirip desahan

Chup

Napas Luhan tercekat ketika Sehun mengecup payudara kiri Luhan. "Yang kiri lebih besar dari yang kanan" ujar Sehun dan seketika wajah Luhan kembali memerah karena malu.

"Oh Sehun!" pekik gadis itu berusaha memalingkan wajahnya kemanapun asal tidak bertatapan dengan Sehun.

"Aku menyukainya" kata Sehun lagi kemudian bibir tipisnya kembali menghisap puting payudara kiri Luhan sementara tangan kirinya meremas payudara kanan Luhan.

Sehun benar – benar melanjutkan pergerakan yang didorong oleh hasrat seksual yang mereka miliki. Remaja tampan itu benar – benar tahu bagaimana caranya bersikap lembut pada tubuh mulus kekasihnya itu. Dan lagi Luhan dibuat melayang oleh sentuhan yang Sehun berikan. Hingga Luhan sadar, ada yang aneh pada bagian kewanitaanya. Bagian kewanitaan Luhan yang belum pernah terjamah oleh siapapun itu merespon semua sentuhan yang Sehun berikan pada tubuhnya. Luhan merasakan denyutan – denyutan nikmat yang mendorong kedua tangannya untuk menyusup ke celana Sehun.

Sehun menghentikan hisapannya pada payudara Luhan ketika dia tahu bahwa Luhan saat ini berhasil membuka kaitan celana dan menurunkan resleting celananya. Sehun tidak menyangka jika gadis yang terbaring dibawahnya itu akan berinisiatif untuk melucuti pakaian yang ia kenakan. Tentu saja, Sehun tiak keberatan, karena memang celananya membuat sesuatu di dalam sana terasa sesak.

Oh Sehun merasakan bagaimana kedua jemari Luhan yang terasa dingin meraba pinggulnya untuk menarik turun celana dan dalaman yang Sehun kenakan. Gerakan tangan Luhan yang membuat Sehun tidak mau kalah, Sehun pun menggerakkan tangannya turun menuju paha Luhan yang tersembunyi di balik rok yang Luhan kenakan.

Sret

"Hhhmmm"

Sebuah pekikan kecil keluar dari bibir Luhan ketika kekasihnya itu membalikkan posisi tubuh mereka dengan sekali gerakan. Kini Luhan berada di atas tubuh Sehun. Luhan bisa dengan jelas melihat otot – otot samar Sehun yang tersembuyi di bagian lengan, dada dan perut Sehun. Celana jeans yang Sehun kenakan sudah merosot ke bagian pinggulnya, hanya butuh sedikit gerakan maka sesuatu yang mengeras di baliknya akan terekspose di hadapan Luhan.

Tek

Luhan menegang ketika Sehun berhasil mebuka kait belakang roknya dan juga menurunkan resleting rok yang Luhan kenakan.

"Bisa kau angkat sedikit tubuhmu?"

Suara Sehun meminta sekaligus memerintah Luhan untuk sedikit mengangkat tubuh rampingnya yang terduduk di tubuh Sehun. Luhan mengikuti perintah Sehun namun masih belum berani menatap kedua mata tajam Sehun di bawahnya.

"Boleh aku buka?"

Sehun meminta persetujuan Luhan sebelum menarik kebawah rok itu dari pinggang Luhan. Gadis itu mencengkram celana jeans Sehun kemudian mengangguk beberapa kali sebagai tanda bahwa gadis itu mempersilahkan apa yang akan Sehun lakukan padanya. Perlahan Sehun menurunkan rok dan celana dalam Luhan bersamaan. Sehun tak bisa bohong jika jantungnya bisa melompat kapan saja saat ini. Ini adalah adegan dewasa yang dulu hanya bisa Sehun bayangkan. Dengan jelas Sehun bisa melihat rambut – rambut halus yang bersembunyi diantara dua paha Luhan yang terbuka lebar diantara pinggulnya. Gadis itu menggerakkan sedikit kakinya untuk meloloskan rok yang ia kenakan.

"Oh my Gosh!" pekik Sehun dalam hati. Tubuh Luhan yang tersuguh dihadapannya benar – benar indah. Tubuh polos Luhan membuat Sehun semakin menegang dan semakin ingin menikmati gadis itu.

Luhan yang merasa bahwa kedua mata Sehun telah menyetubuhinya perlahan menggerakkan tangannya untuk menarik celana jeans Sehun ke bawah. Walau bagaimanapun ada sisi dalam diri Luhan yang tidak mau terlihat lemah dan terlalu lugu di hadapan Sehun. Luhan ingin melakukan hal yang sama seperti yang Sehun lakukan pada tubuhnya.

Bibit tipis Sehun terbuka dan mengerang lembut ketika Luhan berhasil menanggalkan pakaian terakhir yang melekat di tubuhnya. Baik Luhan maupun Sehun, mereka berdua telah mengekspose tubuh merkea masing – masing. Insting wanita Luhan yang juga punya hasrat yang sama besarnya dengan Sehun membuat gadis itu memberanikan dirinya mengecupi seluruh permukaan kulit Sehun. Mulai dari leher, bahu, dada dan perut Sehun yang berotot samar.

"Aaaahhhh Luhan…"

Akhirnya desahan pertama Sehun terhembus ketika Luhan mencengkram kejantanan Sehun yang menegang. Sehun melipat bibir tipisnya ketika Luhan melakukan gerakan – gerakan amatir pada otot tegang diantara kedua pahanya itu. Sehun lantas melampiaskan gairahnya dengan meremas payudara Luhan sedikit lebih kencang dari sebelumnya.

Luhan mendekatkan kedua payudaranya ke wajah Sehun, gadis itu seperti tahu apa yang lelakinya itu inginkan, dan Sehunpun kembali melahap payudara Luhan dengan tangan kanannya yang meraba area kewanitaan Luhan di bawah sana.

"Eunnggghhhh"

Luhan melenguh ketika jemari Sehun meraba bibir vaginanya. Saraf – saraf jemari Sehun dapan dengan jelas meraba area basah di bawah sana. Tubuh Luhan bergerak seiring dengan sentuhan Sehun, gadis itu merespon sentuhan tangannya. Ada kenikmatan yang belum pernah Luhan rasakan sebelumnya ketika jari – jari Sehun merabanya dibawah sana. Yang Luhan rasakan di tangannya pun semakin membangkitkan gairahnya, Sehun semakin mengeras sementara dirinya pun semakin basah.

"Luhan-ah…"

"Ng?"

"Jika kita melanjutkannya maka kita berdua ada dalam masalah besar"

"Aku tahu,"

"Apa kau benar – benar ingin melakukan ini denganku saat ini?"

Sehun kembali bertanya meyakinkan gadis yang tertelungkup di atas tubuhnya saat ini. Demi Tuhan, Sehun tidak bermaksud untuk merusak moment intim mereka, Sehun berani sumpah jika dirinya juga sangat menginginkan untuk melakukan hal yang lebih dan lebih dengan Luhan saat ini. Tapia da satu pikiran dalam kepala Sehun yang mencegahnya dan tetap berpikir rasional.

"Beginikah aku memperlakukan wanita yang aku cintai?" tanya Sehun pada dirinya. Tentu tidak. Lebih dari Sehun menginginkan tubuh Luhan, lelaki itu sangat menghormati Luhan sebagai gadis yang dia cintai.

Sehun meneggakkan tubuhnya, dengan perhlahan memindahkan tubuh Luhan dari atas tubuhnya dan membaringkan Luhan di sampingnya. Sehun mencari sesuatu di saku coat yang dia kenakan tadi, dan ketika Luhan berhasil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Sehun sudah duduk di hadapannya sambil menyodorkan sebuah tiffani box berwarna biru muda yang terbuka dengan cincin cantik di dalamnya.

"Lu Han, maukah kau menjadi milikku?"

Napas Luhan tercekat, gadis itu masih tidak bisa benar – benar memproses apa yang Sehun lakukan di hadapannya saat ini. Apakah Sehun melamarnya? Atau Sehun hanya memberikannya hadiah berupa cincin? Luhan masih tidak mengerti. Yang Luhan lihat hanya cincin dengan potongan sederhana itu begitu mengilap di mata Luhan, kedua mata gadis itu pun melebar mendapati kejutan yang tak pernah dia duga akan Sehun lakukan kepadanya. Terlebih lagi Sehun memberikan cincin itu disaat keduanya tidak mengenakan sehelai pakaianpun di tubuh mereka. Entah kisah romantis macam apa yang mereka jalani saat ini, yang Sehun lihat gadis itu kni menitikan air mata di wajah tersenyumnya.

"Aku tahu, kita berdua akan terpisah jarak selama beberapa waktu. Maka dari itu, aku putuskan untuk melamarmu saat ini. Hanya agar kau tahu bahwa kau sudah terikat dengan Oh Sehun seumur hidupmu"

Luhan menahan isakan tangisnya mendengar lamaran Sehun di hadapannya saat ini. Baru saja Luhan pikir dia akan berhubungan selayaknya suami isteri dengan Sehun, namun kejutan yang Luhan dapatkan berupa lamaran dari Sehun benar – benar tidak pernah ada dalam dugaan gadis itu.

"Tanpa perlu mengikatku, aku tidak akan pergi darimu. Aku sudah jadi milikmu, Oh Sehun"

Sehun tersenyum mendengar jawaban Luhan. Tangan kiri Sehun terangkat untuk merapikan rambut Luhan yang berantakan di kening gadis itu. Sehun lantas mengambil cincin di dalam kotak itu dan menyematkannya di jari manis tangan kiri Luhan. "Aku janji akan kembali secepat mungkin. Aku akan kembali setelah aku menjadi orang yang pantas untuk menyeretmu ke altar dan menjadikanmu isteriku yang sah. Aku mohon, tunggu aku."

Air mata Luhan kembali berlinang. Tentu saja dirinya adalah milik Sehun. Tentu saja karena Sehun adalah satu – satunya orang yang Luhan miliki saat ini. Tentu saja Luhan akan menunggu dan mencintai Sehun selama apapun gadis itu harus menunggu.

Luhan menganggukkan kepalanya dan satu kecupan lembut mendarat di bibir Luhan lagi.

"Dan yang ini, akan aku lanjutkan ketika kau sudah jadi milikku."

Wajah Luhan kembali memerah dan Sehun pun kembali memeluknya.

.

.

.

.

Seoul 2025

Luhan baru saja menutup pintu utama rumahnya dengan perlahan. Aroma lavender sebagai pewangi ruangan langsung tercium oleh Luhan ketika wanita itu berjalan menuju ke ruang tengah. Keadaan rumah yang sudah dia tinggalkan selama seminggu belakangan nampak rapi, bersih dan baik – baik saja.

Sambil menggiring kopernya, Luhan berjalan menuju ke arah dapur yang juga tertata rapi dan bersih. Ada beberapa piring dan mangkuk bersih yang sepertinya baru saja mengering setelah di cuci. Luhan berjalan menuju kearah kulkas yang menarik perhatiannya. Ada beberapa kertas warna – warni yang menempel di pintu kulkas dapur Luhan.

.

Chaeri suka crispy tuna roll buatan Appa!

.

Resep chicken egg roll

.

Appa, jangan lupa mengangkat jemuran!

.

Chaeri-ah, habiskan sayuranmu!

.

To: Oh Chaeri Kita sepakat tidak ada snack jika kau tidak memakan sayur di kotak makan siangmu!

.

To: Appa Aku tidak suka wortel

.

Manfaat wortel

.

Nomor telepon Eomma Taeoh.

.

Resep cream sup jamur

.

Appa, saranghae!

Luhan tersenyum lembut membaca note yang tertempel di pintu kulkasnya. Luhan bisa merasakan bagaimana Sehun dan Chaeri menjadi semakin dekat melalui notes yang tertempel. Wanita itu kemudian membuka kulkasnya dan menemukan bahan – bahan makanan yang tertata sangat rapi dalam box – box yang sudah di labeli dengan tanggal masuk dan kadaluarsanya.

"Good job, Oh Sehun…" gumam Luhan seraya mengabsen seluruh isi kulkas itu.

Setelah puas melihat areal dapur yang rapi, Luhan menyusuri koridor rumahnya dan menuju ruang laundry. Luhan berniat meletakkan kopernya di ruangan itu, namun mata Luhan malah jadi berkaca – kaca ketika wanita itu melihat bagaimana seragam buah hatinya tergantung dengan rapi dan siap digunakan. Tak ada satupun cucian kotor Luhan temukan menumpuk di ruang laundry. Yang Luhan dapatkan malahan setumpuk baju yang telah bersih di seterika dan juga sudah terpilah dengan baik. Dan semua baju itu adalah baju milik Oh Chaeri, buah hatinya.

Sorot mata keibuan Luhan menatap sebuah boneka yang terduduk diatas sebuah kursi di ruang laundry. Luhan tentu tahu itu adalah boneka kesayangan puterinya, yang Luhan tidak tahu kenapa boneka itu bisa tertinggal di sana? Bukankah Chaeri akan selalu membawa boneka itu tidur bersamanya? Hati Luhan sedikit tersayat kecewa, wanita itu menebak jika ada hal yang berubah dari Chaeri dan tidak dia ketahui.

Luhan lantas mengambil boneka itu dan bergegas menuju ke kamar puterinya di lantai dua. Namun kening Luhan mengerut ketika dia tidak mendapati puterinya ada di kamarnnya. Luhan lalu membalikkan tubuhnya menatap sebuah pintu di belakangnya. Itu adalah pintu kamar utama dimana dia dan Sehun selalu membagi malam mereka. Wanita itu melangkah perlahan dan dengan hati – hati membuka pintu kamarnya.

Satu helaan napas lega Luhan lepaskan ketika melihat Chaeri tidur dalam pelukan Sehun. Senyum Luhan mengembang ketika wanita itu melihat sang suami memeluk gadis kecilnya begitu erat. Lengan kecil Chaeri pun memeluk tubuh ayahnya sambil tertidur pulas. Demi apapun itu adalah pemandangan yang sangat menenangkan Luhan. Melihat Sehun dan Chaeri tidur bersama menghangatkan dada Luhan, wanita itu pun kembali merasa bersalah karena telah mengabaikan keduanya selama seminggu.

Luhan mendudukkan tubuhnya di sisi kosong tempat tidur lalu mengusap lengan puterinya yang terlelap begitu nyenyak. "Ibu sangat merindukan Chaeri" bisik Luhan pada puterinya. Panangan Luhan lalu teralih pada Sehun yang juga terlihat begitu lelap dalam tidurnya, "aku pun merindukanmu, sayangku"

Chup

Luhan mencuri satu kecupan ringan di bibir tipis suaminya. Luhan benar – benar membenamkan dirinya dalam pelukan Sehun tapi melihat bagaimana kedua orang yang amat dicintainya terlelap membuat Luhan harus merelakan keinginanannya.

Wanita cantik itu beranjak dari ranjangnya menuju ke sebuah walk in closet di kamarnya untuk mengganti bajunya dengan piama. Luhan mengambil satu piama once piece dan meletakkannya di sebuah meja yang ada di tengah walk in closet berukuran 3 x 3 meter itu. Luhan kemudian mulai melepaskan cardigannya, lalu melepaskan sebuah kaos putih yang dia kenakan baru setelah itu Luhan menanggalkan celana jeansnya hingga menyisakan sebuah bra dan celana dalam berwarna nude di tubuhnya.

"Akh!"

Luhan hampir saja menjerit terkejut ketika wanita itu merasakan sebuah kecupan di bahunya. Wanita itu segera membalikkan badan dan mendapati sang suami menatapnya begitu tajam. Pantulan sinar temaram lampu tidur dikamar mereka membiaskan raut wajah Sehun yang kini menatapnya intens.

"Jangan seenaknya mencuri sebuah kecupan dari bibirku jika kau tidak berniat untuk memuaskan yang lainnya!!"

.

.

.

.

To be continue

.

.

.

Chapter 7 : How I Marry Your Mother Part 3

.

.

.

"Meskipun anda tidak mengakui keberadaan Luhan, tetapi kenyataan bahwa Luhan adalah puteri kandung anda tidak akan pernah terhapuskan. Dan aku berada di hadapan anda saat ini untuk menghargai kenyataan itu. Aku akan menikahi puteri anda."

.

.

.

.

.

.

.

.

Authors note:

Yellow Yeorobundeul,

Udah berapa tahun cerita ini ga keupdate?

Aaaak… Mohon maaf yang sebesar – besarnya bagi para pembaca yang menantikan FF ini tapi si author ini suka terlalu sibuk sama pekerjaannya,

I mean, sekarang aku udah punya banyak tanggung jawab yang harus aku urusi, dan selama work from home ini pun aku sebenernya mencoba untuk melanjutkan beberapa FFKu yang terbengkalai. Tapi dimohon pengertiannya kalau kerja sambil ngebucin itu berat

Semoga kalian semua suka sama update-an ceritanya.

Iya masih to be continue kok, karena aku memutuskan untuk kembali menulis. Menulis ternyata membantu aku untuk tetep waras. Dan terima kasih masih mau menunggu.

Please tinggalin kometnar kamu tentang cerita ini biar aku bisa semakin semangat update ceritta yang lain..

Akhir kata, aaauuu ah! Saranhaeyo!!

Aruna Wu – Xiugarbaby.