BRUAK!
Suara nyaring datang terdengar memekakan telinga diikuti hancurnya sedikit demi sedikit bangunan kokoh itu dan akhirnya memporak porandakan menara yang dikabarkan angker tersebut.
Para pekerja tak menyadari jika masih ada seseorang terjebak bersama vampire di dalam sana.
Seorang gadis muda bernama Hatake Sakura.
Enjoy Reading~
BAB 8
—oOo—
Warn: Lime inside!
[Sakura]
Kejadiannya begitu cepat. Aku tidak yakin apa yang sedang terjadi saat ini. Yang pasti, ingatan terakhirku adalah mencapai klimaks entah untuk yang keberapa kalinya bersama Suke yang memacu tubuhnya dengan begitu cepat di antara kedua kakiku. Dan semuanya gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Aku hanya merasakan tubuhku melayang. Seringan kapas dan ketika aku membuka mata, aku sudah berada di sini.
Saat ini aku sedang berada di ... entahlah. Aku tidak tahu pasti. Aku masih memakai seragam sekolahku. Berdiri mematung di tengah ruangan besar penuh pilar-pilar besar, lampu-lampu temaram dengan suasana yang begitu suram. Menegangkan. Menyeramkan. Aku merasa hanya ada aku di ruangan ini. Tapi, tunggu! Aku sepertinya melihat sesuatu.
Perlahan kulangkahkan kakiku ke depan. Menuju sesuatu yang menyala merah di ujung sana. Perlahan, dalam hening aku terus melangkah. Entah mengapa kudukku meremang di setiap langkah yang kuambil. Jantungku berdebar sangat kencang.
Mendadak langkahku terhenti. Jantungku berdetak menyesakkan dan kedua mataku terbeliak ketika menyadari cahaya merah yang kulihat dari kejauhan tadi ternyata ... sepasang mata seseorang. Ya, seseorang yang sekilas terlihat sedang duduk di ujung sana. Kujelaskan fokus pandangku dan tunggu, a-apa? Apa ini! Ya, Tuhan! Seseorang berambut panjang itu sedang duduk di sebuah singasana yang pernah aku lihat di tv. Singasana seperti di sebuah drama Korea yang pernah aku tonton. Ini di mana?
"Hn, kau datang?"
DEG!
Seseorang berbicara. Suaranya begitu berat dan dingin. Dan orang itu adalah seseorang yang sedang duduk nyaman di depan sana. Ya, Tuhan. Tubuhku gemetar. Aku tidak tahu aku ada di mana sekarang, dan napasku terasa sangat sesak ketika sepasang mata merah itu menatapku tajam. Begitu menusuk. Apa yang harus kukatakan padanya?
Dengan sekuat tenaga kukumpulkan keberanianku dan saat aku akan membuka mulut untuk menjawabnya, mendadak tubuhku terpaku. Menatap ngeri sesuatu yang menembus tubuhku. Tidak mungkin! Tidak mungkin. Tidak! Kugelengkan kepalaku berulang kali. Itu mustahil 'kan? Bagaimana mungkin seseorang bisa menembus tubuhku? Aku menunduk dan menatap kedua telapak tanganku. Seketika itu pula pikiranku terasa begitu kosong. Menatap ngeri diriku yang ... transparan? Kami–sama. Apakah, apakah aku sudah mati?
"Tousan!"
Suara itu menyadarkanku dari ketidakpercayaan atas apa yang sedang terjadi. Aku mendongak. Menatap seseorang yang tadi melewati tubuhku. Melupakan sejenak masalahku, perlahan kulangkahkan kakiku mendekati pria itu dan kini aku bisa melihat dengan jelas wajah kedua pria dewasa di depanku. Tunggu! B-bukankah mereka?! Astaga! Tanpa sadar aku menutup mulutku tidak percaya. Tidak mungkin!
Pada awal musim panas tahun lalu. Paman Jiraya pernah memberikanku sebuah buku. Awalnya aku merasa bingung dan bertanya-tanya itu buku apa., saat itu paman Jiraya berkata kalau buku itu adalah buku sejarah tentang kerajaan yang dikutuk iblis dan tebak apa isinya? Ternyata itu adalah buku tentang awal mula terlahirnya kutukan yang menjadi bencana untuk kerajaan Uchiha. Yang saat ini lebih dikenal dengan Mansion Uchiha.
Di dalam buku itu berisi kronologi tentang seluk beluk kerajaan Uchiha dan di bagian akhir buku itu terdapat beberapa lukisan keluarga kerajaan Uchiha. Yang kuingat, ada lima buah lukisan kecil di bagian akhir buku itu.
Yang pertama adalah potret seorang pria berambut panjang dengan bentuk rahang tegas dan tatapannya terlihat beringas. Potret itu dinamai Uchiha Madara. Yang aku tahu adalah raja pertama kerajaan Uchiha.
Di bawahnya terlihat potret sepasang suami istri. Sang pria berwajah datar dengan poni jatuh membingkai wajahnya, dan sang wanita berwajah anggun dan lembut dengan rambut digelung rapi khas bangsawan dengan kedua poni panjang yang membingkai wajahnya. Potret itu dinamai Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto. Yang tertulis ternyata mereka adalah putra dan menantu dari Uchiha Madara.
Lalu di sebelahnya terlihat potret seorang pemuda yang berwajah datar hampir sama seperti Uchiha Fugaku namun terlihat lebih ramah terpampang jelas. Pemuda itu memiliki dua garis di sisi hidungnya. Menandakan dia telah dewasa di umurnya yang aku yakini masih muda. Memiliki rambut panjang ikat rendah dan potret itu dinamai dengan nama Uchiha Itachi. Putra sulung dari Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto. Cucu pertama Uchiha Madara.
Dan terakhir tepat di bawah lukisan Uchiha Itachi terlihat sebuah lukisan lagi. Lukisan itu terlihat begitu samar. Tertutupi noda darah. Aku tidak bisa melihat jelas. Yang aku tahu itu adalah potret dari Uchiha Sasuke. Putra bungsu Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto. Cucu kedua Uchiha Madara dan adik dari Uchiha Itachi.
Dan coba tebak kembali! Saat ini aku sedang berdiri di depan kedua Uchiha bersejarah. Uchiha Madara dan Uchiha Fugaku. Tidak mungkin, bagaimana bisa? Mereka hidup ratusan tahun yang lalu, bukan? Lalu, bagaimana bisa aku ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan sepertinya mereka tidak bisa melihatku.
"Kenapa Tousan melakukan ini? Tidak 'kah Tousan memikirkan bagaimana nasib kerajaan kita ke depannya?" pria dewasa dengan rahang tegas yang membingkai wajah datarnya berseru sedikit geram kepada pria dewasa lainnya yang sedang duduk dengan angkuhnya di singasana kebesarannya.
Kulihat pria berambut panjang sepunggung yang sedang duduk santai itu menatap pria di depannya datar. "Ini sudah terlanjur terjadi, Putraku. Kita hanya cukup diam sampai para iblis itu menyatu dengan tubuh kita."
Tunggu, iblis? Ada apa ini? Aku mengerenyitkan kedua alisku bingung.
Uchiha Fugaku mengepalkan kedua tangannya. "Apa yang kaupikirkan ketika kau dengan mudahnya bersekutu dengan para iblis itu, Tousan! Apa yang membutakanmu? Kekuasaan? Apa kau merasa puas dengan apa yang kaudapat dari makhluk hina seperti mereka?"
Pria itu—Uchiha Madara, tersenyum dingin. "Tentu saja aku senang, Putraku. Tidak 'kah kau menikmati apa yang mereka berikan pada kita selama ini? Kekuasaan … kekuatan … kekayaan." Madara mengangkat kedua tangannya dan menatap telapak tangannya yang terbuka dengan sorot mata penuh ambisi. "Aku bahkan bisa merasakannya. Kekuatan besar ada pada tubuhku."
"Itu tidak sebanding dengan apa yang mereka inginkan sebagai timbal balik, Tousan!" tanpa sadar Fugaku menaikkan suaranya satu oktaf, "kau terpedaya oleh mereka! Tidak 'kah kau menyadari jika nyawa kita 'lah yang iblis itu inginkan?"
Suara tawa dingin Madara terdengar di ruangan ini. Kemudian dia menatap Fugaku bengis. "Bukankah itu setimpal? Kita hanya perlu menyerahkan diri kepada mereka. Kita akan menyatu dengan mereka. Dan kekuatan. Ya, kekuatan besar menjadi milik kita. Tidak 'kah kau menginginkannya, Fugaku?"
Fugaku mengeraskan rahangnya. Menatap Madara penuh kemurkaan dan … kekecewaan? Entahlah. "Tousan, kita seorang Uchiha. Aku tidak tahu seorang Uchiha sepertimu mau diperbudak oleh para iblis itu. Tidak 'kah kau menyadarinya? Kau telah menjadi budak mereka."
Mendadak kedua mata Madara terbeliak. Menatap Fugaku ngeri. "Hentikan," katanya tercekat. "Kau salah! Aku bukan budak mereka. Aku sekutu mereka!"
"Sadarlah, Tousan. Kau telah tertipu. Terpedaya. Diperbudak." Fugaku menggeleng miris. Perlahan dia menyentuh katana yang tersampir di sisi pinggang kirinya. Madara terlihat menggelengkan kepalanya ngeri. Entah apa yang terjadi, tadi kulihat dia terlihat begitu terkontrol, arogan dan kejam. Saat ini dia justru terlihat seperti orang pesakitan. Tidak terkontrol. Panik. Apa yang terjadi?
"Hentikan! Kau lihat ini, Putraku?" Madara mengeluarkan sesuatu dari baju kerajaannya. Sebuah kalung berbandul kristal merah di lehernya. "Ini kalung dari para iblis itu. Kalung inilah yang membuat kerajaan kita berada di puncak tertinggi. Kekuatan ada pada kalung ini. Milik kita."
"Tidak, Tousan." Perlahan Fugaku berjalan mendekati Madara. Tangan kirinya masih menggenggam ujung katana miliknya. Bersiap mengeluarkan pedang itu kapan saja. "Bukan kita, tapi kau. Hanya dirimu. Jangan bawa-bawa keluargaku. Tidak Mikoto, Itachi dan ... Sasuke."
Madara manatap Fugaku murka, sesaat kemudian dia terdiam lalu tertawa terbahak. Seperti orang gila. "Terserah apa katamu. Apa pun yang kaukatakan, Putraku … tidak akan mengubah takdir. Inilah takdir Uchiha. Takdir kita. Mau tidak mau kalian, kau, Mikoto, Itachi dan si menyusahkan Sasuke akan ikut terseret dalam ritual penyatuan malam ini. Bersiaplah." Kata Madara sambil tertawa penuh kemenangan.
Fugaku terlihat menggertakan gigi-giginya murka sebelum … aku menjerit tertahan melihat adegan tragis di depanku. Jeritan. Raungan. Desingan suara pedang dan darah. Kejadiannya begitu cepat. Fugaku yang menarik keluar pedangnya, berlari melesat bagai kilat menghampiri Madara dan ... entah bagaimana awalnya, katana milik Fugaku telah tertancap sempurna di dada kiri Madara. Berikut kalung kristal yang pecah dan menghasilkan sebuah asap putih tebal.
Terdengar suara tawa dan geraman rendah dari balik asap itu. Serentak aku dan Uchiha Fugaku berjalan mundur. Menatap ngeri sesuatu yang keluar dari pecahan kalung itu. Dan mataku terbeliak ketika melihat sosok mengerikan bertanduk terbang melayang di langit-langit ruangan ini.
"Iblis Otsutsuki." Aku menoleh ketika mendengar Uchiha Fugaku mengatakan sesuatu.
"Iblis … Otsutsuki?" Jadi, iblis yang ada di atas sana adalah iblis Otsutsuki. Aku pernah membaca suatu kitab pemberian mendiang ibuku.
Alkisah, pada saat belum tercipta langit dan bumi, Otsutsuki adalah salah satu dari ribuan malaikat yang Tuhan ciptakan. Lebih tepatnya, Otsutsuki adalah pemimpin dari semua para malaikat. Malaikat yang tercipta dari api. Begitu taat dan patuh pada Tuhan sama seperti malaikat lainnya. Bahkan dia lebih patuh dari malaikat lainnya. Ya, setidaknya sampai suatu ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Yang diawali terciptanya sesuatu dari tanah liat. Sepasang manusia. Pria dan wanita. Adam dan Hawa.
Kala itu, Tuhan memerintahkan semua malaikat untuk menyembah kepada Adam dan Hawa. Sesuatu yang Tuhan ciptakan lebih tinggi derajatnya dari semua makhluk hidup. Semua malaikat mematuhinya. Mereka menyembah sepasang anak manusia itu. Ya, kecuali Otsutsuki.
Otsutsuki menatap dzat Tuhan tidak percaya kala itu. Perlahan kemarahan merambati hatinya. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin pemimpin para malaikat yang tercipta dari api sepertinya harus menyembah sebongkah tanah liat yang tidak ada apa-apanya? Jauh lebih rendah daripadanya. Tidak mungkin.
"Ya, Tuhanku ... bagaimana mungkin Engkau memerintahkan kami para malaikat yang lebih lama telah Engkau ciptakan dari api dan cahaya, lebih lama berada di sisi–Mu, menyembah–Mu, kini harus menyembah sesuatu yang baru kauciptakan. Bahkan tercipta hanya dari setumpuk tanah liat. Bagaimana mungkin?" ungkap Otsutsuki angkuh pada saat itu.
"Jangan pernah lihat apa yang kausembah, ya Otsutsuki. Cukup kau patuhi perintahku, perintah Tuhanmu. Sembahlah Adam dan Hawa. Letakkan kepalamu di bawah kaki mereka." Tuhan menjawab.
"Tidak," Otsutsuki menggeleng tegas. "Hamba tidak akan pernah melakukannya."
"Baiklah jika itu yang kaumau." Tuhan bersuara lagi. Kala itu rupa Otsutsuki yang begitu rupawan melebihi rupa malaikat lainnya, mulai dikelilingi oleh api dan seketika itu pula rupa Otsutsuki berubah menjadi rupa yang begitu buruk dengan kedua tanduk di sisi kepalanya. Mengerikan. "Pergilah ke dunia bawah. Tempat baru untukmu sebagai seorang iblis. Aku mengusirmu, ya Otsutsuki."
"Jika itu perintah–Mu, ya Tuhanku. Aku menerimanya, akan tetapi," Otsutsuki yang telah berubah menjadi makhluk yang sangat mengerikan itu terlihat sangat tenang. Tidak terlihat marah. Ya, karena Otsutsuki lebih memilih menjadi iblis daripada harus menyembah sesuatu yang lebih rendah daripadanya. "Izinkan hamba mengganggu para keturunan Adam dan Hawa hingga akhir dari bumi yang telah Engkau ciptakan."
"Lakukanlah," Tuhan mengizinkan. "Ganggulah mereka yang tidak ingat padaku. Dan kau tidak akan pernah bisa mengganggu mereka yang taat menyembahku dan taat beribadah. Pergilah."
"Apa pun yang kauperintahkan, Tuhanku. Hamba pergi." Otsutsuki bersujud pada Tuhan untuk yang terakhir kalinya sebelum turun ke dunia bawah dengan seringaian mengerikan di wajahnya. Menatap Adam dan Hawa penuh dendam.
"Tunggulah aku wahai anak cucu Adam. Aku akan membawa kalian ke Neraka."
Suara tawa yang menggema kembali menyadarkanku. Entah berapa lama aku termenung, yang pasti saat ini aku bisa melihat Uchiha Fugaku sedang melindungi tiga orang di belakangnya dari iblis Otsutsuki yang masih melayang di udara. Jadi, ini 'kah rupa dari iblis yang Tuhan usir dari langit. Begitu mengerikan. Tubuhku bergetar.
Jadi, Uchiha Madara adalah salah satu cucu Adam yang tidak ingat kepada Tuhan. Dia bahkan telah terhasut oleh iblis itu. Pantas saja kerajaan Uchiha berakhir tragis. Pikirku. Tapi tunggu, aku kembali menatap tiga orang yang berdiri di belakang Uchiha Fugaku. Sejak kapan ada orang lain selain aku dan Uchiha Fugaku di sini?
"Itachi, bawa ibu dan adikmu keluar dari sini!" Fugaku berseru kencang, "bawa mereka pada nona Tsunade. Dia bisa melindungi kalian dari iblis ini." Titah Fugaku.
"Tapi, Tousan …," kulihat Uchiha Itachi hendak memprotes, namun Fugaku segera berbalik. Menghadap keluarganya.
"Dengar, kalian harus pergi dari sini. Satu yang perlu kalian ingat, Tuhan selalu ada di hati kita. Ingat, Tuhan selalu ada untuk kita. Pergilah." Fugaku menatap wajah istrinya lembut, lalu menatap Itachi tegas dan terakhir Fugaku menatap … ya, Tuhan! Aku jatuh terduduk di tempatku. Menatap tidak percaya seseorang yang sedang menatap Fugaku dengan mata berkaca. Itu ... "Sasuke," Fugaku menyentuh kedua bahu pemuda itu. "Maafkan Tousan yang selama ini bersikap kurang baik padamu. Asal kau tahu, kau adalah anakku. Putra kesayangan Tousan. Melibihi kakakmu. Jangan pernah merasa aku tidak menyayangimu. Itu semua tidak benar. Aku menyayangimu, Putraku."
Itu ... Suke? Jadi, Suke adalah ... Uchiha Sasuke? Ya, Tuhan.
"Tousan," Sasuke terlihat terluka. Dia menggenggam tangan Fugaku yang ada pada pundaknya. "Bagaimana mungkin kami meninggalkanmu? Sendirian dengan iblis itu?"
"Fugaku tidak akan sendirian," semua tersentak, termasuk aku. Menatap satu-satunya wanita di sana. Uchiha Mikoto yang sedang menatap suaminya penuh tekad. "Aku akan tetap bersamamu. Di sini."
"Tidak," Fugaku menatap istrinya tajam. "Kau akan pergi dengan mereka."
"Jangan harap," Mikoto menarik leher Fugaku. Menyatukan bibir mereka. Melumatnya lembut. Sasuke dan Itachi memalingkan wajah mereka. Fugaku? Pria itu menatap istrinya lembut dan meraih pinggang Mikoto semakin dekat. Balas melumat bibir istrinya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya? Entahlah. Tanpa sadar wajahku merona menyaksikannya. Ciuman mereka semakin lama semakin panas. Bahkan tangan Uchiha Fugaku entah sejak kapan tengah memainkan dua bulatan milik istrinya. Ya ampun.
"Tousan," Itachi terlihat enggan menatap orangtuanya, "aku benci mengatakan ini, tapi iblis itu melayang mendekati kita."
Fugaku segera menarik diri dan kembali berdiri di depan. Menjadi tameng untuk keluarganya. "Itachi—" Fugaku menoleh ketika Mikoto berdiri di sampingnya dengan tangan kanan yang sudah memegang busurnya. Dan kedua tangan mereka saling menggenggam erat.
"Itachi, bawa adikmu pergi. Sekarang." Titah Mikoto tegas. Menatap putra sulungnya lembut. "Kalian harus selamat. Ibu menyayangi kalian."
"Tidak! Aku tidak akan pergi kemana—eungh!" Sasuke jatuh pingsan saat Itachi memukul tengkuknya. Itachi memejamkan matanya sejenak, lalu dia berbalik dengan tubuh Sasuke yang berada di bahu kirinya.
"Berjanjilah," Fugaku dan Mikoto menatap Itachi yang berdiri membelakangi mereka dan Itachi hanya melirik orangtuanya dari balik bahunya, "berjanjilah. Kalian akan tetap hidup." Dan dengan kecepatan kilat Itachi berlari menuju pintu, tetapi sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Entah bagaimana awalnya, iblis Otsutsuki sudah berada di depan Itachi. Masih melayang dengan tangan kanannya yang berkuku tajam menyentuh kepala Sasuke yang tidak sadarkan diri. Tunggu, apa yang akan dilakukannya pada Sasuke?
"Apa yang kaulakukan, Iblis?! Menjauh darinya!" Fugaku berteriak sambil berlari menuju iblis itu dengan pedang yang siap menebas mangsanya. Mikoto sendiri sudah menarik anak panah pada busurnya. Siap memanah iblis Otsutsuki.
"Diamlah, wahai anak Adam." Iblis Otsutsuki terlihat mengangkat tangan kanannya mengarahkannya pada Fugaku dan mendadak Fugaku terdorong jauh. Menabrak tubuh Mikoto. Tubuh mereka terdorong menabrak salah satu pilar raksasa di ruangan ini. Pilar itu retak dan runtuh menimpa Uchiha Fugaku dan Mikoto. Dadaku terasa sesak. Jadi, begini 'kah akhir hidup orangtua Sasuke? Ya, Tuhan. Tanpa sadar air mataku menetes.
Kulihat Itachi menatap kejadian di depannya dengan ekspresi kosong. Dia shock. Orangtuanya tewas dan semua itu karena ... iblis di depannya. Kemarahan merambati hatinya, Itachi mengambil katana miliknya, bersiap menebas iblis Otsutsuki, namun mendadak tubuh Itachi terpaku. Terdiam bagai patung ketika kepalanya disentuh oleh telapak tangan iblis Otsutsuki. Kini kedua tangan iblis itu sedang memegang kepala Uchiha bersaudara. Ya, Tuhan. Kututup kedua mataku. Aku tahu ini bukan masa di mana aku hidup, tapi aku mohon, aku mohon, aku mohon … selamatkan mereka.
"Wahai anak Hawa," suara itu kembali bergema. Aku tetap menutup mataku. Berdoa atas keselamatan Sasuke dan kakaknya. Tapi, tunggu. Anak hawa? "Kau yang duduk di sana!"
DEG!
Tubuhku meremang kaku. Iblis itu sedang berbicara padaku? Perlahan aku membuka kedua kelopak mataku dan bisa kurasakan paru-paruku terasa kosong. Sesak. Di mana udara? Iblis itu sedang menatap ke arahku. Kedua tangannya masih mencengkeram kepala Itachi dan Sasuke.
Bagaimana bisa? Kugelengkan kepalaku tidak percaya. Air mataku semakin mengalir deras. Aku takut. Bagaimana bisa iblis itu bisa melihatku? Ya, Tuhan. Aku mohon lindungi kami.
Kulihat iblis itu menyeringai lebar hingga gigi taringnya terlihat jelas. "Atas kesalahan Uchiha Madara. Anak Adam yang telah melanggar janjinya, aku mengutuk salah satu di antara kalian menjadi makhluk abadi yang terkutuk. Terkurung di menara dengan darah sebagai pendampingnya. Tanpa jati dirinya. Hidup tapi mati. Itulah kehidupan yang akan kau jalani. Sampai saat seseorang yang rela mati untukmu datang, saat itulah kutukanmu terlepas. Berakhir." Kulihat iblis itu menggerakan kedua tangannya dan mataku terbelalak lebar ketika cahaya merah keluar dari tangan kirinya. Dan cahaya merah itu melingkupi tubuh Sasuke. Bukan Itachi! Iblis itu menyeringai sinis. "Uchiha Sasuke, kau adalah anak Adam yang beruntung mendapat kutukan dariku. Dan kau," dia menatapku tajam. "Wahai anak Hawa. Hatake Sakura, kau telah menjadi saksi tunggal dalam kutukanku ini. Bersiaplah dengan takdirmu."
"TIDAK!"
Hening. Ke mana semua orang? Kenapa begitu gelap? Apa yang terjadi? Tousan ... Suke … tolong aku. Napasku terasa sangat sesak. Menyakitkan. Berkali-kali aku mencoba menggerakkan tubuhku, namun tubuhku bergeming. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Seperti ada tali tak kasat mata yang membelenggu tubuhku. Bahkan aku tidak bisa membuka mataku.
Ya, Tuhan. Apakah aku sudah mati? Benarkah? Jika iya, aku mohon izinkan aku bertemu dengan Tousan sekali lagi. Aku ingin mengatakan bahwa betapa sayangnya aku padanya. Aku bangga menjadi putrinya dan bahagia telah menjadi bagian dari hidupnya. Aku ... menyayangimu, Tousan. Maafkan aku. Dan … Suke, bisa kurasakan kedua mataku yang tertutup basah. Aku menangis. Meraung. Meratapi takdir. Kenapa, kenapa, kenapa, ya Tuhan? Kenapa Engkau membiarkan aku bertemu makhluk terkutuk seperti Sasuke? Kenapa Engkau membiarkan aku jatuh cinta padanya? Aku …
"Sakura?" seseorang memanggilku. Itu suara … Suke? Tidak, maksudku itu suara Sasuke? Di mana? "Sakura, sadarlah Sayang." Dan detik berikutnya dapat kurasakan sesuatu yang kenyal dan hangat melingkupi bibirku. Mengecup dan menyesapnya begitu lembut. Aku tahu, ini ciuman yang selalu Sasuke berikan padaku.
"S–Sasuke," perlahan kubuka kedua mataku dengan susah payah dan angin berhembus menerpa diriku yang sedang berbaring. Aku mendapati diriku berada di tengah padang rerumputan hijau. Dress putih bersih menempel di tubuhku. Seketika itu pula aku terduduk. Mataku nyalang melihat sekeliling. Tidak ada siapa pun di sini. Tidak ada Sasuke. Di mana ini? Di mana Sasuke? Tadi aku mendengar suaranya 'kan?
DEG!
Tubuhku menegang ketika mendadak sesuatu yang dingin menjilat leher kananku dan aku menjerit ketika sesuatu menancap di sana. Menyesap darahku begitu kuat dan diriku hampir roboh jika saja sepasang lengan kekar tidak memeluk bahuku dari belakang. Aku merasa sangat lemas. "Mencariku, hn?" bisik seseorang di telingaku.
Dengan setengah sadar aku menoleh. "S-Sasuke?" lirihku sambil menatap pemuda yang sedang merengkuhku di dalam pelukan hangatnya. Itu Sasuke. Dengan pakaian serba hitam yang menempel pada tubuhnya. Dan sisa darahku di ujung bibirnya.
Sasuke menatapku lembut. "Akhirnya kau menemukan apa yang kuinginkan," katanya lembut sambil tersenyum tipis. Senyuman pertama Sasuke. "Dan kau sudah melihat semuanya. Apa yang terjadi pada keluargaku. Kini, semuanya sudah berakhir. Berkatmu."
"Sasuke," aku segera berbalik menghadapnya. Menatapnya dengan pandangan merabun. "Apakah, apakah itu artinya ini semua sudah berakhir?" kugigit bibir bawahku kuat-kuat. "Maksudku, termasuk kita? Kau dan aku?" tangisku mulai pecah. Hatiku berdenyut pedih. Sangat sesak. Apakah aku tidak bisa bertemu Sasuke lagi setelah ini? "Aku mencintaimu." gumamku miris.
Sasuke hanya tersenyum, lalu dia mengangkat tangan kanannya dan mataku terbelalak ketika jari telunjuk dan jari tengahnya menyentil dahiku. Aku menatap Sasuke bingung. "S-Sasuke?"
"Terima kasih. Aku akan menemuimu lagi." Suara Sasuke terdengar samar dan aku melihat cahaya terang yang sangat menyilaukan. Menerangi pandanganku. Dan Sasuke menghilang dari jarak pandangku. Tidak, Sasuke jangan pergi! Sasuke … Sasuke … Sasuke!
…
[Normal]
"Sasuke ...,"
Di ruangan putih berbau khas obat-obatan Hatake Sakura terbaring dengan mata terpejam dan infus yang melekat di tangannya. Dalam tidurnya Sakura terus memanggil nama Sasuke dan tentu membuat Kakashi yang sedang tertidur di sofa langsung terjaga. Pria itu segera menghampiri Sakura yang tergeletak lemah di atas ranjang kamar pasien.
"Sayang, kau sudah sadar?" Kakashi mengusap rambut merah muda putri kesayangannya dengan begitu lembut.
Perlahan Sakura membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat di depannya adalah, cahaya lampu, dinding bercat putih dan aroma khas obat menyeruak menyambut kesadarannya. Sakura beranjak duduk. Menatap ayahnya dalam. "Tousan?" Sakura mengerutkan keningnya bingung. Matanya terlihat merah. "Kenapa aku bisa di sini?" dia bertanya dengan suara serak.
"Kupikir kau akan terus menutup matamu, Nak." Kakashi menatap putrinya muram. "Kau ditemukan pingsan di atap sekolahmu dan kau sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari." Kakashi segera memeluk tubuh Sakura erat. "Apa kau tahu? Tousan begitu takut kau akan meninggalkan Tousan seperti ibumu," suara ayahnya bergetar.
"Maafkan aku, Tousan." Sakura hanya tersenyum lemah dan balas memeluk ayahnya. "Tapi, bagaimana aku bisa pingsan?" tanya Sakura. Setahuku, saat itu aku sedang bercinta dengan Sasuke di menara. Jadi, kenapa aku bisa berada di atap? Lanjut Sakura dalam hati. Ah, tentu saja. Sasuke selalu bisa melakukan apa pun. Seharusnya aku tidak merasa aneh 'kan? Pikirnya lagi.
Kakashi melepaskan pelukannya, meraih gelas air putih dan memberikannya pada Sakura. "Kata dokter kau kelelahan. Besok sudah boleh pulang." Kakashi kembali mengambil gelas yang telah kosong dari tangan Sakura, kemudian dia membaringkan Sakura di ranjangnya. "Ini masih malam, tidurlah." Kakashi mengecup kening putrinya sebelum melangkah menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana.
Sakura masih terjaga. Dia menatap langit-langit kamar pasien dengan tatapan muram. "Sasuke-kun," dia bergumam lirih. "Begini 'kah akhirnya?" Dan dengan itu Sakura mulai menuju alam mimpi dengan setetes air mata yang jatuh di kedua ujung matanya.
…
Tiga minggu berlalu. Pagi itu, Sakura menghentikan langkahnya di depan lahan kosong. Lahan yang tiga minggu lalu masih terdapat sebuah menara tinggi peninggalan kerajaan Uchiha. Kini menara itu benar-benar telah hancur. Tidak menyisakan apa pun. Hanya tanah lapang. Tidak ada Mansion. Tidak ada menara. Dan tidak ada Sasuke.
Sakura masih berdiri di sana. Menatap muram lahan di depannya. Sudah tiga minggu terakhir berdiri di depan lahan kosong ini sudah menjadi rutinitasnya. Mengenang masa-masa saat Sasuke masih ada. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah dia akan berdiri di sana dengan rasa pedih yang terasa meremas jantungnya hingga berdarah. Tidak semua orang tahu jika Hatake Sakura saat ini sedang terluka begitu parah. Hatinya. Rasa sakitnya bersumber pada hatinya yang terluka.
Sasuke hilang. Fakta yang tidak begitu mengejutkan, tetapi sukses membuat rasa sakit itu kian merambati jiwa dan raganya. Sasuke pergi membawa semua yang Sakura miliki. Pikirannya, jiwa, raga dan hatinya. Pria itu pergi tanpa menyisakan apa pun, kecuali luka dan penderitaan. Pria itu begitu kejam. Membiarkan wanitanya terluka sendirian.
Setetes air mata jatuh membasahi pipi ranumnya. Sedikit terisak, Sakura mengambil sebuah sapu tangan biru donker dari saku seragamnya dan mengelap air mata itu. Dia merindukannya. Merindukan prianya. Merindukan Uchiha Sasuke. Setiap detik rasa rindu menyerangnya, detik itu pula rasa sakit melumat habis mentalnya. Dia rapuh tanpa Sasuke. Sudah terlalu jauh makhluk kutukan itu masuk dalam hidupnya. Kini, ketika pria itu tidak ada Sakura dapat merasakan setengah dari nyawanya ikut hilang.
Apa yang harus dia lakukan? Dirinya begitu merindukan Sasuke, sampai terasa begitu menyakitkan. Sampai kapan dia akan terus bersandiwara di depan dunia bahwa dia baik-baik saja saat Sasuke tidak ada? Sampai kapan dia bertahan?
Semakin lama isak tangisnya semakin terdengar nyaring. Sakura tidak tahu mengapa dirinya berubah menjadi melankolis seperti saat ini. Dia tidak tahu dan tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya hatinya yang terluka tanpa kehadiran Sasuke. Itulah yang menjadi alasan air matanya jatuh semakin deras.
Semuanya sudah berakhir. Hidupnya kini sudah tenang dan damai, tapi di balik itu semua Sakura bisa merasakan hatinya terasa kosong. Hidupnya terasa hambar dan sia-sia. Dia ingin Sasuke. Ingin prianya kembali. Apakah bisa? Di tengah kemuraman hatinya, Sakura menyadari keanehan dalam hidupnya setelah Sasuke musnah.
Pertama, hilangnya Akasuna Sasori, guru matematikanya. Bersamaan dengan hancurnya menara itu, Sasori ikut menghilang bagai ditelan bumi. Sakura sudah bertanya pada Ino dan wali kelasnya—Kurenai Yuuhi, mengenai Sasori. Dan sesuatu mengejutkannya. Saat Sakura menanyakan hal itu, Ino dan Kurenai menatap Sakura aneh. Lalu mereka bilang tidak pernah ada guru magang bernama Akasuna Sasori di sekolah mereka.
Kedua, satu hal lagi fakta mengejutkan. Di sapu tangan milik Sasori, terdapat sebuah nama yang membuat Sakura menatapnya tidak percaya. Di salah satu ujung sapu tangan biru dongker tercetak apik sebuah nama Uchiha Sasuke. Sebenarnya siapa Akasuna Sasori? Apa hubungannya dengan Uchiha Sasuke?
Dan yang terakhir, satu minggu setelah kehancuran menara itu, Sakura dikejutkan dengan toko buku milik Jiraya yang hilang. Sakura mengingat dengan sangat jelas jika toko buku milik Jiraya berada tepat di depan yayasan panti jompo Koharu House, tapi apa yang dia dapat saat dia ke sana? Pemakaman umum.
Astaga, Sakura bahkan hampir pingsan kala itu. Saat itu Sakura dengan panik berlari pulang dan segera menghampiri ayahnya. Dia menanyakan Jiraya pada ayahnya, mengingat Kakashi sudah berteman cukup lama dengan Jiraya. Dan satu hal lagi yang mengejutkan Sakura, Kakashi tidak mengenal Jiraya. Semua kejadian-kejadian aneh itu terus menghantui Sakura. Dia bahkan sempat depresi beberapa hari karena hal itu.
Satu pertanyaan yang memenuhi kepalanya., apa hubungan antara Jiraya, Sasori dan Sasuke?
…
[Sakura]
Hentakan pinggulnya semakin cepat. Kenikmatan itu semakin menggila, menyebar ke seluruh tubuhku membuatku merinding. Mulutku sedari tadi tidak berhenti meracau. Uchiha Sasuke, kau membuatku gila.
Aku menarik tubuhnya mendekat, di sela-sela hentakan tubuh kami yang semakin tak terkendali. Bibirnya menciumi leherku sesekali menjilatinya. Aku bisa mendengar dengusan napasnya di telingaku. Semakin lama semakin keras. Itu semakin membuatku terangsang.
Keserakahan menguasai tubuhku. Aku menginginkan lebih dan lebih lagi. "Cepat, ah, ah … S-Sasuke–kunhh, ahhh lebih cepat ngghh—!"
Dia hanya diam, tapi gerakannya semakin cepat. Aku bisa merasakan kejantanannya menghentak kasar dalam kewanitaanku. Aku berteriak histeris ketika kenikmatan itu memuncak. Memberikan gelombang orgasme yang dahsyat. Tapi priaku tidak berhenti sama sekali. Malah semakin mempercepat permainannya. Hujamannya semakin beringas. Membuatku merasakan ngilu dan nikmat dalam waktu yang bersamaan.
Hentakannya semakin lama semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Tangannya meremas payudaraku kasar. Dipelintirnya nippleku. Wajahnya memerah bahkan sampai ke telinganya. Tubuhnya menegang. Aku tahu priaku akan segera sampai puncak. Maka tanpa perhitungan, aku ikut menggoyangkan pinggulku berlawanan arah dengannya. Dengan cepat dan begitu dalam dan kami mencapai puncak bersama.
Tubuh Sasuke ambruk di atasku. Selama beberapa detik kami terus berpelukan, tidak lama setelah itu Sasuke mengangkat wajahnya. Menatapku dalam, kemudian dia menciumku dengan begitu lembut. Aku menerimanya. Membiarkan Sasuke melahap bibirku sesukanya.
Lima menit berlalu dan Sasuke beranjak dari tubuhku. Duduk bersimpuh di atas ranjang, dia menarik selimut yang menutupi tubuh telanjangku. Sontak saja wajahku langsung memerah. Aku malu, tapi Sasuke bergeming. Dia menatap ke arah perutku dengan sebuah senyum tipis di bibirnya. Dia lalu menunduk dan mengecup perut datarku lembut.
"Tumbuhlah dengan baik, Anakku." Kata Sasuke lembut.
Tunggu, anak?!
Kriing! Kriing! Kriiiiingggg!
Seketika itu pula mataku terbuka lebar. Napasku menderu tidak beraturan. Aku segera beranjak duduk dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhku. Sialan, mimpi itu lagi. Dan kusentuh kewanitaanku yang hanya tertutupi celana dalamku. Oh, bagus sekali. Basah.
Kulirik jam weker yang telah menunjukkan pukul enam pagi. Menghela napas berat, aku mulai beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi.
Kutatap pantulan tubuhku di cermin dan untuk kesekian kalinya dalam dua minggu terakhir ini aku dibuat bingung dengan tanda-tanda merah yang menghiasi seluruh tubuhku. Belum lagi mimpi erotis yang selalu hadir dalam tidurku. Apakah semua ini adalah refleksi atas rasa rinduku pada Sasuke? Entahlah. Aku bahkan merasa percintaanku terasa begitu nyata, sampai-sampai kewanitaanku terasa perih di setiap pagi hari ketika aku bangun tidur.
Aku menatap muram pantulan diriku di cermin. "Sasuke-kun, aku merindukanmu."
Satu jam kemudian aku telah duduk manis di ruang makan bersama tousan yang sedikit bersikap aneh. Tousan terlihat mencuri pandang padaku beberapa kali di sela menyantap sarapannya. Baiklah, cukup. Ini membuatku tidak nyaman.
Kuletakkan sendok milikku di piring yang masih terdapat nasi goreng di atasnya. Kutatap tousan dengan begitu tajam. "Berhentilah bersikap mencurigakan," desisku pelan. Kulihat tousan hanya menggaruk pipinya yang aku yakini tidak gatal sama sekali. "Katakan, ada apa?"
Tousan berdehem, lalu dia menatapku serius. "Baiklah, begini. Kau tahu orang yang telah membebaskan Tousan dari penjara?"
Aku menggeleng pelan. Aku tidak tahu siapa orang baik itu, yang aku tahu semua itu terjadi berkat Sasuke. "Tidak," jawabku kemudian. "Ada apa? Katakan intinya saja." Kataku malas. Aku tahu ada yang diinginkan tousan dariku.
"Sakura," tousan mulai menatapku serius. "Sebelumnya maafkan Tousan yang tidak memberitahukan ini padamu, tapi ini," dia menyodorkan kotak kecil berisi sebuah cincin cantik di dalamnya padaku. "Orang itu ingin mempersunting dirimu untuk menjadi istrinya setelah kau lulus sekolah beberapa bulan lagi. Tousan yang merasa memiliki hutang budi padanya setuju atas usulnya. Maafkan Tousan yang telah memberikannya restu untuk menikahimu." Penjelasan tousan membuat tubuhku terpaku. Menatapnya tidak percaya.
"Tousan … kenapa?" kecewa? Ya, aku kecewa. Bagaimana bisa tousan melakukan ini padaku?
"Tapi," tousan menatapku muram, lalu dia tersenyum masam dan menutup kotak kecil itu. "Kau boleh menolaknya. Tousan tidak akan memaksamu."
Aku masih terpaku menatap kotak cincin tertutup di depanku ketika tousan menyuruhku menghabiskan sarapanku. Aku tahu tousan merasa bersalah dan saat ini tousan pasti sedang dalam posisi sulit. Aku menyayanginya, aku tidak ingin tousan mendapat masalah. Maka ketika tousan beranjak berdiri dan hendak mengambil kotak cincin itu, aku menahannya.
Aku mendongak. Menatap tousan serius. "Tousan," maafkan aku, Sasuke-kun. Jika ini jalan Tuhan yang akan membuatku melupakanmu, aku akan menerimanya. "Aku bersedia. Aku bersedia menerima orang itu." Tousan tersenyum senang dan segera menarikku berdiri, kemudian memelukku erat.
Pada saat itu pula aku tahu, ini adalah keputusan paling tepat. Aku tidak akan menyesal. Dan … Sasuke-kun, terima kasih telah hadir dalam hidupku. Kau akan tetap menjadi bagian masa laluku yang begitu berarti. Aku mencintaimu, Sasuke-kun. Dan entah sejak kapan air mataku menetes dalam pelukan tousan.
Jadi, begini 'kah akhirnya?
To be continue
A/N : H-hai minna … #NgumpetdipunggungAbahMadara. Hehe, fiks. HOLLAAAAAAAA! Akhirnya setelah sekian lama Sasa bisa nulis lagi :') Well, readers-san gimana kabar kalian? Masih setia nunggu fic ini kah? Maaf ya atas ketidakmunculan Sasa beberapa bulan belakangan ini. Sasa lagi kena WB, jadi ngga bisa aktif di ffn lagi. Tapi tenang, insya Allah mulai sekarang Sasa akan aktif lagi kok :D Mohon dukungannya yaaa?
Oh iya, Sasa ga nyangka chapter kemarin fic ini mampu nembus 100+ reviewers! Ya, ampun. Sasa ngga nyangka :') Pengen nangis jadinya. Mohon maaf Sasa belum bisa respon review kalian. Dan bagaimana dengan chapter ini? Jangan lupa tinggalin jejak, oke? Kalau chapter ini reviewers nya mampu melewati reviewers chapter kemarin, Sasa bakal apdet cepet deh :D Oke, selamat menikmati.
Salam hangat,
UchiHaruno Misaki.
[PS: Sorry kalo banyak typo. Maklum, Sasa ga meriksa soalnya. Ga ada waktu xD]