"NARUTO MILIK MASASHI KISHIMOTO. TIDAK ADA KEUNTUNGAN MATERIAL YANG SAYA DAPATKAN DARI MEMBUAT FANFIC INI"

.

.

.

"Chapter 1"

.

.

Hinata menatap pantulannya di cermin dengan pandangan sendu. Sudah sejak lama perasaan bersalah memenuhi hatinya. Bahkan tanpa sadar tangannya berhenti menyisir rambutnya yang panjang. Lagi-lagi ia melamun.

Tiba-tiba saja ada sepasang tangan yang melingkari pinggangnya dan membuat Hinata tersentak. Mata abu-abunya bertemu dengan mata si pemilik kedua tangan. Mata hitam itu menatap Hinata lekat melalui pantulan kaca.

"Kau murung lagi, Hinata," ucapnya.

Hinata membalas tatapan mata itu, "A-aku benar-benar merasa bersalah padamu, Sasuke."

Sasuke mengerutkan dahinya, lagi-lagi percakapan seperti ini. Dia benar-benar tidak suka saat istrinya ini mengungkit-ngungkit masalah ini lagi. Haruskah ia mengulanginya lagi bahwa ia mencintainya istrinya ini apa adanya.

Dengan sedikit hentakan, Sasuke membalik tubuh Hinata hingga mereka bisa saling menatap. "Kau tidak perlu menyalahkan dirimu terus. Aku mencintaimu apa adanya, Hinata. Kau harus ingat itu!"

Hinata masih belum bisa menghilangkan kerisauan di wajahnya. "Tapi kau memerlukan keturunan, Sasuke. Dan a-aku tidak bi..." ucapan Hinata terhenti karena isak tangis keluar dari mulutnya.

"Siapa bilang kau tidak bisa memberikannya?! Kau bisa, Hinata! Kau tidak mandul!" bentak Sasuke.

"A-aku memang ti-tidak mandul, tapi rahimku lemah. Lalu apa bedanya? Aku ini benar-benar istri yang tidak berguna, Sasuke..."

Melihat air mata lagi-lagi mengalir di wajah istrinya, Sasuke segera membawa sang istri ke dalam pelukannya. "Kau selalu seperti ini setiap kita pulang dari rumah ayah."

"A-ayah menginginkan keturunan, Sasuke. Dia ingin Uchiha memiliki penerus... Dan ini semua salahku... Aku tidak becus menjadi is-istri..."

Setiap Hinata bersedih, Sasuke hanya bisa memeluknya sambil menepuk-nepuk pelan punggung Hinata. "Kita hanya harus berusaha, Hinata. Dokter bilang kau bisa hamil."

Secara perlahan getaran tubuh Hinata menghilang. Wajahnya yang masih berisi sisa-sisa air mata mendongak menatap wajah Sasuke. "A-aku akan berusaha, Sasuke."

Sasuke menaikkan sedikit ujung bibirnya saat melihat kesedihan Hinata sudah mulai menghilang. Kedua tangannya merangkum wajah putih Hinata. "Malam ini kau bisa? Kau tidak merasa pusing, kan?"

Hinata menggeleng, "Aku baik-baik saja, Sasuke."

Sasuke tersenyum kecil dan mencium pelan bibir Hinata. Kemudian mengangkat tubuh Hinata ke atas tempat tidur. Setelah membuat posisi Hinata nyaman, Sasuke kemudian menempatkan dirinya di atas tubuh Hinata setelah melepas baju yang ia kenakan. Tubuhnya ia topang dengan kedua tangan yang menumpu di kedua sisi wajah Hinata.

Mereka sudah menikah hampir sepuluh tahun, tapi wajah Hinata tetap memerah saat-saat mereka akan bersatu seperti sekarang ini. Dengan perlahan, Sasuke mendekatkan wajahnya ke wajah Hinata. Mencium wajah istrinya dari dahi, mata, pipi hingga berakhir di mulut.

Mulut Sasuke yang memang sudah ahli mulai mengecap bibir Hinata yang dipoles lipgloss rasa anggur.

"Hhh..." lenguh Hinata saat lidah Sasuke menyeruak ke dalam mulutnya. Daging tanpa tulang itu mengabsen satu per satu gigi Hinata dan bergulat pelan dengan lidah Hinata.

Saat melihat tangan Hinata mendorong pelan dadanya, Sasuke segera melepas pagutannya dan memberikan Hinata waktu untuk menarik napas. Sasuke benar-benar tahu kalau tubuh Hinata lemah karena itu ia sangat berhati-hati setiap melakukan hubungan intim.

Kembali Sasuke meraup bibir Hinata dan mengecapnya sedikit lebih ganas karena tubuhnya sudah mulai memanas. Salah satu tangan Sasuke mulai bekerja dengan melepas satu per satu kancing baju Hinata hingga terlihat dua gundukan besar milik Hinata yang memang tidak mengenakan bra.

Sadar Hinata membutuhkan oksigen, Sasuke melepas bibir Hinata dan menurunkan wilayah jajahannya. Bibirnya perlahan mengecup setiap bagian di leher Hinata.

"Ahh..." desah Hinata saat bibir Sasuke meninggalkan sebuah kissmark di lehernya.

Tidak menghiraukan desahan Hinata, Sasuke kemudian menjilat puting Hinata yang sudah mulai mengeras. Sambil mengemut dada Hinata layaknya seorang bayi, tangan kanan Sasuke juga memijat pelan dada kiri Hinata.

"Sa-sasuke... Ahhnn..." desah Hinata pelan. Hinata benar-benar menyukai kegiatan petting. Karena itu dia bisa mendesah dan melenguh keras-keras.

Sasuke mulai menurunkan celana tidur dan celana dalam Hinata. Di depannya kini tersaji vagina Hinata yang ditumbuhi sedikit bulu halus. Inilah tempat yang sudah sering Sasuke masuki dan Sasuke sangat suka saat melihatnya berkedut-kedut seperti sekarang.

Dengan ahli, Sasuke menjilat vagina Hinata dan membuat si empunya menggelinjang geli.

"Hahh..." kedua kaki Hinata menendang-nendang udara saat Sasuke memasukkan lidahnya ke liang Hinata.

Merasa celananya mulai sesak, Sasuke meninggalkan Hinata sejenak. Selain agar istrinya itu bisa meraup udara sebanyak-banyak, Sasuke juga harus melepas celananya agar penisnya bisa berdiri dengan bebas.

Saat menaiki tempat tidur dan memosisikan di atas Hinata kembali. Mata hitam Sasuke melihat keadaan Hinata yang sudah sangat kelelahan. Sasuke memang sudah mengenal Hinata sejak mereka masih SD. Dan ia tahu kalau tubuh Hinata sangat lemah. Sekarang saja, istrinya itu sudah terlihat akan pingsan. Bahkan tak jarang, Hinata pingsan saat Sasuke masih melakukan sesi petting.

Karena itu saat melihat Hinata kelelahan seperti ini, Sasuke sebenarnya ingin menghentikan kegiatan mereka tapi ia tahu itu hanya akan membuat Hinata semakin sedih. Karena itulah, ia akan segera ke kegiatan puncaknya saja dan menyudahi sesi petting mereka yang terpotong.

Dikecupnya pelan bibir Hinata sehingga kedua mata Hinata yang tadi terpejam kembali terbuka. Bibirnya tersenyum tipis.

"Aku akan memasukimu, Hinata," ucap Sasuke pelan.

Hinata hanya bisa mengangguk lemah.

Dengan perlahan-lahan, Sasuke memasukkan penisnya ke lubang Hinata. Dia benar-benar tidak ingin membuat Hinata kesakitan.

"Grr... Akh!" tubuh Hinata sedikit tersentak saat penis Sasuke masuk ke dalam tubuhnya.

Sasuke mengusap pelan peluh yang membanjiri wajah Hinata dan mulai memaju mundurkan tubuhnya dengan perlahan. Sebenarnya setiap mereka berhubungan intim, Sasuke tidak berani memasukkan seluruh penisnya ke dalam tubuh sang istri. Karena Hinata sudah merasa kesakitan saat setengah penis Sasuke memasukinya.

"Akh! Akh! Akh!"

Sasuke memaju mundurkan tubuhnya dengan hati-hati sambil memperhatikan raut wajah Hinata. Jika Hinata merasa kesakitan, ia akan menghentikan kegiatan ini. Keluarganya memang memerlukan keturunan tapi dia tidak ingin menyakiti Hinata.

"Sa-sasuke..." panggil Hinata terbata-bata. Matanya terlihat sangat sendu saat menatap Sasuke. "Aku mencintaimu..."

Sasuke tersenyum kecil dan kembali melumat mulut Hinata. Tangannya juga meremas salah satu dada Hinata.

"A-aku keluar ahh..." Hinata sudah merasakan orgasmenya. Dan sebentar lagi, Sasuke juga akan menyusul.

"Akh!" Sasuke berusaha meredam desahannya dengan menenggelamkan kepalanya di belahan leher Hinata.

Sperma Sasuke menyembur ke dalam tubuh Hinata dan Hinata hanya bisa melenguh saat merasakan sperma Sasuke memenuhi rahimnya.

Dikecupnya pelan dahi Hinata oleh Sasuke, "Nah, sekarang kau istirahat, Hinata."

Dengan sangat berhati-hati, Sasuke memisahkan tubuh mereka kemudian memosisikan tubuhnya di samping tubuh Hinata.

Hinata yang masih berusaha memenangkan napasnya membuka kembali matanya yang sempat terpejam. Kepalanya benar-benar terasa pening. Di saat seperti ini, Hinata benar-benar merasa lemah dan tidak berguna. Bagaimana ia bisa memberikan keturunan untuk Sasuke kalau baru segini saja tubuhnya sudah kelelahan.

Dengan perlahan, Hinata bangun dari posisi tidurnya, melihat Hinata terbangun, Sasuke juga mengangkat tubuhnya.

"Ada apa, Hinata? Tidurlah, tubuhmu gemetar," Sasuke berusaha membaringkan Hinata kembali. Tapi Hinata menepis tangan Sasuke.

"Aku ingin berusaha, Sasuke," satu isakkan keluar dari mulutnya. "Ka-kalau hanya seperti ini, aku tidak akan ha-hamil."

"Tapi kau sudah kelelahan, Hinata. Aku tidak ingin kau pingsan."

Hinata menatap Sasuke denga matanya yang berkaca-kaca, "Aku masih bi..." ucapan Hinata terpustus. Dan tubuh ringkih itu oleng ke depan. Dengan sigap, Sasuke segera menangkap tubuh istrinya itu dan membaringkannya perlahan. Lagi-lagi Hinata pingsan.

.

.

.

Hari ini, Sasuke sengaja libur dari pekerjaannya agar bisa mengantar Hinata ke rumah sakit. Tubuh istrinya masih saja lemah semenjak kemarin malam. Dan tepat seperti dugannya, Hinata kelelahan karena terlalu banyak berpikir.

"Kau ingin makan sesuatu?"

Hinata menggeleng lemah. Kepalanya masih sedikit pusing. Ia hanya menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil Sasuke sambil memperhatikan hujan yang turun di luar.

Sasuke pun kembali memfokuskan matanya ke jalanan agar mobilnya tidak tergelincir di jalanan yang licin karena air hujan seperti ini. Hari sudah sore dan terlihat sangat gelap karena pengaruh mendung. Kompleks perumahan yang mereka lewati terlihat seperti kota mati karena tidak ada aktivitas yang terlihat.

"Sasuke! Berhenti!"

Sasuke tersentak mendengar suara Hinata dan secara refleks menginjak rem. "Ada apa?"

Hinata menoleh ke arahnya dan memperlihatkan wajah yang sangat khawatir. "Aku melihat perempuan yang diganggu preman tadi sekilas. Tolong dia, Sasuke."

Selama seperkian detik, Sasuke terdiam saat menyadari wanita yang dinikahinya ini benar-benar manusia berhati malaikat. Barulah setelahnya, Sasuke menoleh ke belakang dan melihat ada seorang gadis yang diseret masuk ke dalam sebuah gang oleh tiga orang lelaki.

Sasuke segera menepikan mobilnya, "Kau diam di sini saja, Hinata. Aku tidak mau kau terluka."

Hinata mengangguk dengan patuh dan memperhatikan suaminya yang dengan berani turun dari mobil dan menerjang hujan deras di luar sana.

.

.

.

Sakura tahu kalau 'kemalangan' sudah mendarahdaging dalam hidupnya. Sejak kecil tinggal di panti asuhan. Dan setahun yang lalu, panti asuhan tempat ia tinggal terpaksa ditutup karena kurang donatur. Dan sekarang, ia hanya bisa tinggal di sebuah kamar kecil dengan harga murah yang ada di pinggiran kota. Untuk keperluannya sehari-hari, dia juga harus bekerja hingga malam yaitu bekerja sebagai waitress di sebuah restoran.

Dan berbicara soal kemalangan, hari ini Sakura lagi-lagi merasakan hal tersebut. Tiba-tiba saja, di perjalanannya berangkat kerja, ia dicegat oleh preman-preman.

Dari wajahnya yang kemerahan, Sakura tahu kalau orang-orang yang mencegatnya ini sedang mabuk, pasti karena itulah mereka rela berbasah-basahan terkena air hujan.

"Haii~ cewek~ mau main sama Paman?" tanya salah seorang di antara mereka sambil menarik tangan Sakura.

Sakura segera menghempaskan tangan preman tersebut. Sakura memang perempuan tapi ia juga bisa karate jadi jangan meremehkannya begitu saja. Baru saja preman itu ingin menariknya lagi, Sakura segera menendang wajah preman itu dengan gerakan memutar.

"Rasakan itu!" decaknya dengan seringai di wajahnya yang cantik.

Melihat salah seorang temannya terjatuh, dua preman yang lain sekarang mengerubungi Sakura. Sakura tetap tidak gentar, ia memasang kuda-kuda dan menatap waspada ke kedua lawannya.

Karena situasi tidak seimbang, Sakura melepaskan payung yang sejak tadi ia pegang dan melangkah dengan mantap ke salah seorang preman. Menarik kerah bajunya dan memukulkan lututnya ke wajah preman tersebut kemudian menendang ke bagian selangkangannya.

Mungkin karena preman-preman ini sedang mabuk, Sakura cukup mudah melawannya. Melihat ada preman yang mendekatinya dari belakang, Sakura segera menyikunya tepat di bagian ulu hatinya. Preman itu terlihat merintih dan Sakura segera berbalik guna menendang selangkangannya juga.

Saat akan melakukan serangannya, tiba-tiba saja ada yang menjerat pinggangnya. "Akh!" rintih Sakura.

Gadis berambut merah muda itu melirik ke belakang, rupanya si preman pertama telah bangun dan mengingatkan tali ke pinggangnya. Sial! Sakura tadi sempat lengah.

Melihat temannya berhasil menangkap mangsa, preman yang ada di depan Sakura juga ikut ambil bagian. Ia menarik kedua kaki Sakura sehingga gadis itu terpelanting ke tanah.

Preman yang selangkangannya sempat ditendang Sakura pun juga ikut membantu. Sakura benar-benar tidak bisa berkutik. Kedua tangannya sudah terikat dengan pinggangnya dan kedua kakinya di pegang oleh salah satu preman.

"Lepaskan!" teriak Sakura. "Kalian jahanam!"

"Tenanglah, Gadis Manis. Kami hanya ingin bersenang-senang," sahut salah seorang preman dan kemudian mereka tertawa.

Sesaat kemudian, Sakura merasa tubuhnya terangkat dan digiring ke suatu tempat.

"Diamlah kau di pojokkan!" teriak salah seorang preman kemudian melempar tubuhnya ke pojokan gang buntu.

Tubuh bagian belakang Sakura membentur tembok dengan sangat keras dan membuatnya kesakitan. Tubuhnya merosot perlahan. Bukan hanya harus menahan sakit, dia juga harus menahan dinginnya air hujan. Dan memikirkan bagaimana caranya ia keluar dari situasi menjijikkan ini.

"Lihat~ kau manis sekali kalau diam seperti ini," ucap salah satu preman yang kemudian mendekati Sakura.

Preman itu menangkap wajah Sakura dan memaksanya menatap wajahnya. Dengan paksa, preman itu kemudian mencium bibir Sakura. Sakura tidak tinggal diam, dia malah menggigit bibir preman tersebut.

"Cih! Sial! Berani-beraninya kau!" decak preman itu.

PLAK!

Tanpa segan, ia kemudian menampar wajah Sakura beberapa kali. "Gadis ini berulah, sepertinya kita harus menggunakan kekerasan! Teman-teman, ayo kita nikmati dia!"

Dan saat itu, Sakura sadar, ia baru saja membuat preman-preman itu marah. Dan benar saja, preman yang ada di depan Sakura, segera menarik paksa baju Sakura hingga sobek, tak ketinggalan juga bra yang ia kenakan.

"Hentikan!"

Teriakan Sakura tidak banyak membantu, preman-preman itu malah semakin ganas menciumi dan meraba-raba payudara Sakura. Mereka bahkan tidak segan-segan menggigitnya hingga membuat Sakura merintih. Dan entah sejak kapan, Sakura sudah menangis meratapi nasibnya yang malang ini.

Sakura hanya bisa menutup matanya, menolak melihat preman-preman ini menggerayangi tubuhnya. Ia benar-benar jijik dengan dirinya sendiri.

Sakura tersentak saat menyadari preman-preman itu menarik rok dan celana dalam yang ia kenakan.

"Tidak! Kumohon hentikan!"

"Kau pikir itu bisa menghentikan kami?!" balas salah satu preman yang sudah menyiapkan penisnya di depan vagina Sakura.

"TIDAKK!" Sakura menutup matanya karena ia tidak siap menyaksikan keperawannannya direnggut dengan cara seperti ini.

BUK! BUK! BUK!

Saat tidak merasakan lagi tangan-tangan yang menggerayangi tubuhnya. Sakura memberanikan diri untuk membuka matanya yang hijau.

Dia dapat melihat ada seseorang lelaki pemberani yang melawan preman-preman tersebut. Sesekali ia juga dapat mendengar kata-kata makian di udara yang sedikit teredam dengan suara hujan.

Sakura dapat merasakan tubuhnya menggigil dan kesadarannya mulai menipis. Perlahan tubuhnya yang terduduk itu merosot ke bawah, menyebabkan kepalanya membentur tanah.

"Hei, kau tidak apa-apa?"

Sekilas Sakura merasakan suara seseorang dan ia masih bisa merasakan tubuhnya ditutupi sesuatu kemudian terangkat pelan. Sakura berusaha membuka matanya demi melihat siapa orang yang sudah menolongnya. Mata hijaunya bertemu dengan sepasang mata hitam pekat.

Dalam kesadarannya yang mulai menipis, Sakura berpikir mungkin ia sudah mati karena kedinginan dan ia sedang ditolong oleh seorang malaikat.

.

.

.

Begitu berhasil mengalahkan preman-preman yang ia lihat tadi, Sasuke segera beralih ke gadis yang terpuruk di sudut gang. Dengan perlahan, Sasuke melepaskan ikatan yang membelit tubuh gadis tersebut.

"Hei, kau tidak apa-apa?"

Selama seperkian detik, Sasuke memperhatikan tubuh gadis tersebut. Benar-benar malang, tubuh gadis tersebut telanjang dengan beberapa lebam di wajahnya.

Sasuke melepas jaket yang ia kenakan, ia tahu ini tidak bisa membuat tubuh gadis itu hangat tapi paling tidak ini bisa menutupi tubuh gadis tersebut. Dengan perlahan, Sasuke mengangkatnya. Saat baru beberapa langkah berjalan, Sasuke dapat melihat gadis itu membuka matanya dan mata mereka bertemu. Tiba-tiba saja tubuhnya berdesir dan merasakan detak jantungnya bergerak aneh. Ada apa dengan dirinya? Sasuke menggelengkan kepalanya dan mempercepat langkahnya.

Di dekat mobil, ia dapat melihat Hinata berdiri di luar dengan payung di tangannya. Melihat Sasuke mendekat, Hinata segera membukakan pintu belakang mobil.

"Cepat, Sasuke."

Setelah Sasuke meletakkan gadis itu di dalam mobil, ia mengambil alih payung Hinata dan menyuruh wanita itu masuk ke dalam mobil, menemani gadis yang baru saja mereka tolong. "Sudah kubilang menunggu di dalam saja, aku tidak mau kau sakit, Hinata."

Hinata hanya tersenyum kecil mendengar ocehan suaminya dan segera menutup pintu. Sasuke akhirnya kembali ke kursi kemudi dan membawa mobilnya pergi dari sana.

Dalam perjalanan, sebenarnya pikiran Sasuke tidak terlalu fokus. Ada perasaan aneh yang melandanya saat ia melihat Hinata menyelimuti gadis berambut merah muda itu dengan jaket kering milik Hinata. Dan perasaan aneh itu semakin jelas terasa saat matanya tanpa sengaja melihat wajah gadis yang ia tolong melalu kaca spion depan.

Setelah berusaha keras memfokuskan diri, akhirnya mereka sampai di rumah mereka yang minimalis. Walaupun Sasuke merupakan satu-satunya pewaris Uchiha Corporation (setelah kakaknya meninggal karena kecelakaan), Sasuke lebih memilih tinggal di sebuah rumah minimalis bertingkat dua daripada tinggal di dalam rumah milik ayahnya yang sebesar istana presiden.

Begitu selesai memarkirkan mobilnya, Sasuke membantu Hinata mengeluarkan gadis itu dari mobil dan membawanya ke dalam kamar tamu. "Hinata, kau tolong gadis itu, aku akan mandi dulu."

Hinata tersenyum dan mengangguk dengan patuh. Sedangkan Sasuke sendiri segera masuk ke dalam kamar utama, melepas semua pakaiannya yang basah dan melemparnya ke keranjang cucian.

Begitu memasuki kamar mandi, ia segera menyalakan shower dan membasahi dirinya dengan guyuran air shower.

"Arrgghh! Sial!" geramnya tertahan saat lagi-lagi wajah gadis berambut merah muda itu terbayang di pikirannya.

Ia terbayang kembali ke kejadian beberapa menit lalu, saat ia mengangkat gadis itu ke dalam kamar tamu. Sasuke tak mau mengakui bahwa tubuh telanjang gadis itu membuatnya terangsang. Bahkan, saat berhubungan intim dengan Hinata, dia harus melakukan petting yang lama agar bisa terangsang.

"Arrgghh!"

Sasuke meninju tembok kamar mandinya yang berlapis keramik berwarna biru muda. Matanya menatap pantulan dirinya dalam cermin besar yang ada di kamar mandinya. Rambut turun ke bawah, tidak mencuat-cuat seperti biasanya. Dada bidang. Dan yang membuat Sasuke kesal adalah penisnya yang tegak berdiri, tanda bahwa ia sudah benar-benar terangsang oleh tubuh gadis tersebut.

"Cih!"

Lagi, Sasuke meninju tembok kamar mandi. Dirinya sudah memiliki istri. Bagaimana mungkin ia terangsang karena perempuan lain?! Apa ia mengalami pubertas kedua?

"Cih! Sial!"

.

.

.

Setelah selesai mengganti baju dan mengobati luka dari gadis yang baru saja ia tolong, Hinata segera pergi ke dapur dan membuat segelas teh hangat.

Setelah meletakkan teh hangat tersebut di atas nakas, Hinata kemudian duduk dan memperhatikan gadis yang ia tolong. Masih sangat muda dan begitu cantik.

Hinata terkesiap sedikit saat melihat gadis itu mulau tersadar dan secara perlahan membuka matanya yang ternyata beriris hijau. Rambut merah muda dan mata hijau, terlihat seperti bunga sakura di musim semi yang hijau.

"Kau sudah sadar? Ada yang sakit?" tanya Hinata dan membantu gadis itu bangun.

"Hah?" gadis itu menatap Hinata sebentar. "Aku di mana?"

Hinata tersenyum dan meraih kedua tangan gadis tersebut. "Kau ada di rumahku. Di sini, kau aman. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi. Suamiku yang menolongmu tadi."

Melihat ketulusan Hinata, gadis itu ikut tersenyum. "Terima kasih sudah menolongku."

"Minum dulu teh ini, semoga bisa membuatmu hangat."

Gadis itu menerimanya dengan sedikit canggung dan meminumnya beberapa teguk.

"Oh iya, namaku Uchiha Hinata. Namamu siapa?"

Gadis itu berhenti meminum tehnya dan membalas senyuman Hinata. "Sakura. Haruno Sakura."

"Wah, cocok sekali ya dengan penampilanmu. Bagaimana kalau kau menghubungi orang tuamu dulu agar mereka tidak khawatir," ucap Hinata sambil menyodorkan ponselnya.

Sakura menatap ponsel itu sejenak kemudian beralih menatap Hinata. Dia tersenyum sendu, "Tidak perlu. Aku tinggal sendiri."

"Hm?"

"Sejak kecil, aku tinggal di panti asuhan, jadi..."

Hinata segera menarik ponselnya. "Maaf, aku benar-benar tidak tahu," ada perasaan empati tergambar di wajah Hinata.

"Umurmu berapa?"

"Umurku 15 tahun. Aku masih kelas satu SMA," sahut Sakura ceria.

Hinata tertawa kecil saat mendengarnya, "Ya ampun, kita berbeda dua puluh tahun."

"Wah, benarkah?" balas Sakura ikut tertawa.

"Jadi, selama ini kau tinggal sendiri? Biaya hidupmu bagaimana?"

"Untuk sekolah, aku mendapat beasiswa. Untuk keperluan sehari-hari, aku bekerja di sebuah restoran. Sebenarnya tadi aku ingin berangkat bekerja," aku Sakura.

Hinata mendengar jawaban Sakura dengan perasaan takjub. Gadis itu masih sangat muda, tapi dia begitu tegar. Sedangkan dirinya selalu mengeluh dan menangis kepada suaminya.

Saat melihat Sakura meletakkan gelas tehnya di atas nakas, sebuah ide muncul di kepala Hinata. "Sakura, bagaimana kalau kau tinggal di sini saja?"

Karena terlalu kaget, Sakura sampai tidak bisa berkata-kata.

"Aku selalu kesepian di rumah kalau suamiku pergi bekerja. Kalau ada perempuan lain tinggal di sini, aku pasti senang. Kau juga tidak perlu mengkhawatirkan keperluan sehari-harimu lagi," ucap Hinata penuh harap.

Sakura menatapnya dengan pandangan menyelidik. Wanita di hadapannya ini terlalu baik. Jangan-jangan, wanita ini mempunyai maksud tertentu. Tapi, dia terlihat sangat tulus.

"Aku ini orang baik, Sakura. Aku benar-benar tulus. Percayalah."

Setelah memikirkan semuanya, sebenarnya Sakura tidak dirugikan jika menuruti keinginan Hinata, dia bahkan diuntungkan. Sakura menatap mata Hinata kemudian tersenyum, "Baiklah."

Mendengar jawaban Sakura, Hinata tersenyum lebar kemudian memeluk gadis berambut merah muda tersebut. "Senangnya."

"Terima kasih banyak. Hmm? Aku harus memanggil Anda siapa?"

Setelah melepas pelukannya, Hinata menjawab, "Panggil Kak Hinata saja, biar aku terlihat muda. Aku akan menganggapmu sebagai adikku."

"Baik, Kak Hinata," balas Sakura tersenyum.

Hinata kemudian berdiri, "Nah, sekarang kau istirahat, aku akan memberitahu suamiku dulu."

Setelah melihat Hinata pergi dan menutup pintu, Sakura membaringkan tubuhnya lagi. Dia mengingat kejadian yang baru saja ia alami. Dia tadi sempat berpikir sedang berada di neraka dan sekarang tiba-tiba saja dia diberikan kenyamanan seperti di surga.

Mungkin yang menyelematkannya dari kejadian menjijikan itu bukan manusia tapi malaikat sungguhan.

.

.

.

.

.

~To Be Continued~

A/N : Tolong reviewnya. Segala review dalam bentuk apapun diterima dengan senang hati :D sampai ketemu di chapter berikutnya.