Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it.

Pairing : SasuFemNaru

Rated : M+ (Mature Content!)

Genre : Romance, Drama

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)

Note : Dilarang menjiplak, menyalin, mengklaim dan mempublikasikan cerita-cerita milik saya di tempat lain tanpa seizin dan sepengetahuan saya. Yang bandel saya kutuk ngejomblo seumur hidup!

Enjoy! ^^

I'm Sorry, I Love You

Chapter 19 Part 1 : My Old Story

By : Fuyutsuki Hikari

.

.

.

You always make me feel like I'm the best and luckiest guy in the world. (Unknown)

.

.

.

Kushina menatap dingin sosok tamu yang bertandang ke rumahnya siang ini. Wanita paruh baya itu membuka pintu rumahnya lebar, masih dengan ekspresi dingin dan tanpa kata dia mempersilahkan Naruto dan Sasuke untuk masuk.

Naruto dan Sasuke saling melempar senyum kecil. Sasuke mengusap lembut pergelangan tangan tunangannya. Ia berbisik lirih, mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja. Naruto yang mendengar pernyataan itu pun balas mengangguk. Ia mengambil napas dalam sebelum mengeluarkannya perlahan.

Ya, semua akan baik-baik saja.

"Siapa yang datang?"

Kedua mata Naruto memanas saat indra pendengarannya mengenali pemilik suara yang melontarkan pertanyaan keras itu dari arah dapur. Naruto melirik sekilas ke arah dapur. Aroma lezat makanan menggoda indra penciumannya.

Dari arah dapur Minato berjalan dengan segelas jus jeruk di tangan. Pria itu hendak bicara saat kedua netranya bersirobok dengan pandangan putri bungsunya.

Minato menelan kembali kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya. Dia meletakkan jus jeruknya di atas sebuah nakas lalu berjalan tanpa ekspresi menuju ruang tamu. Dari ujung matanya dia bisa melihat kegugupan Naruto. Ada perasaan tidak tega saat ia melihat putri bungsunya itu, tapi perasaannya masih sangat sakit setiap kali teringat akan kebohongan Naruto.

"Apa yang membuat kalian datang ke rumah ini?"

Pertanyaan itu dilontarkan Minato dengan nada dan ekspresi dingin. Naruto sudah bisa menduganya, tapi tetap saja dadanya terasa sangat sesak saat mendapat sambutan dingin kedua orang tuanya.

Minato melempar tatapannya pada kaki Sasuke. "Bagaimana dengan luka tembakmu?"

Sasuke membungkuk samar sebelum menjawab, "Sudah jauh lebih baik."

Sebuah helaan lega meluncur dari mulut Kushina. Wanita itu baru saja kembali dari dapur dengan membawa dua cangkir kopi untuk Sasuke dan Naruto. Ia juga membawa beberapa toples kue kering yang segera disuguhkannya di atas meja.

"Kami datang untuk meminta restu," kata Sasuke tanpa berbasa-basi, sementara Naruto yang duduk di samping kanannya hanya menunduk, menekuri jemari tangannya yang saling bertaut di atas pangkuannya. "Kesalahan kami terlalu besar, hingga kami sadar jika kami tidak layak mendapat pengampunan dari Anda berdua," sambungnya masih dengan nada tenang yang sama.

Sasuke tersenyum getir. "Mohon izinkan saya untuk menjaga putri Anda—Naruto."

Sasuke menjeda. Dia berdeham pelan. Suaranya terdengar aneh, bahkan untuk indra pendengarannya sendiri. "Izinkan saya menjaganya hingga helaan napas terakhir!" sambungnya penuh permohonan.

Kyuubi yang mencuri dengan di balik tembok ruangan hanya bisa mengulum sebuah senyum tipis. Dia mendongakkan kepala, memohon dalam hati agar Tuhan melembutkan hati kedua orang tua angkatnya.

"Apa kau mencintainya, Naruto?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Minato itu mengejutkan Naruto. Putri bungsunya terlihat sangat terkejut karena Minato bersedia bicara padanya.

Naruto mengangguk samar dan menjawab, "Sangat."

Minato melepas napas panjang. Dia meremas pergelangan tangan istrinya lembut. Keduanya saling melempar tatapan, penuh pengertian. "Kami hanya orang tua biasa, yang bisa sangat terluka karena perilaku anak-anaknya," kata Minato setelah terdiam lama. "Kami manusia biasa yang bisa sakit hati. Kemarahan kami adalah bentuk kasih sayang kami padamu, Naruto."

Naruto menunduk, tidak menjawab. Air matanya jatuh.

"Kau dan kakakmu adalah putri yang selalu kami banggakan," sambung Minato dengan suara bergetar. "Bisakah kalian bayangkan bagaimana terlukanya kami saat tahu jika putri yang kami bangga-banggakan ternyata menikam dari belakang?"

Hening.

"Rasanya sangat sakit," terang Minato. Suaranya tercekat. Pria paruh baya itu mengangkat wajahnya untuk menahan laju air matanya yang hampir menjebol pertahanannya.

Ia kembali menjeda untuk mengambil napas. "Rasanya sangat sulit untuk memaafkan kalian berdua," tukasnya. Minato menatap Sasuke dan Naruto secara bergantian. "Tapi kami ingat satu hal; Tuhan selalu mengampuni dan memaafkan umatnya yang paling berdosa sekali pun jika umatnya benar-benar menyesali perbuatannya, karena itu kami akan berusaha untuk memaafkan kalian berdua. Mungkin akan memakan waktu, tapi kami akan berusaha."

Dalam keheningan Naruto mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ia tidak bisa membendung tangisannya saat Minato melebarkan kedua tangannya. Naruto bangkit dan berdiri. Ia menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang menyambutnya hangat.

Wanita itu menangis dalam pelukan sang ayah. Berkali-kali Naruto mengatakan 'maaf', dan dengan lembut Minato mengusap rambut pirang putrinya. Di sisi lain, Kushina pun tidak bisa membendung air matanya. Air matanya tumpah. Dia menatap Sasuke, menghampirinya dan memeluk pria itu erat.

Untuk beberapa saat Sasuke tertegun. Pelukan itu terasa sangat hangat. Pelukan seorang ibu yang nyaris ia lupa. Kehangatan menyelimuti Sasuke. Pria itu tersenyum dan berbisik lirih, mengucapkan terima kasih pada Kushina, sementara calon ibu mertuanya mengangguk pelan.

Perlahan Kushina melepas pelukannya. Dia mengelap air matanya dan berbisik lembut, "Selamat datang di keluarga Namikaze!"

Kushina dan Minato berdiri di depan jendela rumah. Dalam keheningan mereka memperhatikan interaksi putri mereka saat mengantar Sasuke masuk ke dalam mobilnya. Kushina menghela napas lembut. Dia memeluk tubuhnya sendiri lalu menyandarkan kepala pada dada suaminya yang masih sebidang dan sekokoh yang diingatnya.

"Aku sama sekali tidak menyangka kau akan luluh secepat ini," kata Kushina membuka pembicaraan. Di luar, Naruto berdiri. Putri kedua keluarga Namikaze itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sasuke dan Naruto berpelukan sebelum akhirnya setengah enggan Sasuke melepas pelukan itu dan masuk ke dalam mobilnya.

Minato tidak langsung menjawab. Pria itu tersenyum samar saat melihat putri bungsunya melambaikan tangan dengan semangat ke arah kendaraan Sasuke yang melaju meninggalkan perkarangan rumahnya. Ia mengecup mesra pucuk kepala istrinya lalu menyandarkan pipi kanannya di sana. Dipeluknya pinggang Kushina mesra dan ia pun berkata, "Jujur saja, pada awalnya aku tidak ingin memberi mereka kemudahan."

Kushina memalingkan muka, berusaha mencari kedua mata suaminya.

"Hatiku masih saja sakit setiap kali teringat kebohongan keduanya," sambung Minato tenang. "Namun saat aku melihat bagaimana Sasuke menatap putri kita, perlahan hatiku mulai luluh."

Minato tertawa renyah. "Tatapan itu mengingatkanku pada diriku sendiri."

"Apa maksudmu?" Kushina balik bertanya, tidak mengerti.

"Pandangan itu pandangan sama yang kuberikan saat aku menatapmu," jawab Minato membuat Kushina terkejut. Tawa renyah Minato menular dengan cepat.

"Bagaimana bisa kau melihat pandanganmu sendiri?" tanya Kushina sembari mencubit pelan pergelangan tangan kanan suaminya yang melingkar di perutnya.

Minato mengangkat bahu dan menjawab, "Pandanganku terhadapmu diabadikan dalam foto."

Kushina terkekeh. Dengan gerakan pelan dia berbalik dan menangkup wajah suaminya dengan kedua tangannya. Dikecupnya bibir Minato pelan.

"Oh... ayolah," protes Kyuubi dari arah dapur. Suaranya terdengar kesal. "Ayah, Ibu, bisakah kalian melakukannya di tempat yang lebih pribadi?" sambungnya.

Minato dan Kushina menoleh ke arah dapur. Keduanya tertawa renyah saat melihat putri sulungnya berdiri, melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi cemberut. "Ini rumah kami," ujar Minato mengingatkan. "Sebaiknya kau segera mencari pacar, Kyuu," sambungnya membuat Kyuubi memutar kedua bola matanya. "Bagaimana dengan Itachi?" tanya Minato.

"Jangan memulainya, Yah!" balas Kyuubi terdengar kesal. Wanita itu menghentakkan satu kakinya ke atas lantai. Sebuah kebiasaan yang selalu dilakukannya saat kesal.

"Kenapa dengan Itachi? Bukankah dia pria baik?" dukung Kushina. Pasangan Namikaze itu kembali tertawa renyah. Keduanya berjalan, mengekori Kyuubi menuju ruang makan. Agenda keduanya siang ini; mengganggu ketenangan Kyuubi.

Hari Senin datang dengan cepat. Namun tidak seperti biasanya, ada yang berbeda di hari Senin pagi ini. Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Sasuke menjadi saksi hidup kebahagiaan pria itu. Mereka sedikit terkejut karena Sasuke membalas salam hormat mereka dengan senyum ramah yang mampu melumerkan gunung es sekali pun.

Ya. Itu berlebihan, tapi tetap saja istimewa.

Kebahagiaan Sasuke terlihat sangat jelas walau dia harus merelakan kembali ke Tokyo seorang diri tanpa Naruto di sisinya. Kedua orang tua Naruto bersikeras agar putri bungsu mereka menetap bersama mereka hingga tanggal pernikahan keduanya ditetapkan.

Pria itu melangkah dengan senyum mengembang di wajah tampannya. Kebahagiaan itu bahkan menular dengan cepat pada Yamato. Sang supir terus bersenandung pelan selama perjalanan menuju kantor tempat Sasuke bekerja, dan ajaibnya Sasuke tidak mempermasalahkan hal itu.

"Tuan Itachi, Tuan Neji dan Tuan Shikamaru ada di dalam ruangan Anda," ujar seorang wanita yang berprofesi sebagai sekretaris Sasuke selama pria itu di Jepang. Wanita itu menelan kering, dia sudah siap untuk mendapat tatapan tajam dari bosnya tapi hal itu tidak terjadi.

"Ok," kata Sasuke singkat.

Wanita itu mengerjapkan mata. Terlihat tidak percaya. Dia berdiri mematung di belakang meja kerjanya, menatap punggung Sasuke hingga sosok pria itu menghilang, masuk ke dalam kantor pribadinya yang luas dan nyaman.

"Bagaimana? Apa mereka menerimamu? Kenapa kau tidak memberitahuku apa yang terjadi di sana? Kyuubi juga tidak mengatakna apa pun. Kenapa kalian begitu mengesalkan?"

Pertanyaan beruntun itu dilontarkan oleh Itachi. Putra sulung keluarga Uchiha itu menatap adiknya gemas.

"Jangan membuat kami cemas, Sas," timpal Shikamaru dengan ekspresi serius. "Aku benar-benar mengkhawatirkan kalian berdua," sambungnya saat Sasuke mendudukkan diri di sofa putih nyaman yang berada di sisi kanan ruang kerjanya.

Sasuke tidak langsung menjawab. Ia sengaja memasang ekspresi datar saat ini. Tatapannya menerawang jauh, menatap pemandangan Kota Tokyo di luar jendela kantornya yang berukuran besar.

Dengan rasa penasaran yang membuncah Neji menunggu. Pria itu semakin tidak sabar karena Sasuke terlihat enggan untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa Sasuke ditolak? Pemikiran itu segera ditepis oleh Neji. Dia ingin sahabatnya bahagia. "Jadi?" tanya Neji, tidak sabaran. Pria itu mengusap wajahnya kasar. "Aku sengaja datang pagi ini ke kantormu untuk tahu apa yang terjadi di rumah orang tua Naruto. Apa mereka menerimamu?"

Hening.

"Sasuke?!" bentak Itachi. Rasa penasarannya membuatnya tidak sabar. Itachi bahkan berpikir akan mengadakan sebuah pesta untuk menghibur Sasuke jika ternyata kedua orang tua Naruto menolaknya sebagai calon menantu.

"Begitulah," jawab Sasuke dengan seringai menyebalkan.

"Brengsek!" maki Itachi kesal. Dia mendengus kasar. Jantungnya nyaris berhenti berdetak saat melihat ekspresi Sasuke saat memasuki ruang kerjanya. "Kau membuatku ketakutan setengah mati, Sasuke!" bentaknya. Itachi berkacak pinggang.

Sasuke mengangkat bahu tak acuh. "Kalian datang dan masuk ke dalam ruang kerjaku tanpa permisi," katanya, "jadi wajar jika aku memberi kalian pelajaran, kan?"

"Tidak lucu, Sasuke. Apa yang kau lakukan sama sekali tidak lucu," desis Neji kesal sementara Shikamaru menggelengkan kepala pelan sebelum akhirnya memberi selamat kepada Sasuke.

Shikamaru menghela napas. Percuma mendebat Sasuke. Setidaknya dia membawa berita bagus pagi ini, jadi apa yang harus dikeluhkan?

"Jadi, kapan tanggal pernikahannya?"

Sasuke mengetuk-ngetukkan jarinya pada lengan sofa. "Belum diputuskan," katanya.

"Kenapa?" kening Itachi mengernyit mendengarnya. Sedikit kekhawatiran juga rasa penasaran melintas di kedua bola matanya. Dia tidak mengerti kenapa Sasuke belum memutuskan tanggal pernikahannya dengan Naruto jika kedua orang tua Naruto sudah merestui hubungan keduanya?

Sasuke tidak langsung menjawab. "Bukankah hal itu biasanya diputuskan oleh orang tua dari kedua belah pihak?" jawab Sasuke dengan suara tercekat membuat Itachi tertegun. Kesedihan dalam nada suaranya tidak luput dari indra pendengaran Itachi, Shikamaru dan Neji. Ketiganya terdiam untuk beberapa saat lalu memalingkan muka, seolah tidak mampu berhadapan dengan kesedihan Sasuke.

"Begitu...," jawab Itachi. Pria itu tercenung lama, menatap lantai ruang kerja Sasuke yang mendadak terlihat menarik di matanya. Hubungan Sasuke dan ayah mereka memang tidak seburuk dulu, tapi tetap saja tidak bisa dikatakan baik-baik saja. "Apa kau akan memberitahu ayah mengenai hal ini?" Anggukan Sasuke membuat beban berat di dalam hati Itachi seolah menguap. Pria itu tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit. "Ayah pasti senang mendengarnya," katanya bersemangat.

"Ya, kurasa begitu," jawab Sasuke setuju. Ia tersenyum tipis saat Shikamaru menepuk bahu kanannya pelan. Shikamaru bahkan mengangkat satu jempolnya tinggi pada Sasuke.

Sasuke tahu jika Shikamaru bangga karena Sasuke berusaha membuka lembaran baru untuk ayahnya. "Aku tidak bisa terus berada di masa lalu, Shika," sambung Sasuke. Tatapannya menerawang jauh. "Aku ingin memulai semuanya dari awal bersama Naruto."

Aku harus bisa memaafkan orang-orang yang membuatku terluka di masa lalu.

Aku akan berusaha untuk memaafkan diriku sendiri.

Aku akan berusaha untuk mencintai diriku sendiri agar aku bisa mencintai istri dan calon anak-anakku.

.

.

.

TBC

#WeDoCareAboutSFN