Disclaimer:
Tite Kubo
WARNING:
OOC, AU, GAJE, TYPO(S), Abal, Kacau, Membosankan,
Bahasa ngawur, Tanpa Pemeriksaan Ulang dan
Dan seterus nya dan seterusnya...
Rated : M (mungkin)
Dosa Author ngga tanggung, #hahaha
Don't like Don't read.
(^_^)
Januari, 2009
"Pemenang Mendali Emas Science tingkat nasional, Rukia Kuchiki, Siswi Kelas 2 Karakura High School, meraih kemenangannya yang kedua kali setelah mengalahkan ratusan perwakilan siswa dari seluruh Jepang. "
Maret, 2009
"Rukia Kuchiki, yang dijuluki sebagai 'Jelmaan Miyamoto Musashi', samurai terkenal sepanjang sejarah Jepang, kembali menorehkan kemenangannya dalam kompetesi kendo tingkat nasional di tahun pertamanya."
Juni, 2009
"Putri kebanggaan Bangsawan ternama Kuchiki, Rukia Kuchiki, kembali menduduki peringkat pertama nilai ujian tertinggi se-Jepang setelah sebelumnya berhasil menyabet Mendali Emas dalam perlombaan Panahan tingkat Nasional, mengalahkan sang juara bertahan selama dua musim berturut- turut."
Chapter 1
Hello
Cahaya yang meremang menerobos tirai berwarna ungu gelap dan menimbulkan bias kekuningan yang temaram. Diikuti dengan kian teriknya sang mentari, warna keemasan semakin terang menghidupi kamar yang terlihat gelap dan tenang itu.
Dipojok kamar terdapat sebuah pintu geser berwarna serupa yang merupakan konektor untuk membuka sebuah ruang persegi empat dengan jejeran kemeja warna- warni, dress panjang atau pendek bermacam corak, sepatu bermerk yang tertata rapi di lemari kaca berikut tas mengkilap yang terlihat mewah, dan sebuah kaca besar berukura meter yang menempel ditengah dinding. Satu ceklis untuk kehidupan glamor seorang putri.
Melirik ke sudut lainnya, tepat disamping pintu konektor, terdapat sebuah pintu berwarna ungu dengan kenop besi yang mengkilap. Didalamnya, bathub besar yang bisa menampung tiga orang dewasa, yang lebih tepat diibaratkan sebagai sebuah kolam kecil dengan air jernih yang hangat bertabur kelopak bunga berwarna merah, menyerbakkan keharuman yang menggoda. Tak jauh dari bathub terdapat sebuah wastafel dari marmer berwarna putih susu dengan meja batu yang sudah ditempati oleh beragam sabun, shampo, lulur dan berbagai lotion yang didatangkan langsung dari negeri asalnya, salah satunya memiliki wewangian keeksotisan padang rumput Alentejo, Portugal. Tumpukan handuk berwarna ungu tertata rapi disebuah meja kecil persegi dengan gantungan besi yang kini tersampir sebuah jubah handuk kering. Dua ceklis untuk kehidupan mewah seorang putri.
Keluar dari pintu, sebuah tempat tidur berukir dengan ukuran Queen, empat tiang penyangga ditiap sudutnya yang penuh liukan berseni pada permukaannya, dan kelambu berwarna putih gading terjuntai seperti kelokan sempurna seorang malaikat yang sedang bersandar pada batu pualam ditengah kolam susu. Selimut tebal berwarna ungu, sepadan dengan seprai yang menutupi kasur dibawah naungannya, menutupi bagian atas sesosok mungil dengan mata terpejam dan nafas teratur. Dua buah bantal besar menjaga disisi kanan dan kirinya, sementara sebuah guling besar telah terjatuh ditemani dengan boneka beruang sebesar manusia yang tertelungkup dilantai, korban kebrutalan tidur sang majikan, sementara kaki putih tanpa cela itu tengah membentuk huruf 'V' dan terlihat cantik karena betis yang terbentuk bak kaki seorang model. Tiga ceklis untuk anggota tubuh sempurna seorang putri.
Jam yang berdiri kokoh disamping meja rias bertahtakan kepala burung garuda yang sedang menyalak, berdentang sebanyak enam kali dan menggaung ke seluruh ruangan. Alarm otomatis sang putri yang akan berdentang pada waktu yang sama setiap harinya. Menarik mata sang majikan untuk mengerut dan terusik.
Tak lama setelah gema berhenti, ketukan halus terdengar dari balik pintu besar, lalu decitan ringan menilik pendengaran sang putri yang kini sudah mengerang, malas.
"Selamat Pagi, Nona." sapa sang kepala maid, Retsu Unohana, lembut—berpakaian dress panjang ala maid dengan renda putih didepan perutnya yang menyembunyikan dua tangan putih sang pelayan.
Dibelakangnya, Isane Kotetsu, masih membungkuk menunggu sang majikan untuk bangun bersama dua orang pelayan lain. Dan beberapa detik kemudian, pergerakan yang pelan timbul dari balik bedcover yang menyembul dan sebuah tangan muncul, menarik- narik selimut yang menutupi bagian kepala ketika ia duduk.
"Ehmm..."
Sang majikan berayun setengah terlelap. Dengan rambut acak- acakan dan celana dalam yang sudah dipertontonkan karena gaun tidur yang tersingkap, ia menggaruk- garuk leher, lalu memutar kepalanya.
"Air hangatnya sudah saya persiapkan, Nona."
"Hemmhh..."
Gadis itu mengangguk tak jelas lalu bergeser ke sisi ranjang, sementara dua pelayan dengan sigap menyingkap kelambu agar dia bisa turun. Kakinya terayun kesana-kemari mencari sepasang sandal bulu dengan mata tertutup dan setelah dirasanya permukaan lembut menyangga telapak kakinya, ia segera turun dan berjalan dengan limbung.
Retsu mengangkat tangannya, memberikan kode kepada Isana dan dua pelayan lain agar mengikuti jejak sang nona ke kamar mandi, sementara ia segera menyiapkan perlengkapan sekolah sang majikan dan tenggelam pada kesibukannya sendiri dalam sekejap.
Tiga puluh menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka diiringi dengan uap hangat dan wangi buah maple yang manis dan bercampur dengan mint segar. Darisana seorang gadis mungil berbalut kimono handuk melangkah dengan santai diiringi ketiga maid dibelakangnya lalu segera duduk disofa kulit cokelat kesukaannya dan menyilangkan kaki.
"Anda ingin saya membacakan kegiatan hari ini?" tanya Retsu membungkuk dengan sebuah papan kayu berlapis kertas putih penuh coretan diatasnya.
"Tentu." jawab sang majikan mengangguk dan membiarkan rambutnya bergoyang- goyang diudara ketika dikeringkan dengan hairdryer. Wangi buah plum menyerbak memenuhi ruangan dalam seketika.
"Jam sekolah akan dimulai seperti biasa dan pelajaran pertama hari ini adalah Matematika."
Sang nona terlihat tak merespon dan membiarkan dirinya kembali merasakan pijatan lembut ditangan dan kakinya ketika Isane membalurnya dengan bodycream beraroma lavender yang baru saja dibelinya ketika berkunjung ke Italia beberapa minggu yang lalu.
"Saat istirahat ada rapat OSIS untuk membahas tentang festival budaya yang akan dilaksanakan pada akhir musim semi ini." lanjut Retsu membalik kertasnya dan kembali membaca deretan jadwal yang terdengar padat.
"Untuk pesta ulang tahun Tuan Ukitake, saya sudah mempersiapkan hadiahnya." tambahnya setelah berkata bahwa sang majikan mendapatkan undangan dari mentri dalam negeri dalam acara ulang tahunnya yang akan dirayakan dsebuah hotel berbintang nanti malam pada pukul tujuh.
"Lalu?"
Retsu membalik kertasnya yang ke empat dan mulai menjabarkan lagi serentetan kegiatan yang akan dilaksanakan nona mudanya setelah menghadiri pesta ulang tahun sang mentri hingga malam hari ia kembali lagi menuju peraduannya.
"Latihan kendo, piano, ikebana, dan pelajaran etika hari ini ditiadakan." ujar Retsu dengan nada yang turun pertanda penjelasannya telah selesai.
Sang majikan bangkit, mengambil seragam abu- abu miliknya dan segera dikenakan.
"Tambahkan pelajaran kendo hari ini setelah pulang dari jamuan makan malam dengaaan..."
Ia berbalik, mengangkat alisnya mencoba mengingat nama yang tadi didengarnya sambil lalu.
"Acara amal yang diselenggarakan oleh ." jawab Retsu membenarkan.
Sang nona mengedikkan bahu sebelum menjawab:
"Yah, terserah lah apa namanya."
Lalu memasang dasi kupu- kupu berwarna merah seraya berceloteh:
"Aku bisa gila kalau tidak melepaskan amarahku setelah perjamuan membosankan itu."
Dan tanpa bertanya, sang pelayan langsung menulis dengan cekatan untuk mengubah jadwal yang diperintahkan. Merasa sudah familiar dengan tingkah sang putri yang akan melampiaskan stress tertahannya dengan berlatih kendo hingga kekesalannya hilang.
Sekali lagi gadis itu mematut dirinya dicermin. Memeriksa seluruh dandanannya hingga merasa puas baru kemudian berbalik dan menarik nafas panjang untuk masuk ke dalam medan perangnya hari ini.
"Ayo berangkat." ucapnya dengan penuh kepercayadirian yang tinggi.
Gadis itu turun dari mobil limosine mewah yang menarik semua bola mata agar tertuju padanya. Kakinya yang diselimuti kaos kaki hitam sepanjang lutut keluar lebih dulu dan diikuti dengan tubuh mungilnya yang menebarkan kharisma seorang putri kelas atas.
Tak ada yang sanggup untuk tak melihat kedatangan sang tokoh utama yang begitu populer. Tatapan kagum dan bisikan- bisikan kecil yang selalu memujinya tat kala ia menjejakkan kaki ke sekolah adalah hal yang sangat lumrah dihidupnya. Yah, siapa yang tak mengenalnya? Dia, putri tunggal bangsawan terhormat di Jepang, Rukia Kuchiki, yang selalu menjadi nomor satu disegala bidang dan disorot publik melebihi artis terkenal sekalipun sejak ia masih dalam kandungan. Kehidupan putri dalam dongeng adalah nyata bagi belia berumur tujuh belas tahun itu.
"Hey, itu Kuchiki."
"Manisnyaaaa..."
"Dia benar- benar seorang putri yang sempurna."
"Kudengar dia meraih nilai tertinggi seluruh Jepang pada ujian kali ini."
"Hey, dia juga memenangkan perlombaan kendo dan juga science."
"Hebat sekali."
Rukia mengambil tas hitamnya sambil tersenyum lalu mulai berjalan dengan anggun seolah bunga mawar bermekaran disetiap bekas jejak langkahnya. Sesekali ia membungkuk memberi salam pada sensei yang ditemuinya dan terlibat dalam perbincangan kecil sebelum kemudian kakinya melanjutkan langkahnya kembali menuju kelas.
Sepulang dari pesta ulang tahun Tuan Ukitake, Rukia benar- benar lelah setengah mati. Kegiatannya sudah lumayan padat tanpa ditambah acara- acara yang tak diduga seperti rapat mendadak dengan Kepala Sekolah, bakti sosial yang tak akan pernah Rukia lewatkan dan juga undangan makan malam dari sang bibi yang akhirnya harus ditolak. Setelah semua itu, disinilah ia sekarang terdampar.
Bathub besar dengan air hangat beraroma terapi.
"Apakah ada yang nona perlukan lagi?"
"Tidak." jawab Rukia sambil terpejam menikmati rendaman cendana bercampur kayu manis yang ia suka.
"Kau bisa pergi Isane. Sepertinya Unohana akan membutuhkan bantuanmu." perintahnya mengingat beberapa pelayan di Istana Kuchiki diboyong ke Istana Timur untuk membersihkan tempat itu.
"Baiklah, nona."
Sepeninggal Isane, Rukia tenggelam dalam proses pelepasan letihnya. Dihirupnya aroma yang menyegarkan dan membuat ketegangan dikepalanya perlahan mencair. Hari ini ia akan berlama- lama berendam hingga telapak tangannya mengembang.
Putri Kuchiki baru saja keluar kamar mandi ketika tiba- tiba pandangannya menjadi gelap dan matanya membelalak karena terkejut. Ia mengerjap dan terus mematung selama beberapa detik. Mencoba menenangkan syaraf yang sudah serabutan dan kemudian sebuah jawaban melegakan datang menghiburnya—hanya mati lampu biasa.
Ia mencoba bergerak perlahan sambil meraba- raba udara yang kosong. Mencari suatu permukaan dinding yang bisa dijadikan peta untuk mencari pintu kamarnya. Dalam hati gadis itu menyesal karena menyuruh Isane untuk tak menungguinya mandi seperti biasa. Yah, setidaknya dia tidak akan kesulitan seperti ini.
"Isaneee! Unohanaaa!" panggil Rukia keras dan ia bisa mendengar suara pelayannya menjawab dengan kata- kata 'Tunggu sebentar'.
Apa katanya? Tunggu? gerutu Rukia berencana akan memarahi dua pelayannya itu karena keteledoran mereka. Mereka pikir mereka siapa bisa menyuruhnya untuk menunggu seperti anak tersesat ditengah hutan gelap begini.
Rukia tidak takut gelap. Ia adalah gadis yang tangguh dan pemberani. Hanya saja kegelapan pekat yang melandanya saat ini sungguh menyesakkan dan membuatnya merinding.
"Isaneeeeee!" teriak Rukia sekali lagi dan tangannya berhasil meraih sebuah kenop pintu dan buru- buru ia buka.
"Isaneeeee!"
Suara Rukia terdengar parau dan ia sayup- sayup mendengar suara Isane yang begitu jauh seolah terpisah seratus meter darinya.
Gadis itu kembali mengerjap.
Firasatnya tak enak dan jantungnya mulai berdetak kencang. Ada sesuatu yang ganjil yang membuat generasi ke-78 Kuchiki dirasuki kepanikan.
"Isaneeeee!"
Hening.
"Isaneeee!"
Urat dileher Rukia menonjol ketika ia berteriak dengan sekuat tenaga dan bulu kuduknya berdiri ketika suaranya justru bergaung disekitarnya seolah ia berada dalam sebuah ruangan besar yang kosong.
Ia menelan ludah dengan bola mata yang liar. Nafasnya mulai tak teratur dan ia merasa dingin menyelimuti dirinya yang seorang diri. Ada yang tidak beres, hatinya mulai merasa was- was dengan kepanikan yang semakin meninggi. Kemana gerangan orang- orang yang ada dirumahnya?
"Unohana...Isane...Unohana...Isane..."
Rukia menggumamkan kedua nama pelayannya dengan ketakutan yang luar biasa. Ia sudah tak bisa menahan rasa gugup yang memutar isi dalam perutnya dan tubuhnya gemetar hebat. Berada didalam suatu ruangan gelap yang tidak ada siapa- siapa adalah sesuatu yang belum pernah dialami oleh seorang Rukia Kuchiki dan dia betul- betul panik!
Kakinya menuntut untuk berjalan lebih cepat dan seperti tak bisa menghentikannya, Rukia mengikuti saja dengan putus asa sambil terus melafalkan nama Isane dan Unohana, berharap kedua pelayan itu akan muncul segera didepannya atau setidaknya listrik akan menyala dan menerangi dunia visualnya. Tangannya terus terentang kedepan untuk menemukan sesuatu yang bisa ia pegang meskipun dalam hati ia sudah berdoa agar tak memegang sesuatu yang anyir, lembek dan menjijikan seperti zombie. Ia pasti akan mati berdiri jika penampakan mahluk itu tiba- tiba muncul didepannya sekarang juga.
Sang nona muda hampir saja menangis saking takutnya ketika tahu- tahu kakinya menginjak sesuatu yang licin hingga ia tergelincir dan Rukia merasakan kepalanya pusing bukan main. Tubuhnya berguling seperti roda mobil yang berputar dan ia menahan nafas ketika kepalanya membentur sesuatu yang keras hingga ia memekik. Ah, tidak. Ia pasti jatuh dari tangga!
Dan seperti ditarik oleh gravitasi yang begitu kuat, tubuh Rukia terus berguling berulang kali hingga ia bisa merasakan seluruh tulangnya berbunyi 'krak', membuatnya membayangkan tubuh tegak yang ia latih sedari kecil akan berubah menjadi bungkuk setelah kecelakaan ini. Betapa lucunya jika ia harus menemukan artikel di sebuah koran yang memasang wajahnya dengan judul 'Putri Kuchiki Mengalami Patah Tulang Akibat Tergelincir Karena Mati Lampu' besok pagi. Oh, sial!
"Aaaaak!"
Tubuh Rukia terhempas disebuah dataran empuk yang membuatnya ingin mengeluarkan steak daging yang ia makan saat jamuan acara amal beberapa jam lalu. Ia seperti baru saja jatuh dari ketinggian tiga meter dan membuat kepalanya berat seperti habis minum berbotol- botol sake. Punggunnya kaku dan Rukia mengerang saat menggerakkan tubuhnya yang tiba- tiba saja terasa pegal. Hei, seharusnya kau bersuykur kau hanya merasakan pegal dan bukannya patah tulang, keluh diri dalam Rukia protes.
Ia mengangkat tubuhnya perlahan dengan hati- hati, takut salah satu tulangnya tiba- tiba akan patah setelah ia berguling- guling seperti seorang pemain smackdown diarena batu.
"A...duh..."
Tangannya menjadi tumpuan ketika tubuh mungil Rukia yang hanya berbalut kimono handuk mencoba untuk menegakkan punggungnya yang terasa beku. Wajahnya meringis saat ia merasa ada denyut kecil dipangkal punggungnya dan ia mendesah.
Harus ke dokter untuk memeriksa akibat dari kecerobohannya ini. Lagipula bagaimana mungkin ia bisa terpeleset dirumahnya sendiri?
Rukia masih menggumam tak jelas sambil terus berusaha untuk duduk ketika matanya menyadari suasana yang gelap telah berganti menjadi terang benderang dan ia mengucap syukur. Disekanya keringat yang ada didahinya dan menyadari kain berwarna putih gading bersalur emas menutupi lantai yang seharusnya berwarna putih batu marmer rumahnya. Tambahan, marmer tidak akan seempuk ini, kini mata Rukia mengerjap.
Ia memutar kepalanya, mendapati sebuah jendela besar yang terbuka dengan teras penuh bunga clover dan satu set meja berikut tempat duduk keemasan dengan bantalan merah. Cangkir emas dan teko yang mengkilap seolah tersenyum gagu karena melihat Rukia yang bingung.
Korden berwarna cokelat emas berbahan satin terdorong ke belakang ketika angin berhembus dan bergesekan dengan meja besar berukir yang membuat Rukia kaku ketika melihat kilauan batu emerald tertempel di sepanjang permukaan meja. Jelas itu bukan meja rias kepala garuda yang ia impor dari Indonesia!
Rukia merasa keringat dingin menjalar dipunggungnya meski ia baru saja mandi dengan air panas. Tangannya mencoba meraba permukaan halus seprai yang entah bagaimana, masih bisa membuatnya kagum disaat seperti ini dan ia menerka apa yang telah terjadi. Ia mengedarkan pandangan, memastikan dirinya masih ada didalam bagian rumahnya sendiri meskipun dengan hati yang sudah berkata kemungkinan itu adalah minus 1%. Dan kesimpulannya jatuh pada...ada dimana dia sekarang?!
Rukia menelan ludah lagi—gemetar. Ia meneliti seluruh ruangan untuk yang kesekian kali, memastikan ini hanyalah imajinasi setelah jatuh dari tangga dan hasilnya semua yang ada diseklilingnya sangatlah nyata. Ia sedang berada dalam sebuah kamar super mewah. Dan kamar siapa ini?!
Oke, oke tenang dulu, tenang Rukia. Mungkin rumahmu itu memiliki sebuah ruang rahasia yang tak sengaja kau masuki saat ini, hibur Rukia bicara pada dirinya sendiri. Aku keluar dari kamar, mencari Unohana dan Isane lalu terpeleset, lalu...
Rukia memejamkan mata, mengingat- ingat.
Lalu...aku...
Rukia berusaha untuk memutar memorinya kembali dan denyutan disekujur tubuhnya membuktikan bahwa ia memang terjatuh dari tempat berundak yang panjang. Tapi kalau memang benar begitu, seharusnya saat ini dia sudah tergeletak dilantai dengan genangan darah karena mengalami gegar otak dan bukan di atas ranjang seorang putri kerajaan begini.
Bingung yang tak terhingga, Rukia menggigit bibir bawahnya dan masih mencoba memikirkan suatu hal yang waras. Ia pasti ada disuatu tempat dirumahnya! Pasti begitu.
"Aaaaaaraghh!"
Tubuh Rukia melonjak kaget. Konsentrasinya tiba- tiba terpecah ketika mendengar suara gaduh yang diikuti teriakan dari luar pintu kamar dan dibarengi dengan lolongan kesakitan dan menambah jarum- jarum pertanyaan menancap dikepalanya.
Ia mengerutkan alis—berpikir, lalu memutuskan untuk segera beranjak turun mengambil sesuatu sebagai senjata karena firasatnya yang mengatakan ia sedang berada dalam situasi yang gawat. Sakit dipunggungnya mendadak hilang dan ia merangkak menuju sisi ranjang.
Baru saja kakinya menyentuh lantai kamar yang ternyata dilapisi dengan karpet bulu yang super lembut, tiba- tiba pintu tergebrak kasar dan mata Rukia membulat sempurna ketika melihat sosok berambut biru berdiri dengan pedang ditangannya.
Nafas Rukia tercekat. Tubuhnya mematung dan ia tak bisa merubah wajah menganga yang ia tunjukkan sekarang. Jantungnya serasa berhenti berdetak dan mengklaim dirinya pasti sudah mati dan sedang berada disurga karena melihat seorang malaikat setampan ini.
Malaikat itu mengenakan jubah berwarna putih yang ternoda kemerahan. Berdiri dengan nafas tersengal dan tubuh tegap seperti baja. Gagah.
Matanya berwarna biru laut, menatap Rukia dengan tajam dan menyelami paru- paru gadis itu hingga ia sesak nafas. Rambutnya yang kebiruan tersembunyi dibalik topeng pelindungnya yang setengah terbuka hingga dahi. Lalu ketika sang malaikat melepas pelindung seluruhnya... Rukia butuh nafas buatan!
"Ketemu." gumam sang malaikat membuat Rukia hampir saja terjatuh ditempat karena mendengar suara seksinya yang parau.
"Aku menemukannya!" seru sang malaikat keras ke arah koridor dan Rukia mengangkat kedua alisnya, merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi ketika bunyi derap langkah yang menggebu mendekat ke kamar.
Dan benar saja, belum sempat Rukia beralih dari tempatnya, seorang berbaju zirah hitam lengkap dengan topeng pelindungnya muncul dari pintu dan Rukia merasa seperti sedang berada diatas panggung drama peperangan dinegeri dongeng. Sosok itu memegang pedang berwarna hitam yang berlumuran darah dan dalam sekejap Rukia merasa mau muntah setelah menyadari sang malaikat juga memegang pedang dengan kondisi yang sama.
Malaikat apanya! Rukia terdohok akan kemampuan ekstrim matanya yang bisa melewatkan pemandangan menjijikan begitu.
"Kita tangkap sekarang?" tanya malaikat dengan wajah yang datar dan membuat Rukia tersentak. Tunggu...Ditangkap? Siapa yang ditangkap? Aku?
Rukia tak bisa menyembunyikan kepanikan yang mengalir diwajahnya seperti biasa. Tidak akan bisa dengan keadaan kau tak tahu sedang ada dimana lalu dihadapanmu ada dua orang berpakaian aneh yang memegang pedang bersimbah darah!
Hei, hei, apakah ini sebuah reality show? Rukia mengernyitkan dahi. Kalau begitu dimana kameramennya? Aku akan mendampratnya habis- habisan karena merekam tubuh berbalut handuk ini tanpa seizinku, gerutu Rukia gusar sambil melihat ke sudut ruangan mencari sebuah kamera tersembunyi seperti yang sering ia lihat di televisi.
"Heee..."
Sosok yang tengah mengenakan jubah perang itu menyeringai dan Rukia bisa melihat senyum bengis dari sela- sela topengnya.
"Tunggu sampai aku membuatnya minta ampun." ujarnya melepas topeng dan...Oh! Rukia tak sanggup untuk tidak meneteskan air liur ketika melihat wajah tampan melebihi Zeus itu tertangkap oleh matanya. Rambut yang menyala orange seperti kilau senja dan tatapan liar yang...tidak! Rukia bisa meleleh ditempat hanya dengan berpandangan dengan mata itu!
Sosok itu berjalan mendekat, dengan mata tajam yang terasa sedang menelanjangi tubuhnya, gadis itu tak bisa bergerak.
"Kak Ichigo, tunggu..."
Ah, jadi namanya Ichigo...
Ichigo terhenti ketika sang malaikat berambut biru mencekal lengannya dan dengan wajah sedikit ragu, ia berkata:
"Kita hanya perlu membawanya ke istana."
Istana? Ya, ampun! Ini reality show apa, sih? tanya Rukia sinis memberi tepuk tangan yang meriah karena aktor yang mereka pakai sungguh kawakan. Apakah mereka juga benar- benar menyiapkan sebuah kastil tinggi menjulang seperti dalam dongeng cinderella? Rukia menggigit bibirnya ketika menyadari ia sedang berada dalam kamar yang begitu indah mengalahkan kamarnya.
"Persetan dengan semua itu, Grimmjow." desis Ichigo menahan amarahnya yang membuat Rukia mendapatkan sesuatu.
Ah, nama malaikat biru itu Grimmjow, gumam Rukia dengan mengangguk- angguk tak mengindahkan aura gelap yang akan mendatangkan tsunami kepadanya.
"Kakaknya telah menodai, Hime." bisik Ichigo parau meski tetap terdengar oleh Rukia dan ia bisa melihat kilatan api yang menyala dalam setiap perkataan sang malaikat orange, memberinya kesadaran penuh pada sesuatu yang berbahaya disekelilingnya saat ini.
"Dan aku juga akan melakukan hal yang sama."
Setelah berkata demikian, Ichigo menatap Rukia dengan buas dan garang, seperti harimau yang sudah menargetkan mangsanya yang terkunci dan mulut Rukia megap- megap karena kalut.
Kaki Rukia gemetar ketika Ichigo dengan langkah perlahan dan pasti mendekatinya. Melahap jarak diantara mereka dan membuat Rukia tak bisa mengalihkan matanya dari bahu lebar nan elok yang ingin ia tubruk. Tubuhnya yang tegap dan besar terlihat kokoh seperti bongkahan es yang tetap berdiri tegak ditengah badai salju yang mengamuk. Membuat Rukia harus menelan ludah karena takut bercampur terpesona.
"Tu...tunggu!?" pinta Rukia akhirnya bisa bersuara dengan serak. Ia sudah terpojok di dinding dekat jendela dan mengeluhkan kenapa ia bisa secepat itu sampai disana.
"Baiklah, aku menyerah! Aku menyerah!" ujarnya sambil mengangkat tangan dan berhasil membuat Ichigo berhenti.
"Ini stasiun apa? Reality show terbaru? Apakah kalian artis baru? Aku belum pernah melihat kalian ada di TV sebelumnya." celoteh Rukia tak mengindahkan guratan tanya di wajah Grimmjow dan juga Ichigo yang menatap Rukia dengan waspada.
"Kuakui kalian cukup bertalenta sebagai pendatang baru. Dan ini."
Rukia menunjuk lantai dengan dua telunjuknya.
"Benar- benar seperti nyata." aku Rukia berusaha nampak terkagum dengan stage yang dibuat. Hah, dia benar- benar harus membuat pengambilan gambar ini berakhir!
"Tapi seharusnya kalian mempertimbangkan keadaanku. Lihat."
Rukia merentangkan kedua tangannya dan bagian bawah kimono terangkat hingga nyaris memperlihatkan celana dalamnya, melemparkan debu kasar ke mata Ichigo dan Grimmjow yang mengerut. Grimmjow langsung mengalihkan pandangannya dengan bersemu sementara Ichigo hanya menyipitkan mata—terganggu.
"Aku baru saja selesai mandi dan masih memakai handuk." keluh Rukia menggeleng tak percaya dengan wajah kesal. Kalau ini adalah siaran langsung, ia akan segera memerintahkan Kira untuk segera mengirimkan bom ke stasiun yang menayangkannya.
"Dan, oh..."
Tanpa menghiraukan atau sengaja mengabakan raut kebingungan dari dua lelaki ganteng didepannya, Rukia kembali mengoceh menumpahkan kekesalan.
"Bisa tidak kalian mengenyahkan pedang menjijikan itu dari hadapanku?" suruhnya membuat Grimmjow mengangkat kedua alisnya dan Ichigo tercengang.
"Aku bisa muntah karena melihatnya."
Perkataan Rukia seperti api yang memicu sumbu pada petasan yang akan terbang dan meledak di udara. Ia bersedekap dengan keangkuhan seorang putri Kuchiki dan itu membuat situasi lebih parah. Ichigo merasa kepalanya baru saja dimasukkan ke dalam air panas yang mendidih dan telinganya berkobar seolah mengeluarkan asap. Siapa yang berani menghina pedang seorang pangeran yang merupakan kebanggaan utamanya.
"Kak Ichigo, lebih baik kita..."
"Keluar."
Grimmjow membiarkan mulutnya membuka dan menatap Rukia dengan cemas, menyadari kemarahan saudaranya yang telah mencapai batas dan notabennya berasal dari gadis itu sendiri.
"Tapi..."
"AKU BILANG KELUAR!" teriak Ichigo dengan geram dan membuat seluruh prajurit serta Rukia tersentak. Ia melepas sedekapnya dan ketakutan mulai menjamahi sedikit demi sedikit.
Grimmjow memandang sekilas sebelum pergi dan dengan enggan membawa seluruh prajurit mengikutinya hingga hanya tertinggal Ichigo dan Rukia.
Dalam keheningan yang mencekam, Rukia memutar otaknya sembari tak melepas mata dari bola api yang berkobar memanggangnya seperti sebuah daging panggang. Kakinya yang mengerut seperti kerupuk tersiram air—goyang dan ia harus berpegangan pada tirai agar bisa berdiri. Tak ada ide yang muncul!
"Aku...akan membuatmu membayarnya."
Jantung Rukia mencelos ke tenggorokan. Sepenuhnya ia sadar, tatapan penuh dendam yang ditunjukkan oleh lelaki dihadapannya itu bukanlah adegan dari sebuah vareity show belaka. Karena kalau iya, Rukia akan mengubur Ichigo dengan Piala Oscar yang terbuat dari emas!
Rukia menarik nafas pendek- pendek. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia sedang berada diantah berantah yang membuatnya bingung setengah mati. Tapi daripada itu, setidaknya dia harus memikirkan cara agar bisa selamat terlebih dulu dari terkaman singa buas sekarang dan memikirkan jalan keluarnya nanti.
Rukia menahan nafas. Posisinya sungguh tidak menguntungkan. Pintu keluar ada dibelakang Ichigo dan akan sangat mustahil untuk menerobos lelaki itu kecuali ia bisa menghilang dan muncul tepat didepan pintu seperti jin. Disampingnya ada jendela, dan apa yang akan terjadi kalau ia terjun? Tidak, Rukia tidak mau mengambil resiko dengan lompat dari jendela tanpa tahu apa yang menunggunya dibawah sana. Bisa saja disana adalah laut berisikan ikan hiu yang siap mengoyak daging dari tubuhnya.
Gadis itu bergeser perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk menjaga jarak dengan Ichigo yang sayangnya tak mengubah apapun. Lelaki itu tetap waspada, seperti menunggu saat yang tepat bagi sang singa untuk menancapkan taringnya dileher sang rusa betina sementara kakinya menyelinap dengan lihai.
"Kau tak tahu apa yang dirasakan Hime." gumamnya membuat Rukia teringat Ichigo menyebut soal 'kakak ' tadi dan 'kakak' itu dikatakan telah menodai Hime.
Tunggu, mungkin aku bisa...Negosiasi!
Lampu didalam kepala Rukia menyala dan ia mengedarkan matanya untuk mencari alat pertahanan diri.
"Aku yakin kau salah paham, Ichigo." ujarnya selembut mungkin namun justru bereaksi sebaliknya diwajah Ichigo. Lelaki itu terlihat tak senang ketika Rukia menyebut namanya dan alih- alih, Rukia merentangkan satu tangannya supaya Ichigo tak kian mendekat. Kira- kira apa yang akan dilakukan lelaki ini jika aku tertangkap?
"Aku tidak tahu ini ada dimana. Percayalah."
Ichigo mendengus dan tersenyum sinis, membuat Rukia ingin menjejalkan kain pel ke mulut Ichigo namun ia berusaha sabar demi keselamatan hidupnya.
"Namaku Rukia. Dan aku tidak ada sangkut pautnya dengan ini." jelas Rukia tiba disisi ranjang dan tangan kanan yang tersembunyi dibelakangnya perlahan meraba permukaan meja berusaha mengambil lampu lilin berukir dari besi.
"Aku benar- benar tidak mengenal orang- orang yang kau sebutkan." Rukia menggeleng berusaha meyakinkan.
"Heee, ucapkan itu pada kakakmu sendiri." bisik Ichigo sadis dan dalam sekali lompatan, tubuhnya yang besar sudah menerjang Rukia yang tak siap hingga terjungkal diranjang dan tangannya tak sempat mengambil lampu lilin incarannya.
"Kau perempuan yang cerdik..."
Rukia berusaha menarik tangannya yang sayang, sudah terkunci dengan erat diatas kepala saat matanya beradu dengan lembayung Ichigo dan nafasnya berhenti saat lelaki itu menyebut namanya.
"...Rukia."
Seringai Ichigo yang seharusnya membuat Rukia ketakutan justru membuat gadis itu berdebar. Ia mengutuk dirinya sendiri yang berubah menjadi psikopat sementara ia dalam keadaan yang sangat gawat dan mulai berontak.
"Ayo kita bermain."
Nafas Ichigo menggelitik wajah Rukia karena jarak mereka yang begitu dekat dan Rukia bisa merasakan tubuhnya terbakar. Kewarasannya yang masih tersisa memerintahkannya untuk mengadu kepalanya dengan kepala Ichigo hingga lelaki itu memekik dan Rukia mempunyai waktu untuk kabur.
"Aaaakh...!"
Rukia menahan nafasnya ketika sesuatu yang berat menindihnya dari belakang dan ia tak bisa bergerak. Tangannya yang terjulur ke depan terpegang erat oleh tangan Ichigo yang kekar dan Rukia masih sempat mengaggumi otot bengkak milik lelaki itu. Sadarkan dirimu gadis bodoh, pekiknya dalam hati.
"Kau benar- benar putri yang liar." ucap Ichigo disela- sela sengalannya dan menarik handuk Rukia hingga bahu putihnya terlihat dan Ichigo memulai permainannya dari sana.
Kecupan liar yang terasa sangat merangsang dibahu Rukia membuat gadis itu meronta. Ia menghentak- hentakkan kakinya dengan keras agar terlepas namun tak berefek sedikitpun pada Ichigo yang perlahan malah semakin menarik handuk Rukia hingga menampilkan seluruh punggungnya yang putih seperti porselen.
Ichigo merasa sesak. Tubuhnya tergoda ketika ia merasakan tubuh yang begitu lembut berada dibawahnya dan otaknya tak terkendali.
Rencana pertamanya adalah ia hanya ingin melucuti pakaian Rukia agar gadis itu merasakan apa yang dirasakan oleh adiknya, Orihime, ketika ia diperlakukan hal yang sama oleh Putra Mahkota Kerajaan Hueco Mundo, Ulqiora, yang merupakan kakak dari gadis yang sedang ia permalukan saat ini. Ia tak akan menyentuh jika tak diperlukan karena itu sungguh perbuatan yang hina sebagai seorang pangeran. Tapi…apa ini?!
Mulutnya bahkan tak bisa berhenti untuk menciumi punggung putri dari kerajaan musuhnya meski gadis itu berkali- kali berteriak 'Lepaskan' dengan terengah . Sesuatu bahkan seperti menyulut api dalam tubuhnya ketika ia merasakan kulit halus Rukia dan ia tak bisa konsentrasi pada tujuan awal.
Ichigo tak pernah menyentuh wanita—sungguh. Ia adalah pangeran terhormat dari Kerajaan Karakura yang terkenal dingin dan pendiam namun sangat ganas di medan perang. Dalam hidupnya ia tak pernah melirik wanita meski sedang berada dalam istana harem sekalipun. Hingga detik ini, belum ada yang bisa membangkitkan sisi buasnya diatas ranjang kecuali...gadis yang sedang ia siksa ini!
Hentikan, Ichigo...hentikan, suara dalam kepalanya bergema memerintahkan untuk segera berhenti dan Ichigo mengerang frustasi.
Ia tidak tertarik pada Rukia.
Baiklah, itu bohong. Mungkin ia—sedikit tertarik.
Tidak, tidak—dia bohong lagi. Ichigo sangat—sangat tertarik pada gadis mungil yang tak gentar menatapnya saat pertama kali mereka bertemu itu. Angkuh, cerdik, dan kuat. Satu kata —memikat.
Memang ia tidak berniat untuk melakukan hal yang macam- macam pada seorang putri terhormat, tapi sepertinya Ichigo tidak menduga bahwa putri dari kerajaan musuhnya itu akan semenarik ini.
Gadis itu telah menginjak- injak harga dirinya sebagai seorang pangeran dengan cara mencemooh pedangnya dan membuatnya ingin memberikan hukuman agar ia jera. Membalas dendam sekaligus memberinya peringatan siapa yang berkuasa disini, tak lebih dan tak kurang. Tapi ketika melihat gadis itu mati- matian ingin mempertahankan diri bahkan sampai ingin mengambil lampu lilin yang Ichigo yakin akan melayang ke kepalanya jika saja Rukia berhasil mendapatkan benda itu, menciptakan denyutan aneh didada Ichigo. Semacam...ketertarikan?
"Henti...ka..."
Rukia terengah dan nafasnya yang memburu menghempas wajah Ichigo hingga membuat lelaki itu menelan ludah. Semu kemerahan dipipi Rukia yang putih seperti kelopak bunga sakura yang gugur diatas salju. Mempesona!
Ichigo mengatur nafasnya dengan wajah berkerut. Dalam kepalanya berkecamuk untuk tak melanjutkan kelancangannya ini atau tetap melakukannya demi adiknya.
"I..chigo..."
Sial!
Sang pangeran berdecak kesal ketika Rukia memanggil namanya dengan manis seolah mengundangnya untuk segera menuntaskan apa yang telah terjadi. Dan ia sadar, ini bukan demi adiknya.
"Kau akan menyesal..." bisik Ichigo dengan suara tertahan yang bahkan tak ia sadari berasal darimana. Membuang segala didikan yang didapat selama ini dan menyerah pada insting laki- lakinya membawa pergi.
Lidah Ichigo menyapu kulit bagian punggung Rukia, begitu perlahan dan sensual. Naik hingga ia sampai pada kulit lembut dibelakang telinga gadis itu dan Rukia menyumpahi dirinya sendiri ketika mengeluarkan erangan.
Sesuatu bergerak- gerak dan gejolak panas berputar dalam dirinya. Sesuatu yang belum ia pahami.
"Ingatlah dengan apa yang kulakukan ini." bisik Ichigo berat ditelinga Rukia hingga membuat gadis itu bergidik dan mengepalkan tangannya yang terjerat diatas.
Di mata Ichigo, ia tengah melihat seorang wanita dengan wajah bersemu merah tanpa daya sedang terlentang dibawahnya. Tanpa balutan yang menutupi dadanya yang sudah mengeras, gadis itu adalah mahluk tercantik yang pernah ada.
Persetan dengan semua aturan dan etika yang selama ini tercekok ke kepalanya. Yang ia rasa hanya panas yang menggila dan ia butuh melepas baju jirah yang terasa mengganggu.
Ketika tubuh tanpa cela itu sepenuhnya terbuka, harus diakui, tubuh Ichigo adalah tubuh terindah yang pernah Rukia lihat.
Dada bidang, otot perut yang tercetak proporsional, pinggang sempit yang seksi dan…tidak! Jangan lihat ke bawah.
Rukia lupa cara bernafas. Ia harus pergi, pergi secepatnya kalau tidak mau akal sehatnya melayang. Ichigo terlalu berbahaya.
Gadis itu membelalak ketika ciuman pertamanya terampas dengan kasar dan paksaan. Penuh tuntutan dan bergejolak.
Ia merasa tenggorokannya terbakar oleh gairah yang mencabik. Ciuman itu terasa sangat liar hingga Rukia merasa kesadarannya terenggut. Bahkan ia tak punya kesempatan untuk menarik nafas ketika lidah Ichigo sudah memasuki mulutnya dan tangannya yang terasa kasar meremas dadanya hingga membuat darahnya berdesir.
"Aaah..."
Rukia tak sanggup menahan suara erotis yang keluar dari mulutnya dan menarik rambut Ichigo yang berwarna seperti kulit jeruk, membuat lelaki itu mendongak, menatap dengan—mata yang membara dan dunia Rukia seolah hancur berantakan.
Tidak! Lelaki ini sedang mempermainkannya!
"Henti...aah..."
Lagi- lagi suara Rukia tercekat saat lidah Ichigo bermain dipangkal dadanya dan tangannya yang besar membelai sesuatu dibawah perutnya. Menimbulkan percikan yang sangat menyengat disana dan Rukia merasa dirinya semakin melayang. Ichigo terlalu menawan dan ia tak bisa menolak pesona itu.
"Ku...moh...hon..." pinta Rukia memelas dengan mata berkaca.
Tidak, Rukia tidak menginginkan ini. Keperawanannya akan diambil oleh lelaki yang bahkan tidak mencintainya dan hei, kemana jurus beladiri yang ia pelajari selama ini untuk menendang lelaki biadab ini dari atas tubuhnya?
Sementara Rukia sedang beradu argumen dengan hatinya, Ichigo sudah menarik tubuhnya dan untuk yang terakhir kali, ia menimbang untuk melahap Rukia atau tidak. Dan ketika sosok putih dibawahnya itu tertimpa cahaya lampu yang meremang dengan peluh yang nampak berkilauan, seperti seorang malaikat pendosa dengan sayap patah yang memukau, ia mendamba tubuh itu untuk menjadi miliknya, hanya miliknya!
Ichigo mendapati dirinya kalut dan wajahnya mengeras terhimpit rasa bersalah. Namun gairahnya terlalu nyata, sangat nyata untuk ia hapuskan karena keinginan untuk memeluk Rukia semakin dalam.
Ia menjilat bibir Rukia yang lembut dan basah. Mendengar Rukia mengerang dan melengkungkan tubuhnya ketika tangan Ichigo kembali bermain pada daerah sensitifnya, membuat api lainnya meledak. Ia tak akan bisa berhenti merasakan setiap jengkal tubuh gadis itu.
"Lepas..."
Mata Rukia terpejam meski dalam mulutnya terus- terusan memohon untuk berhenti. Ia tak kuasa menahan gairah yang sangat menyiksa dan baru dirasanya pertama kali. Tubuhnya bergelora.
Tangannya yang terpegang dikedua sisi kepalanya perlahan melemah dan air mata menetes dari pelupuk matanya.
Oh, tidak. Apa ini? Dia benar- benar akan diperlakukan seperti wanita rendahan dan apa yang bisa ia perbuat. Menikmati semua hinaan ini?
Ichigo merasakan suatu sekat yang sulit ia tembus. Dengan terengah memberikan Rukia kesempatan untuk bernafas ketika menyadari ini akan menjadi pertama kalinya bagi sang putri. Diciumnya bibir kecil yang merah dan tunduk padanya itu. Sadar bahwa ia telah berlaku terburu untuk seorang perawan.
"Aaaa..ubhmmm..."
Satu jari Ichigo masuk dan ia mendekap mulut Rukia yang mengerang dengan mulutnya sementara jarinya terus bergerak, mengeluarkan lebih banyak lendir dan merenggangkan milik Rukia agar ia siap. Ia bertahan untuk dilempari dengan sebutan 'tak bermoral' ke arahnya saat jari yang kedua masuk dan diikuti dengan jari yang ketiga.
Tak tahan dengan keadaannya, Rukia meremas punggung Ichigo kuat dan terisak. Menangisi keadaannya saat ini yang sedang dilecehkan oleh laki- laki asing didunia yang tak dikenali dan gilanya, ia justru menginginkan tubuh keras Ichigo untuk melakukan lebih.
"Jangan…pernah melupakan ini..." ucap Ichigo terengah menatap violet redup dengan intens dan menarik tubuhnya.
Rukia tercekat melihat Ichigo yang begitu maskulin. Sangat tampan namun juga menakutkan. Ketika tangan sang pangeran memegang kedua pahanya, ia bisa merasakan hatinya sedang diremas.
"Kau harus tahu siapa pemilikmu."
Dan...
"Saakiittt!"
Rukia terpekik sejadi- jadinya saat sesuatu yang asing memasuki dirinya dan merobek seluruh kehormatannya. Rasa panas yang membakar menyiksa daerah intimnya dan hal itu tak cukup menyiksa ketika pinggul Ichigo mulai bergerak dan menegaskan semua kata- kata yang ia ucapkan untuk gadis itu. Rukia tak sanggup lagi!
Ia memejamkan mata kuat dan air mata tak kunjung berhenti. Membuat Ichigo ditampar rasa malu namun ia tak bisa menolak. Dia bukanlah laki- laki brengsek tapi ia menginginkan gadis ini, Ichigo menginginkan Rukia dan ia tak ingin ada orang yang mengklaim miliknya!
"Sa...kit...sakit..." gumam Rukia mencoba menghentikan Ichigo yang terlihat tak peduli dan terus menyiksanya dengan perasaan yang aneh.
Ichigo sangat sensual, dan perlahan Rukia merasa tubuhnya gemetar. Sakit yang tadi ia rasa kini telah berganti dengan sensasi yang manis. Kaki Ichigo yang berotot menggesek kakinya yang lemah, perpaduan yang sangat kontras. Tubuh besar yang sangat berotot itu terasa begitu pas diatas Rukia.
"Ichi...go..."
Tanpa sadar, jemari mungil perlahan meremas rambut Ichigo dan ia mengerang tertahan ketika Rukia mendesah. Mengeratkan cengkramannya pada seprai gading yang sudah porak- poranda karena Rukia benar- benar mengaggumkan. Gadis itu sungguh mengejutkan.
Hanya dengan sentuhan jemari Rukia membuat Ichigo gila dan ia mempercepat apa yang telah dimulai hingga membuat Rukia meraung dibawah kendali Ichigo berkali- kali. Didorong keputusasaan, Rukia memeluk Ichigo ketika tubuhnya bergetar dan lelaki itu bersumpah ini pengalaman terhebat dalam hidupnya. Terlebih ketika mulut sang putri tak berhenti melafalkan namanya seolah ini bukan kali pertama mereka bertemu dan ledakan sensasi yang liar itu begitu tajam.
"Aaaaah..."
Rukia mengerang. Tak bisa lagi menahan dobrakan panas yang menggetarkan seluruh tubuhnya dan begitu pula dengan Ichigo.
Ia terengah, menatap wajah Rukia yang terpejam dengan peluh disekujur tubuh yang berbau manis dan tanpa disadari tangannya membelai wajah elok itu.
Gadis itu tak bergeming dan Ichigo menyadari betapa ia telah menyiksa Rukia dengan keegoisannya.
Sang pangeran menarik tubuhnya, melihat noda berwarna merah yang meleleh dibentangan kain putih diatas ranjang. Dalam seketika hatinya berdenyut. Ia memejamkan mata—menyesal. Menutup wajahnya dengan satu tangan dan tertunduk. Ia baru saja melakukan hal gila. Merenggut pengalaman pertama seorang wanita seperti bajingan dan apa yang akan dia lakukan sekarang? Menikahi putri dari kerajaan musuhnya?
Hollaaa...
Ayra balik dengan fic. yang lebih kacau,
Khukhukhu,
Try to write some mature scene, but is's really terrible,
Acung jempol buat para author yang gila banget bisa buat adegan ini,
Hahaha,
(^_^)
Last words, hope u'll like it and see you soon…