"Ada beberapa berkas yang—"
Manik senada langit itu menatap lurus pada jajaran keranjang bayi di balik dinding kaca. Perhatiannya seakan tersedot oleh salah satu sosok makhluk mungil di dalam sana. Wajah seorang bayi yang tengah tertidur lelap di dalam inkubator, berambut senada langit seperti miliknya, juga tahi lalat yang sama.
"—Dokter?"
Buyar. Sosok rupawan itu pun kembali ke alam bawah sadarnya. Menatap sosok berseragam putih yang menggunakan sebuah hiasan kepala yang khas, seorang suster. "Ah, maaf. Tapi, bisakah saya masuk ke dalam sana?"
Disclaimer:
Saint Seiya ©Kurumada Masami
Saint Seiya The Lost Canvas ©Shiori Teshigori
Little Flower Blooming in The Midst of The Storm©AkaKuro815
Alternative Universe
Minos x Albafica x Child!Aphrodite
Warning :
Possible OOC, Typo's
Xoxoxo
Seorang anak berambut senada langit sedang berlarian di tengah lapangan berumput yang cukup luas. Mengejar beberapa capung yang berterbangan di sekitarnya. Suara tawa khas anak-anak menggema, begitu nyaring di telinga. Sesekali anak tersebut berhenti berlari, menatap kedua orang yang duduk tak jauh dari tempatnya berada sambil melambaikan tangan dengan wajah bahagia yang begitu menggemaskan.
"Tidak terasa sudah lima tahun berlalu. Anak itu sudah sebesar sekarang." Ucap seorang berwajah cantik yang kini sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum pada bocah berambut biru di tengah lapangan.
Sosok yang berada di sebelahnya kemudian berdiri, mengangkat kedua lengannya ke atas guna melemaskan otot-ototnya yang pegal setelah duduk cukup lama di tanah yang hanya dilapisi sebuah karpet piknik.
"Aku jadi teringat betapa kau bersikeras untuk mengadopsinya."
"Entahlah, waktu itu aku hanya merasa ketika melihatnya seperti melihat diriku yang lain."
Manik amber milik pria berambut keperakan itu menatap sekilas pada seorang bocah yang masih berlarian di tengah lapang, kemudian melirik sosok cantik yang masih terduduk di sebelahnya."Ya, dilihat darimana pun kalian memang mirip. Seperti Ibu dan anak."
Sosok cantik berambut senada langit itu pun menyipitkan kedua matanya, mendongak menatap tak senang pada pemuda yang berdiri di sebelahnya. "Aku laki-laki, Minos! Jangan ibaratkan seperti 'ibu dan anak'. Bisa menggunakan ungkapan 'ayah dan anak', kan?"
Pria bernama Minos itu pun terkekeh. "Tapi ungkapan itu yang paling cocok untuk kalian."
"Tapi aku laki-laki, sama sepertimu!"
"Eits! Tidak perlu sejengkel itu, kan? Karena disini, di keluarga ini aku lah ayahnya dan kau ibunya." Pemuda itu menyengir lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Tidak ada kesepakatan seperti itu sebelumnya!"
"Tidak ada memang, tapi itu yang kita biasa jalani beberapa tahun terakhir ketika kedatangan si kuncup kecil."
"Namanya Aphrodite, berhenti memanggilnya kuncup kecil."
"Tapi itu panggilan sayangku untuknya."
"Tidak terdengar begitu."
Minos tersenyum kemudian. Agaknya lebih tepat seperti sebuah seringaian dibandingkan disebut dengan sebuah senyuman.
"Apa?"
"Apa kau cemburu tidak mendapatkan panggilan kesayangan dariku seperti milik Aphrodite, hm?"
"Jangan gila."
"Aku memang gila. Gila akan dirimu."
"Berhen—Aphrodite!"
xoxoxo
Aphrodite dengan tenang duduk di atas tempat tidur di sebuah ruangan yang hampir di dominasi dengan warna putih. Di kepalanya kini terlilit perban berwarna putih, menutupi luka di kepalanya bekas terbentur potongan batang pohon di taman tadi.
Saat kejadian, bocah yang mirip sekali dengan Albafica itu menangis begitu keras. Bagaimana tidak, dahinya terluka cukup parah hingga mengeluarkan cukup banyak darah. Sontak hal itu membuat Albafica dan Minos panik dan segera melarikan bocah itu ke klinik terdekat.
"Aku mau bermain di luar!" Ucap Aphrodite yang sudah menjulurkan kedua tangannya minta digendong.
Albafica mengusap kepala bocah itu lembut sambil tersenyum, "Nanti, kalau kamu sudah baikan, ya?"
Bagaimana pun anak-anak tetaplah anak-anak, begitu pun Aphrodite. Jika keinginannya tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah sebuah rajukan yang diakhiri sebuah tangisan. Tak tega akhirnya Albafica pun menuruti kemauan 'putra'nya itu. Sedangkan Minos hanya mengangguk meng-iya-kan.
"Ajaklah dia berkeliling sebentar. Aku yang akan menemui Dokter."
Mengangguk, Albafica kemudian meraih tubuh mungil Aphrodite ke dalam gendongannya dan segera ke luar ruangan untuk berkeliling. Sedangkan Minos berjalan ke arah yang berbeda. Karena mereka berdua atau salah satu dari mereka diminta menemui dokter yang tadi menangani luka Aphrodite.
xoxoxo
Siang itu nampak ramai dengan adanya belasan bocah bermain kesana-kemari. Tiga diantaranya terlihat lebih besar, mungkin sekitar umur dua belas tahunan. Nampak Aphrodite berada di antaranya. Sebelas bocah itu terlihat mengelilingi bocah asuhan Albafica itu sambil memasang wajah penasaran. Bertanya-tanya tentang perban yang membalut kepala si kuncup kecil.
"Kepalamu kenapa, Dite?" Tanya Aiolia sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, di sebelahnya sudah berdiri Milo yang ikut menatap penasaran.
"Kepalaku kemarin berdarah banyaaaaak sekali." Jawab Aphrodite polos sambil merentangkan tangannya, menggambarkan kata banyak yang ia maksudkan.
"Apa itu sakit?" Tanya Milo dengan wajah yang tak kalah polos. Membuat bocah-bocah yang lain mengumpat dalam hati betapa polos atau mungkin bodohnya Milo bertanya seperti itu. Padahal dirinya sendiri lah yang paling sering terluka di antara mereka semua. Apa Milo masokis? Tidak ada yang tahu.
"Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu Milo." Celetuk Shaka yang tentu saja menuai protes dari Milo.
"Tentu saja jika terluka itu sakit, Milo." Saga, si bocah yang lebih dewasa menjelaskan sambil tersenyum dan mengusap lembut kepala bocah berambut kuning berantakan itu.
"Dite, apa sakit sekali? Boleh aku memegangnya untuk memastikan?" tanya Milo yang sudah siap untuk menyentuh dahi Aphrodite yang diperban.
Namun detik kemudian ada tangan mungil lain yang menghentikan niat Milo tersebut. "Jangan disentuh, Milo! Nanti lukanya berdarah lagi!"
Bocah bernama Milo itu lantas menggembungkan kedua pipinya sambil mengusap tangannya sayang, "Tidak perlu memukul tanganku, kan, Angelo?"
Sedangkan bocah kalem berambut merah di sebelah Milo, Camus mengusap kepala sahabatnya itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
"Tapi memang benar kata Angelo. Nanti luka Dite bisa berdarah lagi." bela Shura.
Tidak Shura, tidak juga Angelo. Kedua bocah itu sama-sama over protective pada Aphrodite.
"Sudah-sudah, kalian jangan berkelahi, ya. Lebih baik kita memainkkan sesuatu." Lerai Aiolos, bocah yang lebih dewasa lainnya setelah Saga dan ada pula Kanon, kembaran Saga.
Detik kemudian suara riuh pun terdengar diantara bocah-bocah tersebut. Menandakan keantusiasan mereka akan ucapan Aiolos.
xoxoxo
Hujan turun begitu derasnya, gemuruh petir terdengar menyambar saling bersahutan. Terdengar pula suara gemerisik ranting pohon yang saling bergesekan akibat angin yang bertiup kencang. Tidak ada satu pun cahaya malam itu karena pemadaman listrik yang dilakukan.
Albafica terjaga dari peraduan tidurnya saat mendengar suara petir menyambar sangat memekakan telinga. Ia bergeming sesaat dalam posisi duduk di atas tempat tidur, membuat Minos yang terlelap di sampingnya ikut terjaga.
Sambil menguap kecil, pria berambut keperakan itu memandang sang pujaan hati dengan terkantuk-kantuk. "Ada apa, cantik?"
Albafica tak acuh pada pertanyaan Minos. Ia kemudian menyingkirkan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya lalu turun dari tempat tidur. "Aku mau melihat Dite."
Tidak bersuara lagi Minos pun kembali terlelap. Sedangkan Albafica sudah keluar dari kamar menuju kamar Aphrodite yang berada di sebelah.
"—nos… Minos!"
Minos yang baru saja kembali ke alam mimpi lantas saja berjingkat dari tempat tidur karena kaget mendengar teriakan Albafica. Detik kemudian ia sudah berlari ke kamar sebelah tempat Albafica dan Aphrodite berada.
"Ada apa?!" Tanya Minos panik sambil menyeruak masuk.
"Tolong ambilkan kompres! Dite demam."
Demi Hades sang penguasa Underworld! Kekasihnya yang satu ini akan sangat berlebihan jika menyangkut putra kecilnya. Ia sudah menduga hal-hal yang sangat buruk tadi. Misalnya ada rampok yang masuk ke rumah mereka.
"Ya, tunggu sebentar!" Menguap sambil mengusap tengkuknya, Minos pun beranjak turun ke lantai satu untuk mengambil air dan kain kompres.
xoxoxo
"Sudah tiga hari ini kau tidak tidur dengar benar. Sebaiknya kau istirahat saja sekarang."
Albafica menggeleng pelan, masih sibuk menidurkan Aphrodite dalam gendongannya sambil menepuk-nepuk sayang punggung bocah itu. Sorot matanya menandakan bahwa ia benar-benar kelehan. Terlihat juga dari kuli bawah matanya yang sedikit menghitam. "Jika besok keadaannya belum membaik juga sebaiknya kita bawa Dite ke Rumah Sakit."
Minos membelai surai kebiruan milik Albafica, mencoba memberi ketenangan pada kekasihnya. "Ya, besok kita bawa si kuncup kecil ke Rumah Sakit. Yang terpenting sekarang kau istirahat dulu, biarkan aku yang mengurus Dite. Kalau kau ikut-ikutan sakit juga tidak baik, 'kay?"
Perkataan Minos ada benarnya, jika ia tidak beristirahat sejenak bisa-bisa ia ikut jatuh sakit dan malah memperburuk keadaan. "Baiklah. Tolong ya!" senyuman tipis mengembang di bibir ranum milik Albafica.
Minos meraih tubuh mungil Aphrodite dalam gendongan Albafica yang untuk beberapa saat memberontak dalam gendongannya meskipun matanya tertutup. Namun tak lama kemudian bocah itu kembali tenang dalam tidurnya.
"Istirahatlah!" ucap Minos yang kemudian mengecup bibir Albafica singkat.
.
Albafica barulah terbangun ketika hari sudah menjelang sore. Sudah lama rasanya ia tidak tidur senyenyak itu. Sejenak ia bergeming dalam posisinya yang masih terduduk di atas tempat tidur, lalu ia menyibakkan poninya ke belakang agar tidak menghalangi pandangannya.
Beberapa saat kemudian sayup terdengar suara riuh dari arah lantai satu rumahnya. Penasaran ia pun beranjak dari tempat tidur, melangkahkan kedua kakinya menuju lantai bawah. Belum selesai ia menuruni tangga, manik biru miliknya menangkap sosok Minos yang sedang mengobrol ringan bersama Manigoldo, El-Cid dan Degel.
Tanpa Albafica sadari, Minos sudah menatap ke arahnya sambil tersenyum. "Morning, cantik!"
Tidak segera menanggapi sapaan Minos yang terdengar bercanda, pria berparas cantik itu melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga yang tersisa. Melirik pada tiga orang tamu di sofa sambil kemudian mengangguk singkat guna menyapa mereka.
"Dimana Dite?" tanya Albafica yang matanya sudah ia edarkan mencari-cari sosok mungil kesayangannya.
"Aku menitipkannya ke tetangga. Habis kuncup kecil itu rewel sekali tadi."
Tidak ada tanggapan yang meluncur dari mulut Albafica. Ia hanya memasang raut wajah tak senang dengan ucapan yang baru saja Minos katakan. Menghela napas, pria berambut perak itu kembali membuka suaranya, "Seperti biasa, selera humormu ketika baru bangun tidur itu sangat buruk. Jelas tidak mungkin kan aku tega menitipkan Dite ke tetangga ketika kondisinya sendang tidak sehat?"
"Lalu, dimana dia?"
"Sedang menoton televisi bersama Angelo, Shura dan Camus di ruang keluarga." sambar Manigoldo yang sedari tadi hanya diam menonton.
"Begitu. Tapi, apa demamnya sudah tidak apa-apa? Akan bahaya juga jika ketiga anak yang lain tertular, kan?"
"Tenang lah, Albafica. Camus memiliki sistem imun yang cukup baik." tutur Degel.
"Ya, kurasa Shura pun begitu. Mengingat dia jarang jatuh sakit." timpal El-Cid.
Biar begitu, Albafica tetap merasa sedikit cemas. "Aku akan melihat keadaan Dite dulu." ucapnya seraya beranjak ke ruangan sebelah.
.
Sesampainya di ruang keluarga ia melihat keempat bocah itu dengan tenang menoton acara kartun di televisi. Ia sedikit lega melihat Aphrodite sudah terlihat lebih sehat dan bisa tersenyum lagi.
"Dite?"
Mendengar namanya dipanggil bocah berambut senada langit itu pun menoleh. "Aica!" serunya senang, membuat ketiga temannya ikut memandang ke arah Albafica.
Albafica tersenyum lalu mendekat. "Apa kau sudah merasa lebih baik?"
Aphrodite mengangguk, "Uhm! Semuanya berkat Angelo, Shura dan Camus yang datang menjengukku." jelasnya riang.
"Syukurlah kalau begitu." Albafica tersenyum sambil mengelus kepala bocah itu sayang. "Baiklah, tolong jaga Dite ya, Angelo, Shura, Camus!"
Ketiga bocah itu pun mengangguk kompak.
"Tentu! Aku akan menjaga Dite seperti pahlawannya!" ucap Angelo semangat.
"Aku juga!" Shura tak mau kalah.
Hanya Camus yang tidak mengatakan apa pun. Bocah satu itu memang kelewat pendiam. Sama seperti Kakaknya, Degel.
.
Menjelang malam akhirnya ketiga bocah itu berpamitan untuk pulang bersama walinya masing-masing. Awalnya Angelo dan Shura bersikeras tidak mau pulang dan ingin menginap saja. Tapi Manigoldo dan El-Cid melarang mereka dengan alasan bahwa mereka hanya akan mengganggu jam istirahat Aphrodite dan itu akan memperlambat proses penyembuhannya. Dengan begitu, kedua bocah 'pahlawan pelindung' Aphrodite itu pun menyerah dan mengangguk pasrah ketika diajak pulang.
"Albafica, kurasa sebaiknya kau membawa Aphrodite ke Rumah Sakit. Aku sedikit cemas melihat kondisinya." ucap Degel yang sudah berada di ambang pintu keluar.
"Aku juga merasa harus membawanya. Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku."
Degel menarik sudut bibirnya melengkungkan sebuah senyuman sambil menepuk bahu rekan seprofesinya itu. "Semoga bukan hal yang buruk."
"Ya."
"Baiklah, aku permisi dulu. Bisa gawat kalau sampai aku pulang telat. Bisa-bisa Milo diberi makanan berbahaya oleh Kardia." Albafica sedikit terkekeh mendengar ucapan Degel.
"Ya, sampai jumpa!"
xoxoxo
Dua orang itu duduk di sofa saling berpandangan. Salah satunya mengatupkan kedua tangan, menempatkannya tepat di depan mulutnya dengan sedikit tertunduk. Seakan sedang memikirkan sesuatu yang berat atau sedang berusaha mencerna sesuatu di otaknya.
"Kau tidak salah dengar, kan? Minos?"
Menghela napas, pria berambut keperakan itu menggeleng pelan. "Aku mendengarnya dengan jelas, Albafica. Bahkan aku sampai meminta Degel mengulanginya beberapa kali."
Keheningan kembali menjalar diantara keduanya. Raut kecemesan Nampak jelas di wajah mereka. Terutama Albafica. Ia seakan begitu terpukul dengan pernyataan dari Degel tadi siang. Aphrodite, putra kesayangannya, bocah yang sejak bayi sudah ia rawat ternyata positif terinfeksi virus HIV. Bagaimana bisa ia sendiri tidak tahu? Dia juga dokter!
TBC
.
.
.
Fanfic baru lagi. Padahal yang The Two of Us aja belum kelar. Entah, saya nggak bisa berhenti kepengen nulis di fandom ini. /berguling
Sudahlah, see you next chapter!