Di suatu ruangan, dengan putih dan putih dimana-mana, beberapa orang tengah menangani seseorang yang terpejam diatas pembaringan. Bunyi elektokardiograf melengking pelan. Pip, pip.

"Dokter, jantung pasien mulai melemah."

Jas putih panjang, di tangannya ada alat pemacu jantung dan stetoskop di leher. Mata sipit mengintip awas pada celah masker dan anak-anak rambutnya.

"Lakukan CPR."

Sang dokter mulai memompa dada pasien paruh baya yang terbaring seperti orang mati.

"Defribillator! 150."

"3… 2… 1. Siap."

Ia memompa lagi, lalu melirik elektrokardiograf yang menunjukkan semakin sedikit garis naik turun. Dokter menggigit bibir di balik maskernya, berteriak khawatir.

"Lagi! Naikkan ke 250!"

Para suster yang membantu segera menyiapkan segala hal yang dibutuhkan. Cepat dan cepat, berkejaran dengan waktu. Setitik peluh meluncur bebas dari pelipis si dokter.

"3…2…1. Siap!"

Monitor elektrokardiograf menunjukkan garis normal. "Dokter, HR 120 per detik."

Manik cokelat sang dokter segera menemukan masalah lain pada pasiennya. Pengalaman bertahun-tahun membuatnya siap bertindak spontan. Ia meminta beberapa alat pada suster, menyuntikkan cairan pada jantung pasien dan mendapat reaksi yang tidak terduga.

Mata sipitnya membulat. "Myectomi Septum! Operasi sekarang!"

"Baik, dokter!"


Character(s) © God

I take no profit, just for fun

The Last Random


10th : Hachiko


Sang dokter muda menghempaskan tubuh lelahnya pada sofa hijau di tengah ruangan. Lalu menghela, "Capeek…"

Rekannya, yang bersurai hitam malam (mengingatkanya pada seseorang) dan secangkir kopi di tangan kanan tertawa, "Mau kopi, Dokter Byun?"

"Tidak, Taehyung-ah. Dan berhenti mengejekku."

Dokter Byun, Dokter Byun. Spesialis jantung, lulusan muda Universitas Seoul—anak yang berpotensi besar, mereka bilang. Dua tahun pertama di Rumah Sakit Internasional Seoul dan namanya sudah dikenal.

"Menolong orang di jalan, menelusup ke desa terpencil, tidak menyerah melakukan CPR meski elektrokardiograf sudah mengatakan pasienmu mati—hingga kemudian keajaiban terjadi, pasienmu bernafas kembali. Dokter Byun yang mulia, siapa yang tidak tahu."

Baekhyun memijit pelipisnya, "Aku tidak melakukannya untuk pujianmu setiap hari, Taehyung-ah. Dan—apa kau pernah dengar ungkapan 'keajaiban adalah nama lain dari kerja keras'? Aku berpegang padanya, itu saja."

"Menyenangkan mendengarkanmu bicara, hyung. Teruslah mengoceh dan kau benar-benar seperti anak SMA."

Wajah Baekhyun merah dan pipinya menggelembung kesal, "Aku duapuluh tujuh! Astagaaaa."

"Dan orang-orang mengira kau tujuhbelas, atau duapuluh dua."

"Terserah." Baekhyun memasukkan barang-barangnya dalam tas selempang. "Aku masih ada urusan. Kalau ada pasien mendadak dan aku tak bisa kembali cepat, kuserahkan padamu, ya!"

Ia tersenyum dan berbalik, baru saja hendak melangkah ketika Taehyung memanggilnya. "Tunggu, Baekhyun."

Baekhyun menoleh, memasang wajah terganggu, "Hei, panggil aku hyung—"

"Apa kau akan kesana?" Taehyung menatapnya skeptis, "duduk sendirian, menunggu hal yang tak pasti sementara diluar salju sedang turun?"

Sejenak Baekhyun bergeming, kemudian mengangguk sekali. "Ya."

Rekan kerjanya mendesah, tak habis pikir dengan kelakuan Baekhyun yang satu ini. Ia memaku pandangan pada lukisan ikan Koi di dinding, lalu berucap lelah, "Lagi. Dan lagi, dan lagi. Sampai kapan, Baekhyun? Sudah sepuluh tahun dan apa yang kau dapat?"

Baekhyun diam. Taehyung berdiri dan mendekat padanya, menahan kedua bahunya supaya Baekhyun menangkap kesungguhan dalam diri pemuda itu.

"Setidaknya—untuk sekali saja, kau lihatlah aku. Aku disini untukmu."

Hening. Hening lama.

"Maaf." Baekhyun menjawab polos. "Sepertinya aku lebih suka salju."

"Dasar masokis."

Baekhyun tertawa-tawa geli, melepas tangan Taehyung dari bahunya dan sebagai gantinya ia menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

"Aku hanya jatuh cinta."


Baekhyun berjalan, pelan. Setapak demi setapak dengan sepatu biru dan syal merah, juga mantel berlapis untuk melindunginya dari serangan hipotermia. Kedua tangannya terjerembab di saku jaket, salah satunya menggenggam surat lusuh dengan tulisan familiar.

Surat dari Chanyeol.

Selamat pagi, matahari.

Dulu, Chanyeol gemar memanggilnya matahari. "Pokoknya setiap aku melihatmu, aku pasti ingat matahari, Baek." katanya. Baekhyun bersidekap sambil menggembungkan pipi dan membalas Chanyeol, "Kalau begitu kamu harus jadi api." Chanyeol tertawa, menggangguk-angguk girang. "Aku akan jadi burung api untukmu."

Chanyeol selalu memikirkannya, mendahulukan setiap keinginannya. Untukmu. Untukmu, Baekhyun.

Orangtuaku pulang untuk membawaku pergi, jauh—tak bisa kusebutkan. Maafkanlah.

Pohon akasia tempat layangannya tersangkut, tempat ia pertama kali bertemu dengan Chanyeol sekarang sudah sangat tua. Daun-daun yang dulu sering menjadi tempat mereka berteduh kini tergantikan timbunan salju.

Baekhyun merapatkan syal. Mendekat untuk menyentuh batang si pohon, sarung tangan menghalanginya untuk merasakan tekstur kayu bersejarah. Matanya menelusuri setiap sisi pohon. Ada banyak kenangan disana. Hartanya yang berharga.

Baekhyun berbalik dan melambai untuk salam perpisahan.

Hei Baekhyun, matahariku.

Ingatkah kamu, saat kaki-kaki kita terlalu pendek untuk berlari jauh, saat senyummu sebebas langit, saat tawa kita masih milik kanak-kanak,

Langkah Baekhyun membawanya ke sungai yang hampir membeku, tempat ia dan Chanyeol mengikat diri dalam sebuah status. Pipinya memerah, tapi bukan karena dingin. Baekhyun duduk di tanah salju, memandangi matahari yang terbenam. Ia melihat Chanyeol di sampingnya, tersenyum padanya. Baekhyun ingin menyentuh Chanyeol, tapi lelaki itu menghilang.

Baekhyun menangis.

Bayangan Chanyeol yang memeluknya tak mampu membuat hatinya hangat.

Suatu ketika, di bawah gelungan senja dan dedaunan jatuh, aku bilang padamu bahwa aku akan mengunjungi nenek.

Sekali Chanyeol pergi—entah itu berlibur, atau mengunjungi sanak keluarganya—dia pasti pergi ke tempat yang jauh. Tempat dimana mata Baekhyun tak bisa menemukannya, atau tangan Baekhyun tak mampu menjangkaunya.

Tapi Chanyeol selalu kembali, untuk Baekhyun. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Kau menatapku, lama. Mata sewarna bumi, sebening embun, berkerlip seperti bintang memohon padaku.

Baekhyun sampai di toko yang menyediakan es krim dekat taman kota. Ia sempat mendapat pandangan heran dari gadis penjaga toko karena—yang benar saja, di penghujung tahun yang dingin ini, Baekhyun malah membeli es krim.

Baekhyun keluar dari toko dengan es krim vanila—dua es krim vanila.

Bila di masa lalu aku hanya diam, mengelus surai sewarna manikmu sembari tersenyum konyol saat kau bertanya,

"Apa yang bisa kulakukan jika Chanyeol pergi?"

Baekhyun terdiam, menatap bangku taman yang ternoda salju. Sahabat baiknya sepuluh tahun terakhir.

Kali ini, Baekhyun, aku memintamu untuk—

"Menungguku kembali."

Maka Baekhyun akan menunggu. Lagi, dan lagi. Tak peduli seberapa lama karena baginya waktu telah mati. Karena ini Chanyeol, Chanyeol yang memintanya. Chanyeol tidak pernah meminta apa pun sebelumnya.

Ia membuka bungkus es krim pertamanya, memakan vanila beku dengan perlahan. Giginya terasa nyeri—mungkin dia harus menggganti pasta gigi. Es krim satunya ia letakkan di bangku taman, ikut menunggu bersamanya. Baekhyun mengedarkan pandang, menatap orang-orang yang lewat sembari berharap kalau salah satunya adalah—

Baekhyun mematahkan batangan es krim dengan giginya.

Matanya terpejam. Ia mengusap dadanya yang terbalut pakaian. Nyeri, disana. Rasanya lebih dingin dari salju bulan Desember atau pun es krim vanila.

Malam datang, bintang-bintang mulai bermunculan. Es krim pertama Baekhyun telah habis dan ponselnya berdering tiba-tiba, menampilkan nama 'Taehyung' disana. Baekhyun menggelengkan kepala, menepis rasa kecewa karena itu bukan Chanyeol. Sejak Chanyeol pergi, Baekhyun memang tidak dapat menghubunginya sama sekali. Semua kontak Chanyeol hilang, sosoknya seolah terhapus dari muka bumi. Yura juga menghilang, Baekbum bilang dia tidak bisa menghubungi gadis itu.

Dan Chanyeol juga… tak pernah sekali pun menghubunginya.

Baekhyun menggeleng lagi kemudian mengangkat panggilan Taehyung, "Ada apa?"

(("Hei, hyung, kenapa kusut begitu? Kau dimana sekarang?"))

"Tempat biasa."jawab Baekhyun, "apa tidak ada pasien?"

(("Umm… sedikit masalah tadi. Kakek ruang 12 mengeluh tentang separuh tubuhnya yang mati lalu jemuran di rumahnya dan calon menantu atau apalah, kau tahu bagaimana otak pasien stroke bekerja, hyung."))

Mereka tertawa sebentar, kemudian Taehyung berdeham, (("Mau kopi?"))

"Eh? Maksudmu?"

(("Kubilang—"))sosok Taehyung tiba-tiba muncul di seberang jalan, membawa dua cangkir panas yang mengepulkan uap, (("—mau kopi?")) sementara ponselnya terapit diantara bahu dan telinga.

Baekhyun menahan diri untuk tidak menjitak anak itu karena basa-basinya yang terlalu basi. "Sedang apa kau disini."

Taehyung yang barusan menyeberang jalan, mengerutkan dahi ketika tiba di hadapan Baekhyun. "Galak sekali kau, hyung."

Baekhyun mengerucutkan bibirnya, "Kau aneh. Biasanya kau langsung pulang dan bergelung dalam selimutmu, Taehyung-ah."

"Jahatnyaaaa." Balas Taehyung. "Padahal aku berniat baik dengan membawakanmu segelas kopi. Setidaknya berterima kasihlah walau kau tidak ikhlas." ia menyodorkan dua gelas sekaligus pada sang hyung.

Baekhyun menjulurkan lidahnya, "Apa gunanya berterima kasih tapi tidak ikhlas." kemudian mengambil salah satu gelas. Ia meniup sebentar, meminumnya, lalu mengernyit.

"Apa ini?" ia melongok pada gelas plastik yang dipegangnya. "Ini susu cokelat."

"Memang." Taehyung menjawab dengan wajah tanpa dosa.

"Tapi kau menawariku kopi."

"Kopinya disini," Taehyung menaikkan gelas yang ia pegang, "kau sendiri yang memilih itu."

Taehyung duduk di sisinya. Baekhyun mendengus kemudian meneguk lagi susu cokelatnya, lalu menggembungkan pipi kepanasan. "Hei. Aku punya es krim disini, jangan diduduki."

Taehyung menoleh dan terlihat tidak terkejut. "Vanila, seperti biasa. Tumben kau tidak menghabiskannya."

Sejenak malam berhenti. Manik cokelat Baekhyun bergerak-gerak, bibirnya bergetar dingin. Ia menghirup minumannya lagi, menatap kosong pada gumpalan salju kemudian tersenyum tipis.

"Itu untuk Chanyeol."

Hening.

Lagi. Taehyung mengeratkan pegangannya pada sisi gelas plastik. Lagi-lagi dia.

"Hyung," ia mendapati Baekhyun tengah menatap langit. "Apa kau tidak lelah?"

"Lelah…?"

"Menunggunya, hyung. Sepuluh tahun tanpa kabar itu sangat keterla—maaf, aku sungguh tak mengerti."

Diatas sana bintang berkedip-kedip. Baekhyun mengusap hidungnya yang merah lalu terkekeh pelan. "Kau bilang, kau suka padaku, 'kan?"

Bohong kalau Taehyung bilang dia tidak kaget. "Kenapa kau bertanya seperti itu? Tentu saja jawabanku 'iya'. Empat tahun aku menyukaimu, hyung…" pemuda itu nyengir, berusaha menahan rona di pipi. "Aku mencintaimu."

Baekhyun mengangguk-angguk, "Jadi, Taehyung-ah. Bila suatu hari aku pergi, jauh dari jangkauanmu tanpa kabar sama sekali. Dan bila aku memintamu untuk menunggu, apa yang akan kau lakukan?"

Telak.

Seorang gadis lewat bersama Golden Retriver di depan mereka, nampak senang sembari tertawa. Taehyung memalingkan wajah, menggigit bibir karena dadanya terasa sesak.

"Maaf, Baekhyun."

Baekhyun menoleh, "Hm? Untuk apa kau—"

"Maaf." Taekhyung berdiri dengan cepat, memandang Baekhyun, menusuk matanya, menembus hatinya. "Maaf, karena aku memutuskan untuk menyerah."

Mata sipit Baekhyun melebar, dan semakin lebar seiring napasnya yang tercekat. "Ta-Taehyung…"

"Ya," Taehyung tersenyum pedih, "aku sudah kalah, bahkan sebelum aku memulainya. Seharusnya aku tahu, tapi aku keras kepala."

Ia tertawa, "Tapi mau bagaimana lagi."

Taehyung berbalik, tak ingin melihat orang yang telah mencuri hatinya. Ia memandang langit, tersenyum tulus kemudian.

"Aku hanya jatuh cinta."

Ia bersiap pergi sebelum suara lembut Baekhyun memanggilnya, "Taehyung-ah,"

Taehyung menoleh, untuk mendapati Baekhyun tersenyum padanya. Senyuman lebar yang membuat mata sipitnya membentuk garis lengkung nan indah. Bebas sekali. Baru pertama kali Taehyung melihatnya dan ia terpana, merasa jatuh cinta untuk kedua kalinya.

"Terima kasih."

Lalu ia tersadar, bahwa senyuman itu bukanlah untuknya. Bukan miliknya.

"Terima kasih sudah menyukaiku."

Taehyung merasa matanya panas. Maka ia kembali berbalik dan menyeka air di sudut mata, "Sama-sama, hyung." Lalu ia berjalan pergi, sembari tersenyum lega.

"Hei, Park Chanyeol." Taehyung membuang gelas plastik yang telah kosong pada tempat sampah yang ia lewati. "Kau adalah orang paling beruntung di dunia, kau tahu."


Petang semakin larut, menara jam di tengah taman menunjuk pukul sembilan. Lebih lama dari biasa, ia menunggu disana. Salju mulai turun lagi, menutupi cabang pepohonan, atap mobil, atap rumah, dan hati Baekhyun.

"Sepertinya akan lama." gumamnya, mengadahkan tangan untuk menangkap butiran salju.

Baekhyun menarik sarung tangan kanannya, dingin menelusup pada celah-celah jari. Ia melepas dan meraba terkstur benda bulat yang melingkari jari manisnya, dan tersenyum. Cincin itu bukanlah emas, hanya perak murah yang—Baekhyun baru tahu ini—adalah hasil keringat Chanyeol sendiri (ia mengerjakan tugas teman-teman mereka dengan imbalan) dan hal itu membuatnya bahkan lebih bernilai dari emas murni. Cincin itu juga tidak bertahta berlian, hanya terukir nama Chanyeol dengan hangul di bagian dalam. Dan Baekhyun yakin kalau cincin satunya yang dipakai Chanyeol pastilah tempat dimana nama Baekhyun terpahat. Ia merona tanpa alasan.

Baekhyun membawa pandangannya lurus, menembus malam dan jalanan yang menyepi. Mungkin tidak hari ini, batinnya. Berkali-kali, bertahun-tahun. Tapi Baekhyun telah berjanji untuk tidak menyerah. Maka ia takkan mengingkarinya.

"Aku akan kembali besok." ucapnya, entah pada siapa.

Lalu ia berdiri, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Ia membenahi letak syal, kemudian melangkah meninggalkan gelas plastik kosong, bungkus es krim dan bangku yang tertutup salju.

Baekhyun menggenggam cincinnya, seolah mencari kekuatan dalam benda mungil itu. Kemudian ketika ia ingin memasangnya kembali,

"Ah!"

tangannya tergelincir dan benda berharga itu jatuh menggelinding.

"Hei, kembali!"

Cincin itu terus menggelinding di atas jalanan beraspal. Berputar dan berputar sementara Baekhyun mengejarnya sembari teriak-teriak. Ujung syal merahnya melambai, sang cincin menabrak sepatu pantofel berkilap milik seseorang. Terus berputar di tempat yang sama, dan akhirnya berhenti dalam satu momentum.

Jemari yang terbungkus sarung tangan biru gelap memungut cincinnya. Baekhyun terengah, ia menumpu tangannya pada lutut dan menstabilkan pernapasan. Baekhyun kemudian menarik cepat benda itu saat sebelah tangan menyodorkannya.

"Terima kasih." bisik Baekhyun, hampir tak terdengar.

Orang itu menggangguk singkat. Ia pria—rambutnya hitam kecokelatan dan agak panjang. Dia lebih tinggi dari Baekhyun, dia memakai masker dan topi dan syal hijau. Coat cokelat mengingatkan Baekhyun pada seseorang—tapi siapa?

Baekhyun menggeleng pelan, tersenyum sekilas lalu membungkuk sopan. "Sekali lagi terima kasih. Ini sangat berharga bagiku."

Kemudian ia berjalan kembali, beranjak dari hadapan penolongnya. Sayangnya—

Baekhyun tidak melihat matanya. Yang hitam seperti jelaga.

Sang dokter berjalan cepat, merasa kedinginan. Ia memasang kembali cincinnya dan mengernyit heran.

Ia berhenti.

"A-apa yang…"

Ia membelalak. Perutnya terasa aneh dan tubuhnya bergetar. Dunia hening. Hening. Ia tak mampu mendengar apa pun selain napasnya yang memburu.

Cincin itu agak sedikit besar untuk jari manisnya. Ini bukan cincinku.

Baekhyun melepasnya, mengamatinya, letupan-letupan di dada tak bisa ia hindari. Matanya panas oleh harapan. Ia menemukan warna perak yang sama, dan huruf hangul bertuliskan—

Baekhyun.

Baekhyun berbalik, berlari, menggenggam erat cincin di tangannya. Ia tak peduli dengan tubuhnya yang dingin, atau pipinya yang basah. Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa dia tidak menyadarinya? Bodoh, bodoh, bodoh bodoh bodoh—Chanyeol disana!

Ia berlari kesetanan, menerobos angin dan gerombolan gadis muda. Ia tak mampu berhenti tersenyum, dan menangis. Ia sampai disana, terengah. Bangku sahabatnya masih tertutup salju, namun gelas plastik dan bungkus es krim sudah hilang. Digantikan seseorang.

Duduk diam, bersidekap. Orang yang menemukan cincinnya.

Baekhyun mendekat, mendekat, dan mendekat. Sorot lampu menerangi separuh wajahnya namun mata lelaki itu terlihat jelas. Hitam, dan gelap, dan seolah menembus Baekhyun saat ia menatapnya. Mata yang sama, tak berubah sama sekali.

Mata milik Chanyeol.

Orang itu berdiri, berjalan ke arah Baekhyun. Setiap langkahnya membuat jantung Baekhyun berhenti. Benarkah, benarkah benarkah benarkah. Benarkah ini dia?

Dan kedua kaki itu berhenti di depannya. Hanya berjarak satu tarikan napas. Ia mendengar tawa. Lirih, lirih sekali. Dan familiar. Baekhyun membelalak. Ia tak berani melihat, tubuhnya bergetar hebat.

"Kau tidak berubah, Baek."

Pria itu melepas maskernya, tersenyum untuknya. Baekhyun memandangnya dengan mata yang basah. Dia terlihat keren dengan sepatu itu, dengan penampilan baru itu, dengan rambut favorit Baekhyun. Dia tampan—dia selalu tampan. Betapa Baekhyun baru menyadari bahwa matanya benar-benar indah. Bulat dan gelap, malam yang membuat bintang bersinar. Betapa Baekhyun baru mengerti betapa rindunya ia pada senyum lebar nan konyol itu, dan lalu senyum tulusnya.

Betapa Baekhyun merindukan Chanyeol.

"Jangan menangis."

Chanyeol mengusap pipinya yang basah. Sentuhannya, lembut seperti dulu. Betapa Baekhyun bahkan merindukan jemari Chanyeol, yang sangat pas dengan jemarinya yang mungil.

"Aku merindukanmu, Baek."

Baekhyun membuka bibirnya yang bergetar, ingin berucap namun tak bisa. Baekhyun ingin berteriak tapi tenggorokannya tercekat. Seperti ada sesuatu yang mengganjal disana dan tidak membiarkan suaranya sampai.

Aku juga merindukanmu. Aku merindukanmu hingga dadaku terasa sesak, aku merindukanmu sampai rasanya aku ingin mati.

Chanyeol terkekeh, mengacak lembut surai cokelat Baekhyun. "Aku tahu, aku tahu."

Dan Chanyeol memeluknya erat. Lebih erat daripada saat mereka berpisah, lebih sesak tapi juga jauh lebih membahagiakan.

"Chan…yeol…"

Baekhyun menangis seperti anak kecil. Pemuda ini, yang selama ini menjadi mimpi-mimpinya, alasannya terbangun setiap pagi, yang menjadi mentari dalam harinya, bulan dalam malamnya, alasan untuknya tetap tersenyum, harapan dari segala penantiannya…

Sekarang Baekhyun mampu meraihnya, memeluknya, menangis dalam dekapannya.

Chanyeol melepas pelukannya, mempertemukan keningnya dengan milik Baekhyun. Ia mengecup bibir Baekhyun, lembut dan semanis vanila. sekarang dia ada di tempat seharusnya ia berada. Di sini, disisi Baekhyun.

Chanyeol berbisik, "Aku pulang."

Baekhyun tertawa, bahagia luar biasa. "Selamat datang."

.

Dan mungkin ini bukanlah akhir, karena sesungguhnya tiada yang berakhir. Akhir selalu menjadi awal dan awal merupakan akhir itu sendiri.

Yang pasti—sah saja, bukan, jika kututup kisah mereka disini dengan kata-kata klise happily after ever?

.


Einde :D


.

Kim's Note :

Pernah nonton Hachiko? Itu guguk selalu bikin saya nangis berapa kali pun saya nonton TT_TT judul chap ini buat penantian dan kesetiaan Baekhyun… dan saya nggak kepikiran judul apapun sampai saya keinget Hachi.

Awalnya saya bikin surat Chanyeol isi puisi-puisi atau kata-kata romantis gitu tapi—disini Chanyeol kan to the point dan nggak bisa cheesy (ingat chap 6? Saking gengsinya itu anak—) jadi saya hanya kepikiran isi suratnya gitu itu. Maaf aneh dan nggak ada feel sama sekali ;;;;;;;;;;;;;;;

Taehyung disini ofc, BTS BTS... wkwkwk akhir2 ini lagi suka ini anak soalnya /dibuang

Gaya penulisan berubah, karakter berubah (kemana Baekhyun yg unyuuuuhhh ;;;;;;; —yah, ada saatnya Baekhyun bertingkah sesuai umur /heh) dan ending… nggak berubah dari awal ding XD

Dan jangan benci sama ortunya Chanyeol ;;;;;;;;;;; kalau bukan karena mereka, Chanyeol dan Baekhyun mungkin nggak sesukses sekarang. Kalau semisal mereka nggak ngijinin ChanBaek dari awal, mereka bisa misahin mereka sejak lama. Tapi kenapa mereka nggak melakukan itu? Siapa tahu sebenernya mereka juga shipper— /dibakar/

Karena ini last chapter dan banyak penjelasan yg nggak rinci (seperti misalnya Chanyeol pergi kemana, dll), itu saya serahkan pada imajinasi pembaca... huahahahaha /plak/ tapi kalo versi saya sih :

Chanyeol kuliah di luar negeri, Universitas Harvard (ofc, wkwkwk XD), jurusan bisnis kemudian mengembangkan perusahaan sang ayah lalu membuat cabang lain (yang akan menjadi perusahaannya sendiri—sama kayak Yura).

Masalah komunikasi—jelas itu kerjaan ibunya Chanyeol XD konsen dulu ke karir lah, cinta kan udah dapet XDD

Dan restu orangtuanya Chanyeol… Baekhyun kan udah membuktikan dirinya pantas, jadi apalagi? Tinggal kawin aja udah muehehehe XDD

Okaaaii... jadi chap ini bener-bener yang terakhir dan nggak ada sequel maaf bangeett TT_TT saya bakal hiatus paaaaannjjaaaang sekalian sama semua ff yang belom kelar juga bakal saya hiatuskan :)

Sekali lagi maaf kalau ff ini nggak memuaskan atau ada kekurangan—karena cuma segitulah kemampuan saya ._.v

-:-

Makasih buat yang udah review di chap 9 :

dewi . min , ChanBaekLuv , Babies BYUN , baekyiol , Ichi Bee , fangirlfriend , A Y P , nur991fah , jiaeraa15 , Re . Tao , baguettes , BerryBanana , bekpou , luvesick hoon , byunyeolliexo , MicCheckOneTwo , summerbaek , srhksr , Akishi . Aki , lolamoet , VAAirin , rekmooi , Chan Banana , Viyeol , missfirelight , CanyulCintaBekyunYadongtralala , faul , neli amelia , ByunBaekCute , Shouda Shikaku , BLUEFIRE0805 , hunniehan , baekhaan , Sniaanggrn , pcyproperties , mpiet . lee , Parkbaekyoda , babyboybyun , SweetyChanbaek92 , baeqtpie , narsih556 , parkbyund , Panda93L , urichanbaekhunhan , nopiefa , dugunchao , Baek Channa ,

dan semua readers yang udah mau baca Randoms sampai akhir :D juga bagi kalian semua yang udah mau baca, review, follow, dan favourite MAKASIIIIH BANGET! Maaf saya nggak bisa ngasih apa pun sebagai balasannya :"(((((((

Dan sekali lagi, saya sama sekali nggak masalah sama silent reader, serius, jadi tolong jangan dipermasalahkan lagi :) kalian juga pembaca—dan saya sangat sangat menghargai pembaca saya—jadi mau komen atau nggak itu hak kalian. Saya sama sekali nggak keberatan karena—mau dibaca aja saya udah sujud syukur ;;;;;;;;;;;;;

So… sampai jumpa lain waktu! :D

Adios!

With love, Kim

(10/01/2015)