Aku benci perempuan.

Dan—oke, mungkin ini terdengar klise. Tapi semua berubah sejak aku bertemu dengan gadis itu—

Gadis musim semi itu.

.

.

.

Abnormal

© Miss Hyuuga Hatake

Hatake Kakashi x Haruno Sakura

Genre: Romance, Drama

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: OOC, gaje, abal, typos, lil bit yaoi, dan lain sebagainya :D

.

.

.

Pertama kali aku bertemu dengannya adalah saat musim semi—di rumah Iruka. Pertama kali aku bertemu dengannya, keadaannya terlihat tidak baik—matanya sembap dengan kantung mata yang tebal. Pertama kali bertemu dengannya, aku tahu dia tertarik padaku—terlihat dari emerald cantik itu yang tak berkedip dan semburat merah yang perlahan menghiasi pipi pucatnya. Sayangnya, aku benci perempuan saat itu dan aku hanya tertarik pada Iruka.

Kemudian gadis itu menyatakan perasaannya padaku. Yang membuatku terpaksa harus jujur padanya bahwa aku menyukai Pamannya.

.

.

.

.

.

"Kau harus menikah dengan gadis pilihan Tou-san, Kakashi."

Aku mengerang pelan sembari menggulirkan mata dengan malas. Menatap Tou-san yang balas menatapku dengan tajam seolah tak menerima penolakan. Aku mengusap wajah pelan, "Aku bukan anak kecil lagi, Tou-san... jadi jangan menjodohkanku—"

"Dan membiarkanmu menikahi si Iruka itu? Tidak, Kakashi. Itu tidak normal namanya." Aku terdiam. Kalimat terakhir Tou-san seolah menohokku. Tidak normal? Aku tertawa getir dalam hati. Bahkan Tou-san mengataiku tidak normal. Tapi aku tidak bisa menikahi perempuan –aku benci mereka- apalagi dijodohkan.

Kemudian –aku tidak tahu kenapa- bayangan gadis merah muda itu muncul dibenakku. Aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya—

"Siapa bilang aku akan menikahi Iruka? Aku punya kekasih, kok—seorang perempuan."

.

.

.

.

.

Aku tahu gadis itu membenciku—adalah yang pertama kali kupikirkan saat menjejakkan kaki di rumah Iruka. Gadis itu selalu menatapku dengan tidak bersahabat dan sinis—meski kadang tetap saja terlihat manis. Dan aku tahu, dari gelagatnya, gadis itu masih menyukaiku. Meski aku mencoba menegaskan kepadanya bahwa aku hanya menyukai Iruka.

Dan aku sengaja melakukannya—melancarkan modus-modusku pada Iruka di depan gadis itu setiap saat. Sekali lagi, aku hanya ingin menegaskan bahwa aku menyukai Iruka dan aku tidak ingin gadis itu tersakiti hanya karena perasaannya padaku. Aku tahu ini terdengar jahat, tapi aku hanya ingin menjaga perasaan gadis itu.

.

.

.

.

.

"Kalau kau berhasil membuat Paman Iruka jatuh cinta padamu, maka... maka... maka aku akan berhenti mengejarmu dan me-merestui hubunganmu dengan Paman Iruka. Tapi kalau kau gagal dan malah jatuh cinta padaku, kau—kau harus menikahiku!"

Gadis itu melontarkan sebuah taruhan konyol dan –dengan bodohnya- aku menyetujui taruhan itu—karena kupikir, dia hanya main-main. Tapi ternyata tidak.

Meski aku mengatakan padanya bahwa aku akan melakukan apapun untuk membuat Iruka jatuh cinta padaku, gadis itu sama sekali tidak menyerah. Dia bilang, dia juga akan melakukan apapun untuk membuatku jatuh cinta padanya. Aku tahu posisi kami sama—aku yang mengharapkan Iruka meski tahu perasaan ini salah, dan dia yang mengharapkanku meski tahu aku menyukai Iruka.

Aku tahu, selama ini aku hanya menyakitinya, meski sebenarnya aku hanya ingin menjaga perasaannya—karena gadis itu tidak pantas menjatuhkan perasaannya padaku; seorang pria brengsek yang terlalu takut untuk kembali jatuh cinta pada perempuan karena terjebak dalam masa lalunya. Gadis itu bisa menjatuhkan perasaannya pada pria yang lebih baik dariku—pria yang bisa membuatnya bahagia.

.

.

.

.

.

Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba aku merasa jengkel saat gadis itu bilang bahwa dia mencintaiku. Omong kosong dengan cinta! Kalau cinta memang ada, kenapa Kaa-san meninggalkanku dan Tou-san dulu? Kalau cinta memang ada, kenapa Rin juga meninggalkanku padahal aku sangat mencintainya? Bagiku, cinta hanya tentang berapa uang yang bisa kau berikan pada para jalang itu. Dan karena gadis di depanku ini bukanlah seorang jalang, maka dia tidak pantas untuk menerima cintaku.

Kemudian—sebuah tamparan mendarat dipipiku. Tidak terlalu keras memang, tapi cukup meninggalkan bekas merah dan panas. Meski entah kenapa, dadaku terasa lebih sesak dan sakit.

.

.

.

.

.

Dia—adalah gadis pertama yang menangis untukku –selama dua puluh delapan tahun hidupku- hanya karena sebuah tamparan yang tak seberapa—sebuah tamparan yang dia bilang karena kesalahpahaman setelah Tou-san menceritakan semuanya padanya. Adalah gadis pertama yang membuatku merasa dihargai dan memperjuangkanku meski aku selalu menyakitinya. Juga permintaan maaf yang meluncur dari bibirnya yang membuat hatiku bergetar dengan sebuah perasaan aneh yang perlahan menelusup. Terasa hangat.

Apalagi saat bibir lembut itu menyentuh bibirku—membuat debaran jantungku semakin menjadi. Membuat rasa hangat itu menyebar bersama sebuah rasa asing yang aku tidak tahu—yang kutahu, aku ingin menjaga perasaan gadis ini.

.

.

.

.

.

Aku tidak suka pemuda bernama Uchiha Sasuke itu. Aku juga tidak suka melihat bagaimana gadis itu terlihat dekat dengan si Uchiha—apalagi setelah mendengar bahwa pemuda Uchiha itu adalah mantan kekasihnya.

Namun saat aku ingin mengatakan padanya –bahwa aku tidak suka melihatnya dengan si Uchiha itu- kesalahpahaman kembali terjadi—Iruka menciumku. Membuatku bertanya-tanya, kapan aku bisa berhenti menyakiti gadis itu?

.

.

.

.

.

"Aku tahu ini terdengar aneh—tapi aku menyukaimu, Kakashi."

Harusnya aku merasa senang saat Iruka menyatakan perasaannya—selama ini aku menyukainya, iya kan? Namun entah kenapa, yang ada malah rasa bersalah yang menggerayangi hatiku. Aku tidak tahu kapan tepatnya rasa suka pada Iruka berubah menjadi sebuah perasaan asing pada gadis itu. Perasaan asing yang sama seperti yang kurasakan pada Rin dulu. Sebuah perasaan asing yang kupendam karena aku bahkan tidak pantas untuk menyatakannya. Tapi kurasa, aku harus mengatakannya pada Iruka—

"Maaf, Iruka... aku menyukai Sakura."

.

.

.

.

.

"Aku akan berusaha melepaskanmu, Kakashi. Jadi tolong, lepaskan aku."

Harusnya aku tidak melepaskannya. Harusnya aku menahannya, mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Namun sepertinya aku terlalu pengecut—aku melepaskannya. Aku menghindarinya.

Aku pergi—kupikir itu lebih baik. Aku tidak akan bertemu lagi dengan gadis itu dan aku tidak akan menyakitinya lagi. Meski rasanya sulit sekali untuk berhenti memikirkan gadis itu—berhenti memikirkan kepada siapa gadis itu akan kembali jatuh cinta. Rasanya tidak rela saat memikirkan gadis itu jatuh cinta dengan orang lain—menjadi milik orang lain.

"Temui saja dia, Kakashi." Suara Tou-san membuatku tersentak dari lamunanku. Dengan cepat aku mendongak, menatap Tou-san yang kini tengah berdiri didepanku dengan sebuah senyum lembut. Aku menghela napas pelan, menatap dokumen-dokumen yang terlantar di depanku. Ah, andai saja aku memiliki sedikit saja keberanian untuk menemuinya.

"Kau menyukainya, kan?"

"Aku—" kembali menghela napas, aku mengusap rambutku frustasi, "Aku sudah terlalu banyak menyakitinya, Tou-san... aku—"

Aku terdiam, tak sanggup melanjutkan kalimatku. Kurasakan sebuah tepukan lembut pada bahuku yang membuatku mendongak, menatap Tou-san yang kembali tersenyum lembut sebelum kemudian berbalik dan melangkah keluar dari kantorku.

Kalau aku kembali menemuinya, apa perasaan itu masih tersisa untukku?

.

.

.

.

.

"Akhir-akhir ini Saku-chan jadi aneh, Kakashi."

Aku terdiam mendengar cerita Iruka dari seberang sana, sementara genggamanku pada ponsel di tanganku mengerat. Akhir-akhir ini, aku juga jadi aneh—menyibukkan diri untuk melupakannya meski aku tahu itu sia-sia.

"Aku juga sudah menceritakan semuanya pada Saku-chan, Kakashi."—aku tidak tahu kenapa mendadak tegang mendengarnya—"Aku mengatakan padanya bahwa aku menyatakan perasaanku padamu, tapi... aku tidak mengatakan padanya kalau kau menolakku, Kakashi. Dia marah padaku, Kakashi."

"Saku-chan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar, Kakashi. Dia bilang dia sibuk mengerjakan tugas dan belajar bersama Ino. Tapi Ino bilang, hari ini Saku-chan pergi kencan—"

Pergi kencan—aku mengerutkan kening tak suka. Mengepalkan tanganku, dengan cepat aku menyambar jaketku dan melangkah keluar.

"Iruka, bisa kau beritahu aku nomor Ino?"

Mungkin, aku memang brengsek dan sering menyakitinya. Meski kadang aku berpikir bahwa dia lebih baik bersama orang lain, namun perasaanku tidak bisa berbohong—aku mencintai Sakura dan aku ingin memilikinya.

.

.

E N D

.

.

Okeee~~~ sebelumnya, saya minta maaf kalau banyak yang kurang 'sreg' sama ending di chapter 10 kemarin u,u dan saya juga minta maaf kalau endingnya terlalu cepat u,u tapi memang itu yang ada di otak saya, dan saya memang berencana bikin epilog ini dengan menggunakan sudut pandang Kakashi~ jadi… udah ketahuan kan gimana nasib Iruka? Dan kapan Kakashi jatuh cinta sama Sakura? Muehehehehe XD semoga ini endingnya nggak 'nggantung' ya XD

Oke… thanks to: chocochip86, uchiha lizzy, Irine Fressia Akina, dekdes, wowwoh. geegee, nogi nanase, Kumada Chiyu, Taskia Hatake46, kyuaiioe, Azuma Sarafine, anonim, cherryhime85, Sabaku No Dili, zeedezly. clalucindtha, Ly Melia, Hikaru Sora 14, Natha Nala, sakura uchiha stivani, Phanie0312